Breaking

Tuesday, October 28, 2008

Tuesday, October 28, 2008

Teknik Penciptaan Modus


Ada tiga modus dalam suatu wacana yaitu modus deskripsi, narasi, dan eksposisi. Deskripsi artinya melukiskan suatu objek dengan kata-kata. Narasi artinya menceritakan suatu kejadian dengan kata-kata. Sedangkan eksposisi artinya menerangkan pengertian sesuatu, baik objek maupun konsep dengan kata-kata. Deskrpisi, narasi, dan eksposisi dipergunakan silih berganti dalam satu wacana.
DESKRIPSI
Seorang deskriptor yang piawai mampu membawa pembacanya bertualang menembus ruang dan waktu. Dia mampu membawa pembaca memasuki gua-gua persembunyian para gerilyawan, memasuki pasar-pasar becek dan bau, memasuki mal mewah. Deskriptor mampu membawa pembaca bertualang ke kota-kota manapun secara menakjubkan, baik kota modern, kota kuno, dan bahkan kota fantasi di ruang angkasa. Mengapa demikian?
Deskripsi adalah bagian dari tulisan yang memanfaatkan kosa kata yang dapat mengaktifkan indra pembaca. Deskripsi menggunakan kata-kata yang dapat membawa membaca melihat, mendengar, mencium, mengecap, dan meraba.
Ketika seorang deskriptor menuliskan kata-kata indah, cantik, buruk, belang, silau, terang, dll pembaca seolah-olah akan melihatnya karena kata-kata itu dapat mengaktifkan syaraf penglihatan pembaca. Kalau dia menggunakan kata-kata seperti busuk, sumpek, anyir, dll, pembaca akan menutup hidungnya. Syaraf penciumannya langsung bekerja. Kata-kata seperti renyah, kelat, sedap akan mengaktifkan kelencar air liur. Demikianlah kata-kata tertentu dapat mengaktifkan indra-indra manusia.
Jika Anda mendeskripsikan sesuatu, bayangkanlah bahwa Anda sedang membawa pembaca Anda untuk melihat, mendengar, mencium, mengecap dan meraba apa yang sedang Anda deskripsikan itu. Bahkan deskripsi yang baik mampu membawa pembaca memiliki efek-efek psikologis seperti benci, marah, jijik, senang, bernafsu dll. Inilah yang diistilah oleh para ahli dengan show not tell.
Maksudnya, jika Anda ingin pembaca Anda merasa benci dengan seseorang yang jahat, Anda jangan mengatakan bahwa dia jahat. Deskripsikanlah orang itu. Aktifkan penglihatan pembaca agar ia melihat langsung sosoknya, tatapan matanya, giginya, dan pakaiannnya. Perlihatkan caranya memukul orang, menganiaya orang. Gunakan kata-kata indria. Dengan demikian pembaca akan menyimpulkan bahwa orang itu benar-benar jahat. Memang itulah yang ingin Anda sampaikan bahwa dia jahat, tapi dengan cara deskriptif yang teliti, Anda hanya menggiringnya menyimpulkan hal yang sama dengan Anda. Cerdas bukan?
Deskripsi yang cerdas dapat menstimulasi emosi. Tulisan yang dilengkapi dengan deskripsi semacam ini dapat menghidupkan tulisan sehingga enak dibaca. Walaupun demikian penulis non fiksi harus hati-hati dalam menulis deskripsi untuk stimulasi emosi ini. Bisa-bisa tokoh yang Anda deskripsikan itu membantah tulisan Anda dan memperkarakan Anda ke polisi.
Karena takut menjadi fitnah itulah, penulis non fiksi selalu memasukkan tokoh aku dalam narasinya. Semua stimulasi emosi dilimpahkan kepada tokoh aku sehingga tokoh-tokoh lain cukup dijelaskan apa adanya sesuai data yang tersedia. Tulisan feature (jurnalisme sastrawi) menggunakan trik ini.
Salah satu sebab manusia menciptakan cerita fiksi adalah agar penulis mampu membuat deskripsi yang dalam terhadap suatu tokoh, waktu, tempat atau suatu kejadian agar memberikan stimulasi yang sedalam-dalamnya kepada pembaca. Hal ini tidak masalah karena tokohnya fiktif. Bahkan kadang-kadang tempat dan kejadiannya semuanya fiktif.
Deskripsi fiktif hanya memberikan pesan-pesan moral saja kepada pembacanya di samping keindahan seni berbahasa. Semua data, nama, tempat, dan bahkan kejadian yang dideskripsikan tidak dapat dijadikan pegangan yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Di sinilah kelebihan sekaligus kekurangan fiksi di bandingkan dengan non fiksi.
NARASI
Bernarasi artinya membawa pembaca Anda memasuki perjalananan dalam dimensi waktu. Anda membawanya berada dalam adegan-adegan dari waktu ke waktu. Berbeda dengan deskripsi yang menjelaskan bentuk fisik suatu objek seperti warna, bau, bentuk, rasa, dll, narasi menjelaskan kejadian.
Karena narasi adalah penjelasan tentang kejadian, selalu di dalamnya ada plot dan adegan. Plot adalah garis waktu sedangkan adegan adalah kejadian yang terjadi dalam satu waktu yang bersambung. Perhatikan narasi berikut.
Saya sedang makan ketika saya mendengar suara orang berjalan di depan pintu. Saya berhenti mengunyah dan menoleh ke pintu. Tak lama kemudian saya mendengar ketukan. Saya berkata dalam hati, "siapa yah? Malam-malam begini bertamu." Saya lalu berdiri dan bergerak pelan ke pintu dengan penuh penasaran. Padahal di mulut saya masih ada makanan yang belum selesai saya kunyah.
Tulisan di atas adalah narasi. Plotnya ditunjukkan oleh kata-kata ketika, tak lama kemudian,dan lalu. Kejadian diungkapkan dengan kata-kata seperti sedang makan, mendengar, berhenti mengunyah, mendengar ketukan pintu, dll. Rangkaian kejadian dalam waktu yang besambung tersebut dipandang sebagai satu adegan. Bila kejadian itu sudah berpindah ke titik waktu yang berjauhan, kejadian yang baru di pandang satu adegan lagi. Jadi, satu adegan bukan satu kejadian tapi sekumpulan kejadian dalam waktu yang sangat bersambung tanpa terputus.
Dalam prakteknya, deskripsi dan narasi sering dipakai bersamaan. Ketika seorang penulis mengisahkan suatu kejadian di suatu ruang tertentu, penulis sekaligus mendeskripsikan ruangan itu agar pembaca bukan saja mengikuti kejadiannya tapi juga melihat gambaran suasana ruangan tempat kejadian itu terjadi. Bahkan dengan ditambahkan deskripsi tentang tokoh-tokohnya, pembaca akan merasakan bahwa ia ada di tempat kejadian itu.
Ciri khas utama narasi adalah kejadian. Namun, setiap kejadian ada tokoh, tempat, waktu, adegan, dan plot. Tokoh adalah orang yang terlibat dalam kejadian itu, baik sebagai pelaku, penderita ataupun penyerta. Tokoh bisa orang pertama (seolah-olah penulis cerita) yang menggunakan kata ganti aku atau saya. Tokoh bisa orang ketiga (penulis seolah-olah hanya saksi) yang menggunakan kata ganti dia atau ia. Setiap kejadian ada tempat, dan setiap kejadian ada saatnya. Beberapa kejadian dapat diceritakan dalam waktu yang tidak terputus. Kumpulan kejadian tersebut walaupun dalam bentangan waktu yang panajang disebut adegan. Waktu terjadinya kejadian harus berada dalam satu garis waktu yang dinamakan plot. Plot tidak harus maju. Kadang-kadang plot bisa juga mundur, atau bahkan maju mundur.
Karena adanya tokoh di dalam narasi, manmbahkan kutipan langsung percakapan tokoh-tokoh berupa dialog-dialog membuat pembaca mendengarkan sendiri apa yang mereka katakan. Cara ini membuat narasi lebih hidup. Dengan membaca dialog-dialog itu pembaca akan tahu dengan sendirinya karakteristik tokoh yang tidak diceritakan oleh penulis. Berikut ini contoh narasi yang dilengkapi dengan dialog.
"saya benci dengan orang yang suka jam karet" kata Ani dalam hati. Sudah berjam-jam dia duduk menunggu, masih belum ada tanda-tanda suaminya datang. "Brengsek" katanya."Aku tak mau ke sini lagi besok-besok" sambil menghempaskan pantatnya ke tempat duduk di ruang tunggu terminal itu.
Narasi bisa fiktif dan bisa fakta tergantung Anda. Bila Anda membuat narasi fiktif, jangan Anda gunakan nama tokoh yang ril dalam cerita itu kalau Anda tidak mau diperkarakan ke pengadilan. Gunakanlah tokoh fiktif untuk narasi yang fiktif. Namun, jika Anda ingin menuliskan narasi yang benar-benar terjadi, pastikan semua dialog, data, waktu dan kejadian akurat dan dapat dibuktikan.
EKSPOSISI
Bila Anda menyebutkan suatu konsep atau istilah, sebaiknya Anda tidak boleh melewatkannya begitu saja tanpa memberi penjelasan apa yang Anda maksud dengan konsep itu. Anda perlu menejelaskan definisinya, baik dengan menjabarkan contohnya, menyebutkan kelompoknya, menyebutkan pengingkarannya. Cara seperti ini disebut eksposisi.
Dengan eksposisi, penulis memberikan kepahaman. Berbeda dengan deskripsi yang berorientasi untuk menghidupkan indra, eksposisi bertujuan menghidupkan syaraf pemahaman.
Anda mungkin suatu ketika mengatakan bahwa tulisan yang baik itu adalah tulisan yang menghinosis pembaca. Dalam kalimat itu ada kata menghipnosis. Anda tentu tak ingin pembaca Anda salah memahami apa yang Anda maksud dengan menghipnosis itu. Untuk itu kemudian Anda menejelaskan bahwa menghipsnosis berarti memberikan kesan yang dalam bagi pembaca dan memotivasinya untuk berbuat sesuatu. Anda dapat menambahkan bahwa menghipnosis bukan menyihir seperti yang dilakukan tukang santet. Andapun mungkin menambahkan lagi bahwa tulisan yang menghipnosis adalah tulisan yang menerapkan teknik-teknik retorika di dalamnya. Anda di sini berarti telah membuat sebuah eksposisi terhadap kata atau istilah hipnosis.
Mendefinisikan suatu istilah atau konsep termasuk ke dalam membuat eksposisi. Anda juga membuat eksposisi bila anda menjelaskannya dengan memberikan contoh, ilustrasi, pembanding, bukti, alasan atau Anda membuat klasifikasi. Pokoknya, eksposi membuat pembaca Anda terangguk-angguk ketika membaca dan dalam hatinya berkata, "ya…ya… ya, saya faham sekarang." atau "o… itu toh maksudnya."
Bersama-sama dengan deskripsi dan narasi, penggunaan eksposisi membuat tulisan Anda benar-benar hidup dan berbobot. Anda dapat menyelipkan eksposisi di tengah narasi. Anda dapat memasukkan eksposisi yang diselingi deskripsi. Ketiga modus tersebut akan bekerja bersama-sama. Narasi akan membawa membaca berada dalam dimensi waktu. Deskripsi akan membawa pembaca mengindera segala yang ada dengan keterlibatan emosi. Eksposisi akan membawa pembaca memahami apa yang terlihat maupun yang terjadi itu secara nalar. Penulis yang piawai tidak kan pernah melewatkan kombinasi ini. Eureka!
Sebelum kita beralih ke topik lain, saya harus menyampaikan kepada Anda bahwa ada sebagian ahli memasukkan persuasi dan argumentasi ke dalam modus wacana. Sebenarnya persuasi dan argumentasi bukanlah modus melainkan sifat suatu wacana yang dipengaruhi oleh maksud dan tujuan penulisan. Wacana yang bersifat persuasif ditujukan untuk mempengaruhi pembaca agar ia mau melakukan sesuatu yang diharapkan penulis. Wacana yang bersifat argumentatif ditujukan untuk mendebat suatu keyakinan agar pembaca meninggalkannya dan bersedia menerima keyakinan yang baru. Wacana yang bersifat informatif ditujukan untuk memberikan kepahaman dan pengertian kepada pembaca. Wacana yang bersifat rekreatif ditujukan untuk menghibur pembaca.
Walaupun semua sifat itu dapat dipisah-pisahkan, namun kenyataannya tulisan yang hebat mengandung kombinasi sifat-sifat itu. Satu wacana besifat menghibur karena bahasa yang digunakan adalah bahasa yang menyejukkan, sederhana, dan ringan. Tapi jangan lupa, secara implisit, penulis membawa pembaca kepada keyakinan tertentu dan membawa pembaca melakukan sesuatu, dan tak ketinggalan pula menyelipkan beberapa informasi yang berguna.
Untuk keempat sifat wacana tadi, semua modus yang sudah kita bahas di atas dapat dipakai. Kita dapat memasukkan deskripsi, narasi dan eksposisi ke dalam wacana persuasif. Demikian juga kita dapat memasukkan ketiga modus ke dalam wacana argumentatif, informatif dan rekreatif.
Tuesday, October 28, 2008

