Breaking

Friday, April 27, 2012

Friday, April 27, 2012

Pohon Jelutung


Bila ada yang mengaitkan jelutung dengan sampan atau  jembatan, banyak orang akan percaya.   Kayunya keras banyak dipakai untuk bangunan. Tapi, bila ada yang menghubungkan jelutung dengan pornografi, mungkin orang akan tertawa dan langsung  menampik.  


 Sore itu, langit Bayur cerah dengan sedikit berawan.  Pantai yang tiap sebentar dihantam gelombang  laut Samudera Hindia itu panas dibakar matahari. Walaupun kampung Bayur tidak seberapa jauh dari pantai itu, matahari tak mudah menyentuh tanahnya karena rindangnya pepohonan yang mengelilingi rumah-rumah.

 Hampir seluruh halaman rumah Sutan Rangkayo Mudo  yang luasnya hampir separuh lapangan bola itu ditumbuhi macam-macam pohon besar dan tinggi. Ada jelutung, jangkang putih, durian burung,  dan damar laut yang terkenal rindangnya.  Dan ada mahoni.  Entah kapan pohon-pohon perkasa itu mulai ditanam.  Ketika Sutan lahir, pohon-pohon itu sudah lebih tinggi dari atap rumahnya.

 Di sore itu, Sutan Rangkayo berjalan menuju sebatang jelutung. Pemuda paruh baya, pemanjat kelapa hebat se Bayur itu, berdiri di bawahnya.  Pohon yang nama hebatnya dyera costulata itu, walaupun bergetah, adalah pohon  berkayu keras  dan tahan lapuk. Orang Bayur banyak mengambilnya untuk dibuat perahu.

 Setelah menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya, Sutan mulai memasang aba-aba untuk memanjat. Sebilah badik terselip di pinggangnya yang dililit kain sarung yang digulung-gulung. Ia menoleh ke atas sebentar sekedar menakar  tinggi batang yang hampir tiga puluh meter itu. Dengan sigap, Ia pun kemudian merayap, memindahkan posisi kaki dan tangan, merangkak ke pucuk. Seperti sekejap saja, sampailah ia di suatu pertemuan lima dahan.

 Pertemuan lima dahan itu terlihat seperti telapak tangan manusia  yang sedang dihadapkan ke langit,  kelima jarinya diluruskan sedangkan ujungnya mengapit bola kasti. Itulah tempat yang dituju Sutan. Dengan konfigurasi seperti itu, terbentuklah satu tempat seperti sangkar perkutut yang  luasnya muat untuk tiga orang duduk bersila. Begitu mantapnya tempat itu, kalaupun ada yang tidur di sana, pasti tak akan jatuh. Kelima dahan pohon itu akan memagarinya.

 "Ah, leganya." Sutan menarik nafas dalam-dalam sambil menyeka keringat ketika ia tiba di sana.

 Setelah melepaskan badik dari lilitan sarung di pinggang, ia pun mengeluarkan sebungkus kacang rebus. Kemudian, ia  menggantungkan bungkusan itu pada  sebuah ranting. Ia kemudian duduk menjuntai kaki, bersandar kepada salah satu dahan.

 Ia sendiri tidak pernah menyangka kalau tempat yang dulu ditemukannya  secara tak sengaja itu kini menjadi tempat favoritnya melewati waktu sore. Ia juga tidak pernah menyangka kalau rutinitasnya memanjat jelutung itu tidak sia-sia. Kaki dan tangannya menjadi mahir. Kini, jangankan jelutung  yang satu itu, puluhan kelapa yang tingginya ratusan meter pun akhirnya takluk dipanjatnya setiap hari.

 "Air yang menetes terus menerus, dapat melobangi batu karang," kata Sutan dengan sombong ketika suatu hari ia menceramahi  kawan-kawannya yang  pemalas.

 Bila petang sudah datang, dan langit Bayur cerah tidak mendung, Sutan sudah berada di pertemuan lima dahan jelutung itu. Bila penat duduk, ia berdiri sebentar dan duduk lagi. Begitulah berulang-ulang. Sambil menikmati kacang, jagung, talas, atau ubi rebus yang dibawanya,  ia akan berada di sana sampai matahari hampir tenggelam.

