Breaking

Friday, October 22, 2010

Friday, October 22, 2010

Keliru Pikir dalam Logika


    "Pak Harto lengser dan pemerintah Orde Baru bubar disebabkan oleh demo besar-besaran yang terjadi menjelang bulan Mei 1998. Karena itu, demo yang serupa pasti akan mengakiri pula pemerintahan SBY."
     Kalau ada yang bepikir seperti itu, orang itu telah melakukan setidak-tidaknya dua kekeliruan berpikir. Kekeliruan pertama disebut post hoc propter hoc. Yang kedua disebut false analogy.
     Kekeliruan post hoc propter hoc adalah keliru dalam melihat rangkaian peristiwa. Beberapa peristiwa terjadi berangkai: yang satu mendahului yang lain. Peristiwa yang mendahului, dengan ringannya, dianggap sebagai penyebab peristiwa yang didahului. Kekeliruan falsa analogy adalah keliru karena terlalu berani menarik kesimpulan dengan menyerupakan satu peristiwa dengan peristiwa lain tanpa melihat seberapa sama variabel-variabelnya.
     Bila ada seorang yang jatuh sakit dan disakiti sebelum terjadi tsunami, logiskah kalau dipandang ia sebagai penyebab terjadinya Tsunami? Kalau ada yang yang berbuat demikian, maka itulah contoh lain dari kekeliruan post hoc propter hoc itu. Kekeliruan itu tak berbeda dengan kelirunya seseorang yang mengira kokok ayam sebelum matahari terbit sebagai sebab terbitnya matahari.
      Demo 1998, yang saya sebut di atas tadi, tentu akan berbeda dengan demo 2010, dan tak sama pula dengan demo 1966. Masalah di tahun 1998 tak sama dengan masalah di tahun 2010, dan lebih tak sama lagi dengan masalah di tahun 1966. Penganalogian demo dengan demo di masa yang berbeda atau tempat yang berbeda jelas suatu kekeliruan, bila semua variabelnya tidak dibandingkan dengan cermat. Itu namanya false analogy.
Bahkan, kalau diperiksa lebih lanjut, kekeliruan ketiga ,hasty generalization, sering pula menyertai false analogy membentuk kekeliruan yang lebih serius lagi. Saya menyebutnya keliru di atas kekeliruan. Fakta yang menunjukkan betapa banyaknya demo yang dibuat di berbagai tempat, namun tidak menggoyang sama sekali sebuah pemerintahan, sudah cukup sebagai pembukti kekeliruan berpikir yang membayangkan runtuhnya pemerintahan SBY melalui demo.
     Saya tidak bermaksud membahas tentang demo, pemerintahan Orde Baru, dan apalagi pemerintahan SBY. Itu hanya contoh saja. Contoh di atas hanyalah sebagian dari apa, yang di dalam logika, dinamakan keliru pikir. Saya justru tertarik dengan berbagai kasus yang semakin hari semakin nampak, yang menunjukkan gejala keliru pikir yang semakin akut. Saya justru ingin mengajak semuanya, tanpa kecuali, untuk belajar kembali ke pangkal.
     Dalam ilmu logika, semuanya ada 28 keliru pikir (istilah aslinya: the
fallacies) yang didaftarkan oleh Irving M. Copi, dalam Introduction to Logic, dan Monroe C. Beardsley, dalam Thinking Straight.
     Anda tak perlu membaca kedua buku itu lagi bila Anda kurang berminat. Semua bentuk dan bentuk kekeliruan itu telah diringkaskan dengan sangat bagus dalam sebuah buku yang berjudul Logika, terbitan RajaGrafindi, Jakarta, 2010, karya Mundiri. Buku ini terbit pertama kali tahun 1994. Kini, buku ini telah dicetak ulang untuk ke- 13 kalinya. Nah, saya ingin mengatakan bahwa buku ini, meminjam moto Tempo sejak tempo dulu, enak dibaca dan perlu. Tidak main-main kalau saya berani merekomendasikan buku ini agar dibaca oleh para aktifis perjuangan di berbagai medan dan lini, pejabat negara, anggota DPR, para penulis, dan bahkan para demonstran.
     Sebagai seseorang yang nampaknya pakar logika, Mundiri (si penulis buku ini) cukup mahir meringkaskan daftar keliru pikir (the fallacies) itu dalam satu bab yang dijadikannya bab teraakhir bukunya yang terdiri dari 15 bab itu. Melalui 14 bab sebelumnya, kalimat-kalimat Mundiri mengalir lincah. Barangkali, sebuah kekeliruan kalau saya memandang karya Mundiri ini sebagai buku filsafat, karena buku itu terlalu enak dibaca, tak ubahnya seperti sebuah buku pop, dan jauh dari kesan berfilsafat. Tapi, kalau mau dipandang sebagai buku pop, mungkin saya keliru juga, karena semua materi yang dibahas adalah materi berat yang menjadi tulang punggung filsafat itu sendiri.
     Dengan kalimat yang pendek-pendek yang berkoherensi tinggi, contoh yang apik, dan definisi yang menggigit, pikiran penulis mengalir dengan sangat lancar bab demi bab. Sekali-sekali pembaca akan dihentakkannya dengan berbagai perumpamaan yang sangat logis. Dari sana, baru kita tahu, bahwa yang selama ini dipandang logis, ternyata tidak logis. Tak heran kalau banyak ucapan para petinggi negara menjadi tertawaan orang ramai kalau salah nalar. Buku ini sangat sistematis, ringkas. Saya memandang buku ini sangat cocok dibaca oleh bangsa kita, yang semakin hari semakin kehilangan akal sehatnya.
     Menurut Mundiri, yang diambilnya dari salah satu dari 25 referensi yang dicantumkannya di akhir buku, asal kata logika adalah logos, dari bahasa Latin, yang bermakna perkataan. Dalam bahasa Arab, logika dipadankan dengan kata mantiq, yang juga bermakna sama: perkataan. Mengapa perkataan? Bepikir itu, katanya, adalah berkata-kata, dan berkata-kata itu adalah berpikir. Sehingga, kata adalah pikiran.
      Walaupun logika sebagai sebuah ilmu dinisbatkan kepada Aristoteles, namun kaum Sofis, Socrates, dan Plato tetap dianggap sebagai perintis awalnya. Bahkan, diyakini oleh banyak pakar, bahwa orang yang pertama kali menggunakan kata logos bukanlah Aristoteles, tetapi kaum Zeno dari Citium, yang hidup jauh sebelum Aristototeles berbicara panjang lebar tentang logika. Wallahu a'lam.
     Walaupun demikian, keenam buku karya Aristoteles: De Interpretatiae, Anlitica Priora, Analitica Posteriora, Topika, dan De Sophistics, merupakan inti dari ilmu logika, yang disebut logika klasik. Sejak itu, ilmu logika menjadi bagian penting filsafat, bahkan boleh dikatakan sebagai rohnya. Tanpa logika, filsafat telah jadi bangkai. Ilmu logika berkembang dari satu stase ke stase lain sampai mencapai suatu bentuk yang disebut sebagai logika modern. Maka, pada giliran berikutnya, bersama-sama dengan matematika dan bahasa, logika menjadi tulang punggung pengembangan berbagai cabang ilmu sampai ke zaman ini.
     Umat Islam pada abad ke-2 H (abad ke-8 M) ramai-ramai belajar ilmu logika yang mereka sebut sebagai ilmu mantiq. Mereka menterjemahkan karya Aristoteles ke dalam bahasa Arab. Al Farabi dan Al Kindi, disebutkan sebagai sebagian nama tokoh-tokohnya itu. Walaupun beberapa ulama, seperti Imam Nawawi memfatwakan ilmu logika haram, namun jumhur ulama memandang bahwa hukumnya boleh (mubah). Para ulama Islam telah meyakini bahwa Allah mewajibkan manusia berpikir secara logis, menggunakan akal sehat, dan mengumpulkan fakta-fakta melalui oberservasi empiris.
Fakta telah menunjukkan bahwa manfaat Imu Mantiq tak terelakkan lagi, bahkan dalam pengembangan ilmu-ilmu keislaman seperti ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu sejarah, ilmu fiqih, dll. Tak terbayangkan rasanya, kalau kaidah-kaidah logika atau yang dalam bahasa Arabnya disebut mantiq ini tidak dikusai oleh para ulama zaman sebelum kita, kita akan menemukan banyak sekali pertentangan logis dalam karya-karya mereka itu di zaman ini.
     Logika adalah kaidah dalam menalar (reasoning), yang terdiri dari kaidah dalam memilih proposisi, fakta, argumen untuk suatu kesimpulan. Logika juga berisi kaidah menguji kebenaran tiap fakta atau proposisi, dan kaidah menautkan mereka satu sama lain. Bila proses itu berjalan dengan benar, maka akan dihasilkan proposisi baru yang sangat berguna bagi pengetahuan manusia. Logika mencakupi kedua metoda berpikir: deduksi dan induksi, lengkap dengan seluruh cabang-cabangnya: silogisme, generalisasi, analogi, hubungan kausalitas, dll.
     Mundiri menjelaskan, dalam buku yang serba ringkasnya ini, bagaimana melahirkan sebuah definisi yang benar, eksplanasi yang logis, dan sampai kepada bagaimana melahirkan sebuah teori. Sebuah teori yang berasal dari proses induksi, yang digunakan pada sains modern, betapapun tidak pernah mencapai kebenaran 100%, sudah dapat dipandang sebagai sebuah kebenaran. Tentu saja, kebenaran ilmiah itu bukanlah kebenaran mutlak. Secermat-cermatnya proses induksi ilmiah dilakukan, manusia hanya dapat mencapai kebenaran relatif, sebagai sebuah probabilitas.
     Buku ini memang ditujukan sebagai pendamping mata kuliah logika bagi mahasiswa S1. Namun, saya menilai tidak salah kalau buku ini dibaca dan dicermati oleh siapa saja yang ingin berpikir logis, termasuk siapa saja yang selama ini merasa sudah sangat logis karena sudah mengondol gelar S3, professor, ulama, cendikiawan, dll. Tak ada biografi penulis di halaman belakang buku ini. Saya kira ini bagus, supaya kita tak terjebak kepada keliru pikir fallacy of abusing (menyerang argumen dengan menyerang pribadi pencetusnya). Barangkali, dengan belajar kembali ilmu logika, mengenal kembali bagaimana menalar dengan baik dan mengenal kembali berbagai jebakan berpikir yang menghasilkan keliru pikir, bangsa ini akan menjadi lebih baik. Insyaallah.
Wallau a'lam
Bagaimana pendapat Anda?

Saturday, October 16, 2010

Saturday, October 16, 2010

Maqam dan Makam


Dua orang Indonesia pernah hampir bertengkar tatkala mereka berbeda persepsi tentang monumen yang terletak di depan ka'bah. Apakah itu "maqam Ibrahim" atau "makam Ibrahim"? Kalau diteruskan, mungkin, mereka akan berbunuhan tatkala berbincang tentang "nafsu" dalam makna yang satu, dan "nafsu" dalam makna yang lain lagi.