Teknik Diksi


Diksi akan efektif jika kita selalu mengiringi setiap pemilihan kata dengan dua pertanyaan, yaitu (1) apakah kata yang telah dipilih tersebut telah jelas? , (2) apakah kata tersebut telah sesuai?, dan (3) apakah ia menarik? Inilah tiga kata kunci sebagai kriteria memilih kata: jelas, sesuai, dan menarik. Jelas di sini artinya sejauh mana kata tersebut sanggup menimbulkan gagasan yang sama pada imajinasi pembaca seperti yang dipikirkan penulis. Sesuai artinya sejauh mana kata tersebut dapat diterima oleh pembaca dengan situasi atau suasana hatinya. Menarik, sejauh mana kata itu mampu menggerakkan pembaca secara emosional menyentuh seleranya.
Teknik diksi telah berumur ribuan tahun dan terus berkembang sampai hari ini agar kita dapat memilih kata-kata yang memiliki efek dinamis dari sekian banyak kosa kata untuk dipakai dalam tulisan.
Bila kita sudah menemukan satu kata, sebenarnya telah berbaris berpuluh-puluh alternatif di belakangnya untuk mengungkapkan gagasan yang sama. Yang menjadi masalah ialah bahwa kata-kata yang banyak itu tidak semerta-merta bermuculan ketika kita memerlukannya. Kata-kata itu bersembunyi, malu untuk keluar. Di sinilah perlunya penguasaan teknik diksi itu.
Langkah pertama dalam teknik diksi adalah mengekplorasi semua makna yang terkandung dalam satu kata yang kita pilih, baik makna leksikal maupun gramatikal, baik makna denotasi maupun konotasi, baik yang baru maupun yang sudah klise. Untuk keperluan ini, tidak ada sarana yang paling tepat selain kamus yang punya otoritas. Kamus yang punya otoritas dalam Bahasa Indonesia adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Kita sudah membahas pada artikel yang lalu istilah polisemi, yaitu kata yang memiliki banyak makna. Kita juga sudah bicarakan panjang lebar istilah homonimi, yaitu kata-kata yang mirip ejaannya tapi merupakan kata yang sama sekali berbeda. Dengan mengekplorasi kamus tersebut, kita akan mengatahui semua makna yang terkandung, baik polisemi maupun homonimi. Semua makna kata polisemi dalam KBBI ditempatkan dalam satu lema yang sama, tapi kata yang homonimi ditempatkan pada lema yang berbeda.
Hati-hati menggunakan kata beruang karena dapat berarti mempunyai uang, mempunyai ruang, atau binatang kutub. Kata buku bisa berarti kitab dan bisa berarti batas antara dua ruas. Demikian juga kata yang ejaannya mirip walaupun tidak persis sama, jangan sampai salah pakai seperti preposisi dan proposisi, bahwa dan bawah, Karton dan kartun.
Dengan memahami semua makna yang memungkinkan tersebut, kita akan dapat memutuskan untuk terus menggunakan kata yang sudah kita pilih atau akan menggantinya dengan kata lain yang lebih tepat yaitu jelas, sesuai, dan menarik. Untuk tulisan ilmiah, misalnya, kita akan menghindari kata-kata yang mengandung makna konotatif. Sebaliknya, tulisan fiksi, kita cendrung memilih kata tersebut untuk melukiskan emosi dan melahirkan imajinasi. Untuk tulisan yang ditujukan kepada pembaca umum, kita akan menghindari jargon ilmiah dan menggantinya dengan kata yang bersinggungan langsung dengan pengetahuan dan pengalaman calon pembaca.
Dari hasil ekplorasi makna, kitapun akan tahu makna yang sudah mengalami perubahan dari masa ke masa. Kata selalu mempunyai sejarahnya sehingga maknanya bisa berubah dari waktu ke waktu, baik menyempit, meluas, atau samasekali punah atau beralih ke makna lain. Suatu makna yang populer di suatu masa, pada masa yang lain telah menjadi klise. Kata seperti rembulan, mentari, bagaikan lebah beriring, seindah bintang kejora sudah merupakan kata-kata klise yang tidak sedap lagi dibaca. Adapula kata yang sudah sangat kuno, namun kalau diungkapkan kembali agar terjadi penyegaran makna.
Setelah ekplorasi makna suatu kata, baik yang polisemi maupun yang homonimi, langkah berikutnya adalah memeriksa kata-kata lain yang berkerabat dengan kata yang kita pilih; sinonim, antonim, hiponim dan derivatifnya. Setiap kata tersebut selalu berpeluang untuk digunakan untuk menggantikan kata yang sudah dipilih.
Sinonim adalah kata-kata lain yang serupa atau mendekati makna suatu kata. Kata cantik bersinonim dengan kata ayu, jelita, manis, jelita, dll. Kata itu berantonimkan kata-kata buruk, jelek, dll.
Kata cantik berhiponim dengan indah, paras muka, dll. Kata cantik berderivatif dengan kecantikan, tercantik, dll. Cantik pun berhubungan dengan kerabat dengan berhias, bersolek, make-up, kosmetik, dll.
Anda suatu ketika telah memilih kata pembantu. Dengan ekplorasi kata yang berkerabat dengannya, Anda akan menemukan kata pelayan, babu, jongos, hamba, sahaya, abdi, membantu, bantuan, perbantuan, dll. Anda dapat memilih salah satu yang memberikan efek khusus pada gagasan yang akan disampaikan.
Untuk keperluan ini semua, kita memerlukan satu tesaurus di tangan. Tesaurus yang baik tentulah tesaurus yang mendaftarkan semua kata, sebanyak-banyaknya yang berkerabat dengan satu kata. Sayang sekali tesaurus yang seperti itu belum ada. Sekarang sudah ada Tesaurus Bahasa Indonesia. Walaupun tesaurus yang tersedia sekarang ini masih belum menuliskan kata-kata secara lengkap, namun sudah cukup memadai untuk sekedar membantu kita menemukan kata-kata yang berkerabat dengan kata-kata yang kita pilih.
Batapapun di tangan Anda sudah ada kamus dan tesaurus, tanpa pertanyaan yang terus menerus diajukan tentang kejelasan, kesesuaian, dan kemenarikan suatu kata, pemilihan kata tetap tidak efektif. Pertanyaanpertanyaan itulah yang akan menggiring Anda memilih satu yang terbaik.
JELAS
Kata yang dipilih harus jelas bagi pembaca. Kejelasan akan memastikan ketepatan imajinasai pada pembaca dengan penulis. Bila tidak jelas, pembaca akan membayangkan suatu yang lain yang berbeda dengan yang dimaksud oleh penulis. Untuk mencapai kejelasan tersebut, pedoman berikut ini dapat dipergunakan.
Kata yang konkrit lebih jelas dibandingkan dengan yang abstrak. Jika kita menemukan dua kata, yang satu mempunyai makna yang konkrit dan dan satu lagi abstrak, maka gunakanlah yang konkrit. Kata yang konkrit menghasilkan imajinasi yang lebih tepat daripada yang abstrak. Kalau tidak ditemukan padanan kata yang konkrit, kita dapat menambahkan suatu deskripsi panjang lebar atas kata yang abstrak tadi sehingga lebih konkrit maknanya.
Ada kata yang dipakai luas dan umum dan ada kata yang dipakai dalam kelompok-kelompok khusus tertentu. Hindari kata-kata yang hanya dikenali di kelompok khusus untuk pembaca umum. Kata-kata yang digunakan di dunia akademis, mungkin tidak dikenali oleh pelanggan majalah wanita. Kata khusus tepat dipakai jika tulisan kita memang ditujukan pembaca khusus. Contohnya kata percobaan lebih bersifat umum daripada eksperimen. Tapi, di kelompok tertentu, kata eksperimen lebih tepat dari percobaan.
Contoh lain, kata herder lebih spesifik daripada kata anjing. Kata anjing lebih spesifik daripada binatang. Penggunaan kata herder mempunyai efek yang lebih jelas dibandingkan dengan penggunaan kata binatang, misalnya. Namun tetap berhati-hati karena karena kata yang sangat spesifik yang hanya dikenal di lingkungan tertentu mungkin tidak dikenal oleh pembaca taget. Misalnya, seorang penulis yang menyebutkan jenis spesies virus tertentu, seperti HN-55. Kata itu termasuk kata yang sangat sepesifik, tetapi mungkin tidak dikenali oleh pembaca tertentu kecuali penulis menambahkan penjelasan tambahan.
Pembaca akan memberikan respons penginderaan ketika membaca kata-kata yang bersentuhan dengan penginderaan. Kata jenis ini disebut kata indria. Penggunaan kata-kata jenis ini akan memberikan efek psikologis yang tajam. Kata-kata ini memberikan imajinasi yang sangat dalam. Gunakan kata indria tersebut sedapat mungkin untuk mendeskripsikan sesuatu. Kata-kata indria memiliki daya imajinasi yang sangat kuat yang mudah ditangkap oleh otak pengindraan pembaca.
SESUAI
Jika kita melihat konteks kata secara situasi dan kondisi pembaca, ada kata yang sesuai dan yang tidak sesuai walaupun makna leksikal kata itu tepat. Kata aku dan saya sama makna leksikalnya. Tapi, kata aku kurang sesuai untuk tulisan yang bersifat formal. Kata buang air kecil lebih sesuai untuk situasi tertentu dibandingkan dengan kata kencing. Jika Anda mengatakan sekelompok orang dengan kata bodoh dan terbelakang mereka mungkin akan marah. Tapi bila Anda tulis kurang memahami dan belum berkemajuan, mereka akan senyum-senyum saja.
Ada beberapa tips untuk mendapatkan kata yang sesuai dalam teknik diksi. Pertama, kenali benar target pembaca anda. Apakah mereka masyakat umum ataukah mereka kelompok tertentu, seperti kelompok ilmuwan, wartawan, pebisnis dll. Setiap kelompok memiliki kecendrungan penggunaan kata-kata tertentu dan ketabuan kepada kata-kata tertentu. Lebih parah lagi, satu kata yang sama dapat memiliki makna yang berdeda di kelompok yang berbeda.
Kedua, kenali benar jenis dan tulisan anda. Jika tulisan anda merupakan tulisan serius, ilmiah dan bersifat akademis, tentu anda tidak akan menggunakan kata-kata slang atau istilah percakapan lainnya. Sebaliknya bila tulisan anda bersifat populer dan menghibur, anda sebaiknya tidak menggunakan jargon-jargon ilmiah. Bila tulisan anda bertujuan untuk mengintimidasi emosi pembaca, kata-kata yang lebih sesuai tentulah kata-kata yang penuh emosional dan mempunyai efek indria.
MENARIK
Kata yang menarik adalah kata yang memberikan efek psikologis pada pembaca. Salah satu kata yang menarik adalah kata-kata yang singkat. Kalau ada dua kata yang memiliki makna yang sama, pembaca lebih senang dengan yang lebih singkat. Yang termasuk kata yang menarik adalah kata yang menunjukkan tindakan. Kata-kata jenis ini memberi tenaga. Pembaca lebih senang dengan dia melukai tangan dari pada dia membuat luka di tangan. Kata yang menarik adalah kata yang berona, berirama, atau kata-kata yang membuat seseorang menggerakkan aktif indranya.
Orang akan lebih tertarik membaca tulisan yang mengandung kata-kata yang menyentuh langsung pengalaman dan pengetahuannya dibandingkan dengan kata-kata yang tidak pernah dialaminya walaupun ia tahu makna kata itu.
Orang juga menyukai kata-kata yang penuh perumpamaan, metafora, dan personafikasi. Tulisan yang enak dibaca biasanya mengandung banyak unsur-unsur tersebut. Untuk tulisan yang non fiksi sekalipun akan enak dibaca bila dibumbui kata-kata yang penuh dengan perumpamaan, metafora, dan personafikasi asalkan tidak berlebih-lebihan.
Jadi, kalau kata yang jelas akan mantap memasuki nalar pembaca, maka kata-kata yang sesuai akan memenuhi cita-rasa pembaca sedangkan kata yang menarik akan memasuki ruang seleranya.
Dua buku yang tidak boleh lepas selama anda menulis adalah kamus dan tesaurus. Dengan kamus, Anda menemukan makna. Dengan tesaurus anda menemukan padanan kata yang berkerabat. Semakin sering Anda menggunakan satu kata dalam tulisan, semakin aktif kata tersebut dalam kosa kata Anda. Namun untuk memperkaya kosa kata, Anda harus membiasakan diri untuk terus membaca karya-karya yang kaya dengan kosa kata yang beraneka ragam. Andapun lama kelamaan akan menyerap kata-kata itu ke dalam kosa kata Anda.