 ***

 Seorang pun orang Bayur  tidak pernah tahu kalau keterampilan Sutan memanjat kelapa didapat dari ketekunannya memanjat jelutung. Setahu mereka, Sutan adalah pemanjat dadakan, seperti orang baru yang tiba-tiba jatuh dari langit atau tersembul dari bumi.

 "Ia pasti sudah berguru kepada seorang pawang hebat yang keluar dari laut," kata seseorang kepada Kureh ketika mereka berkumpul di warung kopi.

 "Ah, tak mungkin," sela yang lain.

 "Ia pasti menggunakan  ilmu khadam atau jimat warisan Nabi Sulaiman," kata yang lain lagi.

 "Ah, itu juga tak mungkin," bantah yang lain pula.

 "Kalau begitu, ia mungkin manusia ajaib yang telah dijanjikan Tuhan," sambung yang pertama tadi.

 Akal nelayan-nelayan kampung Bayur, yang sebagian besar buta huruf itu , sulit menerima kalau orang yang dulunya tukang cukur, kemudian jadi rentenir, tiba-tiba jadi pemanjat kelapa yang mengalahkan kera.

 Bagaikan motivator kelas dunia berorasi, Kureh tampil cepat menyela diskusi yang hampir jadi arena perkelahian itu.

 "Yang pasti, itu pasti hasil belajar."

 " Tapi, ayah, kakek, atau moyangnya tidak ada yang pandai memanjat," bantah salah seorang peserta .

 "Di dunia ini tak hanya satu guru," jawab Kureh enteng sambil menghirup kopinya yang sudah hampir dingin.

 "Tapi mengapa kau tak belajar seperti Sutan?" Seorang kawan mengolok Kureh yang peliharaannya itu hampir sering menganggur setelah munculnya Sutan.

 "Kelapa yang tinggi itu untuk kera, bukan untuk kita," jawabnya serius.

 ***

 Sore itu, mungkin sudah yang kesekian ratus kalinya Sutan Rangkayo berada di atas jelutung rahasia itu. Walaupun kemahirannya memanjat sudah tersohor, ritual rutin memanjat pohon raksasa itu tidak pernah ditinggalkannya.

 "Oh indahnya kampung Bayur," bisik Sutan ketika baru saja melepaskan lilitan sarungnya sambil memandang keliling.

 Dari persimpangan lima dahan jelutung itu, kampung Bayur memang  tampak menawan.  Ke arah timur, tampaklah sawah-sawah yang luas seperti tak berbatas.  Di sebelah persawahan itu  ada perkampungan. Di balik perkampungan itu ada lagi persawahan. Dari sana, angin meniup menggoyang-goyang jelutung.

 Ke arah barat, tampaklah pantai Bayur yang permai.  Di balik gelombang laut yang menggulung berburu menuju pantai itu, terlihat jelas pulau Pandan yang terletak di balik pulau Angsa Dua. Matahari seperti merebus air laut.

 Ke arah utara, tampaklah perkebungan ubi dan jagung.  Tidak jauh dari sana tegaklah sebuah tebing yang sisinya dipadati aur kuning.  Aur-aur itu berkilauan seperi emas memantulkan cahaya matahari sore.

 Di bawah tebing yang yang ditumbuhi berbagai macam pohon itu ada sebuah  kolam yang airnya sangat jernih dan melimpah. Sudah lebih dari seabad, kolam alamiah itu dijadikan tempat pemandian umum kampung  Bayur. Ke tempat  pemandian itu lah orang Bayur membasuh badan selepas lelah bekerja memperbaiki sampan, memperbaiki jala ikan, mengupas kelapa, atau sehabis mengadu ayam.

 Air gunung mengalir siang dan malam ke kolam itu melalui tujuh pancuran bambu yang menyembul dari tebing aur. Itulah sebabnya orang Bayur menamai kolam itu 'Kolam Pancuran Tujuh'. Kolam yang tak pernah kering walaupun di musim kemarau itu ramai dikunjungi gadis dan bujang setiap petang.  Setiap paginya, kaum ibu nelayan ke sana bergerombolan mencuci pakaian.

 Di sekeling kolam itu, orang sengaja memasang dinding dari anyaman bambu yang rapat. Siapapun yang mandi tidak terlihat dari luar.  Di samping dinding keliling itu, ada pula dinding pembatas  antara tempat mandi kaum laki-laki dan perempuan.  Walaupun semua yang mandi menggunakan kain basahan,  tak seorangpun makhluk yang berbeda kelamin itu bisa saling mengintip.

