Breaking

Saturday, May 26, 2012

Saturday, May 26, 2012

Plot

Satu cerita dibangun oleh serangkaian kejadian yang bersusun dan saling terkait. Satu kejadian adakalanya diceritakan sebagai latar belakang kejadian yang lain. Plot adalah susunan kejadian-kejadian itu.

Kalau diumpamakan satu kejadian itu seperti seperti sebuah gerbong, plot adalah relnya. Satu gerbong akan menarik gerbong lainnya. Tapi, gerakan gerbong secara keseluruhan ditentukan oleh relnya.

Dalam menciptakan cerita fiksi, seorang penulis seabaiknya membangun plot terlebih dahulu. Setelah polt jadi, di atas plot itulah kejadian demi kejadian dikisahkan.

Saturday, May 19, 2012

Saturday, May 19, 2012

Karakter

Secara mudahnya, karakter adalah ciri-ciri para pemain yang dilibatkan ke dalam cerita. Tanpa ciri-ciri yang lengkap, cerita akan terasa kaku dan tidak hidup. Karena itu, daftar para pemain belum dapat disebut karakter.

Misalnya dalam satu cerita pembunuhan, di dalam cerita itu ada tokoh pembunuh dan ada tokoh yang terbunuh. Barangkali ada pula tokoh yang menjadi pembantu si pembunuh. Mungkin juga ada pula tokoh yang menjadi saksi pembunuhan. Pembunuh, korban pembunuhan, pembantu pembunuhan adalah daftar para pemain atau pemeran. Semkain komplek cerita itu, semakin banyak pemain yang ditampilkan. Dalam suatu pembunuhan mungkin ditampilkan pula orang-orang yang lari ketakutan di lokasi pembunuhan. Mungkin juga ada polisi. Lebih jauh, ada pula keluarga si terbunuh dan si pembunuh, dst. Ringkasnya, cerita pad dasarnya adalah aksi yang dilakukan oleh para pemain cerita itu, baik pemain utama yang menjadi sorotan ataupun pemain figuran yang muncul sebagai peramai suasana.

Dalam suatu cerita yang hidup, penulis tidak cukup hanya menyebutkan peran dari para pemain itu. Para pemain itu harus digambarkan karakternya. Misalnya pemain yang berperan sebagai pembunuh, laki-laki atau perempuan kah ia? masih muda atau sudah tua? Bagaimana keadaan fisiknya: gemuk, kurus, tinggi, pendek? Di sampai karakter fisik yang dapat dibayangkan secara visual, perlu pula dijelaskan karakter psikisnya, perilakunya, latar belakangnya, dll.

Sekali satukarakter telah diperkenalkan, karakter itu harus tetap sampai cerita itu berakhir. Misalnya, di dalam episode pembunuhan di lokasi, Anda sudah mengatakan bahwa si pembunuh itu seorang laki-laki yang masih muda. Ketika si pembunuh itu diceritakan di episode lain di kantor polisi, si pembunuh harus tetap sebagai laki-laki muda. Jangan, tiba-tiba ia sudah berubah menjadi perempuan tua.

Karena karakater tidak dituliskan sekali gus tapi dicicil sepanjang jalan cerita, agar tidak lupa, para penulis professional membuat semacam daftar karakter setiap pemain. Ia boleh menambahkan karakter-karakter setiap pemain dengan leluasa, tapi ia harus hati-hati kalau mengurangi atau mengubahnya. Kalau ia mengurangi atau mengubah, maka seluruh penjelasan yang telah dibuat sebelumnya di dalam cerita  mesti diubah.


Friday, May 18, 2012

Friday, May 18, 2012

Setting

Setting adalah salah satu diantara lima elemen cerita. Bersama-sama dengan plot, karakter, tema, dan style, setting menjadi sebuah elemen yang membangun satu cerita secara keseluruhan.

Cerita yang saya maksud termasuk cerita fiksi ataupun non-fiksi. Bedanya hanya terletak apakah cerita itu ril ada atau cerita itu bercampur antara yang ril dan yang imajiner.

Kalau plot mengandung istilah pengantar, rising up, climaks, rising down, serta resolusi, maka setting mengandung istilah setting ruang dan setting waktu. Di dalam setting itu seluruh karakter, baik protagonis dan antagonis akan beraksi, berkelahi, berdialog, dll.

Bayangkan setting itu adalah tata panggung. Sebuah panggung yang dilengkapi dengan back-drop lukisan raksasa sebuah kota yang sibuk yang terlihat dari jendela kaca. Kota yang terlihat itu terdiri dari deretan gedung pencakar langit, kendaraan yang sedang macet, lalu lintas manusia. Di panggung sendiri ada tempat tidur, kursi sofa, dan meja belajar yang tua. Seluruh perkakas yang ada di panggung adalah perkakas sebuah kamar hotel murahan dan kuno.Dari keseluruhan terlihatlah bahwa setting yang dirancang itu sebuha kamar hotel murah dan kuno yang terletak di tengah kota metropolitan yang megah dan ramai.

Setting pun harus menggambarkan waktu dan zaman. Apakah waktunya siang hari atau malam hari. KAlau malam, tentu ada cahaya lampu. Kalau siang, ada cahaya matahari. Zaman pun harus tergambar dari setting. Apakah setting pada tahun 1920, 2010, atau 2090.

Di dalam setting ruang dan waktu itulah, karakter akan beraksi, berlaga, atau bercakap-cakap. Dari keseluruhan setting akan tergambar budaya, geografi, suhu, dsb.

Karena cerita akan bergerak mengikuti plot, setting ibarat gerbong, plot ibarat rel, sedangkan karakter adalah penumpang kereta api yang berada dalam gerbong.


Ada beberapa kaidah dasar dalam menulis setting. Saya akan sebutkan beberapa saja.

1. Detail.
Setting mesti detail. Jangan malas menulis detail. Gunakan berbagai strategi: simile, metafora,personafikasi

2. Gunakan deskripsi penginderaan.
Satu penginderaan terlalu kering. Gunakan lebih dari dua.Misalanya 3 atau 4.

3. Gunakan eksposisi intelektual. Untuk hal-hal yang tak mungkin dideskripsikan secara visual, gunakan pendekatan eksposisi ilmiah. Eksposisi ini bisa eksposisi dari sudut fisika, kimia, biologi, asstronomi, ekonomi, sosiologi, psikologi, kedokteran, sastra, bahasa, dll.

4. Ambil yang penting.
Lupakan hal yang tak penting atau yang sudah diketahui banayk orang. Jangan tulisakan semuanya. Masih perlukan anda menuliskan warna daun, warna langit, dll?  Rasanya, itu tak terlalu penting. Anak kecil juga ttahu kalau daun warnanya hijua. Tapi kalau daunnya berwarna aneh, perlu dimasukkan dalam setting..

5. Show not tell.
Show artinya tunjukkan apa yang nampak sebelum menjelaskan. Kata "air matanya menetes" lebih show dibanding "ia menangis".