Monday, October 27, 2008

Monday, October 27, 2008

Retorika dalam Wacana


Sekitar tahun 1986, saya duduk di Masjid Salman, bersama jamaah lainnya menunggu berdirinya khatib Jum'at. Tak lama kemudian, berdirilah khatib yang ditunggu-tunggu itu. Dia seorang asing. Maksudnya, belum pernah saya dengar khotbahnya. Umurnya masih muda, belum sampai 40, berkacamata tebal. Itulah khotbah yang sungguh tak terlupakan. Dia bercerita tentang kepemimpinan. Kisah yang disampaikan di pembukaannya, urutan pesan-pesannya, bahkan do'a penutupnya semuanya telah menghypnosis saya. Sejak itu tokoh itu tak terlupakan. Sejak itu saya mengikutinya, mencari jadwal-jadwal ceramahnya, mengingat pembicaraannya. Dialah Kang Jalal (Jalaluddin Rakhmat).
Saya mulai berpikir, betapa besarnya manfaat sebuah khotbah yang memukau, menarik perhatian seperti khotbah Kang Jalal. Banyak materi khotbah atau ceramah tak kan hilang begitu saja. Saya bayangkan, kalaulah seandainya semua penceramah menyadarinya, banyak sekali perubahan akan terjadi di tengah masyarakat. Ceramah-ceramah agama akan dibanjiri pendengar. Pengajian-pengajian akan menjadi pusat perhatian.
Tapi sayang. Kebanyakan penceramah hanya sekedar berceramah. Ceramahnya tidak ditata sedemikian rupa sehingga menarik. Celotehan tukang obat yang menjajakan obat kudis di pinggir pasar kadang-kadang jauh lebih menarik daripada khutbah seorang khatib yang menjelaskan tentang pentingnya undang-undang pornografi. Akhirnya banyak ajaran agama dilecehkan, ditinggalkan, dan tidak diambil pduli oleh masyarakat.
Sejak saat itu, saya sangat tertarik untuk belajar bagaimana mengemas suatu ceramah menjadi ceramah yang menghypnosis seperti ceramah-ceramahnya Kang Jalal. Waktu itu saya belum berpikir mengenai istilah hypnosis. Saya hanya berpikir tentang ceramah yang berkesan, berpengaruh, dan tak terlupakan.
Tanpa sengaja di suatu toko buku di bandung tak begitu lama setelah pertemuan pertama saya dengan Kang Jalal, saya menemukan sebuah buku yang ditulis oleh Kang Jalal sendiri, judulnya Retorika Modern. Alangkah gembiaranya saya, terasa seperti pucuk dicinta ulam tiba. Saya tekuni buku ini. Saya ikuti lebih banyak ceramah-ceramah Kang Jalal dan saya bandingkan konsistensi antara apa yang dia tulis di buku dan apa yang dia praktekkan dalam ceramahnya. Pas. Sungguh menakjubkan. Semuanya pas. Kang Jalal menuliskan teori-teori persuasi dalam buku itu. Kang Jalal terbukti menata ceramah-ceramahnya berdasarkan teori itu. Apa yang ditulisnya dia jalankan. Ini berarti bahwa saya belajar retorika dari buku dan pengamatan sekaligus. Suatu kesempatan yang langka.
Secara diam-diam saya meniru Kang Jalal berpidato. Saya tiru gayanya. Saya tiru metodanya dalam menyusun pesan-pesan pidato. Bahkan saya kutip kosa katanya.
Pernah satu ketika saya menanyakan pada beliau, " Apakah Bapak tidak tulis buku tentang retorika untuk tulisan?" Saya merasa retorika untuk tulisan juga sangat saya perlukan. Saya juga ingin belajar menulis yang retoris, seperti saya sekarang belajar ceramah yang retoris. Beliau menjawab, "pada dasarnya, secara teoritis, retorika untuk lisan sama dengan tulisan. Retorika pada dasarnya adalah tatacara menata bahasa, baik berupa kata maupun kalimat, sehingga memberi pengaruh pada pendengar dan pembaca."
Jadi itulah ringkasnya retorika menurut Kang Jalal. Saya kemudian belum pernah menemukan tulisan beliau tentang retorika untuk tulisan. Saya yakin bahwa apa yang beliu tulis di retorika modernpun sebenarnya dapat diaplikasikan dalam bentuk tulisan.
Setelah itu satu demi satu buku Kang Jalal muncul di pasaran. Setiap saya membaca tulisannya, saya memeperoleh kesan yang sama mengesankannya seperti ceramahnya. Saya melihat bahwa tulisan-tulisan beliau telah ditata berdasarkan teori retorikanya. Beliau kini bukan saja pembicara yang sukses tapi juga penulis yang sangat mempengaruhi saya. Tulisan-tulisan beliau menghypnosis.
Baru-baru ini saya bertemu buku Hypnotic Writing karya Joe Vitale. Itupun tidak sengaja. Saya ambil buku itu di rak Gramedia hanya karena di sampulnya tertulis "Guru The Secret". Maklumlah saya baru saja menamatkan buku The Secret, dan saya sangat terpengaruh. Saya pun membeli buku Hypnotic Writing, dan membacanya sampai tamat.
Setelah tamat, baru saya sadar apa yang dikatakan Joe Vitale, bahwa dia tidak hanya akan menjelaskan apa dan bagaimana hypnotic writing itu, tapi akan mempraktekkannya melalui buku itu. Dia akan menghypnosis pembaca buku hypnotic writing. Saya ternyata benar-benar terhypnosis. Dalam satu hari saja, sebagiannya dalam perjalanan, saya telah membaca buku itu lebih dari separohnya. Dalam satu hari lagi saya menamatkan seluruhnya. Sayapun membaca buku itu sekali lagi sampai tamat. Luar biasa. Ini satu pengalaman yang menarik.
Tiba-tiba terpikir oleh saya, rasanya ada kaitan antara buku Retorika Modern-nya Kang Jalal dan Hypnotic Writing-nya Joe Vitale. Dulu saya menanyakan kepada Kang Jalal, "Apakah ada buku retorika untuk tulisan?" Buku Joe Vitale ini adalah buku itu. Sebenarnya buku Pak Jalal dapat dijuduli Hypnotic Speech, dan Buku Joe dijuduli dengan Tulisan yang retoris.
Saya setuju dengan Joe, bahwa hypnotic writing adalah tulisan yang ditata sedemikian rupa mengikuti kaedah-kaedah hypnosis. Itu artinya kita menambahkan teknik-teknik retorika dalam komposisi dasar. Dengan menata seperti itu maka tulisan kita akan menyedot perhatian pembaca. Perhatian tersebut akan bertahan sampai bacaannya selesai. Begitu asyiknya, sampai-sampai pembaca tak mau melewatkan membacanya kata demi kata. Tulisan itu sulit dilupakan. Saran-sarannya sulit ditolak. Bahkan perintahnya akan dilaksanakan. Itulah hypnotic writing.
Kalau begitu, begitu banyak orang yang mesti mempelajari hypnotic writing. Semua orang yang terlibat dengan komunikasi tertulis, wajib mempelajari hypnotic writing. Kalau tidak, tulisan mereka akan dibuang ke dalam kotak sampah. Hanya tulisan-tulisan yang menghypnosis saja yang akan dibaca orang sampai habis. Hanya tulisan yang menghipnosis saja yang akan mempengaruhi.
Banyak buku yang telah ditulis orang, namun buku-buku yang menghipnosis saja yang tetap melegenda. Joe menyebutkan beberapa buku yang menghipnosis seperti The Tempest dan Harry Potter. Dia menyebutkan juga beberapa yang lain yang semuanya menghipnosis.
Saya juga merasakan beberapa buku yang penah saya baca telah menghypnosis. Sebutlah beberapa diantaranya seperti karya-karya Abuya Ashari, Karya Kiyosaki. Dan karya penulis Indonesia seperti Mahbub Junaedi, Dahlan Iskan, dan yang yang saya sebut tadi; Jalaluddin Rakhmat.
Intinya, hypnotic writing adalah tulisan yang ditata untuk menghypnosis. Tulisan yang dikemas sedemikian rupa dengan pilihan kata, frasa, dan kalimat. Tulisan yang diformat, dan dibumbui cerita, data, bahkan gambar, dll yang sengaja ditujukan untuk menarik dan mempertahankan perhatian pembaca. Tulisan yang jelas, ringkas, dan efektif sehingga tak terlupakan. Tulisan yang membujuk pembaca untuk melakukan sesuatu yang sulit ditolak.
Mari ikuti apa yang akan saya tulis berikut ini. Saya akan mengajak anda menyelam sampai ke dasar hypnotic writing dan retorika, sehingga anda begitu dekat dengan kaedah-kaedahnya, mudah diaplikasikan semudah anda memasang sepatu anda sendiri. Bahkan saya bermaksud menghipnois anda dengan tulisan saya ini. Anda senang bukan? Bersiaplah.
Monday, October 27, 2008