 Agar lebih kedap pandang, dinding-dinding bambu itu sengaja dipasang berlapis dua. Di celahnya diberi pula ijuk yang tebalnya hampir sejengkal.  Dinding kolam itu memang tidak kedap suara karena beratapkan langit, Tapi, dinding itu jelas kedap pandang dari sebelah menyebelah. Inilah karya peradaban hebat orang-orang Bayur berlandas adat dan syariat.

 Sore itu, di tengah-tengah keasyikan Sutan di atas jelutung, tanpa disadari Sutan, di sore itu, Bujang Kureh berjalan di bawah jelutung itu. Kureh menoleh ke atas setelah ia dikejutkan oleh sebuah ranting yang jatuh. 
Awalnya, Kureh mengira kalau di atas ada siamang . Tak disangkanya makhluk yang dikiranya binatang itu ternyata orang. Hampir saja seekor kodok bisa meloncat ke mulut Kureh yang tenganga karena herannya.

 "Sedang apa dia?" bisik Kureh sambil ia beringsut pelan, bersembunyi ke belakang sebatang mahoni besar.

 Jantungnya berdetak kencang dengan nafas yang terengah-engah seperti orang yang baru saja dikejar babi hutan. Lama juga ia bersembunyi di sana membuat berbagai analisa. Sambil berkali-kali memukul-mukul telunjukknya ke batang mahoni itu, ia menarik nafas dalam-dalam. Telah lama ia penasaran di mana Sutan menuntut ilmu hebat itu.

 Sore itu, bagaikan seorang agen CIA yang baru saja menemukan tempat persembunyian seorang teroris , Kureh berseru dalam hati, "Nah, ini dia."

 Ia pun diam-diam pergi dari sana. Baginya, Sutan sudah jadi tersangka. Ia padukan semua bakatnya dalam bidang intelijen dan jurnalistik.  Ia gunakan kemampuannya menautkan fakta yang satu dengan yang lain.

 Berhari-hari, setelah itu, kureh melakukan pengintaian.

 Di suatu pagi, ketika Sutan sedang sibuk di pantai Bayur, memenuhi pesanan memanjat kelapa, diam-diam Kureh pergi ke arah jelutung keramat itu. Ia nekat memanjat. Walaupun belum selihai Sutan, pemuda kurus yang jarang memanjat itu sampai juga di persimpangan dahan.
 Setelah duduk sambil mengendalikan nafasnya yang sudah sesak, matanya mengintai seluruh horison kampung Bayur.

 "Wow, pantaslah kalau Sutan ke sini tiap petang.," bisik Kureh sambil berdecak, takjub pada kecerdasan
Sutan.

 Dari pucuk jelutung, Kureh dapat melihat kolam pemandian Bayur seperti tak berdinding. Dinding artistik kolam yang tembus pandang kalau di bawah, tidak berfungsi sama sekali untuk tempat yang tinggi. Beberapa orang nenek terlihat melompat ke air seperti lumba-lumba. Walaupun semuanya pakai kain bahasahan, Kureh tetap terpesona dibuatnya.  Otak intelinjennya pun bekerja, menautkan dua fakta.

 "Pastilah si Sutan tengik itu mengintip gadis-gadis Bayur berenang setiap petang seperti duyung," bisik Kureh mantap.

 "Rupanya, ia ada kelainan," lanjutnya.

 Setelah Kureh membuka cerita itu dari warung ke warung, hampir-hampir  saja Sutan dilaporkan orang kampung kepada Datuk Dirajo Sati untuk dihukum pancung.