Apa pasal? Mereka terjebak pada perbedaan makna kata yang mirip bunyinya dan berlaku secara luas, mentang-mentang sama-sama tak pernah kuliah di linguistik. Lebih-lebih lagi, kata-kata itu merupakan bagian dari kajian nilai-nilai keislaman. Rasanya, perlu pula kita kupas permasalahan perbedaan itu.

"Maqam" dan "makam", sama bunyinya namun tak sama maknanya. Para pihak berpegang pada definisi masing-masing. Mereka pun bertengkar. Pasti lebih parah lagi, kalau seandainya mereka berdiskusi tentang "nafsu", sambil "bernafsu" pula. Bisa-bisa mereka benar-benar akan berbunuhan. Saya tak paham apakah itu karena bawaan bangsa ini memang senang bertengkar atau kita ini bangsa yang sudah sangat kaya dengan kosa kata.

"Maqam" berasal dari bahasa AlQuran yang berarti tempat berpijak, atau biasa juga dipakai sebagai tempat berdiri untuk menggapai tempat yang lebih tinggi. Misalnya, saya mau memasang lampu di kamar. Karena saya pendek, maka saya ambil sebuah bangku. Bangku itu adalah maqam saya. Kaum sufi menggunakan istilah maqam untuk menamai tahapan pencapaian kualitas ruhani. Mereka biasa mengatakan, "Perjalanan ruhani akan melewati tujuh maqam." Nah, yang di depan ka'bah itu adalah maqam Ibrahim, bukan makamnya, karena ia adalah batu yang digunakan Nabi Ibrahim ketika meninggikan ka'bah.

Kata, "makam" dalam bahasa kita bermakna kuburan. Makam wali-wali, misalnya, jangan diartikan sebagai level kerohanian para wali seperti muraqabah, musyahadah, dll. Makam para wali adalah kuburan wali-wali, tempat jenazah para wali ditempatkan selepas kewafatannya. Ziarah makam wali-wali sangat dianjurkan oleh tokoh-tokoh sufi untuk mengingati mati. Kita tahu bahwa Nabi Ibrahim wafat di Pelestina dan dikuburkan di sana. Jadi, makam Ibrahim ada di Palestina, bukan di Makkah.

Bagaimana dengan nafsu? "Nafsu", dalam bahasa Arab dan juga dalam Alquran, diartikan sebagai jiwa (soul), sesuatu yang immaterial yang terdapat dalam tubuh manusia yang di dalamnya terdapat berbagai daya. "Nafsu" dalam pengertian ini tidak boleh dibunuh. Membunuh nafsu sama artinya dengan membunuh diri. Tapi, nafsu, dalam bahasa Indonesia, dipahami sebagai birahi, dan cendrung berkonotasi negatif. Orang Indonesia sangat jijik melihat orang yang makan bernafsu. Siapa yang berani mengatakan, "Pak SBY, misalnya, "memimpin dengan nafsu?"

Al Quran sendiri tidak pernah menggunakan kata "nafsu" untuk menggambarkan birahi manusia, tetapi menggunakan kata "hawa". Kalau kita gunakan kata "hawa" memaknai birahi, orang Indonesia akan berpikir bahwa yang kita kita maksud adalah "rasa pada kulit", seperti kita sering menyebut "Bandung berhawa dingin". Nanti, orang akan mengelompokkan "hawa nafsu" bersama-sama dengan "hawa dingin", "hawa panas", "hawa sejuk", dll.

Itu baru dua contoh kepusingan yang saya sebutkan. Silakan cari contoh-contoh lain yang sering membuat orang keliru memahami terminologi AlQuran menggunakan terminologi lokal. Kepusingan itu terjadi ketika terminologi AlQuran diterjemahkan bulat-bulat dengan kata Bahasa Indonesia yang mirip bunyinya atau tulisannya seperti kedua contoh di atas. Kosa bahasa Indonesia yang dipilih itu sering sudah terlanjur didefiniskan berbeda dengan maksud yang diinginkan.

Coba juga kita perhatikan, jangan -jangan ada beda antara taqwa (bahasa AlQuran) dan takwa (bahasa Indonesia, ikhlas (bahasa Al Quran) dan ikhlas (bahasa Indonesia) , tafakur (bahasa AlQuran) dan tafakur (bahasa Indonesia), sabar (bahasa AlQuran) dan sabar (bahasa Indonesia) . Saya belum cek dengan baik. Coba buka AlQuran dan buka pula kamus Bahasa Indonesia. Jangan-jangan, pasangan-pasangan kata itu berbeda makna.

Contoh kata kata juga sering disalahartikan adalah kata "pahit" dalam kalimat, "Sampaikanlah kebenaran itu walaupun pahit." Coba renungkan, apakah "pahit" yang dimaksud adalah pahit bagi si pendengar sehingga pendengar itu harus demam dua hari dua malam ketika penyampaian itu menyakitkannya? Ataukah "pahit" itu pahit bagi si pembicara sehingga ia mesti bermujahadah sebelum berbicara?

Wallahu a'lam
Bagaimana pendapat Anda?

Monday, October 4, 2010

Monday, October 04, 2010

Imam Mahdi



Kisah-kisah tentang Imam Mahdi telah dituliskan dengan sangat rinci, ilmiah, dan komprihensif oleh seorang ulama besar bernama Ali bin Husamuddin (w 975 H) dalam bukunya Al Burhan Fi 'Alamat Mahdi Akhir Az Zaman. Buku ini diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia berjudul Imam Mahdi, Kedatangannya Pasti, Bukan Sekadar Mitos, dan ditebitkan oleh Pustaka Inner, Bandung,tahun 2004.

Di tengah hiruk pikuk akan harapan ummat akan tegaknya kembali keadilan dan kemakmuran yang kedua kalinya, sebagaimana pernah ditegakkan dulu di zaman Rasulullah dan khulafa rasyidin, rasanya buku ini elok sekali untuk disimak. Saya tidak bermaksud mempengaruhi opini siapapun untuk berinterpretasi tentang Imam Mahdi. Saya hanya melihat, dengan membaca buku ini, setidak-tidaknya deskripsi tentang Imam Mahdi dan berbagai peristiwa yang terjadi di zamannya, akan lebih jelas bagi para "pencari kebenaran". Bukanlah berarti, satu buku ini sudah cukup untuk meluruskan berbagai anggapan tentang Imam Mahdi. Tapi, setidak-tidaknya, diskusi tentang Imam Mahdi menjadi lebih terarah.

Tokoh sentral yang dibahas adalah Imam Mahdi, seorang yang disebutkan oleh Rasulullah SAW sebagai khalifah Rasulullah yang terakhir sebelum datangnya hari Kiamat. Tokoh ini sangat terkenal. Pada zaman ini, dan juga zaman-zaman sebelum kita, banyak dibicarakan. Walaupun demikian, kontroversi tentang ciri-ciri dan interpretasi tentangnya tak pernah berakhir.

Dalam kata pengantar bukunya, penulis yang bernama lengkap Ali bin Husamuddin bin Abdul malik bin Qadhi Khan Al Muttaqi Asy Sadzili ini, mengatakan bahwa bukunya itu adalah hasil penyusunan ulang karya Imam As Suyuti, seorang ulama besar yang menghafal puluhan ribu hadis, yang berjudul Al-'Urf al-Wardi f i Akhbar al-Mahdi . Penyusunan ulang bertujuan agar bab-bab pembahasan lebih terklasifikasi dengan baik. Hadis-hadis yang dicantumkan dalam karya As Sayuti itu sama sekali tidak dikuranginya. Bahkan, sejumlah hadis-hadis tentang topik yang sama yang berasal dari karya Imam As Suyuti lainnya yang berjudul Jam'u al Jawami' telah ditambahkan ke sana.

Selain itu, penulis yang juga dikenal dengan karya-karya yang banyak itu, Ali Husamuddin telah menambahkan pula di dalam bukunya itu hadis-hadis yang berasal dari kitab karya Allamah Yusuf bin Yahya As-Sulami yang berjudul 'Iqd ad-durar fi Akhbar Mahdi al-Muntazhar. Penambahan itu hanya sebagian kecil hadis sebagai pelengkap, karena sebagian besar hadis yang dibicarakan dalam karya As Sulami itu telah terdapat didalam kedua karya As Suyuti.

Jadi, dengan penggabungan itu, semua hadis yang berasal dari ketiga buku tenang Al-Mahdi telah disatukan. Besar kemungkinan, deskripsi tentang Imam Mahdi berdasarkan hadis-hadis, dalam buku ini, sangat komprehensif. Bahkan, dalam buku ini, penulis menyebutkan pula analisis para ulama hadis tentang tingkat keshahihan hadis-hadis yang dikutip.

Selama ini sebagian masyarakat baru mengenal empat khalifah utama yang disebut khulafa rasyidin, yang secara berturut-turut , Saidina Abu Bakar (r.a) , Saidina Umar bin Khatab (r.a), Saidina Usman bin Affan (r.a), dan Saidina 'Ali bin Abu Thalib (r.a). Sebenarnya, dari berbagai hadis, Rasulullah SAW sudah menyebutkan bahwa akan ada satu lagi yang tergolong khulafa rasyidin yang akan dilahirkan menjelang hari kiamat. Beliau bernama Muhammad bin Abdullah
(r.a) yang digelari Al Mahdi. Sebuah nama yang sangat mirip dengan nama Rasulullah SAW sendiri. Bahkan nama ayah dan ibunya mirip dengan nama ayah dan ibu Rasulullah.

Tapi, Muhammad bin Abdullah Al Mahdi ini bukan nabi dan bukan rasul, sehingga beliau tidak akan menerima wahyu, apalagi akan membuat syariat baru. Beliau tidak bersifat ma'shum sebagaimana nabi-nabi dan rasul-rasul. Secara nasab, beliau tergolong ahlul bait karena masih mempunyai garis keturunan yang bersambung kepada Rasulullah melalui Siti Fathimah, putri bungsu Rasulullah SAW.

Muhammad bin Abdullah Al Mahdi, atau sering disingkat dengan Imam Mahdi, disebutkan, akan berhasil menegakkan keadilan dan kemakmuran di akhir zaman, menegakkan kembali kasih sayang di seluruh dunia, membebaskan Baitul Maqdis dari tangan Yahudi, dan juga membebaskan Masjidil Haram dari penguasaan pemerintah yang zalim. Di zamannyalah akan datang Dajjal, sang pendusta. Di bawah pimpinan Imam Mahdi, sang pendusta kelas kakap itu akan ditaklukkan.