Tahapan Menulis Wacana


Sekarang sampailah kita pada pembahasan tentang tahapan menulis wacana secara ringkas dari awal sampai akhir yang terdiri dari: (1) menangguk ide, (2) memilih topik dan menetapkan tema, (3) menguraikan tema dan mengumpulkan bahan, (4) menyusun kerangka, (5) menulis draf, (6) memperkaya dan menghaluskan tulisan, (7) membuat judul, (8) menyunting akhir. Setiap tahapan tersebut berikut ini akan kita bahas satu persatu agar dapat dijadikan acuan.
Menangguk ide.
Menangguk ide adalah langkah pertama menulis wacana. Kita tidak akan pernah bisa menulis sebelum kita mempunyai ide yang akan ditulis. Kalaulah menulis itu diumpamakan seperti memasak ikan sampai ia siap untuk dihidangkan, maka diperlukan ikan yang mentah. Ide adalah ikan mentah itu. Lezatnya masakan ikan itu tidak hanya tergantung dari kepandaian si juru masak menaburkan bumbu-bumbu, tapi juga tergantung dari jenis ikan mentahnya.
Pembaca tertentu adakalanya menyerahkan sepenuhnya kepada juru masak untuk memilih ikan dan teknik memasaknya, sedangkan yang lain lebih menyukai ikan-ikan tertentu dan cara memasak tertentu.
Demikian juga dengan menulis. Adakalanya Andalah yang memilih ide yang akan di tulis dan Anda pula yang menentukan cara memasak dan memilih bumbu-bumbunya. Namun, pada kesempatan lain Anda sudah disodorkan idenya, dan yang tinggal bagi Anda hanya cara menulisnya. Yang manapun yang terjadi, ide yang akan ditulis dan sajian menulisnya harus menarik minat pembaca dan sudah barang tentu menarik minat Anda pula sebagai penulis.
Disinilah terletaknya seni mencari ide yang akan ditulis sebagai wacana itu. Penulis tidak hanya berpikir kesukaannya saja, tapi dia juga harus mempertimbangkan selera pembaca. Benar bahwa dia harus menulis apa yang dia suka, kalau tidak demikian, ia akan kehilangan motivasi menulis. Namun itu tidak cukup. Kalau dia tidak mempertimbangkan selera pembaca, tulisannya tentu akan sia-sia, dilemparkan sebelum diselesaikan.
Kehadiran ide untuk ditulis merupakan suatu misteri. Kadang-kadang ide itu datang tiba-tiba tanpa diundang. Kadang-kadang ide itu harus diburu. Bahkan, pemburuannyapun kadang-kadang tidak menghasilkan apa-apa. Tidak adanya ide inilah yang selalu dijadikan alasan bagi yang enggan untuk mulai menulis sehingga akhirnya terus menunda penulisan.
Orang-orang tertentu mempunyai banyak ide untuk ditulis sedangkan orang yang lain terasa buntu dengan ide. Bagi orang tertentu selalu didatangi ide-ide yang tidak diundang berlimpah ruah sampai-sampai ia bingung harus mendahulukan yang mana. Tapi orang yang lain sibuk memburu ide namun selalu terhalang untuk menangkapnya hingga ia kembali dengan tangan kosong.
Saya menawarkan dua metoda untuk menangkap ide yang saya peroleh dari pengalaman banyak penulis profesional. Walaupun adakalanya ide itu datang tanpa diundang, sebagai penulis, kita tidak boleh bergantung pada ide jenis ini. Kita tidak boleh hanya menunggu sampai datangnya ide yang belum tahu kapan datangnya . Kita harus berperilaku sebagai nelayan yang siap mengharungi lautan luas untuk menangkap ikan. Kita mesti menyiapkan perahu, jala, tangguk dan kail untuk menangkap berbagai macam ikan itu. Kita akan terus mencari tanpa henti. Jika dapat satu, kita boleh langsung mengolahnya menjadi masakan yang lezat, kemudian kita mencari lagi. Boleh juga kkita tabung dulu ikan itu untuk nantinya kita masak sekaligus.
Seperti itulah kita berburu ide dilautan masalah yang ada dalam kehidupan ini. Kita layari dunia maya menggunakan search engine seperi Google atau Yahoo. Kita teluri halaman emi halaman majalah dan Koran. Kita telusuri buku-buku di perpustakaan, dll. Dapay satu ide, langsung tulis. Bisa jug aide itu ditabung dulu agar nanti ditulis pada kesempatan lain.
Agar perburuan kita itu efektif dan efisien, sebelum mengarungi lautan topik yang maha luas, kita membatasi dulu wilayah yang yang akan kita tuju berdasarkan kriteria kesukaan kita dan kesukaan pembaca. Setiap saat kita dapat mempersempit wilayah pencarian itu sampai akhirnya kita menangkap ide, berupa sebuah tema yang pas untuk kita dan untuk pembaca.
Walaupun kita berburu, kita jangan lengah dengan ide yang mungkin saja datang tanpa diundang. Untuk menangkap ide yang datang tanpa diundang itu, kita harus selalu membiasakan diri membawa alat tulis kemanapun kita pergi. Bahkan kalau mau tidur, kita letakkan alat tulis kita di sebelah dipan, kalau-kalau dalam tidur kita dapat ilham untuk ditulis. Biasanya ide itu bisa saja datang di tempat atau saat kita sedang tidak siap sehingga tidak mungkin untuk mengolahnya saat itu juga seperti sedang tidur, mandi atau sedang bergegas untuk berangkat bekerja. Untuk saat itu, ide itu cukup dicatat saja dulu apa adanya walaupun ide itu baru satu kata.
Kita mesti segera mencatatnya sebelum ide itu meluap. Catat apa saja yang ada. Bertemu satu kata, tulis satu kata itu. Bertemu satu frasa, tulis frasa itu. Syukur-syukur ide itu dapat dituangkan dengan kata lebih banyak seperti satu paragraf atau mungkin dapat dituangkan dalam satu halaman kertas dalam bentuk sinopsisnya . Pokoknya, kita mencatat ide-ide itu segera sebelum semuanya hilang dalam sekejap.
Nanti dalam kesempatan yang pas, kita membongkar catatan-catan itu kembali dan mengolahnya lebih jauh untuk menjadi suatu wacana yang lengkap dengan suasana yang lebih tenang.
Yang terbaik dari kedua proses antara menunggu atau berburu adalah menjalankan keduanya karena salah satu diantaranya tidak dapat saling menggantikan.
Memilih Topik dan Menetapkan Tema
Ketika suatu ide itu berbetuk satu kata atau satu frasa, ide itu disebut topik. Apabila ide itu dapat dituliskan dalam bentuk satu kalimat, ia dinamakan tema. Perbedaan antara tema dan topik adalah seperti perbedaan sekelompok ikan yang masih di kolam dan seekor ikan yang sudah di tangan. Ketika kita menyebutkan sekelompok ikan di kolam, kita baru menetapkan batasan-batasan jenis ikan yang ada di dalamnya. Tapi, kalau ikan itu sudah di tangan, kita dapat melihat jenis ikan itu secara spesifik. Kita tahu warnanya, bentuknya, bahkan kita sudah dapat membayangkan bagaimana rasanya kalau ikan itu nanti digoreng atau direbus.
Ini berarti sebelum menulis, ide-ide yang tadinya berupa topik-topik harus dapat dirumuskan dalam bentuk tema, yaitu suatu bentuk yang sudah jelas. Format tema biasanya dalam berbentuk kalimat sedangkan topik masih berbentuk kata atau frasa.
Kalau Anda katakan bahwa Anda akan menulis tentang "kepemimpinan", Anda baru menemukan topik. Ansda bisa membatasi topik menjadi topik yang lebih spesifik dengan menambahkan kata lain seperti "kepemimpinan di era reformasi" atau "kepemimpinan di Indonesia di era reformasi". Selain itu, Anda dapat merumuskan topik itu dalam satu kalimat yang lengkap, maka Anda berarti sudah memiliki tema tulisan. Contoh tema Anda adalah "Masyarakat Indonesia bwerada dalam kebingungan untuk memilih seorang yang benar-benar pemimpin dalam arti yang sesungguhnya sejak banyaknya iklan penawaran diri sebagai pemimpin bertebaran di media massa". Kalimat itu adalah tema tulisan yang sudah padat, ringkas dan sangat spesifik. Subjeknya jelas yaitu masyarakat Indonesia. Predikat utamanya juga jelas yaitu berada dalam kebingungan. Predikat keterangannya juga jelas yaitu untuk memilih seorang yang benar-benar pemimpin dalam arti yang sesungguhnya dan sejak banyaknya iklan penawaran diri sebagai pemimpin bertebaran di media massa.
Jika saya sudah dapat mewujudkan ide saya dalam wujud kalimat seperti itu, saya sudah menyelesaikan tahapan kedua, yaitu penetapan tema tulisan.
Menguraikan Tema Sambil Mengumpulkan Bahan
Kalau ikan sudah di tangan, langkah selanjutnya adalah mengumpulkan bahan-bahan lain yang diperlukan untuk memasak ikan itu. Anda akan mungkin memerlukan bahan penanambah seperi sayur-sayur. Anda juga memerlukan bumbu-bumbu penyedap.
Begitu juga dengan menulis, Anda memerlukan data-data, gambar, ilustrasi, contoh, kutipan, konsep, dll. Semua bahan itu diperlukan untuk menuliskan wacana yang lengkap. Jika terasa bahwa bahan tidak cukup, Anda harus mempersempit tema menjadi sesuatu yang terjangkau oleh kemampuan kita mengumpulkan bahan-bahan. Jika bahan terasa lengkap, bolehlah kita mulai memerinci tema tadi menjadi sub-sub tema. Sub tema dirinci lagi menjadi sub-sub yang lebih kecil, sampai Anda mempunyai satu unit yang tidak dapat diperkecil lagi.
Unit terkecil inilah yang nantinya akan menjadi satu paragraf dalam wacana.
Agar pemecahan ini berjalan dengan kreatif, pemecahan dilakukan terus menerus tanpa diselingi dengan pengelompokan ide-ide maupun penyuntingan. Semua pikiran yang mendorong untuk mengoreksi atau mengelompokkan harus dilawan. Kita biarkan otak kita bekerja hanya untuk mengurai tema. Pada tahapa ini penguraian pikiran ini akan berjalan ke semua arah, tanpa peduli urutan dan pengelompokannya.
Metoda brainstorming dan cara berpikir radiant yang dikembangkan oleh Tony Buzan lengkap dengan sistem mind- mappingnya, sangat bagus untuk diaplikasikan dalam proses ini.
Pengelompokan dan penyuntingan pikiran-pikiran dilakukan setelah pemecahan tema untuk sementara dianggap selesai. Pengelompokan dilakukan ketika penulis merasakan bahwa semua pikiran tidak ada yang unik, baru, atau menarik lagi untuk dipecah-pecahkan. Walaupun demikian pemecahan masih dapat dilakukan kembali selama pengelompokan terjadi.
Ingat, satu unit pikiran adalah pikiran yang akan dituangkan dalam satu paragraf.
Menyusun Kerangka
Bentuk tulisan yang sudah siap ditulis adalah bentuk kerangka yang sering disebut outline. Kerangka (outline) adalah bentuk penyajian unit-unit pikiran dalam bentuk point-point dalam suatu barisan yang rapi sesuai dengan tujuan wacana. Walaupun dalam bentuk poin-poin, dalam kerangka, kita sudah melihat bagian pendahuluan, bagian pembahsan, dan bagian penutup. Kita juga dapat melihat berapa paragraf yang akan membangun wacana itu walaupun setiap paragraf muncul hanya sebagai sebuah poin pikiran.
Kerangka karangan bagi penulis sama dengan peta rute perjalanan bagi para penjelajah alam. Tanpa itu mereka akan tersesat. Kerangka karangan bagaikan blue print bagi tukang yang sedang membangun bangunan. Tanpanya, bangunan tidak akan berbentuk sesuai yang diharapkan.
Seorang pelukispun, sebelum ia melukiskan detail-detail lukisannya, akan membuat kerangka lukisan terlebih dahulu. Setelah kerangkanya memberi gambaran yang cukup jelas, barulah ia akan melukiskan detailnya. Kalau tidak demikian, lukisan yang dihasilkan tidak akan proporsional. Bagian yang harusnya dominan menjadi tidak dominan. Bagian yang harusnya kecil malah menjadi besar.
Kerangka karangan dalam dunia tulis menulis sangat penting, terutama untuk menulis sebuah karya dengan tema yang cukup luas dan bahan yang banyak.
Memang ada beberapa penulis mengatakan bahwa tidak perlu membuat kerangka karangan terlebih dulu. Mungkin yang dimaksudkan dia adalah agar kita tidak terganggu untuk mulai menulis. Penulis professionalpun menggunakan kerangka. Setidak-tidaknya, kerangka itu mereka simpan di dalam kepala, bukan di kertas.
Ada yang mengatakan, ketika seseorang sudah menyelesaikan kerangka karangan, dia sudah menyelesaikan separuh pekerjaan menulis wacananya. Sekarang dia tinggal merampung separuh lagi dengan menulis draf, memperkaya bahasan, menghaluskan, menyunting, dan memberi judul.
Menulis Draf
Sekarang sampailah pada tahapan terpenting, yaitu mengubah unit-unit pikiran yang terkecil dalam kerangka karangan menjadi paragraf-paragraf. Proses ini dimulai dengan memilih kata-kata dan diteruskan dengan menyusunnya menjadi kalimat-kalimat untuk mengungkapkan setiap satuan pikiran. Setiap satu satuan pikiran awalnya diungkapkan dengan satu kalimat saja. Tapi, bila satu kalimat tersebut terasa tidak cukup untuk mengungkapkan satu unit pikiran secara tuntas dan jelas, maka beberapa kalimat dapat ditambahkan lagi. Yang penting, setiap kalimat yang ditambahkan itu tidak membahas satuan pikiran yang lain, tetapi hanya memperjelas pikiran yang pertama tadi. Jika demikian, rangkaian kalimat itu akan membentuk satu rangkaian yang saling terkait yang disebut paragraf.
Sebenarnya, semakin sedikit jumlah kalimat, paragraf itu lebih baik dan lebih efektif. Bahkan penulis-penulis tertentu senang menggunakan pararaf dengan satu atau dua kalimat saja. Tapi tentu jangan dipaksakan begitu. Kalimat yang terlalu sedikit dalam satu paragraf terasa kaku untuk dibaca karena ada elemen informasi yang tidak selesai sehingga menimbulkan pertanyaan bagi pembaca. Paragraf semacam ini tidak tuntas.
Demikianlah seterusnya, setiap poin-poin yang ada dalam kerangka karangan berubah menjadi paragraf-paragraf. Jika semuanya ada sepuluh poin, maka akan ada sepuluh paragaraf. Jika anda menambahkan atau mengurangkan paragraf, berarti anda telah menambahkan atau mengurangkan poin dalam kerangka.
Selama menulis draf, kita jangan banyak diganggu oleh kegiatan menyunting. Proses penyuntingan selama penulisan draf akan mengganggu kreatifitas penulisan. Menulis terus menerus tanpa henti banyak digunakan oleh penulis professional agar mereka tidak mau kehilangan aliran pikiran. Pikiran yang muncul langsung ditulis tidak peduli apakah pikiran itu sebagai subjek atau predikat. Bahkan tidak peduli apakah pikiran itu kelanjutan atau sama sekali lain dari pikiran sebelumnya. Pada proses ini, mereka lebih berkonsentrasi pada aliran pikiran.
Cara seperti ini disebut fast writing, yaitu menulis cepat tanpa menghiraukan ejaan, tanda baca, dan tata bahasa dalam satu target waktu tertentu, misalnya 25 menit. Cara ini banyak ditempuh selain untuk mencegah kebuntuan pikiran tapi juga untuk meningkatkan kreatifitas menulis.
Memperkaya dan Menghaluskan Tulisan
Memperkaya bahasan artinya menambahkan lagi bahasa yang sudah dibuat dalam bentuk draf, baik berupa tambahan data, paragraf, gambar, ilustrasi, contoh, dll. Menghaluskan tulisan artinya menambal-nambal di tempat yang bolong atau memangkas di tempat yang terlalu menonjol.
Biasanya, setelah semua satuan pikiran telah berubah menjadi paragraf-paragraf, kalau dibaca belum tentu menjadi sebuah bacaan yang enak dibaca yang semua pikiran mengalir dengan lancar. Di banyak tempat terjadi ketidaktuntasan sementara di tempat lain terjadi pembahasan yang terlalu berlebihan. Di banyak tempat mungkin terjadi pengulangan-pengulangan yang tidak perlu, dll.
Sekarang, dalam tahap ini, giliran penulis untuk menghaluskan tulisannya. Pengahalusan itu bisa menambahkan kalimat-kalimat baru dalam paragraf yang sudah ada atau bahkan mungkin menghilangkan sebagiannya. Penghalusan juga berarti menambahkan atau mengurangi satu unit paragraf secara utuh. Tujuan penghalusan adalah mendapatkan tulisan yang tuntas, padu, dan indah.
Membuat Judul
Pemberian judul mutlak menjadi satu tahap sendiri. yang tidak dapat dianggap remeh. Sebenarnya, judul dapat diberikan pada waktu menyusun tema atau pada waktu menyusun kerangka. Namun yang paling baik, judul dilakukan setelah penghalusan tulisan. Artinya, judul diberikan ketika sudah mendekati selesainya penulisan.
Walaupun demikian pemberian judul tidaklah kaku. Kapan dibuatnya tidak menjadi persoalan yang penting. Semuanya mempunyai kelebihan dan kekurangan tersendiri.
Yang perlu diingat adalah bahwa judul merupakan wajah tulisan kita. Orang bisa tertarik membaca atau sama sekali berpaling sering disebabkan oleh judul. Kalau begitu, betapapun judul telah mencul di awal-awal penulisan, judul harus dikaji ulang sebelum tulisan dianggap selesai.
Pembuatan lebih dari satu judul kemudian memilih yang terbaik juga merupakan cara pemberian judul yang sangat direkomendasi. Bahkan melibatkan kawan, keluarga, atau sebagian calon target pembaca melalui survey banyak dilakukan oleh penulis professional.
Banyak bahan yang dapat dipakai menjadi judul. Bahan yang paling mudah adalah tema karangan itu sendiri yang ditambahi satu dua kata atau dikurangi satu dua kata sehingga menarik dan provokatif. Tetapi tidak mesti demikian. Judul bisa diambil dari sumber yang lain atau mungkin dibuat dari kata-kata tersendiri.
Apapun judulnya dan bagaimanpun cara pengambilannya, judul harus mencerminkan isi karangan disamping harus menarik. Banyak tulisan yang bagus dan bermutu isinya tapi dilewatkan banyak orang karena judulnya sama sekali tidak menarik.
Menyunting Akhir
Di tahapan ini, penguasaan tatabahasa, tanda baca, dan ejaan mulai digunakan hati-hati. Bahkan ada penulis yang memanfaatkan jasa editor di tahapan ini. Di tahap ini, semua kata dan kalimat diuji dan dikoreksi secara tatabahasa. Penempatan titik, koma, dan tanda baca lainnya dikoreksi secara tuntas. Penulisan huruf kapital, istilah-istilah tetentu pada tahap ini akan dipermasalahkan cara penulisannya.
Itulah sebabnya mengapa, sebagian besar pengarang menempatkan tahapan ini pada tahapan terakhir. Kalau tahapan ini disatukan dengan tahapan penulisan draf, biasanya terjadi gangguan kelancaran aliran pikiran. Alih-alih menuliskan pikiran, kita akan sibuk dengan kegiatan tulis-hapus secara berulang-ulang. Dengan cara ini karangan tak akan pernah selesai.
Demikianlah kedelapan tahapan menulis wacana yang diuraikan secara ringkas. Dalam kesempatan yang akan datang, saya akan menguraikan panjang lebar setiap tahapan itu, masing-masing dalam satu artikel tersendiri.

