Breaking

Tuesday, August 31, 2010

Tuesday, August 31, 2010

Tingkatan dalam Ma'rifatullah


Manusia mengenal Allah melalui 3 peringkat dan 3 alat, yaitu (1) fitrah, (2) fitrah dan akal, (3) fitrah, akal, dan agama Allah.
Melalui fitrah semata, manusia hanya mengenal salah satu sifat Allah, yaitu sifat wujud. Betapapun Allah tidak terlihat dengan mata, tanda-tanda wujudNya terlihat oleh mata pada alam sekitar manusia. Tanda-tanda ini memaksa manusia percaya akan wujudNya. Semakin banyak tanda-tanda yang menyentuh fitrah manusia, semakin yakin manusia pada Allah. Keyakinan itulah yang berbuah rasa takut padaNYa. Keyakinan dalam peringkat ini dinamakan ainul yakin, keyakinan melalui observasi.
Setelah akal berkembang, manusia dapat menggunakan ftrah dan akal dalam mengenal Allah. Manusia dapat menambah keyakinannya melalui proses berpikir, logika atau manthiq. Manusia dapat mengaitkan berbagai fenomena dengan kesimpulan-kesimpulan secara deduktif ataupun induktif. Metod silogisme akan menyimpulkan beberapa sifat-sifat Tuhan. Allah dikaitkan dengan hukum sebab akibat, hukum keniscayaan, hukum kebaruan, hukum keteraturan, dan hukum moral yang berlaku dalam alam. Bila peringkat ini dipadukan dengan fitrah, sampailah manusia pada ilmul yakin.
Diperingkat kedua ini manusia akan mengenal sifat Allah yang lebih tinggi, yaitu sifat salbiyah dan sifat tsubutiyah. Sifat-sifat ini bisa dibuktikan dengan akal. karena itu, bila ditanamkan di hati, sifat-sifat ini akan menyentuh orang-orang berakal.
Sifat salbiayah Allah adalah sifat yang hanya ada pada diriNya saja, dan mustahil ada pada makhlukNya. Sifat-sifat inilah yang membedakan Tuhan dengan makhluk. Sifat itu ada 5, yaitu (1) Qidam, (2) Baqa, (3) Mukhalatu-lilhawaditsi, (4) Qiyamuhu-binafsihi, dan (5) Wahdaniah.
Sifat tsubutiyah adalah sifat Allah, tetapi refleksinya kadang-kadang nampak pada makhluk, khususnya manusia. Orang bodoh mengira sifat itu sifat makhluk. Namun orang yang berakal akan mengatakan bahwa sifat-sifat yang nampak pada makhluk itu hanyalah refleksi dari sifat Tuhan, yang terefleksi secara terbatas kadar dan waktunya. Sifat-sifat itu sepenuhnya merupakan sifat Allah.
Ada 14 sifat tsubutiyah Allah, yaitu (1, 2) Qudrat dan Kaunuhu-Qadiran, (3, 4) Iradat dan Kaunuhu-Muriidan, (5, 6) Ilmu dan Kaunuhu- 'Aliman, (7, 8) Hayyat dan Kaunuhu-Hayyan, (9, 10) Sama' dan Kaunuhu Sami'an, (11, 12) Bashar dan Kaunuhu Bashiran, (13, 14) Kalam dan Kaunuhu Mutakaliiman.
Itulah akhir dari mengenal Alllah dengan firah dan akal. peringkat kedua ini ada batasnya. Rasa takut dan rindu dengan Allah pada dua peringkat awal akan mengantarkan manusia keluar dari zona akal dalam mencari Tuhan. Rasa takut dan cinta akan mengantarkan manusia kepada upayanya lebih lanjut mengenal Allah. Jalan mengenal Allah yang lebih lanjut adalah melalui petunjuk agama, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasulullah.
Jadi, peringkat ketiga mengenal Allah adalah memadukan fitrah, akal, dan agama. Tanpa agama, pengenalan akan Allah tidak sampai kepada hakikat Allah yang sesungguhnya. Hanya melalui agama, ma'rifat itu terungkap lebih jelas. Inilah haqqul yakin.
Melalui agama, manusia akan mengenal Allah melalui nama-namaNya yang tercantum dalam AlQuran dan Sunnah Rasulullah. Allah memperkenalkan diriNya dengan 99 nama Nya yang Mulia. Dari situ, kita mengenal seluruh keagunganNya (sifat jalaliyah) yang menakutkan itu, yang membuat perut setiap insan kecut, takut, gemetar, dan ingin lari dariNya. Dari nama-nama Nya yang Mulia itu pula, manusia mengenal keindahanNya (sifat jamaliyah) yang membuat manusia rindu, harap, dan cinta pada Nya, yang membuat hati manusia selalu ingin mendekat dan selalu bersamaNYa.
Melalui agama manusia akan mengenal kedudukan Allah di hadapan manusia. Allah memperkenalkan sendiri kedudukanNya melalui AlQuran dan Sunnah Rasulullah. Dia adalah satu-satuNya Rabb manusia dan bahkan Rabb seluruh alam. Allah memperkenalkan pula bahwa Dia satu-satunya Ilah Manusia dan Ilah seluruh alam. Sementara kedudukan manusia hanyalah hamba sahaya Nya, yang harus terus menerus mengabdi kepadaNYa dan hanya kepadaNYa. Melalui agama, Allah menunjukkan wasilah-wasilah dan thariqah menujuNya dan cara menempuhnya. Inilah puncak ma'rifat itu.

Wallahu a'lam
Bagaimana pendapat Anda?


  • Farida Ariany and Fatimah Adam mudahan kita termasuk diantaranya
    August 31 at 12:25pm · LikeUnlike ·

    Fatimah Adam like this.

  • Ersis Warmansyah Abbas Makasih Pak Ustadz
    August 31 at 5:01pm · LikeUnlike ·

  • Jufran Helmi
    @ Bu Fat. Insyaalah
    @Pak Ersis. Sama-sama
    August 31 at 9:59pm · LikeUnlike ·

  • Endah Kurniadarmi

    Ketika kita sudah mengamati dan yakin bahwa alam raya dan seisinya dibuat oleh Yang Mahakuat, ketika akal kita yakin bahwa penciptaan itu sudah sedemikian runut, luar biasa detil, mau dibawa makro, mau dibawa mikro, mau dibawa deduksi, mau ...
    See MoreSeptember 1 at 2:52am · LikeUnlike ·


  • Jufran Helmi
    @ Endah. Mantap ulasannya.



    Pasted from <http://www.facebook.com/note.php?note_id=428948023777&comments>


Monday, August 30, 2010

Monday, August 30, 2010

Awaluddin ma'rifatullah


<em>"Awwaluddin ma'rifatullah." </em>Inilah kaidah pertama dalam kehidupan beragama seseorang., yaitu mengenal Allah. Allah adalah isu sentral agama. Bukan agama namanya kalau segala sesuatu tidak dikaitkan dengan Allah. Setercemar apapun suatu agama, Tuhan masih menjadi sentral pembicaraannya. Lebih-lebih lagi agama samawi yang asli, Islam. Mengenal Allah adalah aqidah Islam yang terasas. Permulaan agama adalah mengenal Allah.
Kalau kita telusuri sejarah perjuangan Rasulullah, selama 13 tahun di Makkah, ajaran beliau hanyalah "mengenal Allah". Ayat-ayat yang turun di periode ini hanya tentang Allah: sifat, nama, dan keudukanNYa. Sedikit sekali, atau mungkin tidak ada, ayat-ayat yang membicarakan syariah. Bahkan, selama 10 tahun periode Madinah, Allah tetap diingat-ingatkan betapapun syariah Nya mulai diperkenalkan satu persatu.
Sistem tarbiyah semacam ini telah melahirkan satu generasi hebat yang sangat takut dan cinta Allah. Mereka hidup, bekerja, kawin, beranak-cucu, berjuang, bahkan berperang karena Allah dan untuk Allah. Mereka berbuat begitu karena sangat takut dan cintanya pada Allah. Itulah buah mengenal Allah.
Metoda yang benar dalam mengenal Allah akan melahirkan rasa takut dan cinta semacam itu. Tidak terbayangkan oleh kita betapa takut dan cintanya para sahabat rasul itu pada Allah. Bacalah sejarah hidup mereka. Kita akan melihat refleksi rasa takut dan cinta itu menguasai ruh mereka. Seluruh amal yang mereka kerjakan didorong hanya oleh rasa takut dan cinta Allah.
Metoda yang salah dalam mengenal Allah, tidak melahirkan rasa takut dan cinta. Kita melihat betapa banyaknya orang diantara kita yang berilmu tinggi tentang Allah, bahkan menghafal ayat-ayat Allah, menguasai sunnah Rasulullah, memahami dalil-dalil aqidah dan syariah, namun tidak takut pada Allah. Buktinya kita tidak takut adalah kita masih berani berbuat maksiat kepada Allah di hadapan Allah. Kalaulah seseorang itu takut, jangankan berbuat maksiat, berpaling sebentar saja dari mengingat Allah sudah membuatnya tidak sanggup lagi makan dan minum, apalagi bersenang-senang.
Demikianlah kaidah bergama yang dicontohkan Rasulullah. Kaidah pertamanya adalah mengenal Allah. Rasulullah menunjukkan pula metodanya, yaitu mengenalkan Allah langsung di pusat hati bukan di akal. Allah diperkenalkan langsung kepada fitrah manusia yang ada di hati. Dengan metoda ini, lahirlah rasa takut.
Bila Allah diperkenalkan hanya di akal, melupakan fitrah, yang lahir hanyalah pengetahuan tentang Allah. Pengetahuan tidak membuat manusia takut, apalagi cinta.
"Kenal" dan "tahu" serupa tapi tak sama. "Kenal" dengan hati, "tahu" dengan akal. "Kenal Allah" membuat orang takut, sedangkan "tahu Allah" membuat orang hanya pandai berbicara, berdiskusi, dan berdebat tentang Allah.

 
Wallahu a'lam
Bagaimana pendapat Anda?

 
  • Marieska Verawaty, Ersis Warmansyah Abbas Mkasih kultumnya Pak ...
    August 31 at 7:27am · LikeUnlike ·

    Yeyen Sunarto Herbs and Feby Riyatii like this.

  • Erryk Kusbandhono Syukron 'ala taujihikum, pak..
    August 31 at 11:15am via Jufran Helmi
    @Pak Ersis. Sama-sama Pak
    @ Erryk. sama-sama
    August 31 at 10:04pm · LikeUnlike ·

    Facebook Mobile · LikeUnlike ·

  • Endah Kurniadarmi

    Bagaimana saya bisa mencintai Allah? Beberapa karena ada ujian yang saya hampir-hampir tidak bisa jawab, sehingga lamaa menjadi pemikiran dan telah membuat perasaan saya jatuh bangun. Lalu ada hikmah yang pelan-pelan membangun kesadaran, da...
    See MoreSeptember 1 at 2:42am · LikeUnlike ·


  • Jufran Helmi
    @ Endah. Hampir semua kita ingin memperoleh ketenangan ruhaniah dengan seluruh sifat-sifat mahmudahnya yang berkekalan di hati. Namun, jalan-jalan yang kita tempuh ternyata sering tidak efektif. Kita perlu kepada suatu metode yang benar-benar sudah teruji. Saya melihat bahwa metode itu adalah tariqat sufi. Lihat note saya tentang tasawuf.
    September 1 at 8:17am · LikeUnlike ·
    1 personLoading... ·



Sunday, August 29, 2010

Sunday, August 29, 2010

Syari'ah


Kalau aqidah adalah konsep maka syariah adalah hukum. Seperti aqidah, syariah juga berasal dari Allah. Kebenarannya mutlak. Syariah adalah undang-undang dalam hirarki tertinggi dalam kehidupan manusia. Kepatuhan kepada undang-undang lain hanya berada di bawah kepatuhan kepada Syariah.