 Karena kearifan Haji Samsudin, guru mengaji di kampung Bayur, kepala Sutan hanya digundul dan ia diminta bertobat di tanah lapang. Pohon jelutung yang menjadi saksi pornografi pertama di dunia itu diputuskan untuk ditebang. Kayunya dihanyutkan ke sungai Bancah. Daun-daunnya dikeringkan kemudian dibakar.
Friday, April 27, 2012

Ojekway


Setelah membaca obituari dari Prof  Rudy Rubiandini  ( Sindo, 23/4/2012) tentang seniornya , almarhum Prof Widjajono Partowidagdo,  yang baru saja secara mengejutkan wafat di Gunung Tambora,  saya jadi tahu kalau ternyata bukan hanya Pak Dahlan Iskan dan saya saja yang  biasa naik ojek, he he he. Saya baru tahu kalau Pak Wit, panggilan akrab Prof Widjajono , ternyata biasa naik ojek juga. Seorang wakil menteri yang dikenal cerdas di kalangan koleganya, sesama guru besar ITB itu ternyata tidak hanya malu-malu berambut gondrong di tengah pejabat lain yang klimis, tapi juga tak malu-malu boncengan berkendaraan roda dua.  Terbukti sudah, kalau kami bertiga adalah pengguna ojek, bersama-sama dengan jutaan orang Indonesia lainnya.



Tapi, kalau mau dibanding-bandingkan benar, tentulah kebiasaan itu tak akan persis sama di antara kami bertiga.  Bagi mereka berdua,  naik ojek  bisa jadi lambang kesederhanaan  dan kebersahajaan,  sedangkan bagi saya naik ojek adalah lambang keterpaksaan. Dari segi seringnya mungkin juga tak sama.  Walaupun di antara kami bertiga belum saling memberi  tahu frekuensi  masing-masing, saya yakin  kalau saya mengungguli mereka berdua.  Bedanya lagi:    Saya selalu bayar. Pak Wit, kurang tahu saya. Tapi, Pak Dis (Dahlan Iskan) sekali nggak bayar, waktu dibonceng sehabis kuliah umum di ITB. Mahasiswa yang ngantar beliau itu sepertinya lupa menagih karena begitu gembiranya.  Perbedaan yang lain:  mereka berdua menjadi terkenal karena sering naik ojek. Sedangkan,  saya  biasa-biasa saja, tuh.


Ojek memang kendaraan yang sangat praktis. Rodanya cuma dua sehingga tak memakan ruas jalan.  Kita bisa bandingkan dengan Alphard yang memakan ruas jalan secara buas sedangkan penumpangnya sering-sering hanya satu. Pemakaian bensin ojek jelas hemat, sehingga tak dikhawatirkan akan menghabiskan cadangan BBM nasional yang  biaya produksinya sudah bikin ampun-ampun itu. Karena ligat geraknya, waktu tempuh di tengah macet jelas lebih pendek. Hal ini sangat diperlukan bagi orang-orang sibuk yang berpacu dengan waktu. Dan, masih banyak lagi yang lain.


Jadi, menurut saya, kalau Pak Dis, Pak Wit , dan saya merupakan pengguna ojek, apakah masih ada alasan untuk tidak menjadikan ojek sebagai kendaraan resmi nasional? Dua pejabat ditambah satu rakyat jelata sudah biasa pakai ojek. Tiga suara itu saja, rasanya sudah cukup untuk mengusung   ide agar kendaraan beroda dua ini resmi dinyatakan sebagai kendaraan nasional yang bermartabat. Pengakuannya, kalau perlu pakai SK Presiden.


Inilah momennya. Di saat krisis BBM, krisis kemacetan jalan, jadikan ojek sebagai kendaraan resmi nasional yang bergengsi dan membanggakan.  Kalau perlu bukan sebagai kendaraan alternatif, tapi kendaraan utama. Kita ramai-ramai naik ojek. Menteri, gubernur, bupati mari naik ojek.  Anggota DPR ayo naik ojek.


Selama ini, ojek atau sepeda motor dianggap kendaraan tidak terhormat.  Satpam  sebuah hotel berbintang  yang sebenarnya tidak mewah-mewah benar, di Jakarta,  pernah mencegah saya dan ojek memasuki gerbang utamanya.  Kalau mau masuk, mereka suruh kami lewat pintu belakang yang entah dimana.  Sorot matanya kepada kami pun seperti sorot burung hantu kepada dua ekor pipit. Terpaksalah, akhirnya, saya turun pas di bawah portal dan berjalan kaki ke lobi.


Makanya, ketika saya menonton berita  ojek  masuk ke istana Bogor, tempo hari, saya bertepuk tangan dalam hati. Bangga rasanya. Saya sangat berharap kalau satpam bermata burung hantu yang mencegah saya di depan hotel  yang tidak terlalu mewah itu menonton berita itu. Biar dia tahu kalau apa yang selama ini dipandang rendah adalah keliru. "Lihat, tuh, menteri saja naik ojek ke istana."