Monday, October 20, 2008

Monday, October 20, 2008

Struktur Wacana


Setelah Ratu Balqis mengetahui kekuatan Sulaiman di Jerussalem, dan melihat betapa terancamnya dia yang berada di satu tempat yang tidak begitu jauh dari sana, Balqis mengirimi Sulaiman hadiah-hadiah. Tak seorangpun yang pernah menjelaskan apa maksud hati Balqis dengan hadiah-hadiah itu. Kita hanya bisa menebak bahwa itu tak jauh dari maksud hati sebagian besar kita ketika mengirimi orang-orang penting dan kaya dengan hadiah. Sulaiman hanya tersenyum dan tak mengambil hadiah-hadiah itu. Tanpa marah, Sulaiman kemudian mengutus seseorang untuk mengembalikan hadiah-hadiah itu bersama selembar surat.
Guncanglah hati Ratu Balqis yang cantik itu. Bukan karena hadiah-hadiahnya yang dikembalikan itu, juga bukan karena sang utusan, tapi karena isi surat dari Sulaiman. Surat itu telah menggetarkan jiwa Balqis, padahal tidak banyak yang ditulis Sulaiman di dalamnya kecuali nama Tuhan dan undangan agar Sang Ratu datang menghadapnya. Namun, kalimat yang pendek itu ternyata sarat dengan makna. Kalimat-kalimat Sulaiman telah mengoyak dada Balqis dan membuatnya takut sehingga tak sanggup lagi mencari alasan untuk tidak memenuhi undangan itu.
Inilah kehebatan sebuah wacana tulis. Secara fisik, wacana hanya terdiri dari selembar kertas yang di atasnya bertuliskan sesuatu. Bukan tulisan itu yang menakjubkan, tapi apa yang dikandung dalam rangkaian kalimat-kalimat itu. Balqis tahu, bahwa surat dari Sulaiman bukan sembarang wacana, tapi sebuah wacana yang berisi pikiran seorang penguasa yang tak terkalahkan di dunia dan mengatasnamakan Tuhan yang lebih-lebih tak tekalahkan lagi kuasaNya.
Wacana adalah satu bangun karangan yang utuh. Unsurnya yang paling kecil adalah kalimat. Kemudian, beberapa kalimat disatukan untuk menjelaskan satu ide tertentu yang disebut paragraf. Paragraf demi paragraf kemudian dirangkai-rangkai membahas satu tema tertentu dalam satu wilayah pembahasan yang disebut topik. Bentuk terakhir inilah yang dinamakan wacana.
LAHIRNYA SEBUAH WACANA
Wacana bermula dari satu ide atau pikiran yang muncul di otak penulis. Bersamaan dengan munculnya pikiran tersebut, penulis kemudian menemukan satu kata yang maknanya berkorelasi langsung dengan apa yang ia pikirkan. Penemuan kata yang maknanya terkait dengan apa yang sedang dipikirkannya itu merupakan cikal bakal lahirnya sebuah wacana; ada pikiran dan ada kata untuk sebagai simbolnya. Jika hanya ada pikiran saja namun ia tidak menemukan satu katapun maka tidak akan lahir wacana.
Satu kata tidak cukup. Jika kemudian si penulis menemukan kata yang lain dan si penulis dapat menuliskan rangkaian kata berbentuk kalimat, maka si penulis telah memasuki langkah kedua pembuatan wacana. Langkah kedua itu adalah merangkai kata menjadi kalimat. Dalam rangkaian itu ada subjek dan ada predikat. Dengan susunan itu lahirlah informasi yang siap untuk dibaca.
Bila suatu kalimat belum cukup, beberapa kalimat tambahan dapat disusulkan untuk menjelaskan lebih jauh ide dari kalimat pertama tadi, sehingga sekarang terbentuklah rangkaian kalimat yang dinamakan paragraf. Demikianlah seterusnya terjadi berulang-ulang: lahir kalimat baru, paragraf baru, dan akhirnya satu tema akan dituntaskan pembahasannya apabila telah terbangun beberapa paragraf yang berada sekeliling tema itu. Bagian terakhir inilah yang dinamakan wacana.
Kalau kita hanya melihat dari sisi kata dan susunannya saja, wacana yang satu hanya akan berbeda dengan wacana lain ditinjau dari pilihan kata dan struktur kalimat saja. Walaupun pada wujudnya wacananya hanyalah rangkaian kata-kata, namun kita tidak cukup melihat di sisi itu saja. Wacana adalah rangkaian pikiran bukan rangkaian kata. Karena itu terdapat sejumlah pembeda antara satu wacana dengan wacana yang lain yang tidak akan terlihat bila dari sudut bahasa saja. Banyak aspek yang harus dilihat.
Berikut ini, saya akan membawa Anda menelusuri satu persatu aspek tersebut untuk melihat secara dalam suatu wacana sehingga kita dapat mempersiapkan diri melahirkan suatu wacana yang bermutu.
ANTARA TOPIK, TUJUAN, DAN TEMA
Aspek pertama dalam melihat suatu wacana adalah topik. Setiap wacana mempunyai topik atau wilyah kajian, yaitu suatu ruang pikiran yang lebih luas yang menaungi apa yang dibahas dalam wacana. Semakin sempit wilayah kajian yang dinamakan topik itu, semakin tajam pembahasan wacana. Unsur terpenting wacana ini harus ada sebelum menulis. Kalau tidak, proses penulisan wacana akan lari ke berbagai topik sehingga tidak ada satupun yang tajam pembahasannya. Wacana yang tidak bermutu adalah wacana yang topiknya luas tapi dangkal pembahasannya. Jika sebelum menulis, topik telah jelas dan spesifik maka seluruh daya dan pikiran penulis akan terarah.
Penulis harus punya misi atau tujuan dalam menulis wacana. Bagaikan menembak, mesti ada sasarannya sebelum perangkat menembak disiapkan. Kalau Anda akan menembak babi, Anda akan menyiapkan perangkat yang berbeda dengan kalau Anda akan menembak burung.
Tujuan penulisan wacana akan terbaca jelas dalam wacana itu betapapun tidak disebutkan secara eksplisit oleh penulisnya. Seseorang yang tujuannya menumbangkan suatu kebiasaan buruk masyarakat akan berbeda isi dan teknik-teknik penulisan wacananya dengan orang yang tujuannya hanya untuk menghibur dan mencari popularitas. Seseorang yang tujuannya menjual sesuatu berbeda tulisannya dengan orang yang menulis untuk mengajak seseorang menuju kebenaran. Dari tujuan inilah satu wacana berbeda dengan wacana lain.
Tema adalah ringkasan wacana itu sendiri yang dirumuskan dalam satu kalimat yang lengkap. Tema bagaikan lokomotif yang akan menarik gerbong-gerbong yang dibuat kemudian. Semua gerbong yang akan ditempatkan di belakang lokomotif harus sesuai dan serasi dengan lokomotifnya. Itulah tema. Seseorang yang sudah paham dengan apa yang akan dia tulis, harus mampu menuangkan tema ini dalam bentuk kalimat yang mencakup sekaligus tujuan penulisan.
DATA : ANTARA FAKTA DAN FIKSI
Wacana mengandung data. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah data-data itu sesuatu yang benar-benar ada ataukah hanya sebuah rekaan penulis. Minyalnya saya menulis nama seseorang, sebut saja Ahmad, dalam wacana saya. Apakah si Ahmad ini benar-benar ada atau hanya tokoh rekaan saya saja? Kalau benar-benar ada, berarti data itu merupakan fakta. Bila si Ahmad itu hanya hasil reka-rekaan, fantasi, atau ilusi saya saja, data itu itu fiksi.
Perbedaan antara wacana fiksi dan non fiksi adalah dari segi data ini. Sebuah wacana yang diklaim sebagai non fiksi harus bisa dipertanggungjawabkan oleh penulisnya bahwa semua data yang dimasukkan ke dalam tulisan itu seluruhnya fakta. Jika ada saja unsur yang fiktif dalam suatu wacana, walaupun ada juga faktanya, tulisan itu mesti dikelompokkan ke dalam jenis fiksi. Bahkan jika ada fakta yang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah, tulisan itu masih digolongkan tulisan fiksi.
Perbedaan tulisan ilmiah dan susatra adalah perbedaan jenis data yang dimasukkan dalam wacana. Tulisan ilmiah tidak boleh memasukkan data fiktif. Semuanya mesti fakta yang dapat dibuktikan secara ilmiah yang telah baku metodologinya. Tulisan susastra, justru sengaja memasukkan unsur fiktif, baik tokoh, tempat, dan waktu sehingga ia tergolong fiksi.
Orang-orang tertentu sering keliru melihat bila disebut novel atau cerpen, cendrung mengatakan bahwa itu fiksi. Padahal fiksi atau tidaknya suatu wacana tidak tergantung dari topik, tema, judul, format, ragam bahasa suatu wacana. Fiksi atau tidaknya suatu wacana tergantung dari data-data yang diungkapkan.
SUDUT PANDANG: ANTARA OBJEKTIF DAN SUBJEKTIF
Selain data, di dalam wacana ada sudut pandang penulis. Ada yang subjektif dan ada yang objektif. Suatu wacana dibedakan antara wacana yang menggunakan sudut pandang objektif dan sudut pandang subjektif. Objektif, maksudnya, siapapun yang menulisnya, kira-kira hasilnya akan sama. Subjektif akan berbeda-beda sesuai penulisnya.
Essai singkat yang sering dimuat di surat kabar yang sering disebut opini adalah wacana dengan sudut pandang sangat subjektif. Makanya ia sering dinamakan opini. Maksudnya, di dalam tulisan itu si penulis menggunakan pendapatnya sendiri secara bebas. Sebaliknya dalam skripsi atau disertasi sudut pandang yang subjektif ini dihindari. Si penulis harus memandang suatu masalah dari sudut yang sama dengan penulis lain yang sudah disepakati dalam etika keilmuannya. Sudut pandang inilah yang disebut sudut pandang objektif.
Walaupun dalam tulisan ilmiah tidak bisa dihindari adanya sudut pandang subjektif, tapi si penulis harus berusaha untuk memisahkan bagian-bagian yang merupakan sesuatu yang objektif berupa hasil-hasil penelitian dan interpretasinya menurut sudut pandang baku dan unsur-unsur subjektif berupa opini penulis. Kualitas keilmiahan suatu wacana terletak pada tingkat objektifitas sudut pandang dan keterpisahan unsur-unsur yang objektif dan subjektif.
Tulisan susastra, sebaliknya, karena tujuannya bukan mengungkapkan fakta, unsur objektif dan subjektif tak dapat dipisahkan lagi. Semuanya tercampur. Bahkan hampir keseluruhan isi karya susastra berasal dari sudut pandang subjektif, walaupun dalam karya tersebut si penulis menggunakan tokoh orang ketiga.
BAHASA: ANTARA RESMI DAN PERSONAL
Suatu wacana ditandai dengan ragam bahasa yang dipakai. Ada wacana yang menggunakan ragam bahasa resmi seperti disertasi, tesis, skripsi, makalah-makalah, proposal, dll. Ada pula wacana yang ditulis dengan ragam bahasa personal seperti surat pribadi, buku harian, cerpen, novel, dll.
Tulisan susastra cendrung menggunakan ragam bahasa personal karena karya tersebut ingin menyentuh hal-hal yang sangat personal seperti perasaan dan emosi. Kalimatnya pendek-pendek. Paragrafnya kadang-kadang hanya satu atau dua kalimat. Kata-kata yang dipakai cendrung mengandung makna konotasi. Bahkan dalam menggambarkan sesuatu, karya ini banyak menggunakan kiasan sebagai pembanding.
Tulisan ilmiah atau akademis cendrung menggunakan kalimat yang panjang-panjang dan paragra yang terdiri dari banyak kalimat. Pemilihan katanya sangat hati-hati agar tidak mengandung konotasi. Berbagai istilah serapan lebih sering digunakan agar lebih mudah dipahami oleh kalangan yang terbatas.
Tulisan jurnalistik menggunakan ragam bahasa di antara keduanya. Ketika tulisannya menyentuh hal-hal yang serius, penulis jurnalistik cendrung menggunakan kalimat yang panjang dan kaku, tapi ketika pembahasan mengarah kepada hal-hal yang santai dan jenaka, penulis menggunakan bahasa personal yang akrab. Tidak jarang ada bagian yang menggunakan bahasa gaul.
SISTEMATIKA: ANTARA BAKU DAN BEBAS
Karya-karya seperti tesis dan disertasi harus mengikuti suatu sistematika yang sudah baku. Ada bab pendahuluan , ada bab tinjauan teori, ada bab analisis data, ada bab interpretasi dan opini, dan ada bab kesimpulan dan saran. Setiap babpun telah ditetapkan kandungan-kandungannya masing-masing. Selain itu, ada pula ketentuan membuat daftar isi, daftar gambar, daftar pustaka dan indeks. Semua sistematika itu telah ditetapkan oleh suatu lembaga yang berwenang yang tidak boleh dilanggar.
Wacana yang tidak memiliki sistematika baku tertentu, biasanya berlaku pada tulisan susastra. Sistematika itu lebih cendrung mengikuti kehendak pasar. Karena itu selalu ada kreatifitas penulis dalam menentukan sistematikanya. Penulis susastra selalu berekperimen menemukan sistematika yang laris-manis di pasar.