Sebagai hukum, syariah terdiri dari perintah dan larangan Allah atas satu perbuatan. Ada perbuatan-perbuatan yang diperintahkan untuk dikerjakan, ada perbuatan yang dilarang. Syariah juga mengandung informasi tentang syarat, rukun, dan sangsi-sangsi di balik perintah dan laranagan itu.

Para ulama ada yang menghitung bahwa Al-Quran hanya mengandung 500 ayat tentang syariah. Sisanya adalah tentang aqidah. Jadi, kalau Al Quran itu terdiri dari sekitar 6600 ayat, maka tentang syariah hanya 7.5%. Sebanyak 92.5% sisanya tentang aqidah. Terlihat bahwa aqidah begitu penting dalam Islam dibandingkan dengan syariah. Ini tidak berarti bahwa syariah boleh dibaikan begitu saja.

Perintah Allah terdiri dari dua tingkat, yaitu perintah yang bersifat mutlak dan perintah yang bersifat anjuran. Perbedaan antara keduanya adalah pada sangsinya. Yang anjuran tidak ada sangsi seperti pada yang mutlak, namun tetap ada ganjaran bila dikerjakan. Perintah yang bersifat mutlak disebut wajib, sedangkan perintah yang bersifat anjuran disebut sunnat.

Sama dengan perintah, larangan Allah terdiri dari dua tingkat juga, yaitu yang bersifat mutlak dan bersifat anjuran. Yang mutlak disebut haram, yang bersifat anjuran disebut makruh.

Itulah keempat peringkat hukum dalam syariah itu secara sederhana: wajib, sunnat, haram dan makruh. Khusus yang wajib, peringkat itu dibagi lagi menjadi dua: wajib pada peringkat pribadi ('ain) dan wajib pada peringkat kolektif (kifayah).

Bidang-bidang kehidupan yang menjadi sorotan syariah adalah bidang-bidang berikut:
  • Ibadah-ibadah mahdah seperti taharah, shalat, zakat, puasa, dan haji
  • Akhlak dan sifat-sifat bathiniah manusia: mahmudah dan mazmumah
  • Zikir, do'a, penyelenggraan jenazah dan aktifitas mahdiah lainnya.
  • Pekawinan, pembinaan keluarga.
  • Berpakaian, makan, minum dan adab-adab kesopanan
  • Da'wah, pendidikan, belajar, mengajar, beramar ma'ruf nahi mungkar.
  • Berekonomi, mencari, menyimpan dan menggunakan rizki
  • Berinteraksi sosial: berkerabat, berkeluarga, bertetangga
  • Berpolitik, bernegara, berperang, berdamai
  • Berbudaya, berkesenian, berhibur, melancong
  • jinayah: pidana, dan perdata
  • dll.
Masih banyak lagi bidang kehidupun manusia, namun tidak termasuk dalam sorotan syariah. Artinya, kepada bidang itu tidak berlaku salah satu dari keempat hukum syaraiah. Menurut syariah Islam, semua hal yang berada di luar hukum yang empat dihukumkan sebagai perkara yang mubah atau jaiz. Perkara ini boleh dibuat dan boleh tidak dibuat. Pertimbangan untuk perkara ini hanyalah manfaat dan mudarat semata. Sepanjang ia betul-betul tidak bercanggah dengan hukum yang empat, manusia dapat berkreasi sedapat yang dapat dia buat.

Manusia secara kolektif, dapat membuat berbagai undang-undang di luar syaraiah. Semua aturan-aturan yang dibuat manusia irtu, seperti undang-undang negara, undang-undang organisasi, atau undang-undang dalam rumah tangga tidak disebut syariah lagi. Undang-undang buatan manusia itu boleh dibuat ataupun tidak dibuat bergantung pada manfaat dan mudaratnya saja. Ia bersifat relatif tergatung waktu dan tempat. Boleh jadi hari ini ia dibuat, besok ia diganti. Yang terpenting, apapun bentuk dan peruntukannya, undang-undang itu tidak boleh bertentangan dengan syariah.

Wallahu a'lam
Baagaimana pendapat Anda?

  • Marieska Verawaty and Ersis Warmansyah Abbas Yang susah menegakkan syariah, kuncinya mulai dari diri sendiri ... Rasulullah mencontohkan dengan perbuatan
    August 30 at 7:23pm · LikeUnlike ·

    Fatimah Adam like this.

  • Jufran Helmi
    @Pak Ersis. Syariah itu hanya lahiriahnya. Kalau bathiniahnya beres, beres juga lahiriahnya. Yang menjadi masalah biasanya masalah bathiniah.
    August 30 at 8:37pm · LikeUnlike ·

  • Nurhayati Fadjarudin Kayaknya kalo tls mslh imtaq dsb jadinya tulisan mengalir spt air ... Memang disitu letak core competence nya ustad jufran :). ...
    August 30 at 9:20pm via Jusuf Fateh

    Kefahaman tentang Aqidah diikuti pengenalan yang mendalam tentang siapa Tuhan Semesta Alam hingga lahir kecintaan dan rasa takut yang mendalam pada diri seorang hamba, akan menyebabkan terwujudnya Syariah secara kaffah atau menyeluruh baik ...
    See MoreAugust 30 at 11:20pm · LikeUnlike ·

    Facebook Mobile · LikeUnlike ·

  • Fajar Din Keep on Writting Pak Ustadz biar kami tercerahkan - trims
    August 31 at 7:52am · LikeUnlike ·

  • Jufran Helmi
    @ Bu Nung. Ini bisa disebut comptetence. Ya sekedar notes apa2 yang ada di otak sebelum semuanya hilang
    @ Yusuf. Pertanyaan yang hanya bisa dijawab oleh masing2 kita, kan? Semoga kita sama2 menatap masa depan yang lebih baik lagi dalam iman...
    See MoreAugust 31 at 10:08pm · LikeUnlike ·
  • Khalid Akbar Lalu apakah karena banyak undang2 yg berlaku di Indonesia bertentangan dengan Syariah, sehingga negara kita jd spt ini???
    apa yg dpt kita lakukan Mr. Jufran??? mohon petunjuk...
    Monday at 7:52am · LikeUnlike ·

  • Jufran Helmi
    @Khalid. Rasanya tdk terlalu banyak yg betentangan. Yg bersesuaian justru jauh lebih banyak. Kalau memang ada, undang2 itu harus diubah. Bukankah2 undang2 itu bisa diubah? Kawan2 kita di DPR harus melakukan tugas ini.
    Monday at 8:47am via Khalid Akbar
    @Jufran :mudah2an mmg bgtu, mkn saya yang salah melihatnya....
    ah kapan Ust Jufran jd salah satu diantara mrk2 itu, klo calon DPRI 2014 dr wilayah Jabar specially Bekasi mkn saya minimal bs membantu 2 suara (saya & istri) tpi klo di JKt maa...
    See MoreMonday at 8:56am · LikeUnlike ·
    Facebook Mobile · LikeUnlike ·


  • Jufran Helmi
    @Khalid. Yang penting perjuangan menjadikan syariah sebagai undang-undang tertinggi di negara ini mesti diteruskan. Hanya saja, jalan yang ditempuh harus pula mengikuti syariah. Jangan cita-citanya saja yang sesuai syaraiah, tapi cara, met...
    See MoreMonday at 10:03am · LikeUnlike ·

Saturday, August 28, 2010

Saturday, August 28, 2010

Aqidah


tAqidah adalah konsep yang berisi informasi, definisi, deskripsi, penjelasan sebab-akibat segala sesuatu, yang berasal dari Allah SWT. Aqidah ini dibedakan dengan syariah yang bermakna hukum atau peraturan yang berasal dari Allah. Pembagian Islam menjadi aqidah dan syariah hanya untuk keperluan memahaminya, bukan untuk mengatakan bahwa Islam itu dua dalam satu atau satu dalam dua.
Allah memperlihatkan petunjuk-petunjukNya melalui berbagai ayat yang diperlihatkan diseluruh jagad raya ini. Allah meminta untuk mengarahkan pengamatannya kepada seluruh jagad raya ini. Dan, memang Allah pun telah memberi kemampuan kepada manusia untuk itu: menggali, melihat, mengeksplorasi semua ayat-ayat itu untuk keperluan hidupnya. Manusia diminta untuk menemukan kebenaran-kebenaran.
Tapi malang sekali, alam raya ini terlalu luas dibandingkan dengan zona pengamatan manusia. Maksud hati menggapai langit, apa daya akal tak sampai. Pencarian kebenaran, lebih-lebih secara sendirian, mustahil bisa dibuat oleh manusia yang terbatas ini. Pemusafiran itu memerlukan "titik datum" yang menjadi tempat pencarian itu bermula. Pencarian itu memerlukan "term of reference" yang terdefinisi terlelebih dulu.
Saya katakan bahwa titik datum" dan "term of reference" itulah yang disebut aqidah. Logikanya, sebagai sebuah datum dan term of reference, aqidah mesti ditetapkan oleh Sang Pencipta jagad raya ini, bukan oleh manusia, si musafir. Bagaimana mungkin peta dibuat oleh sang pengkelana?
Aqidah Islam tediri dari beberapa konsep yang bersifat asas. Asas maksudnya bahwa konsep ini menjadi tapak bagi konsep yang lain. Berselisih dalam memahami konsep ini akan menyebabkan perselisihan yang lebih jauh pada konsep yang lain. Konsep ini tercakup dalam enam hal yang disebutkan sebagai rukun iman oleh Rasulullah SAW.
Aqidah yang asas itu adalah:
Konsep tentang Tuhan, yaitu tentang wujudNya, sifatNya, namaNya dan kedudukanNya.
Konsep tentang malaikat , yaitu tentang wujud, ciri,dan peranannya.
Konsep tentang nabi dan rasul, yaitu tentang wujud, ciri, dan kedudukannya.
Konsep tentang kitabullah, yaitu tentang wujud, ciri, dan peranannya dari masa ke masa.
Konsep tentang akhirat, yaitu tentang prosesnya, tanda-tandanya, mulai dari kematian, kiamat, pengadilan, surga, dan neraka.
Konsep tentang taqdir (ketentuan) dan qadha (ketetapan) Tuhan berupa perintah dan larangan Nya.
Selain aqidah yang asas, aqidah Islam terdiri dari beberapa konsep yang furu' (cabang). Di sebut furu' bukan karena kebenarannya relatif. Kebenaran aqidah bersifat mutlak, walaupun furu'. Ia disebut furu' karena ia merupakan perpanjangan konsep asas.
Aqidah yang furu' terdiri dari konsep-konsep:
Tentang manusia: kejadian, sifat, dan potensi-potensinya
Tentang lingkungan manusia berupa alam raya: yaitu tentang sifat, ciri, dan perilakunya.
Tentang lingkungan manusia berupa alam ghaib: termasuk berbagai pengalaman yang terkait.
Tentang lingkungan manusia berupa masyarakat manusia: ciri dan dinamikanya.
Tentang sejarah manusia: yang taat maupun yang jahat.
Tentang fasilitas hidup manusia: makanan, minuman, pakaian
Tentang ilmu dan upaya pencariannya.
Tentang perilaku manusia, yaitu akhlak yang baik dan buruk serta metodologi terapinya.
Tentang yang lain yang dinyatakan di dalam Al-Quran dan As-Sunnah.