Dari pengalaman para penulis fiksi, setting cerita diperoleh dari berbagai sumber, diantaranya:

1. Pengalaman sendiri ketika mengunjungi suatu tempat
Pengalaman sendiri merupakan sumber yang paling utama. Seluruh aspek emosional telah terpaut dalam pengalaman itu sehingga dengan mudah pengalaman berubah menjadi setting yang apik. Tidak ada seorang penulis pun yang sudah  mengunjungi semua tempat yang ada di dunia ini.

2. Mendengar pengalaman yang dituturkan atau ditulis orang lain.
Pengalaman orang lain pun tak kalah serunya. Jangan sia-sakan kesempatan bertemu dengan orang-orang yang sudah pernah ke suatu tempat. Dengarkan cerita mereka. Baca buku cerita mereka.

3. Menelaah berbagai informasi tentang suatu tempat memalui "Google"
Mesin Google menyediakan banyak informasi yang tersedia di dunia maya, baik itu dokumen, foto, atau video. Berbagai informasi dengan mudah didapatkan. Anda tak repot-repot terbang ke ruang angkasa kalau hanya untuk menulis setting ruang angkasa. Klik Google tentang ruang angkasa. Anda dapat menemukan berbagai foto, video, atau penjelasan tentang ruang angkasa.

4. Hasil imajinasi
Menariknya menulis fiksi adalah karena Anda dapat menulis setting imajiner. Termasuk dalam hasil imajinasi ini adalah hasil pengalaman yang diperkaya dengan berbagai informasi lain, atau penggabungan berbagai informasi dan pengalaman ke dalam satu setting.

Thursday, May 17, 2012

Thursday, May 17, 2012

Elemen Cerita

Cerita, yang dalam bahasa Inggris dinamakan story,  adalah karangan yang menuturkan peristiwa atau kejadian dalam satu susunan tertentu untuk satu maksud tertentu. Yang dituturkan oleh sang pengarang di dalam suatu cerita bisa kejadian atau peristiwa sebenarnya (benar-benar terjadi) atau kejadian atau peristiwa rekaan pengarangnya saja. Yang pertama di sebut true story sedangkan yang kedua disebut fiksi. Kedua jenis itu dibagi lagi menjadi bebagai genre yang beraneka ragam dengan karakterisktiknya masing-masing.

Cerita yang di dalamnya tercampur peristiwa yang sebenarnya dan peristiwa rekaan, ada yang mengelompokkannya sebagai fiksi dan ada pula yang memasukkanya ke dalam kelompok tersendiri yang dinamakan faksi. Faksi adalah true story yang diberi bumbu-bumbu rekaan pengarang (based on true story).Walaupun ada unsur kejadian yang sebebenarnya, unsur rekaan yang ditambahkan menjatuhkannya ke dalam fiksi. Saya memilih untuk memasukkan faksi ke dalam fiksi.

Kedua kelompok cerita tersebut, baik true story atau fiksi, mengandung beberapa elemen pokok. Biasanya, elemen pokok cerita itu disusun dalam satu formula yang mengandung 5 kata tanya dalam bahasa Inggris: who, what, where, when, why, how

Who did what where and when, why and how.

Artinya, suatu cerita harus mengandung informasi tentang:

1. Kejadian itu sendiri (what)
2. Pelaku  (who)
3. Ruang (where) dan Waktu (when)
4. Alasan (why) dan cara (how)

Sebenarnya,  poin 1 dan 2 saja sudah merupakan elemen cerita yang lengkap. Namun, dengan menambahkan poin 3 dan 4 suatu cerita akan semakin lengkap.

Ucup memukul Udin.

Satu kalimat di atas sudah merupakan sebuah cerita yang lengkap. Cerita itu sudah mengandung poin 1 dan 2. Kejadiannya adalah sebuah pemukulan.Pelakunya adalah Ucup dan Udin. Ucup yang memukul sedangkan Udin yang dipukul. 

Bila ditambahakan poin 3, cerita kan semakin lengkap.

Ucup memukul Udin di halaman sekolah tadi pagi.

Tempat kejadian adalah di halaman sekolah. Waktunya tadi pagi. 

Tapi, kalau pengarang cerita itu mau, cerita itu dapat dilengkapi lagi dengan menambahkan keterangan berupa alasan dan cara Ucup memukul Udin.

Ucup memukul Udin di halaman sekolah tadi pagi. Ucup sangat marah karena ia merasa telah dipermalukan oleh Udin. Ucup mendekati Udin dan  langsung memegang  kerah baju Udin dengan tangan kirinya. Dengan sekuat tenaga, ia kemudian mengepalkan tinju kanan dan mengayungkannya hingga tinju itu bersarang tepat di perut Udin. Udin melenguh "Aduh!" sambil membungkukkan badan dan memegang perut yang kena pukulan Ucup tadi.

Bila pengarang berkenan lagi, karakter Udin dan Ucup dapat ditambahkan. Seperti apa penampilan Ucup dan Udin. Sifat-sifat Ucup dan Udin dapat pula disisipkan. Selain itu dapat pula ditambahkan setting ruang halaman sekolah tempat kejadian dan setting waktu kejadian. Penambahan-penambahan itu akan menjadikan cerita semakin hidup karena pembaca dapat menghayatinya secara sempurna. Di sinilah peran sastra mengolah suatu cerita menjadi semakin hidup.

Agar cerita itu dapat dipahami dan dihayati oleh pembaca secara hidup, tidak cukup satu kejadian yang diceritakan. Pengarang perlu menceritakan kejadian-kejadian lain yang terjadi sebelum dan sesudah kejadian itu. Sebagai tambahan, pengarang perlu pula menjelaskan hubungan logis semua kejadian-kejadian itu. Semua pelaku, baik yang terlibat secara penuh ataupun secara sambil lalu, harus diceritakan karakteristiknya. Dimana dan kapan setiap kejadian itu terjadi mesti digambarkan secara rinci.

Untuk menyusun semuanya itu, dalam sastra dikenal beberapa istilah.

Plot
Karakter
Setting
Style
Tema

Plot adalah runtutana semua kejadian, yaitu bagaimana kejadian-kejadian itu tersusun secara kronologis. Suatu kejadian yang mendahului itu mungkin menjadi sebab bagi kejadian yang di belakangnya.

Karakter adalah ciri-ciri para pelaku cerita, baik ciri fisiknya ataupun tingkah lakunya. Ada pelaku utama yang karakterisktiknya disorot habis-habisan dan ada pelaku tambahan yang muncul secara sambil lalu. Ada karakter protagonis, yang diajadikan figur pahlawan, dan ada yang antagonis, pembangkang.

Setting adalah adalah tata ruang tempat kejadian berlangsung dan tata waktu. Setting mengungkapkan objek dan keadaanya di lokasi ke jadian.

Style adalah teknik atau strategi pengarang dalam memanfaatkan unsur-unsur bahasa dalam bercerita.Termasuk dalam style adalah pemilihan kata (diksi), majaz (tropes), skema (scheme) dan modus (mode). Pengorganisasian pesan serta pemilihan sudut pandang (point of view) juga bagian dari style.

Tema adalah pesan moral yang ingin disampaikan pengarang dalam cerita itu.

Wednesday, May 16, 2012

Wednesday, May 16, 2012

Pelabelan Blog

Rencana saya, seluruh post yang saya masukkan dalam blog ini akan dibagi dalam berbagai label (tag) untuk memisahkan konten satu tulisan dengan tulisan lain. Satu post bisa jadi mengandung konten campuran sehingga pelabelan menjadi bertumpang tindih. Tapi, untuk mudahnya, pelabelan akan mengacu kepada konten mayoritas.