Rasulullah SAW memang tidak menyebutkan secara persis saat kelahirannya. Wajarlah, kalau interpretasi tentang ini berbeda-beda dari mulut ke mulut. Rasulullah hanya mengisyaratkan bahwa ia akan dilahirkan sebelum kiamat terjadi. Kelahiran Imam Mahdi merupakan salah satu tanda bahwa kiamat sudah hampir tiba. Dia akan dibai'at sebagai pemimpin di musim haji, di depan Ka'bah, antara hajar aswad dan maqam Ibrahim. Hadis-hadis Nabi menyebutkan beberapa ciri fisiknya seperti gigi seri yang teratur, berkening lebar, bertahi lalat di pipi sebelah kanan. Beliau dilukiskan sebagai seorang yang sangat pemurah, pemberani dan kharismatik yang akan mempopulerkan kembali sunnah rasul yang telah pudar dari masyarakat.

Yang tidak kalah menarik dalam pembahasan buku ini adalah pertemuan Imam Mahdi dengan sekelompok pemuda yang berasal dari masyriq (timur) sebelum pembebesan Baitul Maqdis. Boleh menjadi diskusi kita, dimana sebenarnya wilayah timur yang disebut sebagai masyriq itu.

Imam Mahdi bertemu dengan pemuda-pemuda masyriq itu di suatu tempat di Khurasan ketika mereka membai'at Imam Mahdi sebagai pemimpim. Selanjutnya pemuda-pemuda itu menjadi pengikut-pengikut Imam Mahdi yang paling setia dan menyertainya dalam berbagai penaklukan setelah itu, termasuk pembebasan Baitul Maqdis.

Pemuda-pemuda dari timur itu adalah sekelompok pemuda yang digambarkan berjiwa seperti besi. Mereka adalah sekelompok pemuda yang taat beribadah dan gigih berjuang. Digambarkan dalam satu metofora yang cantik, "Malam, mereka seperti rahib, tapi kalau siang bagaikan singa." Tatkala sampai kepada mereka berita pembai'atan Al Mahdi di Makkah, mereka pun bergegas untuk bergabung menyertainya.

Menurut salah satu hadis dari Nu'aim bin Hammad, mereka menyusul Imam Mahdi ke Khurasan setelah mereka mendengar bahwa beliau ada di sana. Mereka terdiri dari 4000 orang di bawah pimpinan seorang pemuda bani Tamim yang bernama Syu'aib bin Sholeh. Pemuda dari bani Tamim yang memimpin mereka ini adalah seorang pemuda yang kharismatik dan pemberani. Kulitnya kuning seperti sawo matang, bertinggi sedang, dan berjanggut tipis. Itu sebagian ciri fisik yang digambarkan oleh hadis.

Rombongan ini membawa sebuah bendera berwarna hitam. Mereka memakai peci yang juga hitam sedangkan pakaian mereka putih. Salah seorang dari mereka bertugas sebagai pemegang bendera. Dia adalah seorang pemuda yang masih belia dari bani Hasyim, yang bernama Haris Al Haras. Disebutkan bahwa Haris al Haras ini masih ada hubungan keluarga dengan Imam Mahdi, sama-sama alhul bait. Di telapak tangan kanannya ada tahi lalat. Dalam satu hadis dikatakan bahwa ia berkaki pincang. Pemuda bani Hasyim yang bernama Haris Al Haras inilah yang pernah dikira telah terbunuh di satu peperangan, dan ternyata ia masih hidup.

Setidak-tidaknya, buku yang sangat berguna ini menyimpulkan bahwa Muhammad bin Abdullah Al Mahdi, Syu'aib bin Sholeh pemuda dari bani Tamim, dan Haris Al Haras pemuda dari bani Hasyim adalah tiga tokoh yang berbeda yang bertemu dalam satu misi perjuangan yang sama, memperjuangkan tegaknya kembali sunnah Rasulullah di akhir zaman.

Wallahu a'lam
Bagaimana pendapat Anda.

Friday, October 1, 2010

Friday, October 01, 2010

Maqam Muttaqin


Apa makna muttaqin yang sesungguhnya? Terus terang, mencari makna leksikal kata taqwa dalam analisis semantik termasuk sulit. Kata itu sendiri, dalam perbendaharaan kata-kata Bahasa Arab, termasuk dalam kelompok kata-kata asing (gharib) yang jarang dipakai dalam percakapan sehari-hari. Karena itu, makna harafiah kurang tepat untuk digunakan.

Berbeda dengan tiga kata lain yang merupakan basis bagi taqwa, yaitu islam, iman, dan ihsan. Ketiga kata itu dikenal dengan sangat akrab oleh orang-orang Arab sebagai bahasa sehari-hari.

Secara terminologis, seorang yang bertaqwa (muttaqin) memiliki ciri sebagai seorang yang telah berihsan (muhsin). Beberapa ayat Al Quran menegaskan itu. Di lain pihak, secara terminologis juga, ihsan itu sendiri mengandung makna islam dan Iman di dalamnya. Maka dapat disimpulkan bahwa di dalam taqwa terkandung makna ketiga kata itu. Seseorang muttaqin adalah seorang muhsin, yang juga bermakna bhawa dia adalah muslim dan mukmin.

Muslim adalah orang yang taat pada sistem Tuhan (perintah, larangan, dan petunjuk-petunjukNya). Mukmin tidak hanya ta'at, tetapi juga yakin. Ia taat dalam keadaan yakin akan siapa yang ditaatinya itu. Keyakinan itu tumbuh dari tahu, kemudian kenal, dan terakhir yakin akan Allah. Inilah yang dinamakan ma'rifat. Muhsin bukan saja taat dan yakin, tetapi juga sadar. Ia taat dan yakin dalam keadaan sadar penuh akan siapa yang ditaati dan diyakini itu. Dalam ketaatannya itu, ia merasa berhadapan dengan Allah. Seorang muhsin akan diliputi oleh perasaan dilihat Allah (muraqabah). Lebih tinggi lagi, seorang muhsin akan diliputi perasaan melihat Allah (musyahadah).

Muttaqin adalah maqam tertinggi. Muttaqin adalah orang yang memetik buah islam, iman, dan ihsannya itu. Karena itu, seorang muttaqin adalah orang yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan dalam ibadahnya. Buah ibadah sesungguhnya akan diperoleh di level muttaqin itu. Buah itu bukan berbentuk harta benda, tetapi berbentuk sejumlah sikap yang tertanam dalam dirinya, menyatu dalam perbuatan, pikiran, dan perasaannya. Sikap itu juga yang tampak dari perilakunya sehari-hari.

Walaupun sulit menemukan makna leksikal kata taqwa secara semantik, namun kita dapat melihatnya dari ciri-ciri muttaqin sebagai yang digambarkan Allah dalam Alquran. Makna inilah yang penting.

Tiga kelompok ayat-ayat berikut ini merupakan gambaran tiga tingkatan muttaqin.

Ciri-ciri muttaqin yang paling elementer digambarkan pada QS 2: 2-5. Mereka adalah orang yang (1) beriman pada yang ghaib, (2) menegakkan shalat, (3) meninfakkan sebagian rezki mereka, (4) meyakini Al Quran dan kitab-kitab suci terdahulu, (5) meyakini kehidupan di akhirat. Mereka adalah orang yang mendapat petunjuk dan kebahagiaan di dunia.

Ciri-ciri muttaqin pada level intermediate digambarkan pada QS 3: 133-135. Mereka adalah orang yang (1) tetap berinfak baik dalam keadaan lapang ataupun sempit, (2) menahan marah dan mudah memaafkan orang lain, (3) cepat-cepat ingat pada Allah ketika terlanjur berbuat dosa , segera minta ampun dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi. Dengan tegas Allah mengatakan bahwa mereka adalah seorang muhsin. Ganjaran bagi mereka bukan saja petunjuk dan kebahagiaan di dunia, tetapi bagi merereka ampunan dan surga.

Ciri-ciri muttaqin pada level advance digambarkan pada QS 51: 15-23. Mereka adalah orang-orang yang (1) mengambil apa-apa saja yang datang dari Allah sebagai sebuah ketetapan, (2) sedikit tidur di waktu malam dan istigfar di waktu sahur, (3) pada harta mereka sudah ada alokasi (budget), baik untuk yang meminta maupun yang malu meminta, dan (4) meelihat tanda-tanda Tuhan di bumi, dalam diri, dan di langit. Allah menegaskan sekali lagi bahwa mereka adalah muhsin. Dan, ganjaran bukan sekeda surga, tapi surga yang penuh kenikmatan.

Wallahu a'lam
Bagaimana pendapat Anda?

Thursday, September 16, 2010

Thursday, September 16, 2010

Semantik Islam, Iman, ihsan

Untuk melihat makna Dienul Islam, yang dalam bahasa kita disebut agama Islam, rasanya menarik juga kalau kita menelaah 3 kata kunci yang sering disebut sebagai 3 elemen dasar Al-Islam: islam, iman, dan ihsan. Ketiga kata tersebut dirangkaikan oleh Rasulullah dalam sebuah dialog dengan Jibril yang sangat terkenal itu. Apa hakikat dari ketiga unsur itu? Saya harap Anda sedikit sabar mengikuti penjelasan saya berikut ini. Kita akan telusuri kata-kata itu secara semantik, mulai dari makna leksikal sampai epistimologinya.

Kita lihat secara leksikal terlebih dulu. Kata-kata islam, iman, dan ihsan mempunyai makna yang sendiri-sendiri yang kelihatannya tidak saling mengait. Ketiga kata itu berasal dari rumpun yang berbeda. Tapi, ketiga kata itu telah dikenal oleh bangsa Arab dalam bermacam-macam penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, itu bukan kata asing bagi mereka.

Kata islam adalah bentuk masdar dari wazan "aslama, yusallimu, islaaman", yang artinya menyerah, tunduk, atau taat. Kalau ditelusuri, kata tersebut merupakan turunan dari kata "salama, yaslimu, salaaman" yang bermakna damai, tenang, atau selamat. Kalau digabung, islam berarti sebuah kepatuhan yang tujuannya adalah keselamatan.

Kata iman adalah bentuk masdar dari kata "aamana, yu'mimu, imaanan" yang artinya percaya, mempercayai, atau meyakini. Kata itu merupakan turunan dari kata "amana, ya'minu, amnan" yang berarti aman atau mengamankan. Kalau kita gabung pula seperti kita menggabung makna islam, iman berarti suatu keyakinan yang tujuannya adalah kemananan diri.

Kata ihsan adalah bentuk masdar dari wazan "ahsana, yuhsinu, ihsaaanan" yang artinya sempurna, lebih sempurna, atau menyempurnakan. Kata itu merupakan turunan dari wazan "hasana, yahsinu, hasanan" yang berarti baik atau berbuat baik. Sekali lagi kita menggabung maknanya, ihsan itu adalah sesuatu yang lebih sempurna yang tujuannya berbuat kebaikan dan mafaat.

Jangan berhenti dulu. Sekarang mari kita lihat secara epistimologis. Istilah Islam, yang bermakna kepatuhan itu, telah dipilih Alllah sebagai nama agama ini. Pasti ada maksud Allah memilih itu. Menurut saya, pemilihan itu dengan jelas menunjukkan bahwa Allah menjadikan kepatuhan pada hukumNya sebagai identitas agama ini. Siapa yang patuh pada hukum Allah, dia muslim. Yang tidak patuh adalah non-muslim alias kafir. Sudah barang tentu tingkat kepatuhan akan bebeda-beda pada setiap individu manusia.