Friday, August 27, 2010

Friday, August 27, 2010

Islam: aqidah dan syariah


Agama Islam ini dibagi dalam dua bagian besar. Yang pertama disebut a<em>qidah</em>. Yang kedua dinamakan <em>syariah</em>. Aqidah dan syariah menyatu, saling kait mengait. Misalnya, ketika Allah menjelaskan tentang shalat. Aqidah adalah semua penjelasan apa dan mengapa kita shalat. Syariah adalah penjelasan bagaimana pelaksanaannya; syarat-syarat, rukun-rukunnya, dll.
Kalau begitu, aqidah adalah konsep sedangkan syariah adalah hukum dari Allah.
Aqidah mendefinisikan hal ihwal atau hakikat segala sesuatu. Konsep itu bersifat mutlak benar karena berasal dari wahyu Tuhan yang Maha Benar. Konsep yang diwahyukan Allah itu menjadi titik referensi manusia dalam melihat, memahami dan meyakini yang lainnya.
Berbeda dengan aqidah, syariah adalah hukum perbuatan. Sebagai hukum, ia terdiri perintah dan larangan terhadap suatu perbuatan manusia. Dengan kata lain, syariah adalah rambu-rambu yang boleh dan yang tidak bolh dilakukan dalam menuju misi hidup manusia: ibadah.
Misi hidup manusia itu kan ibadah, yaitu suatu perjalanan panjang menuju Allah. Allah hanya meminta manusia agar beribadah , bukan yang lain. Sementara itu, aqal manusia tidak mampu melihat segala aspek dalam perjalanan ibadah itu. Terlalu banyak kelok-kelok hidup yang berada di luar kapasitas akal melihatnya. Untuk itulah agama sangat diperlukan sebagai doktrin terawal sebelum manusia mecerap segala informasi. Melalui agama itu, Allah mendefiniskan apa itu ibadah dan mengapa manusia mesti beribadah. Allah menjelaskan pula siapa yang dituju dalam beribadah serta jalan-jalan apa saja yang termasuk dalam kategori ibadah. Itulah kandungan agama Islam itu.
Agama Islam adalah sistem hidup satu-satunya yang sah. Jangan pernah ada yang mengklaim ada sistem hidup yang sah diluar Islam. Lebih-lebih lagi ada yang mengklaim semua agama sama karena tujuannya sama, hanya cara yang berbeda. Kata siapa tujuannya sama? Mungkin kelihatannya memang serupa . Serupa tapi tak sama.
Islam adalah satu-satunya agama yang disebut sebagai agama samawi, agama yang berasal dari Tuhan. Walaupun ada agama lain yang disebut orang sebagai agama samawi, Nasrani dan Yahudi, agama-agama itu bukan agama samawi. Keduanya diklaim sebagai agama samawi karena dalam beberapa hal ada keserupaan dengan agama Islam. Tapi, Allah menolak klaim itu. Keserupaannya dengan Islam terjadi karena agama tersebut memang awalnya Islam. Akan tetapi, karena perbuatan tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab, agama Allah itu dicemari. Akhirnya, Allah memansukhkan agama itu sebagai agama Allah. Agama yang sah hanyalah agama yang dibawa para nabi dan rasul yang tidak dicemari oleh tangan-tangan jahil.
Semua nabi dan rasul sepanjang sejarah manusia hanya membawa Islam, Nabi Adam AS, bapak semua manusia itu, adalah Islam. Nabi Nuh AS juga Islam. Nabi Ibrahim dan semua nabi keturunannya bergama Islam dan mendakwahkan Islam. Bahkan, agama yang diajarkan oleh Nabi Musa kepada bangsa Yahudi adalah Islam. Agama yang diajarkan Nabi Isa kepada bangsa Nasrani juga Islam. Kitab-kitab terdahulu sebelum Al-Quran, seperti Taurat, Zabur, dan Injil, berisi ajaran Islam. Kerajaan besar yang berhasil dibangun Nabi Daud dan Nabi Sulaiman, adalah kerajaan Islam.
Masih adakah yang nekad mengatakaan agama-agama itu sama? Dimana samanya? Kalau kita bandingkan dengan Islam yang diajarkan Nabi Muhammad SAW, ajaran nabi-nabi terdahulu itu memang berbeda sedikit dengan Islam akhir zaman ini. Perbedaannya hanya di sisi syariah saja. Di sisi aqidah sama. Semua nabi dan rasul menyerukan aqidah yang sama, yaitu Islam.
Wallahu a'lam
Bagaimana pendapat Anda?

 
  • Satria Iman Pribadi

    Assalamu'alaikum w.w.
    Kang, bagaimana dengan tasauf?. bagaimana dengan Ihsan?. Apakah sudah cukup dengan sholat mengikuti rukun?. bagaimana dengan khusyuk?. Khusyuk bukan bagian dari syari'ah (rukun dan syarat).
    bagaimana dengan Iman, Islam ...
    See MoreAugust 30 at 7:58am · LikeUnlike ·

  • Jusuf Fateh
    @ Kang Satria Iman Pribadi
    Bismillah, Sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur'an dan Hadits, bahwa manusia ini terdiri dari 2 bagian : Jasad lahir dan Bathin oleh sebab itu hakikatnya Syariah/Hukum/Peraturan pun mencakupi dua bagian tersebut :...
    See MoreAugust 30 at 9:01am · LikeUnlike ·
  • Mohammad Rizal Betul Pak Jufran, kalau menurut apa yang diajarkan Imam Asy'ari At Tamimi, Islam itu terdiri dari 3 bagian yang tidak terpisah: Aqidah/Tauhid, Syariat/Fiqih, dan Tasawuf. Atau disebut juga: Iman, Islam dan Ihsan. Mempelajarinya boleh terpisah. Tapi dalam pengamalan harus sekaligus semua diamalkan.
    August 30 at 11:32am · LikeUnlike ·

  • Jufran Helmi
    @ Ust Satria, Ust Yusuf dan Ust M Rizal. Berbagai klasifikasi2 itu memang berasal dari ulama-ulama besar di generasi awal Islam. Klasifikasi2 itu bertujuan untuk memudahkan kajian agar satu bidang bisa difokuskan sebelum yang lain. Namun, ...
    See MoreAugust 30 at 1:41pm · LikeUnlike ·
  • Rahayu Suciati Jika dikatakan "smua agama membawa pada kebaikan",bisa dikatakan benar? Krn dikatakan semua agama brasal dr agama Islam yg memang menyeru pd kebaikan.. Tp semua agama adalah sama adalah yg tidak benar. Benar begitu ya,pa?
    August 31 at 7:24am via Jufran Helmi
    @ Rahayu. Kalau kita lihat secara lahiriah semata, kebaikan-kebaikan itu nampaknya sama saja walau diserukan oleh agama yang berbeda. Tapi, sekali lagi kita melihat dari sisi Islam bahwa baik dan buruk tidak bisa dilihat oleh mata manusia. Tuhan yang tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Tuhan memandang bahwa yang baik itu tidak hanya yang luar, tapi juga yang dalam. Karena itu, dari sisi ajakan kepada kebaikan pun saya lihat agama-agama tidak sama.
    August 31 at 10:13pm · LikeUnlike ·

    Facebook Mobile · LikeUnlike ·

Thursday, August 26, 2010

Thursday, August 26, 2010

Dienul Islam


Islam, walaupun kita sebut agama, ia bukanlah agama seperti yang banyak dipahami orang. Ada yang memahami agama sebagai sebuah ideologi. Ada yang memahami agama sebagai sebuah proses ritual.
Islam adalah sebuah sistem hidup, yang dalam AlQuran disebut <em>ad-dien</em>, atau dengan lengkapnya <em>Dienul Islam</em>. Agama ini bukan ideologi ataupun proses ritual. Agama ini sistem hidup yang berasal dari Allah, pencipta hidup manusia itu sendiri. Allah mengajarkan agama ini kepada manusia dengan perantaraan wahyuNya melalui orang pilihanNya, yaitu Muhammad RasulullahSAW. Rasulullah kemudian menyampaikan wahyu tersebut baik secara verbal maupun prkatek langsung. Beliau mendemonstrasikan Islam dalam kehidupan nyata agar manusia dapat meniru.
Wahyu yang berasal dari Allah itu adalah Al-AlQuran, sedangkan tafsiran dan metodologi pelaksanaannya berasal dari Rasulullah yang dinamakan As-Sunnah. Hanya dua sumber itu yang menjadi sumber Islam. Walaupun Ijtihad diizinkan untuk dijadikan sumber ketiga setelah As-Sunnah, ijtihad mesti dilakukan dalam kaidah yang benar berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah. Tidak semua orang boleh melakukan ijtihad.
Selain Allah mendatangkan agama itu untuk manusia, di dalam diri manusia telah Allah tanamkan pula fitrah berupa rasa perlu kepada agama. Selanjutnya, manusia dibekali pula dengan daya aqal untuk mencari, memahami, meyakini, dan akhirnya mengamalkan agama itu dalam kehidupannya. Betapapun dalam diri manusia ada daya lain yang membawa jiwa manusia mengelakkan agama, daya itu tidak bersifat permanen. Kebahagiaan dan ketenangan hidup manusia tetap terletak pada berlakunya agama dalam hidupnya.
Tanpa agama manusia binasa.
Tanpa ilmu manusia buta.
Tanpa iman manusia sengsara.
Tanpa ukhuwah manusia tersiksa.

 
Wallahu a'lam
Bagaimana pendapat Anda?

 
  • Erryk Kusbandhono Note yg simple tapi berisi. Ad-diinu nashihah (nasehat)..
    August 30 at 8:33am via Fajar Din Syukron Pak Juf, tausyiahnya
    August 30 at 11:19am · LikeUnlike ·

    Facebook Mobile · LikeUnlike · 1 personLoading... ·

  • Jufran Helmi
    @ Erryk. semoga bermanfaat.
    @ Pak Fajar. Tulisan Pak Fajar ditunggu
    August 30 at 1:45pm · LikeUnlike ·

  • Jufran Helmi
    @ Bu Nung. Silakan mengopi sepanjang tidak ngopi (minum kopi). Ini kan lagi puasa.
    @Marieska. Tunggu yg berikutnya.
    August 30 at 1:50pm · LikeUnlike ·

  • Ersis Warmansyah Abbas Saya memilih perjuangan sisi, bukan hanya bentuk
    August 30 at 7:29pm · LikeUnlike ·