Beberapa label (tag) yang sudah saya bayangkan adalah:


1. Entrepreneurship
Post ini berisi segala hal yang berkaitan dengan pembangunan usaha bisnis: bagaimana membangun dan merintis suatu usaha baru dalam, baik kaidah, langkah, ataupun persoalan-persoalannya. Kajian bisa ringkas, praktis, atau bahkan ilmiah. Ide yang diposting disini bisa saja diambil dari pberbagai pemikiran para entrepreneur kelas dunia.

2. Leadership
Post ini berisi tentang segala hal yang berkaitan dengan bagaimana memimpin, baik memimpin diri sendiri ataupun memimpin orang lain. Memimpin diri sendiri artinya mengubah mindset, menata pikiran, menata emosi, mengatur waktu diri sendiri. Memimpin orang lain artinya memotivasi, mendidik, mengarahkan, serta megubah jalan hidup orang lain, baik secara orang perorang atau secara komunal.

3. Learnership
Posting ini berisi segala hal tentang aktifitas pikiran dalam mengenali, menyerap , dan mengolah informasi. Tercakup di dalam label ini semua teknik berpikir kritis, kreatif dan inovatif, teknik membaca, teknik menulis, teknik menghafal, teknik menyimak, dan teknik mencatat.

4. Manajemen
Posting dengan label ini berisi segala hal tentang penerapan teori dan teknik manajemen  moderen yang terkenal dengan empat kuandran menajemen: planning, organizing, leading, dan controlling. Secara divisional, manajemen dapat dibagi menjadi menajemen operasi, produksi, proyek, pemasaran, sumberdaya manusia, teknologi, dan keuangan.

5. Teknologi
Posting ini berisi tentang sains dan teknologi serta kaidah-kaidah dasarnya. Kajian teknologi meliputi seluruh cabang engineering dan sains yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari teknologi.

6. Fiksi
Posting ini berisi renungan, imajinasi, fantasi, dan perasaan yang tertuang dalam bentuk cerita, baikti itu cerita pendek, novel, roman, atupun puisi.

7. Tasawuf (Spiritualisme)
Posting ini berisi tentang segala hal tentang Tuhan. Tercakup di dalamnya segala renungan dan kontemplasi tentang hal yang dikaitkan dengan Tuhan dan kehendak-kehendak Tuhan.

8. Humaniora (Kemanusiaan dan Kemasyarakatan):
Posting ini berisi tentang manusia dan kemanusiaan, masyarakat dan kemasyarakatan. Tercakup di dalamnya tentang perilaku, idiologi, budaya, pendidikan, politik, hukum, pertahanan, perlawanan, peperangan, kerjasama, keamanan.

9. Ekonomi
Posting ini berisi tentang segala hal yang berkaitan dengan uang, moneter, investasi, industri, perdagangan, energi, dll.

10. Biografi
Posting ini berisi biografi orang-orang terkenal, tokoh, atau yatau dikenal.
ang ditikohkan.

11. Memoar (Autobografi): berisi tentang memoar hidup saya sendiri.

12. Travel
Post ini  bercerita tentang tempat yang pernah dikunjungi dan berbagai peristiwa dan kenangan yang berkaitan dengan tempat itu.

13. Resensi
Post dengan label ini berisi ulasan dan analisa tentang buku, foto, video, pentas, gallery, atau film.

14. Kepenulisan (Writership)
Post ini berisi segala hal tentang bagaimana suatu susunan bahasa tertulis dengan seluruh gayanya disusun orang untuk menyampaikan pikiran, informasi, pengetahuan, ataupun khayalan. Seluruh gaya yang dimaksud termasuk adalah jurnalistik, saintifik, akademis, bisnis, ataupun fiktif.


Friday, April 27, 2012

Friday, April 27, 2012

Pohon Jelutung


Bila ada yang mengaitkan jelutung dengan sampan atau  jembatan, banyak orang akan percaya.   Kayunya keras banyak dipakai untuk bangunan. Tapi, bila ada yang menghubungkan jelutung dengan pornografi, mungkin orang akan tertawa dan langsung  menampik.  


 Sore itu, langit Bayur cerah dengan sedikit berawan.  Pantai yang tiap sebentar dihantam gelombang  laut Samudera Hindia itu panas dibakar matahari. Walaupun kampung Bayur tidak seberapa jauh dari pantai itu, matahari tak mudah menyentuh tanahnya karena rindangnya pepohonan yang mengelilingi rumah-rumah.

 Hampir seluruh halaman rumah Sutan Rangkayo Mudo  yang luasnya hampir separuh lapangan bola itu ditumbuhi macam-macam pohon besar dan tinggi. Ada jelutung, jangkang putih, durian burung,  dan damar laut yang terkenal rindangnya.  Dan ada mahoni.  Entah kapan pohon-pohon perkasa itu mulai ditanam.  Ketika Sutan lahir, pohon-pohon itu sudah lebih tinggi dari atap rumahnya.

 Di sore itu, Sutan Rangkayo berjalan menuju sebatang jelutung. Pemuda paruh baya, pemanjat kelapa hebat se Bayur itu, berdiri di bawahnya.  Pohon yang nama hebatnya dyera costulata itu, walaupun bergetah, adalah pohon  berkayu keras  dan tahan lapuk. Orang Bayur banyak mengambilnya untuk dibuat perahu.

 Setelah menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya, Sutan mulai memasang aba-aba untuk memanjat. Sebilah badik terselip di pinggangnya yang dililit kain sarung yang digulung-gulung. Ia menoleh ke atas sebentar sekedar menakar  tinggi batang yang hampir tiga puluh meter itu. Dengan sigap, Ia pun kemudian merayap, memindahkan posisi kaki dan tangan, merangkak ke pucuk. Seperti sekejap saja, sampailah ia di suatu pertemuan lima dahan.

 Pertemuan lima dahan itu terlihat seperti telapak tangan manusia  yang sedang dihadapkan ke langit,  kelima jarinya diluruskan sedangkan ujungnya mengapit bola kasti. Itulah tempat yang dituju Sutan. Dengan konfigurasi seperti itu, terbentuklah satu tempat seperti sangkar perkutut yang  luasnya muat untuk tiga orang duduk bersila. Begitu mantapnya tempat itu, kalaupun ada yang tidur di sana, pasti tak akan jatuh. Kelima dahan pohon itu akan memagarinya.

 "Ah, leganya." Sutan menarik nafas dalam-dalam sambil menyeka keringat ketika ia tiba di sana.

 Setelah melepaskan badik dari lilitan sarung di pinggang, ia pun mengeluarkan sebungkus kacang rebus. Kemudian, ia  menggantungkan bungkusan itu pada  sebuah ranting. Ia kemudian duduk menjuntai kaki, bersandar kepada salah satu dahan.