Seluruh isi alam semesta, menurut Allah, pun telah patuh. Mereka pun muslim. Seluruh alam raya, mulai dari jamadat yang mikro sampai yang makro, tunduk dan patuh kepada hukum-hukum Allah. Bila manusia bisa menyertai mereka dalam kepatuhan itu, manusia akan selamat. Sebaliknya, bila manusia hidup berbeda dengan mereka, padahal manusia ada bersama mereka, manusia akan celaka dan sengsara.

Tapi, cukupkah kalau sekedar taat dan patuh bagi manusia sebagaimana tunduk dan patuhnya alam raya? Jelas tidak. Bukankah manusia dicipta sebagai makhluk yang mempunyai kelebihan dibandingkan dengan alam semesta? Bukankah manusia ini khlaifah Allah di alam raya ini? Pasti ada bedanya.

Manusia telah diberi kelebihan berupa hati dan akal sehingga keselamatannya tidak cukup hanya sekedar taat secara lahiriah saja. Di situlah letak bedanya. Walaupun hati dan akal manusia berkendak, manusia diminta menundukkannya juga pada kehendak Tuhan. Kalau tidak, akal manusia akan sangat liar sehingga akhirnya dapat membahayakan manusia itu sendiri. Keyakinan akan Allah merupakan hasil dari penundukan akal kepada Allah. Maka, dengan keras Allah menolak ketaatan manusia yang bukan didasarkan keyakinan. Disinilah esensi iman yang dituntutkan sebagai simbol ketaatan manusia yang berbeda dari alam lainnya.

Terakhir, perlu direnungkan dalam-dalam, bahwa manusia bukan sembarang makhluk dengan semua kelebihannya itu. Allah menyatakan bahwa manusia diutus sebagai khalifah Allah. Wajarlah kalau kehadirannya mesti membawa kebaikan bagi seluruh alam. Dengan sederhana kita bisa melihat bahwa sekedar taat walaupun yakin ternyata tidaklah cukup. Ia dituntut memahami tujuan ketaatan dan keyakinan itu. Tujuan yang paling sempurna adalah Allah, karena Dialah sumber dari semua kebaikan itu. Itulah esensi ihsan.

Kalau ketiga kata itu: islam, iman dan ihsan, kita lihat sebagai sebuah terminologi berdasarkan AlQuran dan AsSunnah, terdapat hubungan semantik yang sangat erat antara ketiganya. Ternyata ketiga-tiganya digunakan dalam makna yang saling berhubungan. Hubungannya bukanlah hubungan sinonimi seperti yang banyak dipahami orang, melainkan hubungan hiponimi atau meronimi. Maksudnya, makna kata yang satu telah tercakup dalam kata lainnya.

Maksudnya, Islam mempunyai makna yang paling umum dalam ketiga kata tersebut. Iman lebih lempit dan ihsan adalah yang paling sempit. Di dalam makna Islam telah tercakup iman dan ihsan. Sedangkan dalam iman tercakup ihsan.

Kalau saya gambarkan makna kata islam dengan sebuah lingkaran, kata iman akan berbentuk lingkaran yang lebih kecil yang keseluruhan bagiannya berada di dalam lingkaran makna islam. Makna kata ihsan sendiri akan berbentuk lingkaran yang lebih kecil lagi dari iman yang keseluruhannya berada di dalam lingkaran makna iman. Dengan kata lain, seorang muhsin pastilah mukmin, sementara tidak semua yang mukmin adalah muhsin. Semua mukmin pastilah muslim sedangkan tidak semua muslim adalah mukmin.

Kita bisa analogikan hubungan semantik islam, iman, dan ihsan dengan hubungan semantik makna hewan, mamalia, dan sapi. Semua sapi adalah mamalia dan semua mamalia adalah hewan. Itu juga berarti bahwa tidak semua hewan adalah mamalia, dan tidak semua mamalia adalah sapi. Penganologian itu akan menyimpulkan bahwa semua muhsin adalah mukmin dan semua mukmin adalah muslim. Penganalogian juga berarti bahwa tidak semua muslim adalah mukmin dan tidak semua mukmin adalah muhsin.

Wallahu a'lam.
Bagaimana pendapat Anda?

Wednesday, September 15, 2010

Wednesday, September 15, 2010

Mana Istri-Istri Sang Pencerah?

Saya kagum dengan Hanung Brahmantyo atas karya terbarunya "Sang Pencerah", sebuah karya sinematografi yang mengangkat momen sejarah yang berumur lebih dari 100 tahun di Kauman, Jogja, ke layar lebar untuk dinikmati di masa kini. Saya yang awalnya sudah cukup kagum dengan KH. Ahmad Dahlan, berkat film yang berdurasi lebih dari dua jam itu, menjadi lebih kagum lagi. Saya berhasil dipesona oleh Sutradara muda berbakat itu melalui rentetan episode-episode yang mengundang derai air mata. Sang mujaddid yang ternyata nama aslinya Darwis itu muncul di hadapan saya, terdeskripsi dengan jelas, ketika ia memulai gerakan pencerahannya menerobos keganasan kaum jahiliyah di masa itu.

Tapi, setelah episode terakhir berlalu, saya kecewa. Mengapa?

Saya dulu, bermula di Salman tahun 80-an, pernah berangan-angan menjadi mujjadid. Cita-cita kan mesti tinggi, he he he. Bayangan saya waktu itu, kehidupan seorang mujaddid begitu menakjubkan. Dengan bismilah, saya pun memulai gerakan itu, bukan gerakan tajdid, tapi gerakan mengumpulkan biografi para mujaddid dan membaca berhari-hari.

Apakah saya akhirnya jadi mujaddid? Ternyata tidak. Rencana saya itu urung di tengah jalan setelah saya tahu kalau ternyata sebelum melakukan tajdid di tengah ummat, seorang mujaddid harus mentajdid diri dan keluarganya terlebih dulu. Ini jelas-jelas sebuah tantangan yang sangat berat bagi saya maupun bagi siapa saja yang ingin mereformasi.

Hanyalah sebuah dagelan yang sama sekali tidak lucu bila seseorang menyeru manusia masuk ke dalam Islam sementara dia berada di luarnya, atau separoh di dalam dan separoh di luar. Orang berbondong-bondong masuk Islam, dia sendiri kafir.

Akhirnya, saya memilih untuk mengislamkan diri sendiri lebih dulu sebelum saya menjadi seperti lilin yang digambarkan Iqbal, menerangi sekitarnya namun leleh. Tapi anehnya, sampai ke hari ini, islamisasi diri itu tak kunjung pula selesai. Rencana tajdid tak kunjung dimulai. Film Sang Pencerah keduluan menyentak saya yang tertidur cukup lama dalam menggapai cita-cita perjuangan.

Seorang pejuang untuk sebuah tajdid atau reformasi memang harus mengislamkan diri dan keluarganya terlebih dulu. Kalau tidak, dia akan dipinggirkan orang. Secara fitrah, orang umumnya lebih tertarik kepada keislaman Sang Mujaddid dan keluarganya itu ketimbang gagasan-gagasan pencerahannya dengan segala dalil-dalil. Itulah sebabnya, sebelum ia keluar memimpin masyarakat, ia mesti tunjukkan terlebih dulu kepemimpinannya terhadap rumah tangga dan keluarganya. Orang awam akan mudah berkata, "Memimpin keluarga saja tak becus, apatah lagi memimpin orang banyak."

Keberhasilan kepemimpinan pejuang sejati adalah perpanjangan kepemimpinannya dalam rumah tangganya. Rumah tangga adalah miniatur masyarakat yang akan direformasinya itu.

KH. Ahmad Dahlan adalah seorang pejuang yang berjaya. Ini sebuah bukti sejarah. Beliau berhasil meletakkan dasar pendidikan modern yang berbasis Islam di tengah masyarakat Islam yang ortodoks. Tanpa harus diceritakan secara rincipun, orang akan tahu bahwa perjuangan itu pasti disokong oleh peran sang istri yang tak bisa dihilangkan begitu saja. Bagi seorang pejuang sejati, istri akan menjadi kawan perjuangan bukan lawan. Istri akan mengobati luka-luka hati akibat pahit getirnya perjuangan. Istri akan meniupkan ruh kasih sayang dan perhatian tatkala orang-orang menghembuskan permusuhan.

Siti Walidah, istri Sang Pencerah, yang terkenal dengan panggilan Nyai Ahmad Dahlan itu, tampil mempesona mengobarkan api perjuangan sang suami, bahkan di saat-saat api itu hampir-hampir padam. Api itu berkobar kembali mendenyutkan nadi dan vena Sang Pencerah. Saya bangga dengan Nyai Dahlan. Saya bangga dengan Kiyai Dahlan. Tapi, saya kecewa dengan Hanung Bramantyo.

Saya tidak tahu apakah ia kekurangan data sejarah yang memang selalu terkena sensor penguasa setiap orde? Ataukah ia kurang nyali, takut film yang berbiaya mahal ini tidak laku di pasaran? Atau ada pesan sponsor agar ia jangan macam-macam. Hanung yang bisa menjawab.

Mana istri-istrinya yang lain?

Istri Kiyai Dahlan bukan hanya Siti Walidah. Beliau mempunyai empat istri. Sang Pencerah yang pernah bermukim di Makkah dalam waktu yang lama itu, adalah pemimpin sebuah keluarga poligami. Sejarah telah mencatat nama-nama istri beliau: (1) Siti Walidah, yaitu sepupunya, yang dikenal juga sebagai Nyai Ahmad Dahlan, (2) Nyai Abdullah, seorang janda Haji Abdullah, (3) Nyai Rum, adik Kyai Munawir Krapyak, (4) Nyai Aisyah, adik ajengan Penghulu Cianjur. Setelah salah seorang istrinya meninggal, beliau menikah lagi dengan yang istri ke-5, Nyai Yasin Pakualaman.

Saya tidak meminta Hanung memfokuskan "Sang Pencerah" nya pada masalah poligami, karena topik itu akan menjadi bumerang pagi pemasaran film bermutu itu. Ibu-ibu dan aktifis perempuan bukan saja akan memboikot, tapi akan melakukan demo besar-besaran di depan HI berhari-hari, yang akhirnya terpaksa menyeret keikutsertaan pemerintah. Ingat kasus Aa' Gym.

Biarlah Sang Pencerah tetap pada judul yang dipilih. Judul itu bukan saja sangat menarik, tapi juga sangat penting diangkat. Tetaplah fokus pada gerakan tajdid, pembaruan, atau pencerahan yang memang sedang ditunggu-tunggu bangsa ini untuk kedua kalinya dengan segala suka dan dukanya. Namun, melenyapkan satu latar belakang sejarah sang tokohnya, tentu sebuah khilaf yang cukup serius.