  • Jufran Helmi
    @Pak Ersis. Ya Pak.
    August 30 at 8:35pm · LikeUnlike ·





Wednesday, August 25, 2010

Wednesday, August 25, 2010

Takwa


Takwa dalam bahasa AlQuran dan bahasa Indonesia sehari-hari ternyata berbeda. Sehari-hari orang bertakwa adalah orang yang rajin menjalankan perintah agama. Kalau sehari-hari nampak shalat, mereka dikatakan bertakwa. Kalau sudah haji, bertakwalah itu. Bahkan lebih hebat lagi, takwa bisa dipakai pada agama lain selain Islam.
Dalam bahasa AlQuran, takwa adalah sikap hidup yang tertanam dalam diri seseorang lahir dan batin. Jika iman adalah perbuatan, islam adalah keyakinan, ihsan adalah perasaan, maka takwa adalah gabungan antara islam, iman, dan ihsan. Takwa bukan saja gerak-gerik, tapi juga pikiran dan juga rasa hati.
Kalau begitu, takwa meliputi seluruh amal yang dilakukan dengan perbuatan , keyakinan dan perasaan. Orang yang bertakwa adalah orang yang memilih hidup dalam rambu-rambu hukum Allah, menjalankan hiudpnya itu atas dasar keyakinan kepada Allah, dan melaksanakannya dalam kesaksian Allah: seolah-olah dia mealakukannya di hadapan Allah.
Takwa inilah model kehidupan yang sempurna dalam pandangan Allah. Sebaik-baik manusia, kata Allah, adalah orang yang bertakwa. Mereka senantiasa mendapatkan pertolongan Allah. Mereka diberi rezki dari sumber yang tidak disangka-sangka. Mereka selalu diberi jalan keluar dari setiap masalah yang mereka hadapai. Dan bahkan, mereka diberkati Allah dari langit dan bumi.
Wajarlah, kalau di akhir setiap perintah dalam Al Quran, Allah menyebutkan takwa sebagai tujuan akhir. Lihat perintah shalat, puasa, zakat, haji, infak, jihad, do'a, da'wah, amar makruf nahi mungkar, perang, mengakkan qisash, nikah, bermusafir, menuntut ilmu, dll. Tujuannya agar mendapat takwa.
Dalam dimensi invidual, orang yang berhasil mendapatkan takwa akan tampak sebagai orang yang istiqomah, yaitu orang yang terpelihara kesinambungan amalnya. Mereka beramal bukan untuk diperlihatkan kepada manusia. Jadi tidak ada beda bagi mereka amalan secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan.
Mereka adalah orang yang sabar, tidak lupa diri ketika menerima kesedihan dan penderiataan. Mereka orang yang bersyukur, tidak lupa diri menerima kemanisan dan kegembiraan. Pahit atau manis, sempit atau lapang, menyedihkan atau menggembirakan, bagi mereka adalah ujian dari Allah.
Mereka tawakkal menghadapi masa depan dan mereka redha menerima apapun yang sudah Allah putuskan di masa lalu.
Dalam hubungan antar manusiapun, orang bertakwa mencipta pesona menakjubkan. Mereka bersimpati kepada yang susah betapaun mereka dalam kesusahan. Mereka mudah berkorban bahkan dalam kesulitan. Mereka hormat kepada yang lebih tua dan sayang kepada yang lebih muda. Mereka pandai berterimakasih kepada manusia betapapun mereka tahu apa yang mereka terima bukan dari manusia, tapi dari Allah. Mereka bukan orang yang mudah diajak bergunjing ataupun memfitnah orang lain. Mereka akan minta maaf kalau bersalah dan memaafkan tanpa menunggu orang lain meminta maaf.
Indah sekali lukisan ketakwaan itu. Belum sanggup seorang pujanggapun melukiskannya dengan kata-kata. Cabangnya terlalu banyak. Walaupun demikian, kita masih bisa melihat pangkalnya: taat dan yakin pada Allah hingga lahir rasa takut dan cinta pada Allah. Kemudian menempuh hidup dengan hati yang dikuasi perasaan hadirnya Allah di setiap waktu dan tempat.

 
Wallahu a'lam
Bagaimana pendapat Anda?

 
  • Lisa-Miss Lisa- Suryani, Nurhayati Fadjarudin, Arief Al-Ghifari and 6 others like this.
  • Erryk Kusbandhono Mencerahkan sekali, pak. Moga kita digolongkan oleh Allah mjd "Ahlu At-Taqwa" & dipimpin oleh "Manusia yg paling taqwa" di akhir zaman ini..
    August 25 at 12:15pm via Facebook Mobile · LikeUnlike ·
  • Faricha Hasan Taqwa lahir dan bathin. Semoga kita termasuk dalam golongan orang-orang yang bertaqwa. Amin..
    August 25 at 12:39pm · LikeUnlike ·
  • Jufran Helmi
    @ Erryk, amiin
    @ Faricha. Amiin
    August 25 at 1:46pm · LikeUnlike ·
  • Salman Mujahid Nusantara terima ksih bi,sy br tau arti taqwa yang sesungguh nya.semga kita semua menjadi rang yang bertaqwa di akhir ramadhan.
    August 25 at 5:19pm via Facebook Mobile · LikeUnlike ·
  • Ersis Warmansyah Abbas untuk itulah kita hidup ya kan pkn
    August 25 at 7:26pm · LikeUnlike ·
  • Frans. Nadeak Terima kasih membuat kado ini..menyejukkan..
    August 25 at 7:28pm · LikeUnlike ·
  • Yussy Akmal Alhamdulillah,Semoga kita mampu meraih derajat Taqwa..
    August 25 at 9:23pm via Facebook Mobile · LikeUnlike ·
  • Arief Al-Ghifari
    @Abi Jufran: Asslmlkum,, abi boleh minta tag jg ga?
    August 26 at 10:09am · LikeUnlike ·
  • Nurhayati Fadjarudin mengalir sederhana dan mudah difahami ... moga kita terus meningkatkan takwa ... Amiiin
    August 27 at 9:07am · LikeUnlike ·
  • Jusuf Fateh

    Taqwa hari ini sudah kehilangan maknanya, ianya hanya menjadi selogan-selogan tanpa nilai. Andai seseorang menyadari betapa tingginya nilai Taqwa ini, karena ialah syarat mutlak ibadah diterima, ialah tujuan akhir dari Iman, Islam dan Ihsan...See MoreAugust 27 at 5:24pm · LikeUnlike · 1 personLoading... ·
  • Jufran Helmi
    @Yusuf. Sudah tentu kita ingin meraih taqwa yang sebenar. Semoga dapat taqwa
    August 31 at 10:16pm · LikeUnlike ·

Tuesday, August 24, 2010

Tuesday, August 24, 2010

Ihsan


Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim berdasarkan hadis dari Saidina Umar bin Khattab bahwa di suatu ketika, majlis Rasulullah didatangi Jibril AS. Terjadilah tanya jawab antara malaikat penyampai wahyu itu dan Rasulullah SAW tentang beberapa hal: islam, iman, ihsan, dan saat kedatangan hari kiamat. Tentang ihsan, malaikat Jibril yang hadir dalam wujud manusia berpakaian serba putih dan bersih itu menanyai beliau, "Apa ihsan itu."


Nabi menjawab, "Beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat Allah. Walaupun engkau tidak akan melihatNya, sesungguhnya Dia melihat engkau."


Itulah ihsan dalam denifisi Rasulullah SAW. Jawaban itu melengkapkan seluruh dimensi ibadah kepada Allah, yang merupakan satu-satunya misi hidup manusia di dunia ini.


Ada tiga dimensi ibadah: islam, iman, dan ihsan. Islam menjawab "apa" yang harus dilakukan dalam rangka beribadah kepada Allah. Iman menjawab "mengapa" itu harus dilakukan. Ihsan menjawab "bagaimana" melakukannya. Ketiga-tiganya menyatu dalam satu wujud, yaitu ibadah, walaupun masing-masing berperingkat berbeda.


Ibadah kepada Allah meliputi seluruh amal yang berada dalam rambu-rambu perintah, larangan, dan keizinan Allah. Yang wajib dan sunat adlah untuk dikerjakan; yang haram dan makruh, untuk ditinggalkan; dan yang mubah boleh dikerjakan ataupun ditinggalkan sesuai kadar manfaat dan mudaratnya. Itulah dimensi Islam.


Sementara itu, dimensi iman mengajarkan "mengapa" menjalankan ibadah itu? Suatu amalan yang tidak didorong oleh keyakinan akan Allah, bukan saja rapuh dan lemah, tetapi bukanlah ibadah. Amalan yang bukan karena Allah, walaupun bertepatan dengan syariat, ditolak Allah.


Hanya iman yang dapat melahirkan rasa takut dan cinta yang sejati yang berakhir dengan perbuatan yang dinamakan ibadah itu. Seseorang mungkin saja terlihat menjalankan syariat. Tetapi, apa motivasi sesungguhnya. Karena Allah atau karena sesuatu yang lain. Banyak hal dalam hidup ini yang membuat orang taat syariat: bisa manusia, bisa negara.


Berbeda dengan islam dan iman yang masing-masingny menjelaskan "apa" dan "mengapa" beribadah, dimensi ihsan menjelaskan "bagaimana" ibadah itu diimplementasikan. Bagaimana kualitas suatu ibadah dikendalikan.


Ihsan secara harfiah bermakna "sesuatu yang sempurna", "sesuatu yang cantik", atau "sesuatu yang indah". Allah tidak mau kalau hamba-hambaNya itu beribadah hanya terdorong oleh rasa takut dan cinta. Allah sendiri menciptakan alam ini dan bahkan kehidupan ini secara sempurna. Dia mau hamba-hambaNya juga mengejar kesempurnaan. Ia mau setiap elemen dalam ibadah itu dibuat sesempurna mungkin, seindah mungkin, dan secantik mungkin.


Menurut Rasulullah, kualitas ibadah yang sempurna, indah, dan cantik seperti itu hanya bisa dicapai apabilia ada rasa diawasi, rasa diperhatikan, dan disaksikan secara terus menerus oleh Allah selama proses ibadah itu berlangsung. Coba kita bayangkan, bagaimana rasanya cara kita shalat di hadapan Allah. Di hadapan manusia saja, orang memperbagus amalannya, apatah lagi di hadapan Zat Yang Maha Berwibawa. Masalahnya adalah tidak semua orang dapat merasakan kehadiran Allah. Bahkan mungkin ada yang melakukan ibadah-ibadah itu sementara ia tidak yakin dengan Allah.


Ihsan sungguh mahal. Dengan iman, seseorang akan takut, sedangkan dengan ihsan seseorang akan punya rasa malu, rasa hormat, rasa rindu pada Allah. Ihsan, yang menjadi maqam tertinggi ibadah, itu menjadi sorotan serius orang-orang yang menempuh jalan menuju Allah.


Orang yang mencapai maqam ihsan akan memiliki sifat-sifat taqwa dalam dirinya. Dan, setinggi-tingginya derajat manusia di sisi Allah adalah yang bertaqwa. Ihsan adalah bentuk taqwa itu sendiri dalam bathin.


Wallahu a'lam
Bagaiamana pendapat Anda?

Monday, August 23, 2010

Monday, August 23, 2010

Dimensi ibadah


Shalat, wirid, do'a, puasa, zakat, dan haji jelas ibadah kalau dilakukan karena iman, yaitu cinta dan takut Allah serta dalam rambu-rambu dan petunjuk agamaNya. Bahkan amalan-malan ini merupakan ibadah asas, yang dalam istilah fikih disebut ibadah mahdah .


Tapi bukan hanya itu. Mu'amalah, siasah, jenayah, dan munakahah juga termasuk ibadah, sepanjang karena iman dan dalam rambau-rambu dan petunjuk agamaNya. Demikian juga, makan, minum, berpakaian, berkendaraan, berjuang, mencari nafkah, dan berurusan dengan tetangga adalah juga ibadah. Kesolehan suatu amal, untuk biasa dipandang sebagai amal soleh, diukur dari sejauh mana suatu amal itu dijadikan ibadah.


Sebagai sebuah amal, Rasululullah pun tidak lupa mempraktekkan bahwa ibadah tidak hanya berdimensi individual (manusia dengan Allah), tapi juga berdimensi sosial (manusia sesama manusia).


Ibadah menyangkut amalan asas dan furu'. Yang asas , maksudnya, iibadah yang wajib, sedangkan yang furu' adalah yang sunat. Selain yang asas dan furu ' itu terdapat pula ibadah dalam arti yang umum, yang menyangkat hajat hidup pribadi maupun orang banyak. Ibadah ini bersifat mubah .


Islam mengajarkan bahwa ibadah tidak hanya tinggal sebagai amalan lahiriah yang kaku dan mati. Ibadah berbentuk lahirian dan bathiniah sekali gus. Bahkan perhatian kepada persoalan bathiniah jauh lebih besar. Allah bahkan memandang bahwa kedurhakaan secara bathiniah lebih berat daripada kedurhakaan secara lahiriah.


Ini, karena pada hakikatnya, seseorang yang taat secara batiniah, akan taat secara lahiriah. Sebaliknya, yang taat secara lahiriah , masih besar kemungkinan durhaka secara batiniah.


Agama Allah yang menjadi rambu bagi aktifitas itu pun sudah mencakup rambu-rambu lahirian dan rambu-rambu batiniah. Allah ternyata tidak melupakannya. Jangan sampai ada yang mengira bahwa dalam hal yang lahiriah kita ikut AlQuran dan AsSunnah, tapi dalam hal bathiniah kita mengikuti mimpi, yaqazah, dan kasyaf (penglihatan bathiniah). Atau sebaliknya, yang bersifat bathiniah , kita ikut AlQuran dan AsSunnah, tetapi yang bersifat lahiriah, kita ikut akal.


