Breaking

Sunday, February 12, 2012

Sunday, February 12, 2012

Ganti Hati


Saya menamai lorong itu lorong kematian. Ya, lorong kematian. Hanya itu nama yang pas rasanya.  Anak, istri, serta orang terkasih lainnya hanya boleh mengantar saya sampai dipintu lorong. Di pintu itulah mereka terakhir boleh memeluk, mencium, melambaikan tangan, dan mengucapkan kata selamat jalan.  Selebihnya yang tersisa pada mereka adalah derai air mata dan do'a.

Sementara saya, dalam telentang tak berdaya, di atas tandu beroda,  dibawa setengah berlari memasuki lorong itu: panjang,  gelap, jauh, dan sepi. Betapapun panjang lorong itu, cepat atau lambat, saya pasti akan sampai juga di ujungnya yang lain.  Betapapun terang lampunya, berisik suara musiknya, saya mungkin hanya akan melihat kegelapan dan keheningan: keheningan menuju kematian. 

Bagaimana tidak. Diujung lorong telah menunggu tim medis yang dengan sigap  akan segera menusukkan pisau bedahnya yang runcing,  pas di ulu hati.  Tsukan itu di ujung jantung. Ujung pisau itu terus masuk ke dalam, makin dalam, kemudian sisi tajamnya  mengarah  ke bawah menyobek sampai ke pusar, kemudian berbelok ke kiri sampai ke pinggang.  Oh, terburailah usus saya, tersembullah  limpa, mengulurlah hati, dan …berhentilah jantung.

 Ya, Allah, jika itu benar-benar terjadi pada saya, masih sanggupkah saya berkata di saat itu, di saat tak ada lagi daya yang bisa menolong, "Hanya engkau Tuhan ku"?
 Itulah rasa hati saya ketika Dahlan Iskan menceritakan proses transplantasi hatinya kejadian demi kejadian. Proses transplantasi hati penulis yang kini jadi idola saya itu, ternyata bukan hanya proses yang bermula di ujung lorong yang satu dan berakhir di ujung yang lain.
Proses itu sangat panjang dan berliku.  Proses  melewati  momen demi momen yang mencekam, penuh duka.   Muntah darah, pemotongan limpa, penambalan usus ternyata hanya sebagian episode dari sekian banyak episode mencekam lainnya. Masa kecil yang miskin dan kumuh, rendahnya pendidikan, kepahaman agama yang dangkal, cara hidup yang cuai terhadap kebersihan dan kesehatan merupakan rangkaian yang tak terpisahkan dari semuanya itu. Kalaulah bukan karena kemahiran jurnalis Dahlan Iskan merangkainya, tak mungkinlah saya menangkap ketersambungannya.

Hampir-hampir terasa seperti orang gila, saya menikmati baca tuntas  buku  yang dijuduli sendiri oleh Pak Dahlan dengan  Ganti Hati . Ini bukan ganti hati dalam makna metafora yang sering digunakan khatib ketika mau memasuki Ramadhan atau Muharam.  Ini ganti hati benaran, ganti liver.  Liver lama dibuang, liver baru dipasang.  Bukan hanya cara penceritaannya saja yang hebat tapi juga keunikan isinya: keunikan anekdot-anekdotnya, keunikan sindiran-sindirannya, keunikan kritik-kritiknya.

Buku itu, menurut kabarnya, pernah diterbitkan beberapa tahun yang lalu, laku keras hingga saya tak kebagian. Pada edisi baru inilah, edisi 2012, saya berpeluang. Edisi yang sudah ditambahi sub judulTantangan Menjadi Menteri  ini saya dapatkan tak lama setelah saya mendapatkan Dua Tawa dan Ribuan Tangis. Saya menyambarbuku itu secepat kilat sebelum tak kebagian lagi.