Saya yakin Hanung sadar akan hal itu. Buktinya, latar belakang masa kecil Darwis ketika masih mandi di sungai tak luput dari perhatiannya. Bahkan ia tak melupakan latar belakang gerakan tajdid yang sedang melanda Mekkah yang dipelopori oleh Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani. Bahkan, nama Syekh Jamil Jambek di Bukittinggi ikut di sebut-sebut, padahal barangkali relevansinya sangat kecil untuk kasus ini.

Akan tetapi, sungguh sayang seribu sayang, mengapa Hanung tidak menyebutkan sepatah katapun, kalaupun bukan seepisode, istri-istri Kiyai selain Nyai Siti Walidah itu?

Mungkin Hanung memang belum merasakan bagaimana memimpin sebuah keluarga poligami sehingga secara emosional, dia tidak melihat beda antara poligami dan monogami. Karena itu, dia belum tahu betapa seluk beluk poligami merupakan kancah candra dimuka yang paling efektif melatih kepemimpinan seorang calon pejuang. Wajarlah, kalau upaya menampilkan latar belakang keluarga Kiyai Dahlan yang sesungguhnya tak termaksimalkan.

Tapi, terus terang, tidak kecil apa yang sudah dibuat seluruh tim Sang Pencerah ini. Saya tetap acungkan jempol. Ini sebuah karya besar. Saya menghimbau kawan-kawan untuk tidak melewatkan kesempatan menontonnya. Saya bahkan berharap, untuk berikutnya Hanung dan kawan-kawan wajib mengangkat tokoh lain seperti KH. Hasyim Asy'ari ataupun tokoh pejuang lainnya.

Tapi, jangan lupa ya, Nung. Tampilkan poligaminya agar saya tak kecewa lagi.

Wallahu a'lam
Bagaimana pendapat Anda?

Tuesday, September 14, 2010

Tuesday, September 14, 2010

Tranformasi Iman melalui tariqah

Hampir semua kita sepakat bahwa iman akan melahirkan rasa takut dan cinta pada Tuhan. Kalau iman pada Tuhan itu benar-benar ada di hati, orang itu akan takut dengan Tuhan. Rasa takut akan melahirkan ketaatan pada hukum Tuhan. Jadi mustahil orang yang beriman bermaksiat.

Yang nampaknya kurang disepakati di kalangan penda'wah adalah bagaimana memasukkan iman itu ke dalam objek da'wahnya. Sebagian mengira iman bisa ditumbuhkan melalui transfer ilmu. Maka diadakanlah berbagai majlis ilmu, diterbitkanlah buku-buku Islam sebanyak mungkin, didirikanlah sekolah-sekolah keilmuan Islam, diadakan seminar, training keislaman,dll. Hasilnya? Ya, "ilmu" . Trasnfer ilmu hasilnya ilmu. Ilmu memang bertambah luar biasa. Masyarakat menjadi lebih faham dengan Islam. Orang-orang menjadi lebih pandai berbicara dan menulis tentang Islam. Banyak yang lebih pandai berdalil dan berhujjah. Di mana-mana bermunculan label-label Islam.

Bagaimana dengan iman? Bahwa masih buruknya akhlak dan banyaknya maksiat merupakan petunjuk bahwa iman ternyata tidak bertambah dengan bertambahnya ilmu. Bahkan iman bisa berkurang dengan sangat drastis meskipun ilmunya tidak berkurang. Bukti itu banyak sekali. Orang awam saja melihat bukti-bukti itu dengan kasat mata.

Adalah Hasan Al-Bishri, orang yang sering disebut-sebut sebagai tokoh yang pertama sekali mencetuskan secara sistematik bahwa iman tidak bisa ditumbuhkan melalui ilmu. Beliau menawarkan suatu proses yang disebut tariqah (jalan spiritual). Istilah tariqah sendiri tidak pernah dipakai di zaman Nabi. Namun, beliau yakin bahwa Nabi menggunakan cara tersebut menumbuhkan iman para sahabatnya. Sahabat yang sering disebut sebagai model aplikasi tariqah Nabi adalah gurunya sendiri, yaitu Saidina Ali Bin Abu Thalib. Proses tariqah nabi sering dirujukkan juga kepada proses yang dilakukan Nabi kepada sahabat yang tinggal di asrama masjid Nabi yang dipanggil Ahlu Shuffah.

Ciri khas tariqah terletak pada 3 unsur penting: mursyid, murid, dan metoda yang disebut suluk. Di dalam tariqat, mursyid bukan sekedar guru. Mursyid adalah pemimpin spiritual yang berfungsi sebagai guru sekaligus pembimbing. Fungsi pembimbing jauh lebih dominan. Karena itu keberadaan mursyid ini mutlak karena dipandang sebagai wasilah bagi mengalirnya iman ke dada murid. Untuk fungsi itu, mursyid harus memiliki tingkat iman yang tinggi, jauh lebih tinggi dibandingkandengan murid. Tanpa tingkat iman yang tinggi ini, ia tidak mungkin berfungsi sebagai transformer iman yang akan mencetuskan iman di hati para murid.

Murid, atau sering disebut salik, sendiri adalah orang yang secara sengaja menempuh tariqat tanpa paksaan. Kerelaan itu biasanya diikat dengan suatu bai'ah dengan mursyid.

Suluk adalah suatu metoda yang terpadu dan terpimpin. Suluk terdiri dari berbagai penugasan, latihan, dll yang harus dilakukan secara istiqamah. Metoda pun bertingkat-tingkat. Metode adakalanya seragam bagi semua murid, tapi adakalanya berbeda-beda tergantung pada individu. Tapi, inti dari semua metoda adalah "pergaulan" yang rapat antara murid dengan mursyid. Pergaulan yang rapat dan komunikasi intensif antara murid dan mursyid dipandang sebagai metoda yang paling ampuh dalam transformasi iman.

Tariqah terdiri 3 paket : (1) penyadaran, (2) pemahaman, dan (3) penghayatan. Walaupun paket-paket itu dimulai secara bertahap: 1,2 dan 3; namun akhirnya ketiga paket berjalan secara simultan. Yang perlu dicatat adalah bahwa pada semua paket itu, murid harus selalu terhubung rapat dengan mursyid.

Pada paket penyadaran, murid dibawa kepada rasa perlu dengan agama dan Tuhan. Paket ini diberikan pada tahap yang paling awal. Dalam paket ini, Nabi tidak terlalu mempermasalahkan berbagai interpretasi berbeda tentang identitas keislaman seseorang. Sepanjang dia tertarik dengan Islam dan bersedia bergabung dengan Islam, mereka dipandang muslim. Bahkan Nabi sendiri sering memberikan definisi Islam yang berbeda-beda sesuai dengan keadaan mereka masing-masing.

Pada paket pemahaman, murid dibawa kepada proses transfer ilmu. Ada ta'lim. Rasulullah memulakan paket ini dengan memperkenalkan Allah serinci-rincinya. Inilah yang dikenal dengan istilah "awwaluddin ma'rifatullah.

Pada paket yang ketiga, murid dibawa kepada pengamalan spiritual. Murid dibawa kepada satu kondisi sehingga dia merasakan bagaimana rasanya beragama itu. Murid tidak hanya diberitahu tentang sifat-sifat Allah, tapi mereka dibawa merasakan sifat-sifat Allah itu. Ma'rifatullah pada paket kedua dipadukan dengan pegamalan lahiriah (syariat) dan pengamalan batiniah (hakikat).

Islam adalah kepatuhan pada syariah. Islam pada tahap yang paling elementer tidak mempersoalkan apa sebab ia patuh. Yang penting ia patuh. Apapun sebab kepatuhannya, keislamannya diakui oleh Allah dan Rasul. Maqam pertama adalah islam. Tapi, kepatuhan semacam itu tidak ada jaminan selamat. Allah hanya menerima kepatuhan karena Allah saja. Inilah yang disebut iman, sebagai maqam kedua. Ada satu maqam lagi. Kepatuhan karena Allah masih belum sempurna. Di maqam ketiga, Allah menghendaki semua kepatuhan mesti ditujukan hanya untuk Allah. Inilah Ihsan.

Kalau kita kaitkan tariqat dengan ketiga maqam itu, ini berarti bahwa tariqah adalah satu proses terpadu dan terpimpin yang ditempuh oleh seseorang untuk berpindah dari maqam islam, menuju iman, dan kemudian naik ke ihsan. Maqam Islam adalah maqam pijakan awal. Maqam iman adalah maqam cukup. Maqam ihsan adalah maqam sempurna. Buah dari proses tariqah itulah yang dinamakan taqwa. Maqam tertinggi manusia adalah muttaqin, orang yang bertaqwa.

Jadi, tariqah adalah proses transformasi iman, bagi seorang muslim menuju maqam tertinggi muttaqin.

Wallahu a'lam
Bagaimana pendapat Anda?