Kalau sudah semakin banyak orang naik ojek, kita bisa lihat nanti  begitu banyak keuntungan bagi bangsa ini bila ojek diberi tempat yang layak di tengah moda transportasi umum lainnya. Sesaknya jalan akan sedikit teratasi.  Terobosan yang dibuat Pak Dis, Pak Wit dan saya, termasuk perkara besar yang perlu diperhitungkan.


Tentu saja, agar ojek menjadi kendaraan umum yang semakin meluas, semakin diminati, aman, dan nyaman, berbagai peningkatan dan perbaikan tentu harus dibuat.  Sistem lalulintas sepeda motor yang sekarang ini semberawutan harus diakui. Asal mau, pembenahannya tentu tidak sulit. Perbaikan-perbaikan itu tak perlu yang rumit-rumit. Banyak hal-hal yang sederhana saja yang bisa dilakukan.


Misalnya, setiap tukang ojek diberi bantuan baju atau jaket seragam. Helm-nya dan sepatunya juga diseragamkan. Di samping memberi kesan rapi, seragam akan memudahkan konsumen mengenali mana yang tukang ojek dan mana yang bukan. Soalnya, saya pernah keliru. Seseorang yang berdiri sambil menyandar pada motornya yang sedang diparkir di depan kantor saya, saya pikir tukang ojek. Eh tahu-tahunya bukan. Dia ternyata seorang pemuda yang sedang menunggu kekasihnya keluar kantor itu. Dengan adanya seragam, hal itu tentu tak perlu terjadi lagi.


Kalau perlu, warna plat nomor sepeda motor yang dipakai ojek dibuat kuning, seperti kendaraan umum lainnya. Jadi, kalau nanti pemerintah akan menyediakan  bensin premium hanya untuk kendaraan umum berplat kuning–dan ini memang saran saya untuk menghemat BBM bersubsidi, maka motor roda dua yang telah berplat kuning bisa tercakup di dalamnya.


Itu di antara perbaikan yang bisa di buat di samping perbaikan-perbaikan lainnya. Kalau kita gali, pasti masih banyak ide-ide lainnya yang bisa muncul yang intinya menjadikan ojek aman dan nyaman.


Kalau perhatian pemerintah sudah cukup memadai bagi ojek-ojek ini, tidak tertutup kemungkinan bisnis ojek akan semakin bekembang dengan berbagai  kreasi. Sekarang saja, sudah ada yang menggarap ojek online. Hebat, kan? Mungkin, suatu saat akan lebih banyak lagi ojek online semacam ini yang bisa melayani panggilan melalui telepon atau sms semacam itu.


Mungkin, suatu saat akan lahir pula ojek yang khusus melayani penumpang wanita, yang gadis maupun yang hamil. Suspensinya dirancang khusus. Pengemudinya juga wanita.


Kalau sekarang pemerintah sedang serius-seriusnya menggarap mobil listrik nasional, seperti yang sering dilontarkan Pak Dis, saya kira memulainya  dengan gagasan ojek listrik nasional akan lebih rasional. Sepeda motor pasti tidak memerlukan energi listrik yang lebih besar dibandingkan mobil. Baterainya pasti lebih kecil dan daya simpannya lebih lama. Lebih-lebih lagi kalau untuk men-charge-nya hanya diperlukan cahaya matahari. Ojeknya tinggal berjemur sambil menunggu penumpang.


Kalau pelayanan ojek ini sudah demikian bagus dan penggunanya semakin meluas, pemerintah mungkin perlu mempertimbangkan untuk membuat jalur khusus ojek yang diberi batas  seperti jalur busway. Kita sebut saja jalur ini dengan ojekway, misalnya.


Dan, tidak tertutup kemungkinan perlu pula dipertimbangkan agar ojek bisa melewati  tol.Saya tidak habis mengerti mengapa di Indonesia ojek tidak boleh masuk tol, sementara di beberapa negara boleh.

Sunday, April 15, 2012

Sunday, April 15, 2012

Pemanjat Kelapa


Jika kera bisa cemburu, maka yang paling pantas mereka cemburui adalah Sutan Rangkayo Mudo. Gara-gara ia muncul tiba-tiba sebagai tukang panjat kelapa, sebagian pekerjaan yang biasa dikerjakan kera berpindah-tangan kepadanya. Sejak itu, jam panjat kera di kampung Bayur jadi berkurang.