Terakhir, namun terpenting, Allah menekankan dalam berbagai ayatNya, bahwa fondasi dari ibadah ini adalah keikhlasan, yaitu bersihnya hati menerima keyakinan akan Allah SWT. Allah menolak amalan apapun sebagai ibadah, kalau dilakukan bukan karena Allah dan untuk Allah.


Tidak boleh ada motivasi lain yang mendorong suatu ibadah, kecuali hanya keta'atan kepada Allah. Allah adalah yang dituju dalam ibadah itu. Semakin bersih hati itu dari motivassi selain Allah, semakin murnilah ibadah itu. Amalan seperti apapun baik nampak lahiriahnya, bila tidak ikhlas ditolak oleh Allah.


Itulah sebabnya, meluruskan niat menjadi syarat pertama bagi suatu amal. Kesesuaian dengan ketetapan Allah dalam agamaNya merupakan syarat yang kedua. Ini berlaku bagi amal yang terkait kepada salah satu hukum yang empat: wajib, sunat, makruh, dan haram.


Namun, bagi aktifitas yang bersifat mubah (diluar hukum yang empat), suatu amal akan dipandang sebagai ibadah bila ada tiga tambahan syarat lagi, selain yang dua di atas: yaitu kepastian kehalalan aktifitas tersebut, kepastian pertimbangan manfaat/mudaratnya, dan kepastian ketidakberbenturannya dengan ibadah yang asas dalam pelaksanaanya.


Wallahu a'lam
Bagaiamana pendapat Anda?

Sunday, August 22, 2010

Sunday, August 22, 2010

Ibadah


Barangkali, ada kaitannya dengan pengklasifikasian bab-bab dalam kitab fiqih klasik, sehingga orang salah faham dengan ibadah. Biasanya, dalam kitab fiqih itu ada bab ibadah, bab mua'malah, bab jinayah, bab munakahah, bab siasah, dll. Kalau kita buka lebih lanjut, di dalam bab ibadah, ada pasal mengenai taharah, shalat, puasa, zakat, haji, zikir dan do'a, dll. Di dalam bab mu'amalah ada fasal perniagaan, hutang-piutang, waris, dll. Dalam bab munakahah biasa ada fasal tentang nikah, talak, rujuk, pembinaan anak, dll. Demikian seterusnya hingga semua bab diuraikan dengan fasal-fasal yang lebih rinci.


Secara sederhana, kalau ditanya kepada orang Islam, yang awam tentunya, apa itu ibadah. Jawaban mereka biasanya berkisar pada ibadah <em>mahdah</em> yang dibicarakan dalam bab ibadah dalam kitab fikih itu. Jadi, mereka bukan tidak beralasan menyebutkan itu semua. Barangkali, tidak banyak yang menyebutkan bahwa berekonomi, berpolitik, bersains-teknologi itu ibadah. Barangkali, bahkan akan terdengar janggal bila ada yang berani berkata kalau buang air besar di WC itu juga ibadah.


Bagaimana sesunnguhnya Islam meletakkan ibadah ibadah ini dalam kerangka keyakinan manusia?


Perhatikan bagaimana Allah berfirman tentang ibadah ini:
"Tidakkah Aku perintahkan engkau kecuali untuk beribadah kepada Allah, dengan memurnikan keta'atan dalam agamaNya dengan semurni-murninya? " (QS 98:5)


Ayat ini berarti bahwa ibadah itu jauh lebih luas daripada yang didefiniskan masyarakat Islam umumnya. Kalau Allah mengatakan bahwa tidak ada yang diperintahkanNya kecuali ibadah, artinya tidak boleh satupun kegiatan dalam hidup ini yang bukan ibadah. Jangankan persoalan seperti ekonomi, positik, sosial, dan pendidikan, aktifitas keseharian seperti bersin, buang air, hubungan suami-istri, tidur, makan, dan minum mesti menjadi ibadah.


Kalau kita gagal menjadikan perbuatan-perbuatan tersebut ibadah, artinya perbuatan itu sia-sia atau bahkan jadi maksiat dalam pandangan Allah, sebagai lawan dari ibadah.


Dalam ayat itu saja, sebenarnya masih banyak ayat-ayat lain yang serupa, terpampang bahwa ukuran keluar atau tidaknya dari kerangka ibadah adalah agamaNya. Dan, sudah barang tentu, yang punya autoritas terhadap agamaNya hanyalah Rasululullah SAW saja.


Secara bertubi-tubi, di ayat yang lain dalam AlQuran, Allah membentangkan jalan bagi manusia untuk sampai ke dalam ibadah. Ibadah yang berupa ketaatan pada Allah dalam sembarang amal itu, harus didorong oleh rasa takut dan cinta pada Allah. Ketaatan itu pula tidak boleh keluar dari koridor agamaNya.


Wallahu a'lam
Bagaimana pendapat Anda?

Saturday, August 21, 2010

Saturday, August 21, 2010

Iman itu diuji dengan syariat


Untuk mengatur perbuatan manusia, Allah SWT menetapkan empat rambu hukum syariat: wajib, sunat, makruh, dan haram. Sanksi di belakang yang wajib dan haram adalah dosa dan pahala, atau nikmat dan azab. Sedangkan, sanksi di balik hukum yang sunat dan makruh adalah kecintaan dan kebencian Allah. .
Mengerjakan yang wajib dan meninggalkan yang haram itu, pasti karena rasa takut. Walaupun ada di balik perbuatan itu pahala dan kenikmatan, bayangan akan sangsi besar yang tidak akan tertanggungkan itu jauh lebih mendominasi rasa hati. Manusia terpaksa menyerah. Kalau rasa takut kepada Tuhan itu benar-benar ada, tak mungkin seseorang itu berani meninggalkan yang wajib dan melakukan yang haram. Jika masih juga dia buat, pastilah waktu itu, dia telah kehilangan rasa takut.


Selain mengerjakan yang wajib dan meninggalkan yang haram, manusia berlomba-lomba mengerjakan yang sunat dan meninggalkan yang makruh. Itu pasti karena cinta pada Tuhan. Mengapa tidak? Bukankah yang sunnat dan yang makruh tidak ada sangsi dosa dan kemurkaanNya sama sekali? Yang sunat hanya menjanjikan adanya cinta Tuhan. Sementara yang makruh menjanjikan adanya kebencianNya.


Kalau rasa cinta kepada Tuhan itu benar-benar ada di hatinya, tak mungkin seseorang itu akan meremeh-remehkan yang sunat dan memilih perbuatan yang makruh. Tak mungkin seseorang yang katanya cinta kepada Tuhan tidak memburu segala yang dicintaiNya dan menjauhi segala yang dibenciNya. Bukankah cinta harus dibuktikan dengan kesetiaan? Adanya yang sunat dan adanya yang makruh menjadi ujian untuk membuktikan adanya rasa cinta hamba pada Tuhannya.


Pengakuan akan adanya rasa takut dan cinta, tidak ada pengaruh apapun pada rasa takut dan cinta itu. Lidah memang tidak bertulang. Allah hanya melihat bukti. Manusia mungkin bisa ditipu dengan lidahnya, tapi Allah? Kalau ada orang yang mengaku takut Tuhan, tapi dia dengan semena-mena meninggalkan apa-apa yang diwajibkan Tuhan atau terus-menerus mengerjakan apa-apa yang dilarang Tuhan. Apakah pengakuannya itu munasabah?


Demikian juga, jika ada orang yang mengaku cinta Tuhan, tapi dengan tenang ia meninggalkan apa-apa yang dicintai Tuhan dan mengerjakan hal-hal yang dibenciNya, apakah munasabah juga kelakuan ini?


Jelas tidak. Cinta dan takut tak bisa dimain-mainkan. Ia misteri hati. Tempatnya di dalam lubuk yang dijadikan bersemayamnya keyakinan akan Sang Pencipta itu. Untuk mengetahui apakah ada iman di hati atau tidak, coba kita periksa dan tanyai hati itu sungguh-sungguh; adakah rasa takut dan cinta pada Allah di dalamnya? Sungguh takutkah ia dengan ancaman Allah atau tidak? Sungguh harapkah ia dengan janji-janji Allah atau tidak?


Wallahu a'lam
Bagaimana pendapat Anda?

Friday, August 20, 2010

Friday, August 20, 2010

Takut dan Cinta


Iman itu adalah keyakinan dan bukan pengetahuan tentang Allah SWT, yang terpatri di hati. Keyakinan ini melahirkan rasa takut dan cinta padaNya.


Pengetahuan sendiri lebih bersifat informasi yang tersimpan di akal. Orang yang berpengetahuan biasanya mampu bercerita dengan fasih apa-apa yang diketahuinya itu. Orang ini belum tentu merefleksikannya dalam wujud perbuatan. Saya kenal dengan seorang dokter yang paham menguraikan bagaimana bahayanya merokok. Bukan sekedar seperti orang awam, tapi dia dapat merinci bahaya merokok secara ilmiah, lengkap dengan uraian bagaimana pengaruh negatif rokok pada pernafasan, jantung, dan alat reproduksi. Tapi ironinya: dia sendiri seorang perokok berat.


Di samping dokter perokok, ada pula orang yang faham menguraikan bab-bab dalam ilmu tauhid, fiqih dan tasawuf. Pandai sekali ia mendefinisikan istiqomah, sabar, redha, syukur, dan tawakal, lengkap dengan dalil AlQuran dan AsSunnah. Tak tidur orang karena merenungkan isi paparanya. Tapi nampaknya, lain ilmu lain perbuatan. Perbuatannya bertentangan dengan uraian itu.


Saya tidak bermaksud menafikan bahwa keyakinan memang bermula dari pengetahuan. Tapi pengetahuan itu bukan keyakinan. Pengetahuan masih bersifat aqliah, sedangkan keyakinan bersifat qalbiah atau ruhaniah.


Pengetahuan tempatnya di otak, sedangkan keyakinan bertempat di hati. Kalau pengetahuan adalah pohon, keyakinan adalah buahnya. Pohon bisa ada tanpa buah. Malah, lebih banyak pohon yang tak berbuah daripada yang berbuah. Tapi, buah tak mungkin ada tanpa pohon. Awalnya, pengetahuan melahirkan keyakinan. Kemudian keyakinanlah yang melahirkan rasa di hati. Keyakinan pada Allah melahirkan rasa takut dan cinta Allah.


Rasa takut itu muncul karena Allah SWT memperkenalkan diriNya sebagai yang sangat menakutkan hati. Dari 99 sifat Tuhan, hampir separuhnya menakutkan. Coba perhatikan bagaimana Tuhan memperkenalkan diriNya sebagai Al Qahhar, Al Jabbar, Al Qaddar, Al Muhyi, Al Mumit, dll. Sifat-sifat itu membuat perut kecut. Kalau kita bayangkan bagaimana Tuhan menyiksa manusia yang durhaka, seolah-olah Dia bukan pencipta kita yang memiliki rasa belas kasih.


Tuhan, di lain pihak, memperkenalkan diriNya pula sebagai yang sangat diingini manusia: Ar Rahman, Ar Rahim, Al Wahhab, Ar Razak, dll. Manusia menginginkan kasih sayang, kecukupan, kemudahan, dan pertolongan. Tuhan menjanjikan semua itu tanpa hitung-hitungan. Kalau mengenangkan sifat-sifat ini, manusia rasanya tidak memerlukan lagi yang lain kecuali Dia. Manusia hanya ingin hidup denganNya saja tanpa terpisah walaupun sekejap mata.


Iman, akhirnya, melahirkan takut dan cinta berjalin dan bersatu dalam wadah yang sama, yaitu hati. Mereka bagaikan dua kutub pada bumi. Kutub yang satu adalah takut sedangkan kutub yang lain adalah cinta. Kalau bumi berputar disebabkan oleh tarikan kedua kutubnya, besar kemungkinan hati manusia bergejolak karena tarikan dari kedua rasa, takut dan cinta, itu. Keduanya memaksa manusia melahirkan perbuatan: lari atau mendekat. Lari karena takut, mendekat karena cinta pada Allah SWT.