 Ia sendiri tidak pernah menyangka kalau tempat yang dulu ditemukannya  secara tak sengaja itu kini menjadi tempat favoritnya melewati waktu sore. Ia juga tidak pernah menyangka kalau rutinitasnya memanjat jelutung itu tidak sia-sia. Kaki dan tangannya menjadi mahir. Kini, jangankan jelutung  yang satu itu, puluhan kelapa yang tingginya ratusan meter pun akhirnya takluk dipanjatnya setiap hari.

 "Air yang menetes terus menerus, dapat melobangi batu karang," kata Sutan dengan sombong ketika suatu hari ia menceramahi  kawan-kawannya yang  pemalas.

 Bila petang sudah datang, dan langit Bayur cerah tidak mendung, Sutan sudah berada di pertemuan lima dahan jelutung itu. Bila penat duduk, ia berdiri sebentar dan duduk lagi. Begitulah berulang-ulang. Sambil menikmati kacang, jagung, talas, atau ubi rebus yang dibawanya,  ia akan berada di sana sampai matahari hampir tenggelam.

 ***

 Seorang pun orang Bayur  tidak pernah tahu kalau keterampilan Sutan memanjat kelapa didapat dari ketekunannya memanjat jelutung. Setahu mereka, Sutan adalah pemanjat dadakan, seperti orang baru yang tiba-tiba jatuh dari langit atau tersembul dari bumi.

 "Ia pasti sudah berguru kepada seorang pawang hebat yang keluar dari laut," kata seseorang kepada Kureh ketika mereka berkumpul di warung kopi.

 "Ah, tak mungkin," sela yang lain.

 "Ia pasti menggunakan  ilmu khadam atau jimat warisan Nabi Sulaiman," kata yang lain lagi.

 "Ah, itu juga tak mungkin," bantah yang lain pula.

 "Kalau begitu, ia mungkin manusia ajaib yang telah dijanjikan Tuhan," sambung yang pertama tadi.

 Akal nelayan-nelayan kampung Bayur, yang sebagian besar buta huruf itu , sulit menerima kalau orang yang dulunya tukang cukur, kemudian jadi rentenir, tiba-tiba jadi pemanjat kelapa yang mengalahkan kera.

 Bagaikan motivator kelas dunia berorasi, Kureh tampil cepat menyela diskusi yang hampir jadi arena perkelahian itu.

 "Yang pasti, itu pasti hasil belajar."

 " Tapi, ayah, kakek, atau moyangnya tidak ada yang pandai memanjat," bantah salah seorang peserta .

 "Di dunia ini tak hanya satu guru," jawab Kureh enteng sambil menghirup kopinya yang sudah hampir dingin.

 "Tapi mengapa kau tak belajar seperti Sutan?" Seorang kawan mengolok Kureh yang peliharaannya itu hampir sering menganggur setelah munculnya Sutan.

 "Kelapa yang tinggi itu untuk kera, bukan untuk kita," jawabnya serius.

 ***

 Sore itu, mungkin sudah yang kesekian ratus kalinya Sutan Rangkayo berada di atas jelutung rahasia itu. Walaupun kemahirannya memanjat sudah tersohor, ritual rutin memanjat pohon raksasa itu tidak pernah ditinggalkannya.

 "Oh indahnya kampung Bayur," bisik Sutan ketika baru saja melepaskan lilitan sarungnya sambil memandang keliling.

 Dari persimpangan lima dahan jelutung itu, kampung Bayur memang  tampak menawan.  Ke arah timur, tampaklah sawah-sawah yang luas seperti tak berbatas.  Di sebelah persawahan itu  ada perkampungan. Di balik perkampungan itu ada lagi persawahan. Dari sana, angin meniup menggoyang-goyang jelutung.

 Ke arah barat, tampaklah pantai Bayur yang permai.  Di balik gelombang laut yang menggulung berburu menuju pantai itu, terlihat jelas pulau Pandan yang terletak di balik pulau Angsa Dua. Matahari seperti merebus air laut.

 Ke arah utara, tampaklah perkebungan ubi dan jagung.  Tidak jauh dari sana tegaklah sebuah tebing yang sisinya dipadati aur kuning.  Aur-aur itu berkilauan seperi emas memantulkan cahaya matahari sore.

 Di bawah tebing yang yang ditumbuhi berbagai macam pohon itu ada sebuah  kolam yang airnya sangat jernih dan melimpah. Sudah lebih dari seabad, kolam alamiah itu dijadikan tempat pemandian umum kampung  Bayur. Ke tempat  pemandian itu lah orang Bayur membasuh badan selepas lelah bekerja memperbaiki sampan, memperbaiki jala ikan, mengupas kelapa, atau sehabis mengadu ayam.

 Air gunung mengalir siang dan malam ke kolam itu melalui tujuh pancuran bambu yang menyembul dari tebing aur. Itulah sebabnya orang Bayur menamai kolam itu 'Kolam Pancuran Tujuh'. Kolam yang tak pernah kering walaupun di musim kemarau itu ramai dikunjungi gadis dan bujang setiap petang.  Setiap paginya, kaum ibu nelayan ke sana bergerombolan mencuci pakaian.

 Di sekeling kolam itu, orang sengaja memasang dinding dari anyaman bambu yang rapat. Siapapun yang mandi tidak terlihat dari luar.  Di samping dinding keliling itu, ada pula dinding pembatas  antara tempat mandi kaum laki-laki dan perempuan.  Walaupun semua yang mandi menggunakan kain basahan,  tak seorangpun makhluk yang berbeda kelamin itu bisa saling mengintip.

 Agar lebih kedap pandang, dinding-dinding bambu itu sengaja dipasang berlapis dua. Di celahnya diberi pula ijuk yang tebalnya hampir sejengkal.  Dinding kolam itu memang tidak kedap suara karena beratapkan langit, Tapi, dinding itu jelas kedap pandang dari sebelah menyebelah. Inilah karya peradaban hebat orang-orang Bayur berlandas adat dan syariat.

 Sore itu, di tengah-tengah keasyikan Sutan di atas jelutung, tanpa disadari Sutan, di sore itu, Bujang Kureh berjalan di bawah jelutung itu. Kureh menoleh ke atas setelah ia dikejutkan oleh sebuah ranting yang jatuh. 
Awalnya, Kureh mengira kalau di atas ada siamang . Tak disangkanya makhluk yang dikiranya binatang itu ternyata orang. Hampir saja seekor kodok bisa meloncat ke mulut Kureh yang tenganga karena herannya.

 "Sedang apa dia?" bisik Kureh sambil ia beringsut pelan, bersembunyi ke belakang sebatang mahoni besar.

 Jantungnya berdetak kencang dengan nafas yang terengah-engah seperti orang yang baru saja dikejar babi hutan. Lama juga ia bersembunyi di sana membuat berbagai analisa. Sambil berkali-kali memukul-mukul telunjukknya ke batang mahoni itu, ia menarik nafas dalam-dalam. Telah lama ia penasaran di mana Sutan menuntut ilmu hebat itu.

 Sore itu, bagaikan seorang agen CIA yang baru saja menemukan tempat persembunyian seorang teroris , Kureh berseru dalam hati, "Nah, ini dia."

 Ia pun diam-diam pergi dari sana. Baginya, Sutan sudah jadi tersangka. Ia padukan semua bakatnya dalam bidang intelijen dan jurnalistik.  Ia gunakan kemampuannya menautkan fakta yang satu dengan yang lain.