MODUS
Walaupun isi wacana beragam, ada beberapa modus yang mencirikan kandungan suatu wacana. Modus ini dikaji oleh para ahli untuk mendapatkan suatu teknik terefektif dalam menciptakan modus tersebut dalam tulisan. Modus-modus yang terkenal itu adalah modus deskripsi, narasi, eksposisi, argumentasi dan persuasi. Semua modus memiliki tujuan dan pendekatan yang berbeda-beda.
Modus deskripsi berisi gambaran atas sesuatu secara visual. To describe artinya melukis sesuatu dengan kata-kata. Jadi, deskripsi bagaikan sebuah lukisan atau gambaran sesuatu yang langsung dapat diimajinasikan oleh pembaca. Beda antara deskripsi dan luskisan bentuk dan warna terletak pada bahwa dalam deskripsi digunakan rangkaian kata. Deskripsi harus dibaca untuk mendapatkan imajinasi. Dengan membaca, seseorang dapat memvisualisasikan sesuatu bagaikan menonton sebuah video. Lihat contoh berikut ini.
Sore itu udara sepanas kue bika yang belum lama dikeluarkan dari panggangannya. Udara yang panas itu bertiup ke arah Damhuri. Sejenak terlihat janggutnya yang berwarna kemerahan melambai. Damhuri duduk termenung di korsi rotan yang sudah reot, sambil memegang selembar kertas.
Modus narasi berisi cerita, kisah atau story. Narasi artinya mengisahkan sesuatu. Pembaca dibawa ke dalam episode-episode yang tersusun dengan urutan waktu yang dinamakan plot. Ada plot maju dan ada plot mundur mengikut gerakan waktu. Apapun plotnya, dalam narasi penulis menjelaskan suatu kejadian berdasarkan satuan waktu. Baca contoh berikut ini.
Setelah saya selesaikan penulisan surat itu sampai paragraf terakhir, komputer saya tinggalkan begitu saja, dengan maksud kalau saya nanti kembali, saya dapat menyelesaikan keseluruhan surat itu hingga tercetak. Saya berdiri menuju ke luar kantor yang berada di lantai lima. Tak lama setelah itu, sayapun sudah sampai di lantai dasar setelah menggunakan lift yang cukup cepat. Saya kemudian menuju masjid. Di pintu masjid, saya menitipkan sepatu, dan masuk ke kamar wuduk. Belum lagi saya membuka kran wuduk secukupnya, HP sayapun berdering.
Modus ekposisi berisi penjelasan tentang sesuatu. Eksposisi artinya menerangkan sesuatu secara jelas. Agar jelas, semua informasi biasanya difokuskan kepada sesuatu yang dianggap perlu: kepentingan, keutamaan, keklimaksan, dll. Adakalanya penulis membuat definisi sesuatu konsep atau membuatkan klasifikasinya. Kadang kala penulis membuat perbandingan dengan sesuatu yang lain baik persamaan ataupun perbedaannya. Dalam eksposisi, penulis kadang-kadang menjelaskan hubungan sebab-akibat atau hubungan runtutan dari dua hal yang berbeda. Berbeda dengan deskripsi yang hanya menyentuh unsur-unsur visual saja, eksposisi menyentuh unsur-unsur yang lebih beragam seperti contoh berikut ini.
Ada dua sebab para pengarah enggan merujukkan rencananya ke atasannya. Pertama: dia takut kalau atasan tak setuju sehingga ia harus membuat rencana baru lagi yang tidak sedikit memakan waktu dan energi. Kedua: dia takut kalau rencana itu sukses, yang naik namanya adalah atasan itu, bukan dia.
Modus argumentasi berisi pembuktian atas suatu pernyataan. Argumentasi sendiri artinya menaklukkan keyakinan seseorang. Biasanya penulis mengungkapkan lebih dulu pernyataan yang akan diuji kebenarannya itu. Dengan menyebutkan sejumlah bukti, penulis kemudian menarik suatu kesimpulan benar atau tidaknya pernyataan tadi. Jadi, dalam argumentasi selalu ada premis, bukti dan konklusi. Tingkat kebenaran bukti-bukti harus tidak boleh diragukan pembaca karena akan mempengaruhi keabsahan argumentasi itu sendiri. Argumentasi juga harus mengikuti suatu nalar tertentu. Yang berikut adalah contoh argumentasi.
Sistem pemilihan kepala daerah berjenjang tiga seperti sekarang menelan biaya politik yang sangat mahal yang akhirnya dapat meruntuhkan sendi-sendi sosial yang sedang diperjuangkan melalui sistem demokrasi. Satu pemilu di tingkat kota saja telah menelan biaya puluhan milyar rupiah. Coba bayangkan bila setiap kota dan kabupaten mengadakan pemilu pemilihan kepala daerahnya, sementara jumlah kota dan kabupaten di Indonesia lebih dari dua ratus. Selain itu, negara masih harus menanggung biaya pemilu kepala daerah untuk tingkat propinsi yang jumlahnya hampir empat puluh. Masih belum selesai, negara mesti menyelenggrakan lagi pemilu pemilihan presiden dan wakil presiden yang biaya tak mungkin lebih rendah dibandingkan dengan biaya pemilu tingkat kota.
Modus persuasi berisi ajakan. Persuasi sendiri artinya membujuk seseorang untuk melakukan sesuatu dengan senang hati bukan terpaksa. Jadi dalam persuasi, si penulis harus menunjukkan hal-hal yang meyakinkan pembaca agar ia senang melakukan yang diajakkan itu. Biasanya, persuasi dimulai dengan menunjukkan masalah yang ada kemudian dilanjutkan dengan tawaran penyelesaian masalah. Persuasi biasanya juga menunjukkan sejumlah bukti-bukti yang membuat pembaca tertarik untuk melakukan tindakan. Persuasi harus berakhir dengan suatu ajakan kepada penyelesaian masalah. Dalam persuasi lebih diutamakan unsur emosional agar persuasi memiliki daya dorong yang kuat. Perhatikan contoh berikut.
Sebenarnya ketombe yang sedang berjangkit sekarang, kalau dibiarkan, bukan saja akan merontokkan rambut kita, tetapi dapat mengelupaskan kulit kepala karena ketombe itu termasuk jenis langka dan berbahaya. Tapi, beruntunglah, seorang ahli telah menemukan solusinya berupa sebuah ramuan yang dapat membersihkan semua ketombe itu tanpa ada sisa sebesar debu sekalipun. Andapun tak perlu merusak anggaran biaya rumah tangga karena membelinya, sebab harga ramuan itu tak lebih mahal dari sekantong pisang goreng. Tunggu apalagi? Belilah sekarang sebelum ramuan itu habis dan anda terpaksa menjual rumah untuk mengganti kulit kepala yang mengelupas.
Pada tingkat paragraf, kita hanya mungkin menggunakan salah satu bentuk tersebut. Tapi, dalam tingkat wacana, kita selalu menggunakan modus campuran. Kita memilih salah satu bentuk modus sebagai modus utama wacana kemudian kita menggunakan modus-modus lain sebagai pengisinya. Maksudnya di dalam wacana yang argumentatif, bisa kita gunakan sebagian paragrafnya bersifat naratif, deskriptif, atau expositif. Demikian juga dalam wacana naratif, sering ditemukan paragraf yang melukiskan sesuatu (narasi), menjelaskan sesuatu (eksposisi) atau mendebat sesuatu (argumentasi.)
JUDUL, BAGIAN PEMBUKA, DAN BAGIAN PENUTUP.
Ada tiga bagian dalam wacana yang bukan isinya, tetapi memiliki fungsi yang sangat penting, yaitu judul, bagian pembuka, dan bagian penutup.
Judul wacana tidak dapat dipandang remeh. Banyak dari kita tertarik untuk mulai membaca karena terprovokasi oleh judul. Walaupun judul belum mencerminkan isi wacana itu, suatu wacana mesti diberi judul. Judul akan mengantarkan pembaca memasuki ruang wacana yang lebih luas. Judul adalah gerbangnya. Bila gerbangnya tidak menarik, pembaca enggan masuk dan memilih pindah ke rung yang lain.
Bila wacana dibagi-bagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil seperti bab, fasal, dan subfasal, setiap bagian itu harus diberi judul. Karena setiap bagian memiliki tema tersendiri, untuk tulisan Ilmiah, judul-judul diambil langsung dari tema bagian-bagian itu. Sementara itu, untuk wacana susastra, judul tidak perlu harus sama dengan tema. Untuk susastra, yang penting adalah daya pikatnya. Judul untuk susastra biasanya menggunakan kata atau frasa yang menimbulkan keingintahuan pembaca.
Bagian pembuka suatu wacana berfungsi untuk mempersiapkan pikiran pembaca sebelum memasuki isi wacana. Terus atau tidak terusnya orang membaca wacana tergantung sekali pada bagian pembuka ini. Sebagai pembuka, bagian ini berperan menyiapkan mental spriritual pembaca untuk menerima isi wacana yang akan disampaikan penulis. Itulah sebabnya, bagian ini mesti menarik perhatian pembaca. Bagian ini harus mampu menghentikan pikiran pembaca ke bidang lain sehingga dia bertekad untuk menyelesaikan bacaannya.
Bagian pembuka yang telalu singkat tidak cukup mampu membuka jalan pikiran pembaca. Sebaliknya, pembuka yang terlalu panjang, apalagi berbelit-belit akan membosankan. Panjang pendeknya suatu bagian pembuka sebenarnya relative tergantung pada panjang pendeknya isi wacana. Ada wacana yang dibuka oleh satu paragraf saja, namun ada juga yang memerlukan satu buku sebagai pembuka.
Di antara cara yang banyak ditempuh dalam membuka wacana adalah menguraikan tujuan penulis. Menguraikan tujuan adalah cara yang paling konvensional untuk menarik pembaca. Diharapkan, ketika pembaca melihat tujuan wacana itu bersentuhan dengan kepentingannya, pembaca akan serta merta bersedia duduk sejenak menyelesaikan bacaannya.
Selain menjelaskan tujuan, kadangkala, latar belakang wacana memberi sentuhan tersendiri pula. Walaupun wacana itu tak akan berpanjang-panjang dengan latar belakang tersebut, tetapi nilai rasa yang ada dalam latar belakang akan menular ke keseluruhan isi tulisan.
Masih banyak cara lain yang dapat dikembangkan untuk membuka wacana, baik dengan bentuk pernyataan yang to the point maupun dalam bentuk lain seperti kisah, anekdot, kutipan. pertanyaan provokatif dan lain-lain.
Berbeda dengan pembuka, bagian penutup juga tidak kalah penting. Penutup bertujuan menimbulkan kesan akhir yang positif kepada pembaca bahwa wacana ini tidak boleh diremehkan. Kalau perlu, pembaca dipancing untuk mengikuti wacana selanjutnya yang jauh lebih menarik. Bahkan, bagian penutup juga berfungsi untuk memotivasi pembaca untuk melakukan sesuatu
Cara yang paling banyak dipakai menutup wacana adalah dengan cara meringkas isi wacana. Meringkas bertujuan agar pembaca mengingat kembali butir-butir penting dalam wacana teersebut. Dalam tuslisan eksposisi dan argumentasi, bagian penutup berfungsi sebagai tempat menuliskan kesimpulan dari apa yang dieksposisikan dan diargumentasikan. Untuk persuasi, saran dan anjuran bertindak sangat penting ditekankan di bagian penutup. Karena itu, bagian ini digunakan sebagai tempat memotivasi pembaca untuk terakhir kali untuk mengambil tindakan yang tidak terkesan sebagai hasutan penulis.
Seperti juga membuka, banyak teknik menutup baik dengan cara to the point maupun dengan cara mengungkapkan kisah, menulis anekdot, menulis kutipan, atau mengajukan pertanyaan provokatif. Semuanya boleh dicoba sepanjang dapat menimbulkan kesn positif.
SEBERAPA PANJANG SATU WACANA ITU?
Wacana yang ditulis Sulaiman kepada Balqis hanya satu paragraf, yang tediri dari dua kalimat yang sangat mengesankan. Kalimat pertama berbentuk kalimat berita dan yang kedua berbentuk kalimat perintah.
Surat ini dari Sulaiman, dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Jangan engkau merasa sombong kepadaku, dan datanglah kepadaku dalam keadaan menyerah!.
Tapi pernahkah anda membaca Ihya Ulumuddin, karya Al-Ghazali? Wacananya terdiri dari 40 kitab. Setiap kitab dibaginya menjadi beberapa bab. Setiap bab dibagi menjadi beberapa fasal. Dan, setiap fasal terdiri dari puluhan paragraf.
Pada dasarnya, satu paragraf sudah merupakan satu wacana, seperti wacana Sulaiman di atas. Tapi, untuk menuntaskan seluruh tema yang memang sangat luas, diperlukan beratus-ratus paragraf seperti wacana Al-Ghazali. Luas-sempitnya temalah yang menentukan panjang pendeknya wacana.