Jelaslah kini bahwa hakikat iman bukanlah terletak pada pengetahuan tentang Allah SWT. Hakikat iman adalah hadirnya dua rasa yang paling elementer di hati, yaitu rasa takut dan rasa cinta kepada Allah sebelum iman itu menampakkan diri dalam bentuk perbuatan, ketaatna dan kepasrahan.


Wallahu a'lam
Bagaimana pendapat Anda?

Thursday, August 19, 2010

Thursday, August 19, 2010

Iman


Menarik juga membaca kisah suku A'rab (orang-orang Arab badui yang tinggal jauh dari pusat Islam, Madinah) yang belum lama masuk Islam yang dikisahkan di dalam Al Quran, Surah Al Hujurat, ayat 14-18.


Saya membayangkan bahwa mereka, sebagai orang Islam, tentu menjalankan perintah agama seperti layaknya orang-orang beriman lainnya, setidaknya yang wajib-wajib seperti shalat, puasa, zakat, dll. Mereka tentu sudah mulai pula menggunakan berbagai terminologi atau atribut keislaman yang biasa dipakai di kalangan sahabat-sahabat Nabi yang beriman. Tapi suatu ketika, entah bagaimana, terletuplah dalam ucapan mereka, "Kami telah beriman." Spontan Allah merespon bahwa mereka tidak layak merasa diri telah beriman. Mereka hanya layak mengaku Islam. Boleh mengaku Islam tapi jangan mengaku beriman. Iman, sedikitpun, belum ada di hati mereka.


Kesalahpahaman seperti ini sebenarnya bukan milik kaum badui tempo dulu saja. Tidak sedikit fenomena itu menimpa kita di hari ini. Saya sengaja menyebut "kita" karena besar kemungkinan saya pun termasuk di dalamnya.


Kita merasa sudah beriman dengan Allah dan Rasul Nya lantaran, setidak-tidaknya, tidak tinggal shalat lima waktu. Kita merasa sudah beriman karena sudah rutin berpuasa. Kita merasa sudah beriman karena tidak telat bayar zakat. Bahkan mungkin kita merasa telah beriman karena sudah umrah dan menangis-nangis di depan ka'bah. Ternyata, bagi Allah, itu bukan tanda-tanda Iman.


Manusia sering terkecoh, tapi Allah tidak. Allah tahu siapa yang di hatinya ada iman dan siapa yang tidak. Tuhan tahu siapa yang islamnya secara benar, yaitu dengan iman, dan siapa yang islamnya hanya sebagai "kedok" saja. Na'uzubillah min zalik.


Sekarang kita bisa memahami mengapa sebagian ummat Islam hanya mampu menjalankan Islam sekedarnya saja: Islam minimalis. Sebagian lagi sedikit di atas itu, dan sebagian lagi sanggup berjuang habis-habisan untuk menduduki maqam yang tertinggi. Perbedaan itu terletak pada sebuah daya dorong yang terdapat di rongga hati yang dinamakan iman.


Iman itu bagaikan sebuah amunisi yang terletak di ruang bakar yang energinya mampu menggerakkan. Jika iman itu lemah, sedikitlah energinya. Energi yang sedikit itu tidak akan cukup untuk melawan tarikan hawa nafsu yang lebih kuat dan berlawanan arah dengan dorongan iman. Akhirnya kita tewas dibawa arus hawa nafsu itu.


Iman yang sedikit lebih kuat tentu masih bisa melahirkan ketaatan pada Tuhan. Dapat juga berlaku syariat dalam dirinya, terutama yang nampak-nampak di mata dan tidak memerlukan pengorbanan yang berat. Itu pun dilakukan dengan lesu, pas-pasan di garis minimum. Itulah Islam minimalis itu.


Hanya iman yang kuat atau yang sangat kuat yang mampu menampakkan Yaumul Akhir itu dengan sangat jelas. Daya dorongnya dahsyat. Tidak ada gunung rintangan yang terlalu tinggi baginya, kecuali didakinya. Tidak ada jurang yang terlalu dalam, kecuali diseberanginya. Mereka berjuang dengan harta dan jiwa. Itulah iman.


"Shalat yang dikerjakan dengan iman," firman Allah dalam AlQuran, "akan mencegah pelakunya berbuat keji dan mungkar." Shalat yang dilakukan tanpa iman, bukan saja sia-sia tapi bahkan dapat membawa celaka bagi pelakunya.


Nabi SAW pernah pula bersabda, "Barang siapa yang berpuasa karena iman dan harapan pada Tuhan, diampuni dosanya." Tapi , kalau puasa hanya sekedar menahan makan dan minum, yang didapat hanya lapar dan dahaga. Atau, setidak-tidaknya, dia hanya dapat penurunan berat badan.


Nabi pernah pula bersabda bahwa tidak ada balasan bagi haji kecuali surga. Pastilah yang dimaksudkan beliau itu adalah haji yang didorong oleh iman. Karena didorong iman, bekal yang dibawa pun adalah takwa. Tapi, bagi yang berhaji atau berumrah dengan motif lain, perginya tobat, pulangnya kumat.


Wallahu a'lam
Bagaimana pendapat Anda?

Wednesday, August 18, 2010

Wednesday, August 18, 2010

Otak


Kalau ditanyakan pada saya, bagian tubuh mana yang paling menakjubkan. Saya akan menjawab, "Otak!". Bagaimana pendapat Anda?


Sebenarnya tidak satupun bagian tubuh manusia yang tidak menakjubkan. Yang sederhana saja misalnya tumit kaki. Pernahkah Anda mempertanyakan mengapa Anda bisa berdiri tegak bahkan rukuk tanpa terjungkal? Kuncinya ada pada struktur tulang tumit kaki Anda itu. Walaupun setiap inci tubuh kita itu menakjubkan, saya yakin Anda sepakat dengan saya bahwa yang paling menakjubkan adalah tetap otak.


Otak adalah sebuah control system seluruh elemen dalam tubuh. Bagian-bagian tubuh itu ditautkan melalui sitem saraf berpusat padanya. Otak bukan saja mengatur gerak kaki, tangan, dan mulut, tetapi juga mengkordinasikan juga gerak jantung, tekanan darah, suhu badan, dan keseimbangan tubuh. Bahkan otak bertanggung jawab atas fungsi pikiran, penglihatan, pendengaran, perasaan, emosi, ingatan, dan kecerdasan. Coba kita dengar makian orang kalau kita tak sengaja menyandungnya,"Otakmu dimana?"


Volume otak hanya 1350 cc, yang cukup dibawa dengan sekantong plastik. Ada bagian yang disebut otak besar, otak kecil, otak tengah, dan otak belakang. Otak besar terdiri dari otak kiri dan otak kanan. Bagian otak-besarnya saja mengandung 15-33 milyar neoron, yang masing-masingnya tersambung ke sekitar 10,000 sinapsis.


Tapi, ada satu hal. Yang tak bisa dibantah oleh semua manusia adalah tatkala seorang manusia yang cerdas tiba-tiba mati. Semerta-merta, berhentilah seluruh aktifitas otaknya yang cerdas itu. Berhenti pula dengan seketika aktifitas seluruh tubuhnya. Dengan semerta-merta pula, manusia dengan seluruh gelar, tanda saja, pujian, dan cacian itu tiba-tiba berubah jadi bangkai, tidak berharga. Tak lama setelah itu ia akan menjadi makanan cacing di bumi.


Otak memang pusat pengendalian jasad manusia. Seluruh bagian tubuh tersambung kepadanya melalui kabel-kabel saraf yang rumit. Melalui kabel itu, otak menyalurkan instruksi-instruksi. Tangan, kaki, dan mulut akan segera bereaksi setelah mendapat instruksi dari otak. Otak juga menerima informasi melalui kabel saraf yang tersambung pada alat-alat pengindraan. Informasi itu dipersepsinya, diolahnya, dikirimnya atau disimpannya. Seperti pada pesawat terbang, otak adalah ruang cockpitnya.


Pertanyaan yang sangat penting, siapakah yang berada di belakang otak sebagai operatornya? Seperti pada pesawat, siapakah sang pilot yang berada di dalam cockpit yang akan menerbangkan pesawat itu atau menerjunkannya?


Sayang sekali penelitian para <em>neoroscientist</em>, ilmuwan otak, berhenti sampai di situ. Penelitian terhadap suatu yang rumit berhenti dalam kerumitan itu sendiri. Kalau mereka teruskan meneliti, mereka bisa menjadi gila, saraf otaknya korstlet.


Yang berada di belakang otak itu adalah ruh manusia. Ya, ruh manusia. Ilmuwan otak tidak dapat menemukan ruh itu karena mereka hanya memeriksanya dengan mikroskop. Padahal, belum ada mikroskop yang mampu mendeteksi ruh. Mereka menggunakan algoritma, menurunkan konklusi-konklusi, padahal wilayah itu sudah berada di luar kapasitasnya.


Jangan mencoba mereka-reka, kalau tidak mau tersesat atau dituduh sesat. Kalaulah sang ilmuwan itu mau berendah diri sedikit, berdo'a pada Sang Pencipta manusia itu bukan pada sesama manusia, barangkali mereka akan menemukan jalan menuju ke Kitabullah, yaitu kitab yang memaparkan rahasia semesta yang tidak terjangkau akal. Tuhan yang Maha Penyayang itu juga akan mengantarkan sang ilmuwan berjumpa hadis-hadis tentang sunnah rasulNya. Walaupun Rasulullah sudah wafat, Tuhan masih masih terus membimbing manusia melalui wali-waliNya yang ilmunya bersambung sampai kepada Rasulullah. Bahkan di setiap 100 tahun, akan Tuhan datangkan walinya yang bertaraf mujaddid. Tuhan punya sistem bagaimana berkomunikasi dengan hamba-hambaNya itu.


Tapi sayang sekali. Yang mereka teliti hanya otak dan otak lagi. Yang dipercerdas oleh mereka adalah otak dan otak lagi. Yang mereka minum dan perjualbelikan adalah vitamin nutrisi otak. Kalau sudah mati, otak itu tidak lebih berharga dari otak-otak (nama makanan asli Palembang)


Wallahu a'lam
Bagaimana pendapat Anda?

Tuesday, August 17, 2010

Tuesday, August 17, 2010

Hati


Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah tidak memandang rupa dan harta kamu, tetapi memandang hati dan amalanmu (HR:Muslim)."


Demikianlah hakikat hati dalam pandangan Rasulullah SAW. Dalam hadis yang lain Rasulullah mengingatkan bahwa di dalam jasad manusia ada mudghah. Jika ia jahat, jahatlah manusia itu. Tapi bila ia baik, baiklah manusia itu. Mudghah itu adalah qalb.


Kata qalb diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan "hati" atau "kalbu". Sebagian penulis kita, ada juga yang memadankan kata qalb dengan "hati nurani" atau "nurani" saja dengan suatu alasan tertentu. Dalam bahasa Arab sendiri, arti harafiah qalb sebenarnya adalah jantung bukan hati (lever), serupa dengan bahasa Ingris yang menggunakan kata heart . AlQuran secara eksplisit menyebutkan bahwa qalb itu tempatnya di dada. Tidak heran, kalau sebagian penulis Indonesia, terutama yang lama-lama, lebih senang menggunakan istilah "jantung hati" sebagai padanan qalb tersebut. Jadi masih terkesan ada "jantung" nya. Biar tidak terlalu panjang, kita cukupkan dengan menyebutnya "hati" saja.