 Berhari-hari, setelah itu, kureh melakukan pengintaian.

 Di suatu pagi, ketika Sutan sedang sibuk di pantai Bayur, memenuhi pesanan memanjat kelapa, diam-diam Kureh pergi ke arah jelutung keramat itu. Ia nekat memanjat. Walaupun belum selihai Sutan, pemuda kurus yang jarang memanjat itu sampai juga di persimpangan dahan.
 Setelah duduk sambil mengendalikan nafasnya yang sudah sesak, matanya mengintai seluruh horison kampung Bayur.

 "Wow, pantaslah kalau Sutan ke sini tiap petang.," bisik Kureh sambil berdecak, takjub pada kecerdasan
Sutan.

 Dari pucuk jelutung, Kureh dapat melihat kolam pemandian Bayur seperti tak berdinding. Dinding artistik kolam yang tembus pandang kalau di bawah, tidak berfungsi sama sekali untuk tempat yang tinggi. Beberapa orang nenek terlihat melompat ke air seperti lumba-lumba. Walaupun semuanya pakai kain bahasahan, Kureh tetap terpesona dibuatnya.  Otak intelinjennya pun bekerja, menautkan dua fakta.

 "Pastilah si Sutan tengik itu mengintip gadis-gadis Bayur berenang setiap petang seperti duyung," bisik Kureh mantap.

 "Rupanya, ia ada kelainan," lanjutnya.

 Setelah Kureh membuka cerita itu dari warung ke warung, hampir-hampir  saja Sutan dilaporkan orang kampung kepada Datuk Dirajo Sati untuk dihukum pancung.

 Karena kearifan Haji Samsudin, guru mengaji di kampung Bayur, kepala Sutan hanya digundul dan ia diminta bertobat di tanah lapang. Pohon jelutung yang menjadi saksi pornografi pertama di dunia itu diputuskan untuk ditebang. Kayunya dihanyutkan ke sungai Bancah. Daun-daunnya dikeringkan kemudian dibakar.
Friday, April 27, 2012

Ojekway


Setelah membaca obituari dari Prof  Rudy Rubiandini  ( Sindo, 23/4/2012) tentang seniornya , almarhum Prof Widjajono Partowidagdo,  yang baru saja secara mengejutkan wafat di Gunung Tambora,  saya jadi tahu kalau ternyata bukan hanya Pak Dahlan Iskan dan saya saja yang  biasa naik ojek, he he he. Saya baru tahu kalau Pak Wit, panggilan akrab Prof Widjajono , ternyata biasa naik ojek juga. Seorang wakil menteri yang dikenal cerdas di kalangan koleganya, sesama guru besar ITB itu ternyata tidak hanya malu-malu berambut gondrong di tengah pejabat lain yang klimis, tapi juga tak malu-malu boncengan berkendaraan roda dua.  Terbukti sudah, kalau kami bertiga adalah pengguna ojek, bersama-sama dengan jutaan orang Indonesia lainnya.



Tapi, kalau mau dibanding-bandingkan benar, tentulah kebiasaan itu tak akan persis sama di antara kami bertiga.  Bagi mereka berdua,  naik ojek  bisa jadi lambang kesederhanaan  dan kebersahajaan,  sedangkan bagi saya naik ojek adalah lambang keterpaksaan. Dari segi seringnya mungkin juga tak sama.  Walaupun di antara kami bertiga belum saling memberi  tahu frekuensi  masing-masing, saya yakin  kalau saya mengungguli mereka berdua.  Bedanya lagi:    Saya selalu bayar. Pak Wit, kurang tahu saya. Tapi, Pak Dis (Dahlan Iskan) sekali nggak bayar, waktu dibonceng sehabis kuliah umum di ITB. Mahasiswa yang ngantar beliau itu sepertinya lupa menagih karena begitu gembiranya.  Perbedaan yang lain:  mereka berdua menjadi terkenal karena sering naik ojek. Sedangkan,  saya  biasa-biasa saja, tuh.


Ojek memang kendaraan yang sangat praktis. Rodanya cuma dua sehingga tak memakan ruas jalan.  Kita bisa bandingkan dengan Alphard yang memakan ruas jalan secara buas sedangkan penumpangnya sering-sering hanya satu. Pemakaian bensin ojek jelas hemat, sehingga tak dikhawatirkan akan menghabiskan cadangan BBM nasional yang  biaya produksinya sudah bikin ampun-ampun itu. Karena ligat geraknya, waktu tempuh di tengah macet jelas lebih pendek. Hal ini sangat diperlukan bagi orang-orang sibuk yang berpacu dengan waktu. Dan, masih banyak lagi yang lain.


Jadi, menurut saya, kalau Pak Dis, Pak Wit , dan saya merupakan pengguna ojek, apakah masih ada alasan untuk tidak menjadikan ojek sebagai kendaraan resmi nasional? Dua pejabat ditambah satu rakyat jelata sudah biasa pakai ojek. Tiga suara itu saja, rasanya sudah cukup untuk mengusung   ide agar kendaraan beroda dua ini resmi dinyatakan sebagai kendaraan nasional yang bermartabat. Pengakuannya, kalau perlu pakai SK Presiden.


Inilah momennya. Di saat krisis BBM, krisis kemacetan jalan, jadikan ojek sebagai kendaraan resmi nasional yang bergengsi dan membanggakan.  Kalau perlu bukan sebagai kendaraan alternatif, tapi kendaraan utama. Kita ramai-ramai naik ojek. Menteri, gubernur, bupati mari naik ojek.  Anggota DPR ayo naik ojek.


Selama ini, ojek atau sepeda motor dianggap kendaraan tidak terhormat.  Satpam  sebuah hotel berbintang  yang sebenarnya tidak mewah-mewah benar, di Jakarta,  pernah mencegah saya dan ojek memasuki gerbang utamanya.  Kalau mau masuk, mereka suruh kami lewat pintu belakang yang entah dimana.  Sorot matanya kepada kami pun seperti sorot burung hantu kepada dua ekor pipit. Terpaksalah, akhirnya, saya turun pas di bawah portal dan berjalan kaki ke lobi.


Makanya, ketika saya menonton berita  ojek  masuk ke istana Bogor, tempo hari, saya bertepuk tangan dalam hati. Bangga rasanya. Saya sangat berharap kalau satpam bermata burung hantu yang mencegah saya di depan hotel  yang tidak terlalu mewah itu menonton berita itu. Biar dia tahu kalau apa yang selama ini dipandang rendah adalah keliru. "Lihat, tuh, menteri saja naik ojek ke istana."


Kalau sudah semakin banyak orang naik ojek, kita bisa lihat nanti  begitu banyak keuntungan bagi bangsa ini bila ojek diberi tempat yang layak di tengah moda transportasi umum lainnya. Sesaknya jalan akan sedikit teratasi.  Terobosan yang dibuat Pak Dis, Pak Wit dan saya, termasuk perkara besar yang perlu diperhitungkan.