Entah mengapa, tangan saya harus selalu meraba ulu hati saya sendiri ketika menyimak kata-kata Dahlan, terutama ketika beliau medeskripsikan isi rongga dada beliau. Entah mengapa pula, setiap saya mendengar cerita yang menyentuh kalbu, menakutkan, menegangkan,  saya merasa sesuatu terjadi di dada saya: di dalamnya. Sepertinya ada yang terbakar di sana; hangus.  Kalau saya tidak urut-urut, saya khawatir akan terjadi sesuatu.  Jantung  seperti mau lepas.  Sebelum benar-benar lepas, saya peganglah jantung saya itu. Bahkan dalam ekstrimnya, saya kadang-kadang memang tak kuasa untuk menahan air mata.

Demikianlah saya mengalami keganjilan menyimak kalimat demi kalimat tokoh jurnalistik, pengusaha, dan pernah mendapat amanah sebentar menakhodai PLN itu.  Dengan kemampuan menulis dan berceritanya yang luar biasa, ia berhasil membawa saya memasuki rongga tubuhnya: menyaksikan sendiri betapa ganasnya sel kanker telah mengeraskan livernya. Akibat pengerasan itu limpanya membesar sampai tiga kali lipat sehingga harus dipotong sepertiga.

Bukan itu saja, pembuluh-pembuluh darah yang berada sepanjang ususnya nampak jelas membentuk balon-balon kecil yang siap meletus mengeluarkan gumpalan darah berwarna hitam. Sepertiga limpa akhirnya dibuang.  Namun, pengurangan limpa tidak menyembuhkan sama sekali.  Saat kematian masih bisa diramalkan dekatnya. Satu-satunya yang harus ditempuh adalah hatinya yang sudah kasat itu dibuang. Hati baru dipasang melalui suatu operasi transplantasi.

Dalam bayangan saya, yang belum pernah mengalami--- semoga tidak mengalami--, transplantasi hati itu pasti operasi yang sangat mengerikan: operasi di ambang kematian.  Ia tak sama dengan operasi sunatan. Betapapun  Pak Dahlan telah mencoba menyederhanakan ungkapannya, kengerian itu tak mungkin ditutup-tutupi.

Memang muncul juga pertanyaan nakal saya, seperti pertanyaan yang muncul pada diri Pak Menteri BUMN itu, apakah hati yang baru itu cukup kuat terpasangnya sehingga bila orang itu berdiri hatinya tak akan jatuh? Cukup kuatkah ikatannya? Apakah hati yang baru akan dapat bekerja sama dengan baik dengan organ tubuh kita yang lain yang pasti beda usia, beda kelamin, beda budaya, beda hobi, beda agama, beda tabiat?  Apakah orang yang hatinya diambil itu mati sementara kita yang menerima hatinya bersambung umur? Bagaimana rasanya membayangkan kematian orang lain yang hatinya diberikan pada kita, sementara kita bisa berleluasa ke mana-mana?

Terus terang, buku Ganti Hati  Dahlan Iskan belum menjawab setimbun pertanyaan  lagi yang mungkin muncul di benak pembaca seperti saya. Betapapun Dahlan berusaha mengantisipasi nya  dan telah menjawab sebisanya, pasti akan tetap ada pertanyaan-pertanyaan lain yang tidak akan terdeteksi oleh logika mantiqnya itu.

Kekhasan putra kelahiran Magetan Jawa Timur yang pandai berbahasa Mandarin itu dalam menulis adalah bahwa ia tidak berfokus pada narasi atau kisah. Baginya kisah-kisah itu hanya sekedar pengantar saja. Misi terbesarnya adalah menyampaikan saran, gagasan, nasihat, kritik. Sangat sulit saya mencari kontinuitas plotnya karena plotnya meloncat-loncat, maju mundur.  Bagi pembaca yang senang dengan cerita bersambung atau plot utuh,  akan mudah tersesat. Bagi pembaca yang lebih fokus pada eksposisinya, pada deskripsinya,  atau pada fokusnya untuk menangkap pesan-pesan original khas Dahlan Iskan, buku Ganti Hati benar-benar bacaan yang mencerahkan.