Tuesday, October 7, 2008

Tuesday, October 07, 2008

Diksi


Banyak pengamat sastra yang mengatakan bahwa novel karya Andrea Hirata, Laskar Pelangi, sebagai novel yang kaya diksi. Andrea sendiri sampai digelari seniman kata yang sangat piawai memilih kata kemudian merangkainya menjadi kalimat-kalimat yang indah dan bertenaga untuk melahirkan imajinasi yang mantap tentang guru, kawan dan sekolahnya. Itulah kehebatan diksi. Diksinya sungguh luar biasa.
Pernahkah anda mendengar istilah diksi sebelum ini? Secara harafiah diksi diterjemahkan sebagai pilihan kata. Maksudnya, dalam melihat hubungan antara kata dan segala yang maujud dalam pikiran manusia, kita jangan terpaku hanya kepada satu kata. Jutaan kata telah dicipta oleh manusia sepanjang peradabannya agar mereka dapat mengungkapkan pikiran mereka. Sehingga setiap saat, kita akan menemukan ada pilihan kata dari sekian banyak kata. Pilihan itu didasarkan kepada makna kata maupun bentuk kata. Pilihan itulah yang dinamakan diksi.
Mengapa harus memilih? Ketika kita memikirkan sesuatu, pertama sekali otak kita akan mengarahkan kit kepada satu kata yang sangat akrab dengan pengalaman hidup kita, yaitu kata-kata aktif. Otak kita jarang membawa kita kepada kosa kata pasif. Tapi, kalau kita coba renungkan agak dalam, lebih-lebih lagi kalau kita mencoba membuka tesaurus, sejumlah pilihan kata akan muncul, baik yang aktif maupun yang pasif. Bahkan, kita juga akan dibawa ke kata yang sama sekali baru. Sekarang muncullah kebimbangan, kata mana yang lebih tepat maknanya. Kebimbangan di sini bukan berarti negatif, karena semakin banyak pilihan semakin memungkinkkan kita menyampaikan pikiran secara tepat dan bertenaga.
Satu kata, dalam semua bahasa di dunia, bisa memiliki lebih dari satu makna tergantung pemakaian kata itu secara kontekstual. Kamus akan memberi tahu kita berapa macam kemungkinan makna yang dimiliki satu kata. Kata yang memiliki banyak makna seperti ini disebut polisem. Kalau membuka kamus, jangan lupa memeriksa semua makna yang dicantumkan untuk semua polisem itu. Barangkali, kita selama ini hanya mengenal satu atau dua makna saja. Kita baru terkejut setelah membuka kamus, kita menemukan lebih banyak makna dari yang kita duga.
Tahukah anda, bahwa kata korban adalah polisem yang memiliki dua makna? Kata tambang juga polisem dan memiliki lima makna. Demikian juga kata buku, bisa, kopi, amat termasuk polisem.
Apa yang kita sebut polisem di sini harus dibedakan dengan homonim, yaitu kata yang memiliki kesamaan bentuk. Tapi memisahkan antara polisem dan homonim tentu agak sulit dan tidak terlalu diperlukan bagi kegiatan tulis menulis.
Beberapa makna yang berbeda-beda yang dimiliki satu kata itu tidak hanya berbeda secara leksikal sesuai sejarah pembentukan kata tersebut, tapi berbeda secara kontekstual. Maksudnya, secara leksikal satu kata, misalnya, memiliki satu makna, tapi secara penggunaan, mungkin memiliki makna lain akibat pengaruh budaya penuturnya.
Untuk tulisan ilmiah, seseorang harus berhati-hati dalam memilih kata karena bisa jadi kata itu memiliki makna lain yang memungkinkan pembaca salah mengerti. Sebutlah kata bunga raya. Kata itu secara leksikal memiliki makna yang jelas, sebagai nama salah satu bunga. Tapi, dalam konteks tertentu, kata bunga raya dapat diartikan sebagai perempuan asusila. Dalam tulisan fiksi, kadang-kadang sengaja digunakan kata-kata yang memiliki makna lain agar diperoleh perluasan imajinasi. Di sinilah perlunya seorang penulis mempelajari kata-kata yang berkonotasi ke makna lain tersebut agar dia dapat dengan sengaja memakai atau menghindarinya.
Selain satu kata memiliki makna yang bebeda-beda, baik secara linguistik maupun secara kontekstual, satu kata juga memiliki kekerabatan dengan kata lain. Artinya, dari satu kata, kita dapat menelusuri kata lain yang maknanya masih dalam perkerabatannya. Ada empat perkerabatan kata, yaitu:
  • sinonim, berdasarkan kemiripan makna
  • antonim, berdasarkan keberpasangan makna
  • hiponim, berdasarkan kesegarisan makna
  • derivatif, berdasarkan keseturunan
Kata cantik, bersinonim dengan ayu, jelita, manis, molek, rancak, cakap, indah, dll. Kata pembantu bersinonim dengan babu, jongos, pesuruh, asisten., dll. Sinonim bukan berarti makna kata-kata itu sama. Sinonim hanya menunjukkan kedekatan makna. Dengan melihat semua sinonim satu kata, kita akan terbantu memilih di antara kata-kata itu yang paling dekat dengan yang kita maksudkan.
Tapi kata cantik berantonim dengan kata buruk, jelek, rombeng, dll. Kata suami berantonim dengan istri. Gelap berantonim dengan terang. Dengan melihat antonim suatu kata, memungkinkan kita menggunakan kata tidak untuk memperluas pilihan kata. Contohnya untuk mengungkapkan cantik, kita bisa dapat menggunakan pilihan: tidak buruk, tidak jelek, tidak rombeng, dll.
Kata juga memiliki kekerabatan dengan kesegarisan makna yang disebut hiponim. Kata mawar berhiponim dengan bunga, tumbuhan, makhluk hidup, dll. Kata cantik berhiponim denganwajah, dll. Dengan mengetahui hiponim, memungkinkan seseorang menggunakan variasi dalam mengulang kata untuk menunjukkan keterkaitan kalimat. Lihat dua contoh kalimat berikut:
  • Dia memberiku sekuntum anthurium.
  • Bunga mahal itu punya arti sendiri bagiku.
  • Walaupun masih kecil, itulah tanaman terindah yang pernah kujumpai sepanjang hidupku.
Ketiga kalimat itu saling terkait karena adanya pengulangan kata-kata yang hiponim; mawar, bunga, dan tanaman.
Selain kekerabatan berdasarkan makna seperti dijelaskan di atas, kata bisa memilki kekerabatan keturunan. Kata menulis, misalnya, berkerabat dengan kata tulislah, menulis, ditulis, tertulis, bertulis, tulisan, penulis, penulisan, kepenulisan, alat tulis, dan tulis-menulis karena sama-sama berasal dari kata dasar tulis. Makna kata-kata yang berkerabat seperti itu ada kalanya dekat dan ada kalanya jauh. Bahkan, kata-kata seperti itu berada dalam kelas yang berbeda. Namun, dengan melihat semua kemungkinan bentuk turunan satu kata, kita akan lebih leluasa memilih kata yang paling tepat.
Pemilihan kata, sudah barang tentu, akan mempengaruhi pula bangun kalimat. Bangun kalimar yang menggunakan predikat menulis tak akan sama dengan bangun kalimat yang menggunakan predikat ditulis.
Kalau Andrea Hirata telah membuktikan kehebatannya dalam menulis novel yang kaya diksi, kini giliran anda untuk melakukan hal yang sama dan bahkan lebih hebat. Selamat mencoba.
Tuesday, October 07, 2008

Kata, Kamus dan Tesaurus


Menurut definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata adalah serangkaian huruf (kalau tulisan) atau serangkaian bunyi (kalau lisan) yang mewakili segala sesuatu yang maujud dalam pikiran manusia. Manusia memikirkan sesuatu. Ketika ia ingin menyampaikan pikiran itu kepada orang lain, mereka harus menciptakan kata sebagai simbol yang disepakati di antara mereka. Korelasi antara pikiran dan kata itulah yang dinamakan makna.
Setiap bangsa manusia memiliki kosa kata mereka masing-masing. Suatu bangsa belum tentu dapat memahami kosa kata suatu bangsa yang lain. Itulah sebabnya, komunikasi antar bangsa memerlukan pencarian kesamaan antar kata untuk melihat korelasi masing-masing pada pikiran.
Dari sini kita bisa melihat berbagai perbedaan kata-kata merujuk kepada referensi yang sama. Kita bisa melihat satu bangsa sangat kaya kosa katanya dalam bidang tertentu, sementara bangsa yang lain sangat miskin. Dalam bidang komputer dan teknologi, misalnya, bangsa Indonesia memiliki kosa kata yang sangat terbatas. Tapi dalam bidang pertanian, kita memiliki kosa kata yang sangat kaya. Sebagai contoh kita tidak punya padanan kata download, chatting, blog, fax, dan scan, dll. Kita terpaksa memakai kata-kata itu apa adanya. Sementara itu bangsa Amerika tidak punya padanan kata untuk padi, gabah, beras, dan nasi. Mereka hanya punya satu kata rice , padahal keempat kata itu memiliki makna yang berbeda. Saya belum tahu apakah mereka mempunyai pada kata untuk petai dan jengkol.
Korelasi antara kata dan segala sesuatu yang maujud dalam pikiran suatu bangsa, dapat dilihat di dalam kamus. Setiap ahli bahasa di setiap bangsa telah berusaha mendaftarkan semua kosa kata yang hidup di bangsanya masing-masing. Di Arab kita mengenal Al Qamus Al-Munjid, di Amerika ada Meriam Webster's Dictionary. Di Inggris ada Oxford Dictionary. Di Malaysia ada Kamus Diwan.Sedangkan di Indonesia kita menemukan Kamus Besar Bahasa Indonesia. Selain itu kita temukan pula kamus padanan kata antar dua bahasa, seperti Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris berbolak balik.
Apa hubungannya dengan menulis? Semakin banyak kosa kata yang dikuasasi seorang penulis, semakin beragam pikiran yang dapat diugkapkannya dalam tulisannya. Kita, sebagai pembaca, sering menemukan tulisan yang miskin kosa kata, sehingga tulisan itu terasa hambar tanpa rasa. Lebih parah lagi, kekurangan kosa kata itu ditopang pula oleh kemiskinan struktur kalimat. Ini belum lagi kita sebut kerancuan kalimat.
Penguasaan kosa kata tidak sama dengan pemahaman kosa kata. Seseorang ketika disodorkan kepadanya satu kata tertentu, dia mungkin akan memahaminya. Dia dapat membaca tulisan dengan kosa kata yang kaya dan beragam. Tapi ketika ia disuruh menulis, dia tetap menggunakan kata yang itu-itu saja, tanpa variasi seolah olah kata itu saja yang dipahaminya. Dalam kasus ini, pemahamanya lebih baik dari penguasaannya. Penguasaan kosa kata berarti kemampuan seseorang menemukan kata untuk mengungkapkan pikiran-pikirannya, bukan sekedar kemampuan memahami.
Dalam proses menulislah, penguasaan kata seseorang itu teruji. Ada tulisan yang datar, hambar, tanpa rasa. Tapi ada tulisan yang enerjik, hidup, yang dapat meledakkan emosi seperti bom. Seseorang hanya mampu menyampaikan gagasannya secara lurus, tapi yang lain mampu mengorek emosi pembaca, melahirkan pesona. Satu tulisan mampu memberikan kepahaman kepada pembaca, tapi tulisan yang lain mampu menggerakkannya melakukan sesuatu atau menolak sesuatu.
Menurut Joe Vitale, penulis Hypnotic Writing, pernah diadakan penelitian terhadap novel-novel karya Agatha Cristie. Novel-novel itu begitu memukau, selalu dicari pembacanya. Pembaca seperti ketagihan. Dari penelitian itu ditemukan bahwa di dalam novelnya, Agatha telah menggunakan kata-kata terpilih dengan susunan yang juga terpilih. Kata-katanya pilihannya memiliki energi penggerak yang besar, bagaikan bom. Ide-idenya meledak dahsyat di dada pembacanya. Kata-katanya memicu imajinasi.
Untuk melahirkan tulisan sekelas karya Agatha Cristie, kita tentu harus melakukan pentahapan. Pada awal penulisan, kita mungkin lebih terfokus kepada penuangan ide-ide dari gudang memori kita. Saat ini kita harus menulis cepat sebelum ide-ide itu berhenti mengucur. Jadi merugilah kita kalau terlalu bermain dengan kata-kata, ejaan, struktur dan lain-lain. Saat ini hasil tangkapan berupa ide jauh lebih berharga.
Tapi, setelah itu akan ada saat kita menyunting semuanya. Pada tahapan ini kita akan memperbaiki ejaan, memvariasikan susunan, dan yang tak kalah penting adalah mengganti-ganti kata dan ungkapan. Pada saat inilah kita akan membuka perbendaharaan kata sehingga kita dapat memungut satu yang paling tepat. Ketika menulis tahap awal, kita mungkin melihat suatu kata paling tepat. Tapi setelah kita bolak-balik menggantinya, kita akan melihat kata-kata lain yang lebih mengena bermunculan dari pikiran kita.
Kita tidak hanya menemukan kata-kata baru pada saat penyuntingan itu. Kita bisa membumbui tulisan dengan cerita-cerita yang menghidupkan. Kita dapat tambahkan pula dengan pernyataan-pernyataan yang membuat pembaca penasaran dan ingin tahu lebih banyak. Kalimat berita diubah menjadi kalimat tanya. Kalimat pasif diubah menjadi kalimat aktif. Pada akhirnya lahirlah tulisan yang tidak sekedar memberi kepahaman, tapi tulisan yang mampu menghipnosis pembaca.
Saya ingat apa yang ditulis Pak Jalal dalam Retorika Modernnya. Kata yang retoris adalah kata yang jelas, tepat dan menarik. Kata menjadi jelas jika kata itu spesifik sesuai dengan maksud yang sebenarnya dan tidak menimbulkan arti ganda. Pilihan kata harus tepat sesuai dengan tujuan tulisan, situasi, jenis pembaca dll. Terakhir, kata-kata mesti menarik, menimbulkan kesan yang kuat, hidup dan merebut perhatian.
Semua penulis profesional, termasuk Agatha Cristie, memanfaatkan tesaurus untuk urusan pemilihan kata. Otak kita memerlukan pemicu agar ia mengeluarkan kosa kata dari celah sel-sel penyimpanannya. Sebelum kita buka tesaurus ini, kita mengira satu kata tertentu adalah kata satu-satunya yang paling tepat. Tapi setelah tesaurus dibuka pada lema kata yang ada itu, luar biasa, puluhan kata-kata lain akan bermunculan sehingga kita tidak melihat lagi bahwa kata yang ada tadi sebagai yang terbaik. Kalau Agatha Cristie saja menggunakan tesaurus, mengapa kita tidak?
Tuesday, October 07, 2008

Bangun Kalimat Lainnya


Perbincangan tentang kalimat ternyata tidak dapat dipendek-pendekkan kalau tidak ingin memperoleh tulisan yang primatur, jelek, dan diremehkan. Dalam pembahasan yang lalu, telah dikupas bangun kalimat berita dengan penempatan subjek yang selalu mendahului predikat. Sekarang giliran kita membahas mposisi,  bangun kalimat yang berbeda dari yang itu. Pembahasan itu tidak cukup kalau kita ingin mempunyai variasi kalimat yang lebih beragam. Pembahasan tentang bangun kalimat yang belum pernah kita tinjau itu adalah: kalimat inversi, kalimat tanya, kalimat seru, dan kalimat suruh. Bersiaplah sekarang!
Bangun kalimat berita tidak harus seperti pola kalimat yang pernah kita bicarakan, yaitu pola kalima yang subjeknya di depan kemudian diikuti predikat. Subjek tidak selalu harus mendahului predikat. Dalam banyak kasus, jika penulis ingin memberi tekanan pada predikat, sebaiknya predikat ditempatkan sebelum subjek. Contohnya dalam kalimat Di sini berlaku undang-undang darurat perang. Kedua frasa di sini
berlaku adalah predikat, sementara undang-undang darurat perang adalah subjek. Kalimat dengan pola seperti ini, predikat mendahului subjek, dinamakan kalimat inversi. Kalimat inversi termasuk kalimat baku yang diterima oleh kaidah tata bahasa dan banyak dipakai dalam berbagai tulisan, baik fiksi maupun non fiksi.