Tentu saja, agar ojek menjadi kendaraan umum yang semakin meluas, semakin diminati, aman, dan nyaman, berbagai peningkatan dan perbaikan tentu harus dibuat.  Sistem lalulintas sepeda motor yang sekarang ini semberawutan harus diakui. Asal mau, pembenahannya tentu tidak sulit. Perbaikan-perbaikan itu tak perlu yang rumit-rumit. Banyak hal-hal yang sederhana saja yang bisa dilakukan.


Misalnya, setiap tukang ojek diberi bantuan baju atau jaket seragam. Helm-nya dan sepatunya juga diseragamkan. Di samping memberi kesan rapi, seragam akan memudahkan konsumen mengenali mana yang tukang ojek dan mana yang bukan. Soalnya, saya pernah keliru. Seseorang yang berdiri sambil menyandar pada motornya yang sedang diparkir di depan kantor saya, saya pikir tukang ojek. Eh tahu-tahunya bukan. Dia ternyata seorang pemuda yang sedang menunggu kekasihnya keluar kantor itu. Dengan adanya seragam, hal itu tentu tak perlu terjadi lagi.


Kalau perlu, warna plat nomor sepeda motor yang dipakai ojek dibuat kuning, seperti kendaraan umum lainnya. Jadi, kalau nanti pemerintah akan menyediakan  bensin premium hanya untuk kendaraan umum berplat kuning–dan ini memang saran saya untuk menghemat BBM bersubsidi, maka motor roda dua yang telah berplat kuning bisa tercakup di dalamnya.


Itu di antara perbaikan yang bisa di buat di samping perbaikan-perbaikan lainnya. Kalau kita gali, pasti masih banyak ide-ide lainnya yang bisa muncul yang intinya menjadikan ojek aman dan nyaman.


Kalau perhatian pemerintah sudah cukup memadai bagi ojek-ojek ini, tidak tertutup kemungkinan bisnis ojek akan semakin bekembang dengan berbagai  kreasi. Sekarang saja, sudah ada yang menggarap ojek online. Hebat, kan? Mungkin, suatu saat akan lebih banyak lagi ojek online semacam ini yang bisa melayani panggilan melalui telepon atau sms semacam itu.


Mungkin, suatu saat akan lahir pula ojek yang khusus melayani penumpang wanita, yang gadis maupun yang hamil. Suspensinya dirancang khusus. Pengemudinya juga wanita.


Kalau sekarang pemerintah sedang serius-seriusnya menggarap mobil listrik nasional, seperti yang sering dilontarkan Pak Dis, saya kira memulainya  dengan gagasan ojek listrik nasional akan lebih rasional. Sepeda motor pasti tidak memerlukan energi listrik yang lebih besar dibandingkan mobil. Baterainya pasti lebih kecil dan daya simpannya lebih lama. Lebih-lebih lagi kalau untuk men-charge-nya hanya diperlukan cahaya matahari. Ojeknya tinggal berjemur sambil menunggu penumpang.


Kalau pelayanan ojek ini sudah demikian bagus dan penggunanya semakin meluas, pemerintah mungkin perlu mempertimbangkan untuk membuat jalur khusus ojek yang diberi batas  seperti jalur busway. Kita sebut saja jalur ini dengan ojekway, misalnya.


Dan, tidak tertutup kemungkinan perlu pula dipertimbangkan agar ojek bisa melewati  tol.Saya tidak habis mengerti mengapa di Indonesia ojek tidak boleh masuk tol, sementara di beberapa negara boleh.

Sunday, April 15, 2012

Sunday, April 15, 2012

Pemanjat Kelapa


Jika kera bisa cemburu, maka yang paling pantas mereka cemburui adalah Sutan Rangkayo Mudo. Gara-gara ia muncul tiba-tiba sebagai tukang panjat kelapa, sebagian pekerjaan yang biasa dikerjakan kera berpindah-tangan kepadanya. Sejak itu, jam panjat kera di kampung Bayur jadi berkurang.

Keterampilan Sutan memanjat memang luar biasa.  Kalau memanjat, ia tak ubahnya seperti orang yang sedang merangkak di atas batang kelapa yang rebah saja, padalah batang yang dipanjatnya itu tegak perkasa beratus meter menjulang ke udara. Perut atau lututnya tak pernah sekali pun menyentuh batang yang dipanjatnya itu. Hanya telapak tangan dan telapak kakinya saja yang menempel mantap tanpa pernah terpeleset. Dengan sangat cekatan, ia memindah-mindahkan posisi tangan dan kaki bergantian sambil bergerak ke atas.

Bila baru saja ia diberi aba-aba untuk mulai memanjat, dalam waktu satu menit, Sutan sudah sampai di ketinggian 60 meter. Dalam dua menit ia sudah dua kali lebih tinggi. Artinya, kecepatan panjatnya adalah 1m/detik. Dengan kecepatan panjat seperti itu, ia pun kebanjiran order dari penduduk kampung Bayur yang rata-rata hidup dari berjualan kelapa di samping berjualan ikan laut.

"Aku memadukan ilmu mekanika dan metafisika," jawab Sutan dengan pongah ketika seorang anak muda mencoba menggali rahasia kehebatan pemuda yang juga berprofesi sebagai rentenir itu.

"Kalau memutar uang, " lanjutnya, "aku berguru pada ibuku. "

"Tapi, kalau panjat-memanjat, aku berguru pada makhluk di alam rohani yang tak terlihat oleh mata, hua ha ha," kata Sutan dengan sombong, sambil memukul-mukul pundak kawannya yang bertanya itu.

Betapapun kecepatan memanjat Sutan belum sepenuhnya mengalahkan kera, tapi kera-kera di kampung Bayur itu hanya pandai memilah antara kelapa tua dan muda. Sedangkan, Sutan Rangkayo Mudo mempunyai kelebihan lain.

Untuk kelapa muda, ia bisa membedakan mana kelapa yang sesuai untuk diminum bayi, diminum anak-anak, dan diminum perempuan hamil. Untuk kelapa tua, ia bisa memilih mana kelapa yang sesuai untuk santan rendang , santan gulai ikan, santan lemang, dan santan serbaguna. Lebih-lebih lagi, ia pun bisa menjadi konsultan untuk memilihkan pelepah yang layak dipakai untuk rangka atap rumah atau kandang anjing.

"Sabar ya, George," kata Bujang Kureh, suatu hari, berbisik ke telinga kera miliknya yang melongo, melihat atraksi Sutan di atas batang kelapa yang tinggi menjulang. Kera betina milik Kureh itu kini sudah jarang dapat pesanan memanjat lagi.

Bila banyak gadis-gadis yang menontonnya memanjat, Sutan pun tak lupa memainkan akrobat berpindah dari pelepah yang satu ke pelepah yang lain seperti siamang. Untuk akrobat ini, ia tak memungut tambahan bayaran.

Bagi gadis-gadis kampung Bayur pengagum ilmunya itu, konstruksi wajah Sutan memang terbilang lucu. Wajah Sutan tidak jelek , tapi jelas tidak tampan. Kalau satu garis ditarik dari pertengahan keningnya ke pertengahan dagunya, titik tengah hidungnya tidak persis berada di garis itu seperti hidung kebanyakan orang. Hidung Sutan agak bergeser sedikit ke samping kanannya. Lubang hidungnya besar sebelah. Bukan itu saja, keunikan wajahnya ditunjang oleh rahangnya yang agak mendongak, sehingga kalau ia marah wajahnya terlihat seperti jajaran genjang. Walaupun demikian, ia termasuk pemuda yang percaya diri.