Kalau ada orang yang hanya membaca kata pengantar dan kata penutup buku ini saja, orang seperti saya yang ada bibit penyakit hati nurani, memang akan sakit sekali mendengarkan cerita Pak Dahlan. Coba bayangkan. Di bagian pengantar, belum lagi cerita panjang lebar tentang operasi ganti hatinya, eh beliau membuka cerita tentang helikopter yang ia beli sebelum operasi  itu. Orang seperti  saya, yang dipenuhi mazmumah,  jangankan membeli, naik helikopterpun belum pernah. Wajarlah kalau saya terbakar panas. 

Belum lagi rasa panas itu hilang, Dahlan mengipas-ngipas bara hati orang seperti saya di setiap episodenya dengan cerita-cerita yang mengesankan begitu banyak uangnya. Ia turun naik pesawat seperti  turun naik busway saja,  ia terbang dari kota ke kota, negara ke negara  hanya sekedar berburu yang  remeh-temeh, dan pantang pula pakai uang dinas atau SPD.

Kalau rasa hati orang seperti saya tak bisa dikendalikan, ia benar-benar akan pingsan sambil berdiri ketika Dahlan bercerita tentang Mercedes seri S500-nya yang berharga 3 miliar itu.

Tapi, kalau kita renungkan dalam-dalam, kisah kesuksesan finansial yang diceritakan Dahlan, itu  adalah suatu petunjuk agar orang seperti saya jangan mudah berputus asa ketika  sekarang saya miskin. Maksudnya, Dahlan pun dulu miskin. Ia hanya tinggal di rumah berlantai tanah. Saking miskinnya, lemari yang satu-satunya dimiliki ayahnya harus dijual untuk berobat ibunya. Sampai-sampai, Dahlan tak tahu lagi kapan tanggal lahirnya karena tanggal lahir itu dituliskan ibunya di dinding lemari itu.

Pesan-pesan lain yang tak boleh kita anggap enteng adalah pesan bahwa kerja keras itu ada manfaatnya,  kejujuran itu tidak sia-sia. Perjuangan untuk mencapai kebebasan finansial, berkecukupan  adalah hasil jerih payah, memeras keringat, bukan hasil sulap sim salabim, hasil meratap-ratap, apalagi hasil korupsi. Indah sekali ajakan pemimpin Group Jawa Pos itu. Berbisnislah, bekerjaalah yang halal. Tuhan akan berikan kebebasan finansial.

Memang  berat bagi orang seperti saya yang hatinya kotor untuk disadarkan.  Cerita ganti hati Dahlan Iskan mungkin akan diresponnya secara sakit hati, penuh tanya keirian. Dari mana Dahlan dapat uang sebanyak itu? Bisnis apa dia? Bukankah sekolahnya cuma aliah. Ilmunya cuma ilmu mantiq tak pernah belajar kalkulus apalagi IT? Ibunya juga mati muda, keluarganya dari pesantren kumuh. Orang seperti saya akan sibuk mempertanyakan siapa Dahlan Iskan nya (man qala)  bukan memikirkan apa yang disampaikannya (ma qala).

Jangan-jangan, orang seperti saya harus ganti hati dulu -- hati dalam arti nurani-- sebelum bisa memahami kisah ganti hati Dahlan Iskan secara arif.

Friday, February 10, 2012

Friday, February 10, 2012

CEO Notes Versi Dahlan Iskan


Akhirnya, Dua Tangis dan Ribuan Tawa karya Dahlan Iskan terpaksa saya beli juga, terpaksa saya baca, dan terpaksa saya acungkan jempol: dua jempol sekaligus. Mengapa?

Sebenarnya, ketika pertama kali melihat buku itu di meja pajang New Arrival, meja pajang yang tak pernah saya lewatkan kalau saya berkunjung ke Gramedia Matraman, saya cuek. Testimoni tiga tokoh besar di sampul belakang tidak mampu membuat air liur kehobibacaan saya menetes. Alias saya tak minat. Buktinya, tanpa perlu harus membaca ke dalam-dalam, saya langsung menebak isinya, "Ah, ini tentang PLN."