Imam Al Ghazali mengatakan bahwa hati itu bukanlah jasad fisik ataupun bagian dari jasad fifik manusia. Walaupun kata yang digunakan seolah-olah merujuk kepada satu bagian fisik, penyebutan itu hanya berbentuk metafora atau majazi belaka. Hati sesungguhnya adalah bagian halus dalam tubuh manusia yang bersifat rabbaniah. Hati berwujud ruh yang dihembuskan kedalam tubuh manusia ketika jasad itu masih berada di dalam rahim ibu. Al Ghazali menggunakan istilah luthfun rabbaniah untuk mendefinisikan hati.


Imam Ashaari Muhammad At Tamimi menyebutkan bahwa hati berperan sebagai raja diri manusia. Hati adalah pusat komando. Ia adalah pemerintah yang menguasai seluruh kerajaan diri manusia. Seluruh unsur jasad manusia, termasuk otak, berada di bawah satu komando yaitu komando hati. Pemerintahannya absolut. Tidak ada bagian jasad yang bisa dan mungkin membantah. BIla mulut mengatakan hal yang berbeda dengan isi hati, itupun atas perintah hati, bukan kemauan mulut itu sendiri. Hati itulah yang beriman, yang bertakwa, yang kafir, yang fasik, dan yang munafik.


Jadi, kalau begitu dialah penanggung jawab seluruh perbuatan. Bukan tangan yang menulis ketika seseorang itu menulis; bukan kaki yang membawa-bawa tubuh kemana-mana; bukan mulut yang bergunjing ke sana-sini. Yang melakukan semua itu adalah sang komando diri, yaitu hati. Otak, tangan, kaki, lidah, mata, telinga adalah sebagian dari istrumen-istrumen hati yang berbentuk fisik yang kalau dicangkok pun tidak mengapa.


Tepatlah Rasulullah mengatakan bahwa bila hati itu baik, maka baiklah manusia itu. Kakinya akan membawanya ke tempat yang baik-baik. Tangannya akan melakukan hal yang baik-baik. Lidahnya hanya akan mengucapkan kata yang baik-baik. Bahkan otaknya hanya memikirkan yang baik-baik saja. Tapi bila hati jahat, jahatlah manusia itu. Di otaknya hanya ada piktor, pikiran kotor. Mulutnya hanya untuk bergunjing, mencerca, memaki, memfitnah, membantah, dll. Tidak ada yang dipegangnya kecuali yang buruk-buruk. Tidak ada yang didatanginya kecuali tempat-tempat yang busuk.


Karena sentral komando diri itu adalah hati, hatilah yang merasakan akibat baik dan buruk perbuatan-perbuatan manusia. Hati yang bersih akan bahagia; hati yang kotor akan gelisah dan menderita. Nanti, hati yang akan mempertanggungjawabkan semua perbuatan dan keadaanya itu di hadapan Tuhan di suatu hari yang pada waktu itu tidak ada lagi manfaat yang dapat diperoleh dari harta dan anak-anak. Yang berbahagia pada waktu itu hanyalah orang-orang yang datang menghadap Tuhan dengan hati yang bersih, qalbun salim.


Hati yang bersih itu adalah hati yang khusu' dalam mengingat Allah, hati yang senantiasa takut dan cinta kepada Allah, hati yang bergetar bila diingatkan ayat-ayat Allah. Hati yang bersih itu adalah hati yang yakin dan patuh dengan hukum-hukum Allah. Hati itu cinta dan patuh pada rasul Allah, serta sayang dan hormat kepada wali-wali Allah.


"Belum tibakah waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk khusu' HATI-mereka dalam mengingat Allah dan mematuhi kebenaran yang telah diwahyukan? Jangan sampai mereka seperti orang-orang yang telah menerima kitab terdahulu. Setelah orang-orang itu melewati masa yang panjang, HATI mereka menjadi keras. Dan, banyak di antara mereka itu akhirnya menjadi orang-orang fasik (QS 53:16)."


Di negeri kita ada selalu nasihat untuk <em>berhati-hati</em>. Jangan-jangan maksudnya adalah "Jagalah hati!"


Wallahu a'lam.
Bagaimana pendapat Anda

Monday, August 16, 2010

Monday, August 16, 2010

Nafsu


Nabi Yusuf AS berkata, "Sesungguhnya nafsu itu adalah pembawa kepada kejahatan, kecuali nafsu yang dirahmati Allah (QS 12:53)." Sebelum mengucapkan pernyataan itu, beliau mengakui bahwa tidak seorang manusia pun yang terbebas dari nafsu, termasuk beliau (padahal beliau seorang Rasul). Kalau begitu yang membedakan nafsu para nabi dan orang biasa dan sesama orang biasa adalah tingkatan keganasan nafsu itu masing-masing.


Ada orang yang nafsunya jinak sempurna, dan ada orang yang nafsunya liar sempurna. Nafsu yang jinak sempurna tak berdaya mencegah manusia tunduk pada kehendak Tuhan. Sementara itu, nafsu yang liar sempurna membuat kita berbuat sekehendak-hendak kita. Tentu ada juga yang berada di tengah-tengah kedua ekstrim itu.


Manakah yang lebih jahat antara penjajah kolonial Belanda yang menjajah Indonesia selama 350 tahun dengan nafsu yang liar yang menjajah diri seumur hidup? Kita selalu mengaitkan kemerdekan itu dengan terbebasnya bangsa ini dari penjajah kolonial. Kita lupa bahwa penjajah sesungguhnya adalah nafsu yang liar yang menguasai perjalanan hidup kita.


Akal yang cerdas memang sangat diperlukan. Tapi akal yang terjajah nafsu jauh lebih berbahaya. Orang-orang yang tidak berakal tidak begitu membahayakan bagi orang lain. Tapi, orang yang berakal cerdas, namun akalnya dalam kendali nafsu, sungguh berbahaya. Akal cerdasnya itu dapat dibuatnya untuk menyakiti, menipu manusia, menipu orang banyak, dan melumpuhkan akal orang lain. Seolah-olah dia saja yang boleh berakal sedangkan orang lain taklid saja.


Bahkan, akal cerdas yang jahat itu dapat memutarbalikkan fakta kebenaran yang berasal dari Tuhan. Dia memaksa akal mengarungi wilayah yang bukan wilayah akal lagi, tapi sudah memasuki wilayah yang sebenarnya sudah berada dalam otoritas wahyu. Mereka berani merusak dan mencemarkan ayat-ayat Allah. Mereka bahkan menantang Rasul Allah untuk bertanding menciptakan sunnah-sunnah tersendiri dan menciptakan cara-cara beribadah sendiri. Cara ibadah yang diajarkan AlQuran, AsSunnah, dan Ijma' (hasil ijtihad kolektif imam-imam mujtahid) direkayasa ulang agar terlihat lebih modern, efektif dan powerful. Dalih dan terminologinya pun bisa direkayasa juga biar terlihat mentereng.


Kalau kita kaitkan pembahasan kita dengan pendidikan di negeri ini, pendidikan yang berorientasi pada pengembangan akal tanpa menghiraukan penjinakan nafsu, sangat berbahaya bagi masa depan negeri ini. Bisakah Anda membayangkan suatu masyarakat yang manusianya cerdas dan kreatif tapi jahat? Sejahat-jahatnya hewan buas, masih bisa dijinakkan. Tapi, kalau manusia? Sila dijawab sendiri.


Wallahu a'lam
Bagaimana pendapat Anda?

Sunday, August 15, 2010

Sunday, August 15, 2010

Akal


Akal adalah sebuah potensi yang terdapat di dalam ruh manusia untuk mencerap informasi, mengolah, mengorganisasikan, dan menyimpannya. Akal ini merupakan salah satu kejadian yang ajaib dalam diri manusia. Semua manusia mengakui ini. Akal begitu sentral karena akal adalah pusat kesadaran manusia itu sendiri. Akal ini merupakan ruh manusia. Dalam diri manusia memang terdapat unsur ruh yang berada bersama jada lahiriahnya. Ruh inilah yang memancarkan cahaya akal. Ruh itu dinamakan ruh tamyiz.


Yang membedakan manusia dengan hewan adalah akal itu. Pada hewan terdapat ruh hayah yang mengendalikan metabolisme jasadnya: makan, minum, tidur, bergerak dan berkembang biak. Tapi, hewan tidak memiliki bahagian ruh yang memiliki akal seperti manusia. Hewan hanya mengenal dunia ini melalui panca indranya semata, sedangkan manusia, selain dapat memanfaatkan panca indra, dia dapat juga menggunakan akal.


Seperti hewan, manusia juga mempunyai ruh hayah untuk mengendalikan proses kehidupannya. Kehidupan manusia memerlukan makan, minum, bergerak dan berkembang biak. Karena itu, orang yang tidak mendayagunakan akalnya sering disamakan derajatnya dengan hewan. Orang yang menyuruh orang lain untuk tidak menggunakan akalnya sama dengan orang yang menyuruh orang lain menjadi hewan.


Artinya, kalau ada sekelompok orang yang berdiskusi sesama mereka dan dalam diskusi itu mereka sepakat untuk tidak menggunakan akal, maka kelompok itu seperti kumpulan hewan. Hewan-hewan yang tidak berakal ini, bukan saja tidak bisa menerima data empirik dari kejadian alam raya, bahkan mereka tidak akan dapat menerima doktrin-doktrin agama. Inilah hakikat sabda Rasulullah yang mengatakan bahwa agama itu akal. Agama hanya untuk yang berakal.


Akal memang hebat. Tapi, betapapun hebat, akal itu tetap terbatas kemampuannya. Tuhan tidak menciptakan akal untuk menerima segalanya tanpa batas. Alam ini terlalu luas untuk dipahami akal. Hidup ini terlalu kompleks untuk dimengerti oleh akal. Kalau akal itu tidak dihadapkan dengan wahyu Allah, dalam hal ini AlQuran dan As Sunnah, akal hanya akan mengumpulkan data-data empirik saja yang diperolehnya melalui penginderaan dan pengalaman.


Data-data empirik itu akan diolah oleh akal untuk menghasilkan keputusan-keputusan penting. Coba bayangkan, betapa beresikonya kerja akal itu. Betapa tidak akuratnya keputusan yang dibuat oleh akal bila ia hanya menerima data-data yang sangat terbatas. Karena kekurangan data itu, akal terpaksa melakukan tafsiran, peramalan, perekaan, khayalan, dll. untuk hal-hal yang diluar jangkauannya. Tidak mengherankan, jika orang yang dikendalikan akal semacam ini sebagian besar tersesat dari jalan yang benar, karena mereka terlalu jauh menyeret akalnya ke zona di luar kapasitasnya.


Berbeda dengan kondisi itu, kalau akal disodorkan dengan wahyu Tuhan, wahyu akan menghantarkan akal untuk melihat secara berimbang. Akal akan melihat bahwa alam ini bukan hanya alam fisik yang tercerap oleh indera yang lima. Alam ini bukan hanya data-data statistik yang dirumuskan dari laboratorium. Akal akan memahami bahwa alam ini jauh lebih luas dan kompleks sampai ke suatu wilayah yang tidak dapat dijamah oleh akal itu sendiri. Ada alam syahadah; ada alam ghaib. Ada yang zahir; ada yang bathin. Ada yang maknawi; ada yang rohani. Dan yang lebih penting ada Sang Pencipta dan Pengendali alam itu. Pemahaman itu hanya diperoleh akal melalui wahyu Allah.


Sudah pasti bahwa yang menyodorkan wahyu Allah itu kepada akal adalah iman, yaitu iman yang bersemai di dalam hati atau ruh manusia itu. Iman akan memaksa akal menerima wahyu Allah itu.


Akhirnya, dapat kita lihat hubungan yang sangat jelas antara iman dan kerja akal serta kaitannya dengan kesesatan seseorang. Bermula dari iman yang lemah, iman itu tidak mampu memaksa akal menerima wahyu Allah. Di lain pihak, nafsu yang ada juga di dalam diri manusia memaksa akal menolak wahyu. Akal akhirnya bekerja tanpa wahyu di bawah kendali hawa nafsu. Tersesatlah manusia itu.