Monday, September 13, 2010

Monday, September 13, 2010

Identitas Keislaman


Kita harus mengakui bahwa sebagian besar kita, masyarakat Indonesia, terlahir sebagai muslim. Identitas keislaman yang kita anut di Indonesia pun ternyata tidak muluk-muluk. Bila seseorang ketika lahirnya diazankan dan ketika kanak-kanak disunat, kita sudah anggap ia muslim. Kalau tidak tinggal shalat 5 waktu dan puasa Ramadhan, ia sudah tergolong muslim yang taat. Bila membayar zakat dan mengerjakan haji, lebih-lebih lagi, ia sudah bisa dianggap muslim yang sangat taat. Bahkan, bila seseorang yang sudah pandai berkhutbah di mimbar, di Indonesia tidak lagi dipandang sebagai muslim yang taat, tetapi sudah dipandang sebagai ulama.
Identitas semacam itu sebenarnya tidak salah. Allah sendiri yang melegalkannya. Dalam Surah Al Hujurat ayat 14-18 tentang orang-orang Badui yang mengaku beriman, Allah mengingatkan Rasulullah bahwa mereka hanya tidak boleh menggunakan identitas sebagai mukmin. Allah melegalkan kalau mereka mengaku muslim.
Jadi, memang sesederhana itulah identitas keislaman. Bila seseorang sudah mengucapkan dua kalimah syahadah, maka terlindunglah darah dan hartanya sebagai muslim. Kalau seseorang itu terlihat shalat, maka bolehlah ia kalau mati dikuburkan dengan cara Islam. Kalau simbol-simbol Islam telah menempel pada diri dan keluarganya, termasuk di KTP, tak layak lagi seorangpun yang boleh mengira dia sebagai non muslim. Ya, sederhana sekali. Jadi kalau kita refleksikan ke masyarakat Indonesia, tidak salah kalau ada yang menghitung bahwa muslim di sini lebih dari 95%.
Pertanyaannya, mengapa akhlak Islam tidak berlaku pada masyarakat Islam yang mayoritas itu?
Agama ini memang bernama Islam. Tapi esensi agama ini adalah keimanan, bukan keislaman. Iman dan Islam suatu hal yang berbeda. Manusia boleh mentaati syariat Islam dengan motif apapun untuk bisa disebut muslim, tapi keta'atan yang diakui Allah hanyalah keta'atan yang didasarkan Iman. Buktinya, orang-orang Badui boleh diakui keislamannya. Bahkan orang-orang-orang munafikpun diakui keislamannya. Tapi mereka bukan mukmin.
Nah, berapa banyak mukmin inilah yang menjadi persoalan besar kita. Yang muslim jelas banyak. Bahkan, negara yang paling banyak muslimnya di dunia adalah Indonesia. Yang baru kita sensus adalah jumlah muslim, bukan jumlah mukmin. Yang kita klaim sebagai mayoritas di Indonesia adalah muslim, bukan mukmin.
Sementara, yang menjamin seseorang itu tidak bermaksiat bukanlah keislamannya, melainkan keimanannya. Hal itu disebabkan karena hanya iman yang melahirkan rasa takut pada Allah, sementara Islam tidak. Iman melahirkan takut dan cinta di hati seperti garam melahirkan rasa asin di lidah. Orang yang takut pada Allah tidak akan berani bermaksiat pada Nya.
Kalau kita melihat identitas keislaman baru di sisi ritualnya, seperti syahadat, shalat, puasa, zakat, haji, alquran, atau berbagai upacara keagamaan, kita baru berbicara dimensi yang terluar dari agama ini. Kita belum memasuki esensinya, yaitu iman.
Kalau iman saja belum kita masuki, bagaimana mungkin kita menyinggung masalah yang jauh lebih ke inti, yaitu ihsan. Padahal, sudah menjadi ijma' bahwa dienul Islam ini terdiri dari tiga elemen: islam, iman, dan ihsan. Sementara, akhlak yang sering kita pertanyakan itu, tidak lain dan tidak bukan, adalah buah dari gabungan islam, iman dan ihsan itu.
Jadi, tidak nampaknya akhlak Islam berlaku di tengah masyarakat muslim, besar kemungkinan karena mukmin di Indonesia memang sangat minoritas di tengah-tengah mayoritas muslim itu. Yang mukmin itu sedikit artinya yang takut bermaksiat hanya sedikit. Artimya, yang berakhlak Islam itu sedikit. Jumlah itu terlalu terlalu sedikit dibandingkan dengan yang tidak mukmin sehingga tidak mungkin mewakili masyarakat muslim secara keseluruhan. Berapa persen? 1 sampai 2% mungkin masih terlalu banyak. Wallahu a'lam.
Di zaman Rasulullah sendiri, jumlah mukmin memang lebih sedikit dibanding muslim. Tapi perbedaannya tidak terlalu banyak. Yang tidak mukmin tapi muslim, ketika itu, hanya beberapa orang Badui ditambah beberapa orang munafik. Tapi, di masyarakat kita sekarang, perbedaan itu sangat signifikan. Muslimnya mayoritas sedangkan mukminnya minoritas. Jadi, jangan terlalu banyak berharap perbaikan akhlak mendasar seperti yang diharapkan akan segera terjadi di Indonesia.
Kalau begitu, yang harus segera diupayakan di Indonesia, untuk terbentuknya akhlak bangsa yang baik, adalah transformasi yang sesegera mungkin dari muslim ke mukmin. Untuk melakukan transformasi itu jelas tidak mudah. Pertama, kita harus tahu terlebih dahulu apa iman itu. Kita harus paham apa yang membuat iman bertambah dan berkurang. Ini berarti persoalan aqidah.
Kemudian, kita harus tahu pula bagaimana iman itu bisa tertransfer ke dada seseorang. Apakah iman itu tertransfer melalui transfer ilmu, seperti yang banyak diduga, atau melalui metoda lain. Ini berarti persoalan tasawuf.
Terus terang, banyak yang keliru mengira iman berbanding lurus dengan ilmu agama. Ini jelas tidak sesuai dengan fakta. Telah terlalu banyak bukti ketidaksingkorannya itu. Tapi sayangnya, sistem da'wah Islam, baik melalui sekolah resmi ataupun ceramah-ceramah, masih berorientasi pada transfer ilmu.
Bagaimana pendapat Anda?
Wallahu A'lam

Sunday, September 12, 2010

Sunday, September 12, 2010

Tamu itu telah benar-benar pergi.


Astagrifulllah,
Tamu itu telah benar-benar pergi.
Sepuas hati menangislah, namun jarum jam tak mungkin berbalik arah.
Apa arti gembiraku ketika datangnya dan sedihku ketika perginya?
Jika jawadah bawaannya terbiar basi?
Apa arti sukaku di ketibaannya dan dukaku di keberangkatannya?
Bila ia singgah aku pun gelisah.
Apa arti tawaku ketika menyambutnya dan ratapku ketika melepasnya?
Bila aku lebih berhajat dengan syahwat? 
Jantungku bukan saja seperti batu, 
Tapi bahkan lebih batu daripada batu-batu.
Berduri yang lebih tajam daripada semua duri
Berbau busuk yang lebih busuk daripada semua yang busuk.
Tak ada arti bagiku kilap intan dan mutiara.
Karena ternyata aku lebih suka dengan tinja manusia.
Tuhan,
Biarkan aku mengetuk pintuMu.
Biarkan aku berlindung dalam belas-kasihMu.
Aku relakan tamu itu pergi.
Biarlah kutunggu sampai ia kembali.


1 Syawal 1431 H / 10 September 2010






Comment ·Like · Hasan Hariri, Heri Hermawan Subhanaalloh...
Saturday at 11:37am via Risza Agustina Entah apa yg bs menggambarkan penyesalan ats kesalahan dan kekalahan ini, saya tlh gagal pak, hanya rintihan harapan kan d beri kesmptn tuk bjumpa dg nya lg dg kondisi lbh baik.. Amin
Saturday at 12:08pm via Suparmana Hs Waktu telah sirna, tak sempat menjamunya dengan selayaknya.....
Saturday at 2:12pm · Like ·
Facebook Mobile · Like ·
Facebook Mobile · Like ·
Jusuf Fateh, Pakop Dahlan and 3 others like this.

Share

  • Endah Kurniadarmi Beginilah adanya kita, demikianlah usaha yang telah dilakukan, semuanya sudah menjadi sebuah kenangan. Ada rasa sesal, namun kita tidak boleh larut dalam penyesalan. Paling tidak selepas Ramadhan, perbuatan kita menjadi lebih baik lagi.Selamat berekspresi!
    Saturday at 5:11pm · Like ·
  • Jufran Helmi
    @Herri, Risza, Suoarmana, dan Endah. Kadang-kadang sesuatu yg berharga itu terasa berharganya setelah ia hilang. Ketika dia di depan mata, kita cendrung menyia-nyiakannya. Saya setuju, kalau kita tak boleh putus asa. Kita bangunkan jiwa ini sehingga Ramadhan tahun depan, kita sunguh-sungguhi.
    Saturday at 5:49pm via Jufran Helmi
    @Herri, Risza, Suoarmana, dan Endah. Kadang-kadang sesuatu yg berharga itu terasa berharganya setelah ia hilang. Ketika dia di depan mata, kita cendrung menyia-nyiakannya. Saya setuju, kalau kita tak boleh putus asa. Kita bangunkan jiwa ini sehingga Ramadhan tahun depan, kita sunguh-sungguhi.
    Saturday at 5:53pm via Ersis Warmansyah Abbas Pergi dalam tertanam di dada; Amin
    Saturday at 8:19pm · Like ·
    Facebook Mobile · Like ·
    Facebook Mobile · Like ·
  • Jufran Helmi
    @Pak Ersis. Insyaallah Pak
    10 hours ago · Like ·
  • Yogaswati Dewi

    Bahkan aku telah berbuat suatu kesalahan lagi...
    Oh, Astagfirullah.. Astaghfirullah...
    kalaulah bukan karena Kasih sayangMu ya Robbi.. tentulah hamba telah menjadi orang yang merugi..
    Semoga setiap detik kita senantiasa mampu beristighfar da...
    See More10 hours ago · Like ·
  • Jufran Helmi
    @Yogas. Amiin

Saturday, September 11, 2010

Saturday, September 11, 2010

Tamu itu kini telah mohon pamit


Wahai diri,
Kemanakah akan kau surukkan wajahmu hari ini?
Jiwamu yang seharusnya telah kembali fitri,
Ternyata masih penuh daki.
Yang seharusnya berhias taqwa,  ternyata masih berselimut  hawa.
Tak malukah,
Bila orang menyangka engkau pemenang  yang baru pulang?
Padahal engkau seorang pecundang?
Wahai diri,
Sesal pun hari ini tiada lagi guna.
Ini hari perpisahan, bukan lagi persiapan.
Tamu pembawa rahmat itu kini telah siap berangkat.
Tinggallah engkau sendiri, meratap dan sekarat.
Esok  ia akan berlalu bersama janji Tuhan untuk keampunan dan pembebasan.
Janji yang begitu terang,
Namun tak mampu menyeruak nafsu-mu yang penuh karat berlipat-lipat.
Burhan-burhan Tuhan telah di depan retinamu.
Namun, aqal-mu menapisnya dengan kejam.
Matahari yang sudah condong, bertambah condong, dan semakin condong,
Tak mampu membuatmu ber-taubat.
Oh, jiwa yang tak insaf-insafnya.
Engkau masih lebih suka di sini di maqam ini.
Kau kekalkan tubuh-fana mu, padahal ia akan binasa.
Tapi kau fanakan tubuh-kekal mu, padahal ia sahabat setia.
Hilang sudah furqan Tuhan dari jiwamu.
Hingga  kau lupa mana haqikat mana mafsadat.
Wahai diri,
Tamu itu kini telah mohon pamit.
Relakanlah,  dan  tak perlu menjerit .
Karena seharusnya kau  tahu semua penawaran ada limit.
Apa boleh buat, walaupun panenmu cuma secubit
Tinggallah engkau dengan lambaian
Sepi mengubur harapan.
Tamu mubarak itu akan pamitan
Tahun depan untukmu belum tentu dijadwalkan.
Minta ampunlah pada Tuhan.
Wahai diri,
Alangkah malangnya nasibmu.
Akan lebih malang lagi,
Bila hari  ini engkau masih sempat berseri-seri.
Tak tahu diri.

 
 ________
Bingkisan untuk semua kawan saya di FB, yang semakin hari semakin rapat.
Saya minta maaf atas kata-kata yang tak pantas dalam semua notes saya sepanjang Ramadhan ini, juga notes-notes sebelumnya. Barangkali banyak pilihan kata yang tak layak hingga menyakitkan. Ampun maaf.
Terimakasih atas semua komentar yang sungguh sangat berarti.  Minal 'aidin wal faaizin. Mohon maaf lahir dan batin.