 Otak saya langsung mendamprat, "Apa menariknya sih PLN?" Saya bukan karyawan PLN. Keluarga saya: kakak, adik, ipar, besan, kemenakan, tidak ada seorang pun di PLN. So what? Bahkan, saya tidak tersangkut dengan tagihan PLN; setiap bulan saya membayarnya tepat waktu; hanya sekali-sekali saja kena denda. Rumah saya, yang sekarang, jarang mati lampu. Kalau dulu, ya. Ketika saya masih tinggal di Prabumulih, tiada hari tanpa mati lampu, sampai-sampai saya gelari PLN di sana dengan PLTA, yang TA nya bukan tenaga air, tapi takut angin. Soalnya, kalau ada angin, lampu mati. Apalagi kalau ada hujan dan petir. Waktu itu, wajar kalau saya pernah ingin tahu isinya PLN. Wajar kalau saya ingin tahu apa sih maunya orang-orang PLN. Tapi kini, kok rasanya tak perlu lagi: tak pernah mati lampu lagi, he he he. Kalau begitu, buat apa saya menghabiskan waktu untuk membaca tentang PLN? Logis, bukan?

 Mungkin akibat bawaan sejak kuliah dulu juga, tentang listrik ya tentang travo, generator, transmisi, dan motor. Tentang PLN artinya tentang itulah: tentang travo, generator, transmisi, dan motor. Intinya: PLN is about nothing: setidak-tidaknya untuk saat ini.

 Pada beberapa kesempatan berikutnya, mungkin sampai empat kesempatan, saya tetap mampir di meja new arrival. Saya melihat kembali Dua Tangis dan Ribuan Tawa masih di sana. Kesan PLN is about nothing masih belum bergeser dari kepala. Saya lirik buku itu sebentar, saya lirik juga foto penulisnya sebentar, saya baca testimoninya sebentar. "Ah", bisik saya. Saya letakkan kembali buku itu ke tempat semula.

 Tiba-tiba....

 Pada suatu ketika. Saya sama sekali tidak ada niat membeli satupun buku bacaan. Saya datang ke toko buku hanya untuk membeli alat tulis dan alat olah raga. Ketika saya menunggu kasir meghitung total belanjaan, saya melihat buku itu di meja kasir: saya hanya melihat-lihat tanpa minat. Eh, si Kasir yang masih muda itu bertanya, "Mau beli sekalian buku ini, Pak? Best seller lho". Saya menggeleng. Istri , yang kebetulan menemani saya di sana, nyeletuk dari samping , "Boleh juga nih."

 Terus terang, lama juga saya menimbang: beli tak beli. Bukan karena harganya atau saya kekurangan minat baca, atau saya belum pernah baca tulisan Dahlan Iskan, tapi sejumlah buku dan artikel yang saya unduh dari internet sudah panjang antriannya untuk dibaca.

 Kata saya, "Ya sudah, sekalian. Tambahkan."

 Anehnya, sesampai di rumah, sayalah yang mengambil alih buku itu pertama kali, bukan istri saya. Istri saya, keduanya, memilih mendahulukan terkekeh bersama Sule dan Nunung dalam Opera Van Java. Saya memilih bersama Dahlan Iskan bertualang, mulai dari Pontianak menelusuri jalan darat sampai di Palangkaraya dan terus ke Singkawang. Dari situ saya dan Dahlan pindah rute lain menelusuri trans Sulawesi, dari Makasar terus ke utara sampai Gorontalo. Istri saya makin kuat kekehnya bersama Parto di Opera Van Java. Saya malah menelusuri jalan dengan 6432 kelokan di sebuah pegunungan di Flores memeriksa sebuah proyek geothermal. Tak lama kemudian saya terbang ke Sumatera merayapi punggung bukit barisan Sumatera, dari Lampung, Bengkulu, Palembang, Padang, Medan, sampai ke Aceh. Saya ikut Dahlan Iskan makan ubi rebus di Timika, makan durian di Ambon, dan tentunya ikut menikmati kue-kue renyah buatan ibu-ibu PLN di berbagai daerah ketika menyambut kedatangan kami.