Wajah unik itu ditunjang oleh lehernya yang panjang dan kurus. Turun naik jakunnya terlihat jelas kalau ia sedang menelan. Serasi dengan lehernya itu, badannya pun panjang. Ia tampak lebih tinggi bila berada di kerumunan orang-orang. Walaupun ia kikir dengan uang, ia tak kikir bila ditugasi urusan menggantungkan lampu petromak ke tempat yang tinggi di setiap ada kenduri khatam Quran. Karena tubuhnya yang tinggi itulah, jabatan sebagai pengurus lampu tak lepas dari dirinya di setiap kepanitiaan.

Badannya memang kerempeng sehingga tujuh pasang tulang rusuknya tampak berbaris kalau ia tak berbaju. Tapi, otot pangkal lengannya berisi, gempal. Itu mungkin karena ia memang seorang pemanjat bayaran. Otot itulah yang selalu dipamerkannya bila ada yang menantangnya berkelahi.

Sebenarnya, Sutan sudah lama menaruh hati kepada Rubayah. Waktu Rubayah masih sekolah di ibtidaiyah. Ia selalu membuntuti gadis kecil itu ketika berjalan pulang dari madrasah.

"Saya hanya menjaganya dari terkaman babi hutan," kata Sutan berkilah ketika suatu kali ada kawan yang mengolok-olok kebiasannya itu.

Rubayah kecil yang tak faham apa-apa tentang asmara itu hanya bisa ternganga ketika suatu hari pemuda yang lebih tua 20 tahun itu nekad melamarnya jadi istri.

Ketika Rubayah sudah di usia kawin, Sutan melamarnya untuk kedua kalinya. Ia datang membawa penganan kesukaan orang tua Rubayah. Berikat-ikat rambutan, duku, pisang, dan petai tak lupa dibawanya sebagai mahar lamaran. Karena lakunya tidak menaruh simpati, ia pun pulang dengan tangan hampa.

Yang paling mengejutkan ialah ketika Sutan nekad datang untuk ketiga kalinya ketika Rubayah baru sepekan melahirkan Malin Kundang. Ia tahu kalau suami Rubayah itu tak akan pernah pulang lagi sejak perahunya ditemukan orang karam di tengah laut. Ia tahu kalau Rubayah kini tinggal berdua dengan anak satu-satunya yang masih bayi dan yatim itu.

"Percayalah, Rubayah. Anakmu ini memerlukan ayah pengganti untuk ia bersandar ketika susah dan tempat bergurau ketika senang. Akulah orang yang tepat untuk itu. Kita sama-sama memerlukan. Engkau janda, aku pun duda," katanya meyakinkan Rubayah.

Rubayah hanya diam. Sambil terus memasangkan baju untuk anak kecilnya itu, Rubayah melemparkan senyum hambar. Rubayah sudah mendapat kabar bahwa Sutan Rangkayo Mudo itu sudah beristri tiga. Dan, ketiga-tiga istrinya terlantar begitu saja. Tidak diceraikan dan juga tidak dinafkahinya. Sekarang, seperti manusia tanpa beban, ia mendatangi Rubayah, memasang perangkap bagi calon mangsanya yang keempat.
Firasat Rubayah berkata, "Engkau bajingan tengik. Engkau musang berbulu ayam."

"Maaf ya, Tuan. Biarlah saya membesarkan anak ini sendirian." jawab Rubayah sopan sambil menebar senyum di wajahnya yang bersih. Tapi dalam hati ia berkata," Aku tak mau anakku punya ayah seorang pembohong, seorang laknat."

"Biarlah dengan tanganku sendiri, kutunaikan amanah ayah Malin hingga ia menjadi orang, " lanjut Rubayah dengan suara sopan.

Berpuluh hujat dan depat dilemparkan Sutan Rangkayo Mudo. Setiap itu pula, Rubayah menepis dengan sopan, dengan argumentasi yang tersusun secara logika. Berpetak-petak sawah dan kebun serta berbungkah emas, perak, dan tembaga simpanannya, yang entah ada entah tidak, ikut disebut-sebut Sutan untuk dipamerkan kepada Rubayah. Tapi, janda muda itu tetap tak tergoda. Setiap hujah Sutan dijawab oleh Rubayah dengan cerdik cendikia, sehebat jawaban Sokrates di pengadilan seperti yang ditulis Plato di dalam Apologia.

 Akhirnya, Sutan Rangkayo terpaksa pulang. Tak diminumnya secangkir teh yang terhidang dari tadi. Ia keluar dari rumah Rubayah sambil sedikit membungkukkan badannya yang panjang agak tidak terantuk pintu depan, kemudian ia menuruni tangga rumah Rubayah sambil menenteng kembali bawaannya.

 "Ia akan tahu pembalasanku, " geramnya dengan hati yang mangkal.

Friday, March 16, 2012

Friday, March 16, 2012

“Malin Kundang Bukan Anak Durhaka,” kata ibunya.



Pantai Air Manis,  manusia batu,  kutukan ibu,  dan anak durhaka adalah sebagian perkataan  yang tak mudah dihapus dari ingatan wanita yang bernama  Rubayah binti Haji Mahmud.  Ia dipanggil  Mande Rubayah  (mande artinya ibu).  Namanya ikut melegenda karena dialah ibu yang melahirkan Malin Kundang,  anak yang seantero negeri  dicap anak durhaka.

Rubayah tak pernah setuju dengan  gelar buruk untuk anaknya itu. "Betapapun Malin nakal ketika kecilnya dan pongah ketika besarnya, dia tetap anakku," kata Rubayah menepis setiap gunjingan.

Begitulah perempuan yang telah bungkuk itu berjalan kaki dari kampung ke kampung merehabilitasi nama baik keluarganya.

Rambutnya sudah putih semua. Jalannya pun tertatih-tatih. Walaupun ia tidak lagi sesigap masa mudanya, jangan kira ia akan diam begitu mendengar mulut-mulut latah yang terus berceloteh  kalau Malin, anaknya, anak durhaka. Ia akan buru kemana pun juga.

Sore ini, sampai juga Rubayah di pantai Air Manis.  Orang boleh bercerita tentang belasan pantai indah di dunia. Baginya hanya ada satu pantai: pantai yang selalu disebut pantai kutukan. Pantai itu terlalu sulit dilupakannya.  Walaupun jalan  ke sana mendaki dan berkelok,  tiba juga ia di sana, tempat yang masih menyisakan duka dan harapan, misteri dan teka-teki.

Di pantai itu, Rubayah duduk sendirian di atas satu batu seperti geladak sampan. Ia tak peduli air yang terus mengguyur  ketika gelombang laut pecah menendang karang.  Selain batu datar itu, banyak lagi batu lain berbagai bentuk. Batu-batu itu bersusun, mirip sisa kapal yang terjungkal dihempas  badai dan patah tiga atau lima.  Nampak, secara samar, dinding  yang terkuak dan separuhnya tenggelam.  Ada pula struktur serupa tiang layar yang rebah.  Ada pilinan kecil menyerupai tali:  tali kapal.