Keterampilan Sutan memanjat memang luar biasa.  Kalau memanjat, ia tak ubahnya seperti orang yang sedang merangkak di atas batang kelapa yang rebah saja, padalah batang yang dipanjatnya itu tegak perkasa beratus meter menjulang ke udara. Perut atau lututnya tak pernah sekali pun menyentuh batang yang dipanjatnya itu. Hanya telapak tangan dan telapak kakinya saja yang menempel mantap tanpa pernah terpeleset. Dengan sangat cekatan, ia memindah-mindahkan posisi tangan dan kaki bergantian sambil bergerak ke atas.

Bila baru saja ia diberi aba-aba untuk mulai memanjat, dalam waktu satu menit, Sutan sudah sampai di ketinggian 60 meter. Dalam dua menit ia sudah dua kali lebih tinggi. Artinya, kecepatan panjatnya adalah 1m/detik. Dengan kecepatan panjat seperti itu, ia pun kebanjiran order dari penduduk kampung Bayur yang rata-rata hidup dari berjualan kelapa di samping berjualan ikan laut.

"Aku memadukan ilmu mekanika dan metafisika," jawab Sutan dengan pongah ketika seorang anak muda mencoba menggali rahasia kehebatan pemuda yang juga berprofesi sebagai rentenir itu.

"Kalau memutar uang, " lanjutnya, "aku berguru pada ibuku. "

"Tapi, kalau panjat-memanjat, aku berguru pada makhluk di alam rohani yang tak terlihat oleh mata, hua ha ha," kata Sutan dengan sombong, sambil memukul-mukul pundak kawannya yang bertanya itu.

Betapapun kecepatan memanjat Sutan belum sepenuhnya mengalahkan kera, tapi kera-kera di kampung Bayur itu hanya pandai memilah antara kelapa tua dan muda. Sedangkan, Sutan Rangkayo Mudo mempunyai kelebihan lain.

Untuk kelapa muda, ia bisa membedakan mana kelapa yang sesuai untuk diminum bayi, diminum anak-anak, dan diminum perempuan hamil. Untuk kelapa tua, ia bisa memilih mana kelapa yang sesuai untuk santan rendang , santan gulai ikan, santan lemang, dan santan serbaguna. Lebih-lebih lagi, ia pun bisa menjadi konsultan untuk memilihkan pelepah yang layak dipakai untuk rangka atap rumah atau kandang anjing.

"Sabar ya, George," kata Bujang Kureh, suatu hari, berbisik ke telinga kera miliknya yang melongo, melihat atraksi Sutan di atas batang kelapa yang tinggi menjulang. Kera betina milik Kureh itu kini sudah jarang dapat pesanan memanjat lagi.

Bila banyak gadis-gadis yang menontonnya memanjat, Sutan pun tak lupa memainkan akrobat berpindah dari pelepah yang satu ke pelepah yang lain seperti siamang. Untuk akrobat ini, ia tak memungut tambahan bayaran.

Bagi gadis-gadis kampung Bayur pengagum ilmunya itu, konstruksi wajah Sutan memang terbilang lucu. Wajah Sutan tidak jelek , tapi jelas tidak tampan. Kalau satu garis ditarik dari pertengahan keningnya ke pertengahan dagunya, titik tengah hidungnya tidak persis berada di garis itu seperti hidung kebanyakan orang. Hidung Sutan agak bergeser sedikit ke samping kanannya. Lubang hidungnya besar sebelah. Bukan itu saja, keunikan wajahnya ditunjang oleh rahangnya yang agak mendongak, sehingga kalau ia marah wajahnya terlihat seperti jajaran genjang. Walaupun demikian, ia termasuk pemuda yang percaya diri.

Wajah unik itu ditunjang oleh lehernya yang panjang dan kurus. Turun naik jakunnya terlihat jelas kalau ia sedang menelan. Serasi dengan lehernya itu, badannya pun panjang. Ia tampak lebih tinggi bila berada di kerumunan orang-orang. Walaupun ia kikir dengan uang, ia tak kikir bila ditugasi urusan menggantungkan lampu petromak ke tempat yang tinggi di setiap ada kenduri khatam Quran. Karena tubuhnya yang tinggi itulah, jabatan sebagai pengurus lampu tak lepas dari dirinya di setiap kepanitiaan.