 Dalam sekali duduk saja, tanpa terasa, saya sudah menyelesaikan 10 bab. Dalam beberapa kali duduk di hari yang lain ditambah beberapa kali berdiri --saya biasa membaca sambil berdiri, bahkan berlari--, buku itupun saya tamatkan.

 O, alangkah menyesalnya....

 "Mengapa baru sekarang saya membeli buku ini?" bisik saya: buku hebat yang sudah sejak lama dipajangkan. Kalau dipukul rata saya ke toko buku sekali sebulan, berarti saya sudah hampir empat bulan buku itu di sana. Dan, saya tidak menaruh minat.

 Ternyata lain. Buku Dua Tangis dan Ribuan Tawa, rupanya bukan buku tentang PLN. Saya keliru. Ini buku tentang semuanya: tentang manajemen, tentang pertarungan, tentang keuletan, tentang kerendahhatian, tentang kesombongan, tentang kreatifitas, tentang kesabaran, tentang keikhlasan, tentang petualangan, tentang ketegasan, tentang ketakutan, tentang kelemahan, tentang sistem, tentang keterbukaan. Komplit. Bahasanya gaul. Pilihan kalimatnya tepat dan menggigit-gigit.

 Tentang PLN-nya jelas ada. Tapi, hanya sekedar basic frame karena penulisnya kebetulan dirut PLN dan tulisan itu merupakan kumpulan tulisan rutin yang ditulisnya, sebagai dirut, bagi karyawannya. Dahlan Iskan yang mengaku berlatarbelakang tarekat shatariyah itu membawa orang-orang PLN melihat organisasi mereka secara utuh, iba, dan tanggung jawab. Mereka dibawanya melihat langsung ke lapangan, bertualang ke kota-kota kecil, atau pulau terpencil yang mungkin tak semua orang PLN mengetahui dimana tempat itu. Dahlan membawa tim kepememimpinan PLN menyelami perasaan anak buah, perasaan pelanggan, perasaan bangsa. Dan, memang itulah tugas seorang CEO yang sesungguhnya.

 Kalau awalnya saya membayangkan bahwa pembicaraan akan fokus pada persoalan listrik melulu, saya keliru besar. Isi tulisan di dalam buku itu adalah suara hati Dahlan Iskan, tentang kehidupan, tentang kreativitas, tentang ambisi, tentang kerjasama, tentang solidaritas, tentang kepemimpinan. Semuanya itu keluar dari hati sang CEO, yang sejak 4 tahun sebelumnya benar-benar "ganti hati". Dengan hati baru, nampaknya, ia menarik kereta besar yang berisi 50,000 penumpang: PLN, ke destinasi baru, ke PLN yang mendunia, yang mengalahkan Malaysia.

 Tiga kepiawaai Dahlan memang nampak jelas dari apa-apa yang dia tulis: mulai dari kepiawaian bisnis, kepiawaian manajerial, dan sampai kepiawaian komunikasi. Dalam bisnis, dia begitu jeli melihat hubungan siapa raja dan siapa hamba. Kalau pelanggan adalah raja, mengapa dibiarkan raja kecewa, berdendam. Bukankah kekecewaan pelanggan harus menjadi pertimbangan pertama dalam bisnis sebelum kepuasaanya. Ini logika Dahlan, yang mengaku hanya tamatan madrasah Aliyah itu.

 Dalam manajerial, Dahlan sangat piawai dalam pemberdayaan tim. Dia hargai orang-orang yang layak dihargai dengan cara-cara yang patut dihargai. "Saya tak perlu membawa orang luar ke dalam," katanya," karena di dalam banyak orang hebat-hebat." Dari 50,000 personil hebat-hebat itu, tidak kurang 400 orang yang bergelar master. Dahlan Iskan hadir di PLN sebagai bagian dari tim, bukan sebagai hakim dan karyawannya terdakwa. Ia memberi kesempatan agar orang-orang berprestasi tampil ke depan, dipuji, diberitakan. Pemberitaan itu menurut logika Dahlan merupakan cara paling ampuh dalam pemberdayaan tim.