 
Wallahu A'lam
Comment ·Like · Farida Ariany and Risza Agustina Astagfirullah.. Ktk dtg'y bln itu saya sllu deg2an memikirkan mampukah saya meraih berkah ramadhan ? Dan stlh bln itu berlalu saya sllu mrs sedih memikirkan akankah saya bs bjumpa kmbli dg bln itu..
September 9 at 2:57pm via Erry Damajanti Ya Allah...semoga kita dipertemukan lagi dengan Ramadhan yang penuh berkah tahun depan..., sedih berpisah dengan bulan penuh berkah ini. Selamat hari Raya Isul Fitri...mohon maaf lahir dan bathin ya pak..
September 9 at 3:27pm · Like ·

Facebook Mobile · Like ·

Erry Damajanti like this.

Share
  • Ersis Warmansyah Abbas Introspeksi ...
    September 9 at 3:59pm · Like ·

  • Erryk Kusbandhono Sama2, pak. Mohon maaf bila comment2 saya ada yg tdk berkenan di hati siapa saja yg membaca..
    September 9 at 4:01pm via Yussy Akmal Muhasabah...,jadi malu.Semoga اللَّÙ‡ُ izinkan bertemu lagi dengan Ramadhan.
    September 9 at 4:30pm via Pakop Dahlan Semoga kita bisa bertemu lagi dengan ramadhan yg akan datang amin.., terima kasih atas tausiah pak jufran yg telah menemani selama ramadhan, walau tidak bertemu, tapi dekat di hati, ditunggu tulisan pencerah hati edisi syawal.. Maaf lahir dan batin..
    September 9 at 5:47pm via Andi Budiman Trima kasih ! Mencerahkan !
    September 9 at 7:15pm via Wuryaningsih Budiastuti

    Manusia sebagai hamba tidak dapat mengklaim apakah ibadahnya pasti diterima sementara orang lain tidak, atau sebaliknya. Siapa tau keduanya diterima, atau tidak keduanya. Yang bisa dilakukan adalah terus ikhtiar dalam takwa; seraya berharap...
    See MoreSeptember 9 at 8:51pm · Like ·

    Facebook Mobile · Like ·

    Facebook Mobile · Like ·

    Facebook Mobile · Like ·

    Facebook Mobile · Like ·

  • Faricha Hasan Sama2, pak Jufran.. Maaf jg atas khilaf, -yg pastinya tak sy sengaja.

    Smg kita bs dipertemukan dgn Ramadlan yg akan datang, dlm keadaan yg lebih baik.

    Met 'Idul Fitri, pak Jufran..^^
    September 9 at 9:26pm via Jusuf Fateh

    Bagaimanakah mungkin perpisahan diiringi dengan tawa gembira? Lihatlah nafsu yang menggelora, di seluruh penjuru jiwa, ia telah membutakan makna di hari yang fitri ini.
    Wahai Tuhan pemilik jiwa, anugerahkanlah kepada kami kerinduan akan Bul...
    See MoreSaturday at 4:44pm · Like ·

    Facebook Mobile · Like ·

  • Jufran Helmi
    @ All. Semoga muhasabah ini menjadi pemicu semangat kita untuk lebih baik di masa yang akan datang. Terimakasih atas komentar-komentarnya.
    10 hours ago · Like ·

Friday, September 10, 2010

Friday, September 10, 2010

Pagi beriman, malam amnesia.


<em>"Pagi beriman, siang lupa lagi. Sore beriman, malam amnesia." </em>Demikianlah Gigi mengalunkan kalimat-kalimat itu setiap jam sahur sepanjang Ramadhan tahun ini mengiringi sinetron "<em>Para Pencari Tuhan</em>". Di akhir dan di awal "<em>para pencari Tuhan' </em>itu berakting, Gigi melukiskan sebuah komunitas di dunia ril tentang sekelompok orang memahami hakikat Tuhan dan mendefinisikan iman.
Kalimat itu sungguh menyayat hati dan menyingung perasaan.Tapi mau diapakan lagi, karena ia memang sebuah gambaran fenomena hidup kita sehari-hari. Bukan saja kehidupan sekelompok orang muda seumur Gigi, tapi bukan tak mungkin kalau itu kehidupan sebagian kita, sekelompok eksekutif, pejabat, wakil rakyat, pengusaha, atau bahkan ulama. Kalau kelompok itu ada, sungguh memilukan. Itu artinya kiamat memang sudah hampir tiba. Sore beriman, malam amnesia.
Amnesia adalah kondisi yang sangat mengerikan. Amnesia adalah gangguan ingatan. Seseorang yang amnesia adalah seseorang yang lupa dengan dirinya. Ia lupa siapa dia sesungguhnya. Ia lupa dengan kejadian masa lalunya dan sama sekali tidak bisa meraba masa depannya. Dia bisa gembira di tengah kesedihan. Atau, sebaliknya ia sedih ketika seharusnya ia gembira. Siapakah mereka? Anak saya kah? Anak Anda kah? Atau, kemenakan kita semua.
Yang jadi fenomena bukan amnesianya. Yang fenomena adalah bahwa di pagi hari ia masih terlihat beriman. Mungkin ia shalat subuh diiringi pula dengan do'a-do'a. Mungkin ia mengisi pagi dengan membaca Alquran sebelum bersiap-siap berangkat ke dunia kerja atu bisnis. Itu semua adalah tanda-tanda keimanan seseorang. Gigi mengatakan, "<em>Pagi beriman</em>." Pagi, iman masih menyelimuti dirinya.
Apa yang terjadi setelah siang? Ketika otaknya sudah mulai berpikir tentang kerja. Dia sudah berada di lingkungan kerjanya dalam dunia bisnis ataupun politik. Pikiran mulai mengarah pada target-target yang harus dicapai. Akalnya sedang diramu memprediksi omset yang harus terjadi hari ini. Di saat itu, iman buyar. Tatkala siang menjelang, ia lupa bahwa ia adalah orang beriman. Ia lupa bahwa subuh tadi dia adalah seorang hamba Tuhan yang berikrar akan sehidup semati dengan iman. Namun apa yang terjadi, dia tampil sendiri tanpa iman. Iman sudah ditinggalkannya di belakang atau sengaja dilupa-lupakannya. Ia tak mau terganggu oleh atribut-atribut keimanan, halal ataupun haram. Ia kini merasa sebagai makhluk yang merdeka dari Tuhan.
Coba bayangkan tatkala iman sudah tidak di hati seseorang. Halal-haram tak tampak lagi bedanya. Yang ada hanyalah target-target bisnis atau politik yang harus dicapai. Semuanya uang dan hanya uang.
Sepulang dari dunia kerja, sesampai di rumah. Semuanya berubah kembali seketika. Apa yang terjadi di luar tadi telah dilupakannya, seperti tak berkesan apa-apa lagi. Seperti apa ia melupakan imannya di waktu siang, begitu pula ia melupakan perilaku siangnya di sorenya. Iman kini datang kembali seperti tanpa malu. Tampillah ia dengan wajah berimannya. Shalat maghrib, berdo'a, berwirid, membaca Alquran. Imannya seolah bertengger begitu ketat seperti semula, hingga tak ingin berpisah dari dirinya.
Tapi, tak lama setelah itu, malam pun datang. Kini lebih mengerikan. Ia bukan saja lupa bahwa ia manusia beriman, tetapi bahkan ia lupa bahwa ia manusia. Kawannya malam itu, kalau bukan <em>putaw</em>, ya <em>kokain</em>, <em>heroin</em>, <em>ganja</em>, atau <em>shabu</em>. Dia bukan manusia lagi, tapi amnesia.
Saya tidak tahu siapa yang telah menginspirasi Gigi. Pagi ia beriman, siangnya ia lupa dengan imannya itu. Sore beriman, tapi malamnya ia sudah amnesia karena menelan narkoba. Tapi kalau fenomena ini ada, ini benar-benar tanda akhir zaman sebagaimana yang pernah disabdakan oleh Baginda Rasulullah SAW, " <em>Akan datang suatu zaman ketika seseorang di pagi hari beriman, di sorenya kafir. Di sore hari beriman, di paginya kafir</em>. " Na'uzubillahi min zalik.
Wallahu a'lam
Bagaiamana pendapat Anda?

 
  • Sarah Mahmudatun Nabila, Mang Edhok

    Fragmen seperti banyak terjadi belakangan ini, seolah secara perlahan menguak jati diri yang sebenarnya manusia Indonesia. Ada sebagian orang yang menganalisa penyebabnya 1. Karena kita keturunan orang2 yang dijajah, diajari hidup secara fe...
    See MoreYesterday at 7:00am · LikeUnlike ·

    Marieska Verawaty, Adnin Fairuzy Putri and 3 others like this.

  • Wahyu Mappadeceng betulll..
    Yesterday at 7:03am via Faricha Hasan Astaghfirullah.
    Itulah, -mungkin-, mengapa kita perlu istiqomah.
    Yesterday at 8:00am via Agus Purwantoro Amin3x, met iedhul ditri mhn maaf lahir bathin, slm ntuk klg ...
    Yesterday at 8:03am via Erryk Kusbandhono Allahummakhtim lanaa bil iiman, allahummakhtim lanaa bis islaam, allahummakhtim lanaa bihusnil khootimah. Amin..
    Yesterday at 8:14am via Andi Budiman Trima kasih , insyaallah smg kita dpt menjauhi dari hal 2 yg amnesia .
    Yesterday at 9:04am via Ersis Warmansyah Abbas Dendanga bermakna Armand; inspirasi bagus menatap kenyataan
    Yesterday at 9:12am · LikeUnlike ·

    Facebook Mobile · LikeUnlike ·

    Facebook Mobile · LikeUnlike ·

    Facebook Mobile · LikeUnlike ·

    Facebook Mobile · LikeUnlike ·

    Facebook Mobile · LikeUnlike ·

  • Jufran Helmi
    @Mang Edhok. Ulasan yangmnedalam. Jadi ltambah lengkap tulisan ini dengan ulasan itu.
    @Wahyu. siip
    @ Faricha. lebih perlu lagi beriman yang sebenar-benar iman.
    @ Pak Agus. Selamat idul fitri.
    @Erryk. amiin
    ...
    See MoreYesterday at 9:23am · LikeUnlike ·
  • Faricha Hasan Ya, Pak.. Sebenar-benar iman. ^^

    Tp kan kadar iman seseorang kadang tebal kadang tipis, jd . . . .
    Yesterday at 9:53am via Jufran Helmi
    @Faricha. Harus ada upaya memupuknya
    Yesterday at 9:55am · LikeUnlike ·