Badannya memang kerempeng sehingga tujuh pasang tulang rusuknya tampak berbaris kalau ia tak berbaju. Tapi, otot pangkal lengannya berisi, gempal. Itu mungkin karena ia memang seorang pemanjat bayaran. Otot itulah yang selalu dipamerkannya bila ada yang menantangnya berkelahi.

Sebenarnya, Sutan sudah lama menaruh hati kepada Rubayah. Waktu Rubayah masih sekolah di ibtidaiyah. Ia selalu membuntuti gadis kecil itu ketika berjalan pulang dari madrasah.

"Saya hanya menjaganya dari terkaman babi hutan," kata Sutan berkilah ketika suatu kali ada kawan yang mengolok-olok kebiasannya itu.

Rubayah kecil yang tak faham apa-apa tentang asmara itu hanya bisa ternganga ketika suatu hari pemuda yang lebih tua 20 tahun itu nekad melamarnya jadi istri.

Ketika Rubayah sudah di usia kawin, Sutan melamarnya untuk kedua kalinya. Ia datang membawa penganan kesukaan orang tua Rubayah. Berikat-ikat rambutan, duku, pisang, dan petai tak lupa dibawanya sebagai mahar lamaran. Karena lakunya tidak menaruh simpati, ia pun pulang dengan tangan hampa.

Yang paling mengejutkan ialah ketika Sutan nekad datang untuk ketiga kalinya ketika Rubayah baru sepekan melahirkan Malin Kundang. Ia tahu kalau suami Rubayah itu tak akan pernah pulang lagi sejak perahunya ditemukan orang karam di tengah laut. Ia tahu kalau Rubayah kini tinggal berdua dengan anak satu-satunya yang masih bayi dan yatim itu.

"Percayalah, Rubayah. Anakmu ini memerlukan ayah pengganti untuk ia bersandar ketika susah dan tempat bergurau ketika senang. Akulah orang yang tepat untuk itu. Kita sama-sama memerlukan. Engkau janda, aku pun duda," katanya meyakinkan Rubayah.

Rubayah hanya diam. Sambil terus memasangkan baju untuk anak kecilnya itu, Rubayah melemparkan senyum hambar. Rubayah sudah mendapat kabar bahwa Sutan Rangkayo Mudo itu sudah beristri tiga. Dan, ketiga-tiga istrinya terlantar begitu saja. Tidak diceraikan dan juga tidak dinafkahinya. Sekarang, seperti manusia tanpa beban, ia mendatangi Rubayah, memasang perangkap bagi calon mangsanya yang keempat.
Firasat Rubayah berkata, "Engkau bajingan tengik. Engkau musang berbulu ayam."

"Maaf ya, Tuan. Biarlah saya membesarkan anak ini sendirian." jawab Rubayah sopan sambil menebar senyum di wajahnya yang bersih. Tapi dalam hati ia berkata," Aku tak mau anakku punya ayah seorang pembohong, seorang laknat."

"Biarlah dengan tanganku sendiri, kutunaikan amanah ayah Malin hingga ia menjadi orang, " lanjut Rubayah dengan suara sopan.

Berpuluh hujat dan depat dilemparkan Sutan Rangkayo Mudo. Setiap itu pula, Rubayah menepis dengan sopan, dengan argumentasi yang tersusun secara logika. Berpetak-petak sawah dan kebun serta berbungkah emas, perak, dan tembaga simpanannya, yang entah ada entah tidak, ikut disebut-sebut Sutan untuk dipamerkan kepada Rubayah. Tapi, janda muda itu tetap tak tergoda. Setiap hujah Sutan dijawab oleh Rubayah dengan cerdik cendikia, sehebat jawaban Sokrates di pengadilan seperti yang ditulis Plato di dalam Apologia.

 Akhirnya, Sutan Rangkayo terpaksa pulang. Tak diminumnya secangkir teh yang terhidang dari tadi. Ia keluar dari rumah Rubayah sambil sedikit membungkukkan badannya yang panjang agak tidak terantuk pintu depan, kemudian ia menuruni tangga rumah Rubayah sambil menenteng kembali bawaannya.

 "Ia akan tahu pembalasanku, " geramnya dengan hati yang mangkal.