 Yang paling saya sorot adalah: Dahlan menunjukkan kepiawaianya berkomunikasi dengan suara hati yang dikemas secara sastrawi. Ini penting.

 Tulisan-tulisan cantik yang lebih cerpen dari cerpen benaran itu jelas bukan wejangan, instruksi, dan lebih-lebih bukan khutbah. Tentang listriknya banyak: krisis daya, gangguan transmisi, pelayanan masyarakat, sistem keuangan, proyek yang terlantar, dll. Tapi lebih banyak lagi tentang gebrakan-gebrakan; bukan sembarang gebrakan, tapi gebrakan yang terukur dengan akal sehat, yang konon diperolehnya di madrasah aliyah dengan nama ilmu manthiq. Dahlan menyelipkan kritik-kritik halusnya dalam setiap note. Dengan humor dan anekdot dia menyindir. Dengan menyebut nama-nama tim yang berprestasi, dia memotivasi, membakar semangat yang lain.

 Apakah ini ciri khas Dahlan Iskan karena ia sesungguhnya seorang jurnalis? Apakah darah jurnalisme telah mengajarinya pandai menulis? Dan apakah nafas jurnalisme telah mengajarinya pandai mendengar? Tak tahulah. Yang saya tahu menulis dan mendengar adalah keterampilan asas yang dipelajari setiap orang sejak di SD.

 Yang jelas, seorang CEO yang bekerja keras untuk memecut laju organisasinya, tentunya, bukan Dahlan Iskan satu-satunya. Seorang CEO yang membuat terobosan-terobosan besar, juga terobosan gila, bukan Dahlan Iskan pelopornya. Seorang CEO yang sangat benci dengan rokok, benci dengan upacara bendera, benci dengan tabiat-tabiat feodalistis, benci dengan ketidakdisiplinan, benci dengan kelambatan-kelambatan, bukan monopoli Dahlan Iskan.

 Tapi, seorang CEO yang pandai bercerita melalui surat terbuka, melalui kisah, melalui deskripsi, dengan kemasan narasi satrawi yang mantap, saya pikir, Dahlan Iskanlah perintisnya. Tak terbayangkan oleh saya akan begini jadinya bila seorang CEO pandai menulis, pencerita yang terampil. Surat edaran direksi untuk karyawan yang biasanya berisi poin-poin yang harus dikerjakan, disulapnya menjadi cerpen. Sekali lagi saya katakan: CEO Notes untuk karyawan PLN ini lebih cerpen daripada cerpen benaran. Silakan Anda baca!

 Dalam kemasan yang seperti itu, saya melihat CEO Notes versi Dahlan Iskan ini merupakan sarana komunikasi antara manajemen dan karyawan yang sangat efektif . Keefektifan itu ternyata bukan isapan jempol pula, tapi dibuktikan secara nyata dari perubahan besar yang terjadi pada tubuh PLN yang diakui oleh banyak pihak. Masyarakat bisnis mengakui. DPR mengakui. Presiden SBY saja ikut mengakui. Buktinya, Dahlan dipercaya kini mengendalikan organisasi yang jauh lebih besar: Kementrian BUMN.

 Kinilah saatnya, kepiwaian Dahlan menulis dan mendengar diuji dalam level yang lebih tinggi. Kalau dulu kepiawaiannya baru diuji pada level syariat, level kedirekturan, kini diuji pada level yang lebih tinggi, level tarekat, level kementrian. Untuk seterusnya, siapa tahu, akan diuji di level yang lebih tinggi lagi, level hakikat, level di presidenan, he he he. Istilah syariat, tarekat, dan hakikat itu saya pinjam dari istilah Dahlan sendiri.

 Kalaulah CEO Notes ini tidak diterbitkan untuk publik, saya benar-benar akan iri dengan kawan-kawan saya di PLN. Mentang-mentang mereka punya CEO yang pandai bercerita, saya kok tidak diajak-ajak.
Untunglah CEO Note itu kini ada di tangan saya.

 Bagaimana dengan Anda?