    Facebook Mobile · LikeUnlike ·




Thursday, September 9, 2010

Thursday, September 09, 2010

Kasih Sayang


Kalau ditanyakan kepada seseorang apa yang paling diingatnya kalau dikatakan "<em>ibu</em>". Rasanya akan jarang yang menjawab bahwa ibu adalah simbol "<em>kasih sayang</em>". Saya boleh menebak, kebanyakan kita akan menjawab bahwa ibu adalah perempuan yang melahirkan kita. Hanya itu. Karena, memang hanya itulah yang sanggup diingat manusia kini tentang peranan ibunya. Tak lebih dari itu.
Bahkan, mungkin hari ini, kata "ibu" tidak lagi mengingatkan orang dengan kata "<em>menyusui</em>", "<em>memelihara"</em> , atau kata "<em>mendidik</em>". Fenomena sosial menunjukkan mulai banyak anak yang tidak menyusu pada ibunya lagi, tetapi menyusu pada sapi. Demikian juga, mulai banyak anak yang tidak dipelihara ibunya sendiri, tapi dipelihara oleh orang lain. Lebih-lebih lagi dididik. Sudah mulai jadi trend, anak dibiarkan tumbuh begitu saja tanpa didikan sang ibu. Dengan hilangnya peran-peran penting pembawa kasih sayang ibu itu, manusia pun lupa bahwa sesungguhnya ibu adalah simbol kasih sayang.
Secara fitrahnya, ibu sebenarnya adalah simbol "<em>kasih sayang</em>" antar manusia. Lihatlah, bila kita diminta menggambarkan sebuah model ideal kasih sayang sesama manusia, kita akan teringat dengan kasih sayang antara ibu dan anaknya. Betapa indahnya kasih sayang itu. Ia benar-benar tulus tanpa pamrih. Kasih sayang itu berlandaskan pengorbanan bukan berdasarkan manfaat atau keperluan. Tak seorangpun akan sanggup menderita demi orang lain, lebih-lebih lagi bila orang lain itu menyakitinya, melebihi penderitaan ibu demi anaknya.
Fitrah ibu ini, rasanya, ada kaitan dengan rahim ibu. Semua kita terlahir dari satu rongga yang terletak di dalam tubuh ibu yang bernama<em> rahim</em>. Ia dinamai sama seperti salah satu nama Allah "<em>Ar Rahim</em>" yang berarti <em>kasih sayang</em>. Sesuai dengan namanya, di dalam rahim itulah bermula kasih sayang ibu pada kita. Kasih sayang memancar ke seluruh tubuh kita, terasa oleh seluruh saraf dan mengalir ke seluruh nadi darah. Maka, selama sembilan bulan pertama kehidupan, kita diperkenalkan dengan kasih sayang hingga ia begitu terdefinisi dalam ingatan kita. Selama sembilan bulan di dalam rahim ibu itu, kita merasakan apa itu kasih sayang sebelum kita keluar ke dunia ini.
Baru saja kita lahir, keluar dari rahim ibu itu, kita menjerit sekeras-kerasnya. Itu pertanda ketidakbahagiaan. Kita mulai merasakan ada yang hilang dari dalam diri kita. Itulah kasih sayang. Sebagai akibatnya, setelah manusia itu lahir ke dunia, ia begitu haus dengan kasih sayang. Kasih sayang menjadi keperluan hidup seperti perlunya kita akan makanan dan minuman. Kalau di suatu ketika kita merasakan ada kasih sayang, kita akan bahagia. Kita akan bahagia berada di tengah-tenga orang yang menyayangi. Tapi, tatkala kita tidak memperoleh kasih sayang dari orang-orang di sekitar kita, kita akan benar-benar menderita. Itulah fitrah yang telah Allah ciptakan di dalam hati manusia. Kasih sayang sangat menentukan kebahagiaan manusia.
Sebenarnya, kasih sayang yang diharapkan antar manusia adalah kasih sayang seperti kasih sayang ibu dan anak itu. Idealnya memang seperti itu. Mungkin kadarnya tidak akan persis sama dari orang perorang. Dengan mendekati saja, manusia akan cukup bahagia. Hal itu karena kasih sayang, sesungguhnya, adalah pancaran kasih sayang Allah. Allah lah yang menebarkan kasih sayangNya kepada makhlukNya. Pada seorang ibu, pancaran itu telah dibentuk melalui fitrahnya. Tapi, kasih sayang antar manusia mesti dibangun dengan suatu upaya sungguh-sungguh berlandaskan keimanan. Karena ia bersumber dari Allah, bukan tidak mungkin kasih sayang dapat dihadirkan di hati manusia walaupun mereka tidak mempunyai hubungan darah seperti ibu dan anak. Kalaulah model seperti itu bisa diwujudkan antar manusia, damailah dunia ini karena keperluan hidup yang asas itu terpenuhi.
Karena kasih sayang adalah keperluan hidup, Allah meminta manusia untuk saling memberi kasih sayang. Rasulullah diminta memulai gerakan kasih sayang ini melalui da'wah dan perjuangannya. Orang tua diminta memberi kasih sayang kepada anaknya. Anak-anak diminta memberi kasih sayang kepada orang tua. Sesama kerabat, keluarga, suami-istri diminta agar saling menyayangi. Yang tua diminta menyayangi yang muda. Yang kaya menyayangi yang miskin. Pemimpin wajib menyayangi rakyat. Rakyat pun wajib menyayangi pemimpinnya. Kasih sayang menjadi sebuah keperluan yang sangat penting dan vital dalam hubungan antar manusia. Tanpa kasih sayang manusia akan menderita.
Tapi malangnya kita, hal ini tidak disadari. Betapa banyak anak-anak yang akhirnya <em>broken home</em> karena kehilangan kasih sayang dari keluarganya. Yang ada dalam keluarganya hanya kebencian. Maka pergilah mereka mendapatkan kasih sayang ke tempat lain. Betapa banyak pasangan suami-istri akhirnya harus berpisah karena tak menemukan kasih sayang dalam rumah tangga. Betapa banyak pula pemberontakan rakyat terjadi kepada para pemimpin karena mereka tidak memperoleh kasih sayang.
Karena begitu pentingnya kasih sayang, kasih sayang menjadi sentral ajaran Islam. Islam adalah agama kasih sayang. Setelah manusia membangun hubungan dengan Allah dalam wujud <em>takut dan cinta</em>, manusia harus menjalin hubungan sesamanya. Tali yang menghubungkan antar sesama manusia adalah <em>tali kasih sayang</em>. Allah memuji orang-orang yang berjuang sekuat tenaga memperkuat tali ini. Sebaliknya, Allah mencerca orang-orang yang memutuskannya. Rasulullah bersabda, " <em>Tidak akan masuk surga orang-orang yang memutuskan tali kasih sayang."</em>
Dalam kehidupan kita sekarang kasih sayang adalah barang langka. Kehidupan kita sudah dipenuhi oleh hubungan ekonomi, politik, atau sosial. Kasih sayang sudah dikubur. Semua diukur dengan uang dan barang. Padahal kasih sayang inilah yang membawa manusia ke dalam kebahagiaan. Ia lebih berharga dibanding harta benda. Tanpanya, manusia benar-benar akan menderita. Tapi mengapa kita tak sungguh-sungguh memperjuangkannya hingga ia benar-benar tegak? Kapankah datangnya pemimpin yang akan mengikat hubungan indah itu kembali?
Wallahu a'lam
Bagaimana pendapat Anda?

 
  • Wuryaningsih Budiastuti, Andi Budiman Melihat fenomena yg terjadi sekarang kayaknya kita butuh training akan arti pentingnya " kasih sayang " demi sebuah hidup dan kehidupan yg lebih bermakna . Trima kasih . Mencerahkan !
    Yesterday at 4:10am via Jufran Helmi
    @Andi. Ide yang bagus
    Yesterday at 4:16am · LikeUnlike ·

    Facebook Mobile · LikeUnlike ·

    Pakop Dahlan and Marieska Verawaty like this.

  • Ersis Warmansyah Abbas Semakin menkajubkan Pak ... lanjut
    Yesterday at 4:18am · LikeUnlike ·

  • Jufran Helmi
    @Pak Ersis. subhanallah.
    Yesterday at 4:29am · LikeUnlike ·

  • Marieska Verawaty Kasih sayang bisa tumbuh dan semakin subur dengan keinginan selalu memberi tanpa memikirkan mendapatkan balasan ... pikirkan bagaimana selalu memberi ... hilangkan harapan untuk mendapatkan balasan ... mudah2han kasih sayang tumbuh dan subur ...
    Yesterday at 4:31am · LikeUnlike ·

  • Mang Edhok

    Tapi ada hal yang mengganjal dipikiran saya. Dari data kriminal yang masih kami ingat disimpulkan: Ibu (terutama) ibu muda yang terhimpit tekanan ekonomi bisa berbuat jauh lebih kejam dari yang kita duga. Dan yang mengherankan lagi fenomena...
    See MoreYesterday at 5:08am · LikeUnlike ·

  • Yogaswati Dewi
    "Kasih sayang".., adalah suatu perasaan. Ia berbeda dengan "nalar/logika". Nalar bisa diterima dan dijalankan melalui pengamatan dan pengetahuan. Kita bisa sangat mempercayai dan memegang nya secara konsisten mis. suatu teori matematika...
    See MoreYesterday at 6:14am · LikeUnlike ·
  • Erryk Kusbandhono Marilah kita jalinkan kasih sayang sesama kita, kian lama makin pudar, nampak gersang di hati ini. Kita siram kembali dg air iman yg suci, dg menabur budi di dlm hati ini. Berkasih sayang perintah Allah..
    -Nada Murni-
    Yesterday at 6:50am via Endah Kurniadarmi

    Kasih sayang saat ini tidak menjadi prioritas untuk diajarkan. Setiap orang merasakan dan mempelajari dengan kemampuan indranya masing2. Apakah kita masih mengelola hal-hal bersifat material? Rasional? Ntahlah... kebutuhan untuk mengajarkan...
    See MoreYesterday at 9:19am · LikeUnlike ·

    Facebook Mobile · LikeUnlike ·

  • Jufran Helmi
    @Marieska. Kalau hawa nafsu memang maunya hanya menerima tanpa memberi. Baginya memberi itu menyusahkan, merugikan. Itulah sebabnya kasih sayang mesti menggeser kedudukan hawa nafsu itu.

    @Mang Edhok. Kadang-kadang kita nggak habis fikir, se...
    See MoreYesterday at 9:39am · LikeUnlike ·
  • Wuryaningsih Budiastuti Sebagai ibu yang 'biasa-biasa' aja, saya sih hanya meyakini bahwa yang dari hati akan sampai ke hati juga. Semoga anak-anak kita mengerti apa yang menjadi cita-cita dan doa orang tuanya....amiin
    Yesterday at 9:40am · LikeUnlike ·

  • Jufran Helmi
    @Wuryaningsih. Siip. Saya setuju.
    Yesterday at 9:47am · LikeUnlike ·


  • Erryk Kusbandhono
    @ Pak Jufran; Hehe, terlalu berat pak. Kalau dimasukkan lagu religi islami terpopuler, iya. Coz, saya dulu mengenal nasyid ini masih kecil tapi s/d skrg masih hafal. Salut & bangga buat Abuya; Bapak Nasyid Islami..
    Yesterday at 10:02am via
    Facebook Mobile · LikeUnlike ·