Di pembahasan sebelumnya, fokus kita tertuju pada jenis kalimat berita saja, yaitu bangun kalimat yang subjek dan predikatnya sudah diketahui oleh penulis. Kalau tujuannya mempertanyakan salah satu unsur yang belum diketahui, digunakan kalimat dengan pola pertanyaan. Dalam pola ini, salah satu kata ganti penanya seperti apa, bagaimana, dimana, mengapa, kapan, bila, dan siapa digunakan untuk menggantikan unsur yang tidak diketahui dan ingin dipertanyakan penulis. Misalnya, jika yang akan ditanyakan adalah subjeknya, contoh bangunnya adalah Siapa menulis buku itu? Jika yang ditanyakan adalah pedikatnya, maka contoh bangunnya adalah Siapa penulis buku itu? Masih banyak contoh yang lain. Kalimat dengan pola pertanyaan termasuk pola yang baku yang juga diterima oleh kaidah tata bahasa.
Pola lain yang juga baku adalah pola kalimat seru yang mempunyai bangun yang lain dari bangun kalimat berita dan kalimat tanya. Contoh kalimat seru adalah Alangkah indahnya rumah itu! Seperti pada contoh itu, kalimat seru biasanya dimulai dengan interjeksi seperti alangkah, betapa, oh, aduh, wah, masyaallah, dll.
Jika kita menyuruh seseorang, kita akan menggunakan bangun kalimat seperti Tulislah! Kalimat itu seolah-olah tidak mempunyai subjek. Pola inilah yang dinamakan pola kalimat suruh atau perintah. Secara implisit, subjeknya adalah kata ganti orang kedua seperti kamu, engkau, anda, yang dilesapkan.
ANAK KALIMAT DAN KUTIPAN
Dalam tata bahasa Bahasa Indonesia, bukan hanya kata dan frasa yang bisa menempati ruas subjek dan predikat. Satu kalimat yang utuh (mengandung subjek dan predikat) dapat ditempatkan di salah satu ruas kalimat lainnya. Kita menyebut kalimat yang menempati fungsi salah satu unsur kalimat lain ini sebagai anak kalimat.
Anak kalimat pada dasarnya mengandung subjek dan predikat. Bahkan, predikatnya mungkin juga mengandung frasa keterangan. Tapi, untuk bisa menempati satu ruas atau mengganti kedudukan satu frasa di dalam kalimat lain, suatu kalimat harus dipandang sebagai satu kesatuan seperti kita memandang satu kata. Untuk tujuan menjadi satu kesatuan itulah, kalimat yang akan dijadikan anak kalimat sengaja didahului oleh satu preposisi . Adanya preposisi ini menjadi sebab mengapa anak kalimat tidak dapat lagi berdiri sendiri sebagaimana layaknya kalimat.
Sebagian ahli bahasa tidak menyebutkan kata yang mendului anak kalimat sebagai preposisi. Mereka lebih memilih untuk menyebutnya sebagai konjungsi subordinatif. Di sini, saya akan tetap menyebutnya preposisi karena kalimat yang dijadikan anak kalimat tidak berkedudukan setara dengan kalimat induknya, sementara konjungsi hanya menggabungkan dua unsur yang setara.
Berdasarkan karakteristiknya, anak kalimat dapat menempati semua posisi yang dapat ditempati nomina. Ini berarti anak kalimat bisa menjadi subjek, pewatas subjek, objek langsung verba, objek tak langsung verba, pewatas objek verba, objek preposisi, pewatas onjek preposisi, dan komplemen.
Preposisi yang banyak dipakai untuk menjadikan suatu kalimat sebagai subjek atau objek kalimat lain adalah bahwa dan yang. Selain itu, ada preposisi untuk menjadikan satu kalimat sebagai keterangan di kalimat lain seperti setelah, karena, dengan, dll. Contohnya, dengan menambahkan bahwa di depan kalimat Ia bersalah, maka jadilah anak kalimat bahwa ia bersalah.
Bila anak kalimat dibuat dengan bangun kalimat tanya, tidak diperlukan lagi preposisi seperti di atas. Contohnya Kemana ia pergi dapat langsung dipakai sebagai anak kalimat tanpa tambahan preposisi lagi. Kata ganti penanya kemana dianggap sebagai pengganti preposisi.
Kutipan langsung, diperlakukan persis seperti anak kalimat, yaitu dapat menggantikan nomina dalam posisi apapun di dalam kalimat.
Berikut ini adalah senarai contoh kalimat yang mengandung anak kalimat yang menempati fungsi sebagai yang disebutkan di atas:
  • Sebagai subjek

    • Bahwa dia terjebak macet menjadi sumber kegelisahannya
    • Bahwa mereka tak bersedia meragukan saya
    • Yang biasanya terbang tinggi adalah burung elang
    • Mengapa ia berbuat begitu tidak pernah disadarinya
    • "Saya mencintaimu" tidak pernah diucapkannya lagi setelah itu.
  • Sebagai pewatas subjek

    • Preman yang memukul kami, melarikan diri
    • Preman yang dikeroyok masa, melakukan perlawanan
    • Buku yang saya beli telah dihilangkan kawan
    • Teriakan "Aduuuh!" di luar telah mengganggu ketenangan pengunjung
  • Sebagai objek verba

    • Dia sering mengatakan dia sakit perut bila tidak alasan lain
    • Dia mengatakan bahwa kawannya ikut terlibat
    • Dia mengatakan "Tiada maaf bagimu"
  • Sebagai pewatas objek verba

    • Dia membawa semua yang dilarang ke sini
    • Saya membaca buku yang direkomendasikan guru
    • Saya tahu alasan mengapa ia memakai jilbab
    • Saya mendengar teriakan "Allahu akbar"
  • Sebagai objek preposisi

    • Dia telah pergi ke sekolah sebelum ayahnya pulang
    • Dia terus maju dengan "Merdeka atau mati"
  • Sebagai pewatas objek preposisi

    • Ahmad menuliskan buku demi sesuatu yang dicita-citakannya
  • Sebagai komplemen verba

    • Saya tidak percaya bahwa mereka bersedia
PEMAKAIAN KONJUNGSI
Untuk memperkaya variasi kalimat, tata bahasa memperkenalkan satu kaidah menggabungkan dua kata membentuk gabungan. Penggabungan bisa juga berlaku antara dua frasa dan dua kalimat. Kata, frasa, atau kalimat yang digabungkan ini berkedudukan setara dan secara keseluruhan berperilaku sebagai suatu kesatuan walaupun unsur-unsur yang digabung itu tidak saling mempengaruhi secara makna, tapi berada pada maknanya masing-masing. Namun, secara sintaksis, gabungan ini berperilaku seperti kata tunggal.
Penggabungan dapat dilakukan dengan penggunaan tanda baca pemisah seperti koma atau titik-koma. Walaupun demikian, yang paling banyak dipakai untuk penggabungan adalah konjungsi.
Ada beberapa jenis konjungsi sesuai fungsinya, yaitu: konjungsi penyertaan, pertentangan, pilihan, ketercakupan, keruntutan, penekanan, dan penjelasan.
Konjungsi penyertaan adalah konjungsi yang menunjukkan keberadaan kedua unsur yang digabungkan sekaligus, seperti bersama, beserta, dan, dan lagi, lagi, lagi pula, serta, selain, tambahan lagi, dan tambahan pula. Contoh pemakaiannya adalah sebagai berikut:
  • Saya, engkau, dan dia (gabungan tiga kata)
  • Ibu saya serta ayah saya (gabungan dua frasa tanpa pelesapan)
  • rumah , kantor, dan furnitur baru (gabungan tiga frasa dengan pelesapan ajektivanya)
  • Saya membaca buku sedangkan Ahmad menulis surat (gabungan dua kalimat tanpa pelesapan)
  • Saya membaca buku kemudian menulis surat (gabungan dua kalimat dengan pelesapan subjeknya)
  • Ayah rajin menulis sedangkan Ibu jarang (gabungan dua kalimat dengan pelesapan predikat)
Dari contoh di atas, unsur-unsur yang sama dapat dilesapkan, dengan menyebutnya sekali saja. Ibu saya dan ayah saya cukup ditulis ibu dan ayah saya. Saya membaca buku bersama Ahmad membaca buku dapat ditulis menjadi saya membaca buku bersama Ahmad.
Selain konjungsi penyertaan, ada lagi konjungsi pertentangan untuk menunjukan apa yang dimaksudkan oleh masing-masing unsur yang digabung saling berlawanan. Konjungsi pertentangan di antaranya adalah: hanya, melainkan, padahal, sebaliknya, sedang, sedangkan, tapi, dan tetapi. Contoh pemakaian konjungsi pertentangan adalah sebagai berikut:
  • Semua anak laki-laki kecuali Ahmad memainkan piano itu
  • Saya membaca buku sebaliknya Ahmad menulisnya
Ada beberapa konjungsi lain selain ketiga jenis konjungsi di atas. Konjungsi pilihan digunakan untuk menunjukkan bahwa satu unsur merupakan alternatif dari unsur yang satu lagi, seperti: antara ..dan…, atau, dan atau… atau…. Konjungsi ketercakupan menunjukkan kedua unsur yang digabung ada di dalamnya, seperti: baik… ataupun …, dan baik… maupun … .Konjungsi yang menunjukkan unsur yang satu terjadi setelah atau sebelum yang satu lagi disebut konjungsi keruntutan, seperti: kemudian, lantas, dan lalu. Konjungsi penekanan menekankan bahwa unsur yang satu lebih penting dari unsur yang lain,seperti: bahkan, malah, dan malahan. Konjungsi penjelas adalah konjungsi untuk menambahkan contoh atau uraian terhadap suatu unsur, seperti: ialah, yakni, dan yaitu.
BANGUN KALIMAT MINOR
Kalimat minor adalah kalimat yang tampaknya tidak memiliki subjek atau predikat. Pada bangun ini, subjek atau predikat sengaja dilesapkan, karena dianggap sama dengan subjek atau predikat pada kalimat sebelumnya. Bangun kalimat seperti ini masih dipandang benar secara tata bahasa, karena subjek atau prdikat kalimat itu pada dasarnya masih dapat ditangkap dari kalimat sebelumnya.
Tapi, jika subjek atau predikat sama sekali kabur, tidak bisa ditangkap dari kalimat sebelumnya, maka bangun ini tidak dapat diterima. Bangun ini dipandang sebagai bangun kalimat yang rancu. Apabila penulis ragu akan ketertangkapan subjek atau predikat, maka wajib ia menuliskan bangun kalimat secara utuh untuk menghilangkan kertancuan itu.
Bangun kalimat minor banyak digemari pada tulisan susastra, seperti novel atau cerpen untuk mempertahankan ritmik (irama) tulisan. Penggunaan kalimat minor dalam tulisan susastra tidak dapat disamakan dengan kalimat rancu, karena kalimat minor memiliki subjek dan predikat walaupun secara implisit. Di lain pihak, kalimat rancu tidak memiliki subjek atau predikat. Kalimat minor melahirkan keindahan, sementara kalimat rancu melahirkan kepusingan.
Contoh pemakaian kalimat minor adalah:
  • Ibu menjahit baju. Kemudian memasak.
Kemudian memasak adalah kalimat minor karena subjeknya tidak ditulis, tapi dilesapkan. Walaupun dilesapkan, pembaca tahu bahwa subjeknya sama dengan subjek kalimat yang mendahulinya, yaitu ibu.
Contoh lainnya lagi adalah:
  • Siapa namamu? Toni.
Toni adalah kalimat minor juga karena predikatnya tidak ditulis lengkap. Predikat kalimat tersebut dapat dipahami dari kalimat yang mendahuluinya. Secara lengkap kalimat itu harus dipahami sebagai Toni adalah namaku.
Contoh terakhir adalah:
  • Oh!
Walaupun tanpa subjek dan predikat, sebuah interjeksi yang diakhiri dengan tanda seru (!) dipandang sebagai kalimat, yaitu kalimat minor.
Untuk menghindari kerancuan, kalimat minor hanya efektif diterapkan bagi kalimat yang pendek. Untuk kalimat yang panjang, yang unsur-unsurnya berupa frasa, lebih efektif digunakan kalimat lengkap.
Demikianlah pembahasan tentang bangun dasar kalimat sesuai dengan kaidah tata bahasa. Kita tidak akan kehilangan peluang untuk mengungkapkan keindahan dan cita rasa tulisan dengan mengikuti kaidah bangun kalimat tersebut. Kepiawaian seorang penulis terletak dari kemampuannya meracik kalimat-kalimat itu dan memperbagaikan bangun dan pilihan katanya. Pada kepiawaian inilah letaknya keindahan sastrawi suatu tulisan.