Intinya, yang menyesatkan manusia itu bukanlah akal, melainkan hawa nafsu. Karena lemahnya iman, hawa nafsu menjadi raja diri manusia yang mengendalikan kerja akal.




Wallahu a'lam
Bagaimana pendapat Anda?

Saturday, August 14, 2010

Saturday, August 14, 2010

Ijtihad


Ketika Rasulullah melantik salah seorang sahabatnya, Mu'adz bin Jabal, untuk mengajarkan Islam ke Yaman. Rasulullah bertanya padanya, " Dengan apa engkau akan memutuskan suatu perkara?"
Mu'adz menjawab, "Dengan Kitabullah."
"Bagaimana kalau tidak ada di dalam kitabullah?" sambung Nabi.
"Dengan sunnah Rasulullah," jawab Mu'adz.
"Kalau engkau pun tidak menemukannya di dalam Sunnah?"
"Aku akan berijitihad dengan pikiranku."
Rasulullah SAW setuju dengan jawaban Mu'adz tersebut seraya bersabda, " Maha suci Allah yang telah membimbing utusan RasulNya dengan satu sikap yang disetujui RasulNya." ( HR. Abu Daud dan Turmudzi)

Dari dialog antara Rasulullah dengan Mua'dz di atas, nampaklah apa itu "ijtihad". Ijtihad adalah sebuah metodologi dalam menetapkan hukum Islam, yaitu menetapkan hukum suatu perkara. Tapi, ijtihad ini tidak berdiri sendiri. Ijtihad diperlukan setelah hukum perkara yang dimaksud secara eksplisit tidak terdapat di dalam AlQuran dan As Sunnah.

Barangkali, ada orang yang salah mengerti. Mereka mengira ijtihad itu adalah proses berpikir dalam menetapkan hukum-hukum Islam dengan mengandalkan akal semata tanpa mengaitkannya dengan AlQuran dan As Sunnah. Ini jelas pandangan yang sangat keliru. Ketika seseorang membaca AlQuran dan menemukan satu ayat di dalamnya, orang tersebut tidak dapat menetapkan hukum-hukumnya secara langsung tanpa melihat dulu kepada As Sunnah. Dan lebih tidak benar lagi, tanpa mempedulikan AlQuran dan As Sunnah sama sekali, seseorang membuat fatwa-fatwa dan mengklaim bahwa fatwa itu adalah ajaran Islam. Terlalu jauh pandangan ini dari ajaran Islam yang sesungguhnya.

Ijtihad bukanlah proses berpikir bebas. Ijtihad adalah proses qiyas (reasoning by analogy) dengan mengambil AlQuran dan sunnah Nabi sebagai rujukan. Ijtihad yang paling utama adalah ijtihad yang dilakukan oleh para mujtahid secara kolektif yang hasilnya dinamakan ijma' (konsensus).

Perlu saya tegaskan sekali lagi bahwa ijtihad bukanlah menciptakan hukum di luar yang ditetapkan AlQuran dan As Sunnah apalagi menetapkan hukum atau membuat tafsiran yang sama sekali terbebas dari AlQuran dan As Sunnah. Tidak ada hukum Islam diluar AlQuran dan AsSunnah. Ijtihad hanya dilakukan dalam rangka menemukan maksud tersembunyi dari AlQuran dan Sunnah untuk hal-hal yang secara harfiah tidak disebutkan di dalamnya sementara masalah itu ada dalam kehidupan nyata di suatu zaman. Kedudukan ijtihad berada di urutan ketiga selepas AlQuran dan sunnah Rasulullah.

Dari definisi itu saja kita bisa melihat dengan jelas bahwa tidak semua orang layak berijtihad. Syarat pertama seorang mujtahid adalah memahami AlQuran dan As Sunnah itu sendiri. Bahkan mujtahid di kalangan salafus soleh malah menghafal AlQuran dan menghafal sebagian besar hadis-hadis Nabi.

Semakin dekat zaman seorang mujtahid dengan zaman Nabi, pemahaman mereka dengan sunnah Nabi tentu semakin akurat. Kalau begitu, tidak aneh kalau diyakini oleh sebagian besar ulama bahwa yang paling pantas menjadi mujtahid adalah orang-orang yang hidup di generasi pertama setelah meninggalnya Rasulullah. Mereka itu adalah para sahabat. Setelah para sahabat, mereka itu adalah tabi'in. Setelah tabi'in adalah tabi'ut tabi'in. Orang-orang inilah yang disebut sebagai generasi salafus soleh itu.

Untuk proses ijtihad di zaman-zaman berikutnya yang terus berubah, Allah melantik di setiap seratus tahun seorang mujaddid. Mujaddid ini sekaligus akan menjadi mujtahid yang akan melakukan ijtihad yang lebih sesuai di zamannya. Mereka bukan untuk mengubah hukum Al Quran dan As Sunnah yang telah ada, tetapi hanya berijtihad dalam memahamkan AlQuran dan As Sunnah dalam konteks zaman itu. Mujaddid di suatu zaman sering disebut dengan sahibuz zaman dari zaman itu.

Kalau ada orang yang hidup di suatu zaman, misalnya zaman kita sekarang, kemudian ia mencoba mereka-reka perkara ghaib dan menyebarkannya, sementara ia tidak merujuk pada AlQuran dan Sunnah, hasil rekaan itu bukanlah ijtihad. Itu adalah produk akal-akalan. Itu hanya khayalan sang mujtahid gadungan. Betapapun proses akal-akalan itu sangat masuk akal, dan banyak yang mempercayainya, ia tidak bisa diklaim sebagai bagian dari ajaran Islam. Islam itu bersih dari pandangan orang-orang yang mengaku berijtihad diluar panduan AlQuran dan As Sunnah.

Wallahu a'lam,
Bagaimana pendapat Anda?

  • Farida Ariany, Yussy Akmal I like this one a lot.Thank you !
    August 15 at 8:14pm via Ersis Warmansyah Abbas Menulis (yang baik) termasuk ijtihat Pak?
    August 15 at 8:22pm · Like ·

    Facebook Mobile · Like ·

    Lisa-Miss Lisa- Suryani and 2 others like this.

  • Andi Budiman Trima kasih , catatan yg mencerahkan ..
    August 15 at 8:35pm via Erryk Kusbandhono Kita merindui seorang pemimpin yg mempunyai 3 derajat (mujtahid, mujaddid & shohibuz zaman), pak..
    @ Pak Ersis: menulis yg baik itu kebaikan, pak..^_^
    August 15 at 8:43pm via Jufran Helmi
    @ Yussy. Terimakasih
    @ Pak Ersis. Mengikut himbauan Pak Ersis, he he he. menulis.
    @ Andi. Semoga bermanfaat.
    @Erryk. pasti ada, itu janji Tuhan
    August 15 at 9:16pm · Like ·

    Facebook Mobile · Like ·

    Facebook Mobile · Like ·

  • Ema Manita Kuraesin Subhanallah...nice ! Menulis-menulis, ayooo...menulis, mencerahkan pikiran dan jiwa,tak cepat pikun. Selamat berjuang,semoga berjaya !
    August 15 at 9:27pm via Mang Edhok Dimasa kini, banyak orang yang semakin awan tentang sebuah metodologi dalam menetapkan hukum Islam. Kemudian saya pun pernah bertanya kepada seseorang yang saya anggap mujtahid. Maka dijawabnya "kalau kita tidak tahu dasar hukumnya" tanyakan kepada para Ulama yang mengerti hukum itu. Bagaimana kalau ulamanya jadi-jadian? wallohu a'lam siapa yang tahu. Yang jelas kalau menganggap dirinya Ulama ya seharusnya sebagai Mujtahid juga. Benar nggak begitu?
    August 15 at 11:24pm · Like ·

    Facebook Mobile · Like ·

  • Endah Kurniadarmi Lalu siapa Mujtahid yang bisa kita percaya? Apakah ada sistem yang dapat menyaring fit and propernya seorang Mujtahid?
    August 16 at 3:00am · Like ·

  • Mang Edhok Nah itu yang jadi pertanyaan besar kita
    August 16 at 3:02am · Like ·

  • Jufran Helmi
    @Mang Edho dan Endah. Islam telah mengenal banyak mujtahid besar sepanjang sejarah. Mereka layak diakui sbg mujtahid krn kepahaman mrk dg Quran dan Sunnah. Karya mrk telah teruji sepanjang zaman. Dalam fiqih dikenal Imam Syafei, Imam Ahmad...
    See MoreAugust 16 at 4:27am via Nurhayati Fadjarudin mungkin pemahaman ini yang bikin negeri ini agak chaos ya pak Jufran ? wallahu'Alam ! makasih udah di tag tulisan ini pak. Penting sekali untuk saya pribadi menambah wawasan dan pemahaman ...
    August 16 at 6:11am · Like ·

    Facebook Mobile · Like ·

  • Mohammad Rizal

    Menurut pendapat saya, alinea terakhir tidak berkaitan ("gak nyambung") dengan judul tulisan dan alinea-alinea awal.

    Orang yang mencoba mereka-reka perkara ghaib, atau menyebarkan suatu perkara ghaib memang BUKAN sedang berijtihad. Ingat, ...
    See MoreAugust 16 at 10:22am · Like ·

  • Jufran Helmi
    @ Pak Rizal. Subhanallah. Terimaksih atas responsnya. Sayapun dapat belajar lebih banyak lagi.

    Saya memang katakan dalam alinea terakhir itu bahwa mereka-reka alam ghaib dan menyebarkannya TIDAK dapat dikatakan ijtihad. Mengapa?

    Ijtihad itu...
    See MoreAugust 16 at 5:24pm · Like ·
  • Mohammad Rizal

    Jika ada orang yang bercerita tentang sesuatu yang ghaib memang itu bukan proses ijtihad. Itu namanya bercerita. Menceritakan pengalaman bukan ijtihad. Bukan itu yang dimaksud Rasul s.a.w pada Sayidina Mu'adz sebagai ijtihad. Harap rujuk ke...
    See MoreAugust 17 at 7:47am via Jufran Helmi
    @ Bu Nung. Banyak hal Bu. Tapi mungkin ini salah satunya. he he he
    August 17 at 8:04pm · Like ·

    Facebook Mobile · Like ·

  • Jufran Helmi
    @ Pak Rizal. Ternyata alinea terakhir itu cukup menimbulkan kesan, ya? Saya memulainya dengan kata "kalau". Artinya, itu hanya suatu permisalan, perumpaan. Saya tak tahu kalau ternyata Pak Rizal melihat memang ada orang yang seperti itu. A...
    See MoreAugust 17 at 8:38pm · Like ·
  • Buroqi Tarich Siregar

    Yang disampaikan adalah hal yg ideal (definisi dan syarat/kondisi ijtihad).
    Sedang apa yg dikritik di bagian akhir tulisan menurut saya adalah gejala yang tidak bisa dibendung. Perkembangan jaman sudah menetapkan demokrasi sebagai kredonya. ...
    See MoreAugust 18 at 12:07pm · Like ·

  • Jufran Helmi
    @Buroqi. Barangkali memang ada fenomena "demokratisasi" seperti yang berlaku di dunia politik atau ekonomi. Waduh, kalau harus pula terjadi pada agama, bentuknya kayak apa ya?

    Pendapata saya, agama yang sudah mengalami demokratisasi tidak ...
    See MoreAugust 19 at 9:19am · Like ·
  • Buroqi Tarich Siregar

    Demokratisasi pada agama salah satunya (sekedar contoh saja): menghilangkan elitisme semu (hanya karena menguasai istilah, tapi bukan substansi). Misalnya dalam soal menafsirkan atau berijtihad disyaratkan penguasaan manthiq. Padahal manthi...
    See MoreAugust 23 at 9:36am · Like ·