"Wajarlah kalau orang-orang berpikir kalau ini adalah dulunya kapal yang telah berubah jadi batu," bisik Rubayah meyakinkan diri sendiri.

Rubayah duduk menerawang. Di ujung  tatapannya yang  belum begitu rabun,  terletak satu batu yang  bulat  sebesar tempurung. Batu itu mirip jasad  yang telungkup mencium lantai.

"Oh, Malin, Malin, " panggil Rubayah sambil menarik nafas dalam-dalam.

Gunjingan dari zaman ke zaman mengatakan bahwa bulatan itu adalah kepala Malin Kundang.  Betapa pedih hatinya mengenangkan tuduhan yang tak kunjung padam itu.

"Ini fitnah yang kejam," kata Rubayah sambil menggertakkan gigi ompongnya dan menggepalkan tinju kanannya yang keriput.

Ia mencoba berdiri di atas batu itu sejenak, oleng dan hampir saja ia terjengkang. Untunglah ia duduk lagi. Ditatapnya langit ke arah barat yang semakin menyenja.  Angin pantai yang kadang lurus dan kadang berputar melambai-lambaikan tepi kerudungnya yang lusuh.

Sebagai seorang ibu, Rubayah malu kalau orang terus mengumbar cerita tentang anaknya, yang tak sedap di telinga itu. Dan, dia lebih malu lagi kalau anaknya dituduh jadi batu akibat kutukannya.  Bagi wanita yang dulu penjual kue keliling itu, dirinyalah yang  telah bersalah.  Kesalahan  anaknya itu,  kalaupun pun ada, tentulah tak seberapa.

"Mungkin waktu kecil Malin kurang kasih sayang, " bisiknya membela anaknya yang telah terlanjur jadi legenda kedurhakaan itu.  Karena, sejak kematian suaminya, Rubayah  harus membanting tulang dari pagi hingga petang membesarkan anak satu-satunya itu.

"Jadi, kalaulah  anakku terbukti durhaka padaku atau pada Tuhan,"  kata Rubayah, "akulah yang pantas dihukum, bukan ia. Ia anak baik-baik."

"Malin Kundang jadi batu karena doa kau, Rubayah," kata salah satu tetangga Rubayah pada suatu hari.

"Tapi, apakah doaku sedemikian makbulnya?" bantah Rubayah.  "Doa ibu memang mujarab. Tapi, aku bukan ibu yang baik-baik amat. "

Rubayah melihat ada yang tak logis dalam legenda Malin Kundang. Sunguh sulit diterima akalnya kalau doa orang yang tak baik bisa dikabulkan Tuhan.

"Walaupun aku menutup aurat, aku bukan sufi sekelas Rabiah Al-Adawiyah yang tak pernah melepas tasbih dari jarinya. Aku hanya wanita biasa, yang  kadang-kadang  juga bisa dendam, bisa marah, bisa iri, dan juga bisa cemburu, terutama kalau ayah Malin terlambat pulang."

Rubayah  sadar kalau ketika itu, ketika ia melihat Malin Kundang  begitu congkak, di saat ia berlabuh dengan istrinya yang cantik, Rubayah terlalu emosional. Ia merasa kurang pertimbangan. Anak malang itu pun akhirnya jadi batu.

"Ia memang jahat . Tapi, aku lebih jahat lagi," sesal Rubayah dengan hati iba setiap terkenang olehnya kutukan untuk anak yang tidak menimbang rasa itu.

Begitulah Rubayah terus mengadili  dirinya yang selama ini berpihak pada dongeng orang.    Kini, di depan pantai yang semakin senja itu, ia begitu rindu dengan anaknya; rindu yang tak tertahankan.

"Badai yang memporakporandakan kapal dagang Malin itu terjadi hanya kebetulan," katanya lagi. "Dan kebetulan pula aku sedang tersinggung dengan Malin ketika itu."

Bagi Rubayah, tak semua yang didoakan mesti terjadi dan tidak semua yang terjadi karena didoakan. Itulah falsafah Rubayah dalam memahami hubungan antara doa dan takdir.

"Kalaulah Tuhan selalu mengabulkan doa, alangkah banyaknya anak-anak yang jadi anjing atau monyet," kata Rubayah. Rubayah  memang tahu kalau banyak ibu-ibu mengutuki anaknya  begitu,  ketika anak itu berbuat ulah.  Buktinya, mereka tidak jadi hewan hina itu, tapi malah jadi anggota parlemen.

Seingat Rubayah, ia pernah mendoakan Malin ketika Malin masih kecil. Ia sendirilah  yang menamainya  Malin.  "Nama adalah doa," katanya.

Malin,  dalam bahasa kampungnya,  berarti anak yang saleh.  Nama Malin biasa digelarkan bagi orang-orang yang pandai mengaji. Rubayah tahu kalau nama adalah doa. Itulah sebabnya Rubayah tak memberi sembarang nama kepada anaknya yang terlahir sebagai  yatim itu. Ia namakan anaknya Malin mengikut saran Haji Samsudin, gurunya.  Bahkan, ia tambahkan  pula Kundang sebagai nama belakang agar kelak  Malin bisa jadi ulama kondang.

"Nah, mestinya doaku itu yang diterima Tuhan," bisiknya.

Rubayah nampaknya mulai tak yakin kalau Malin Kundang  benar-benar anak durhaka seperti yang diperkatakan orang.  Ia besarkan Malin dengan usaha halal, jualan kue.  Disisihkannya  juga sedikit uang  untuk sumbangan di tempat  Malin mengaji. Ia tak biarkan Malin hanya puas dengan ilmu bumi. Ilmu hayat, atau geometri. Di sore hari Ia antar  Malin belajar ilmu tajwid dan ilmu nahwu di surau.

Bahkan, sebelum Malin berangkat berlayar waktu itu, meninggalkan kampung,  Malin sudah khatam Quran dua kali.  Rubayah sadar-sesadarnya kalau keberangkatan Malin pun ketika itu  atas restunya.

"Sungguh tak masuk akal kalau anakku yang baik itu jadi batu," katanya.

Di pantai yang mulai semakin petang, ditatap ulangnya serakan batu-batu itu. Ditatapnya berulang-ulang  batu  yang seperti raga manusia  yang terfitnah sebagai jasad pendurhaka itu. Ia selidiki benda keras itu dari berbagai sudut pandang.  Walaupun Rubayah tak tamat tsanawiyah, ia  tahu juga kalau menganalisa tak boleh dari satu sisi saja. Pengamatan mesti dari semua sudut dan horizon.

Tiba-tiba Rubayah terkejut.  Telepon genggamnya bergetar. Mungkin ringnya berbunyi dari tadi, tapi tak terdengar karena kalah oleh debur ombak.  Getaran itu pertanda ada pesan masuk. Lamunan Rubayah bubar.  Ia segera membuka tas tangan tempat ia menaruh teleponnya.

Terbacalah di situ pesan singkat:

MAK, INI MALIN.
MALIN KUNDANG

Terbelalak mata Rubayah menatap kata-kata itu. Ia usap-usap matanya takut salah baca.

"Apakah Mak sehat-sehat saja?" lanjut pesan itu.  "Terlalu panjang untuk diceritakan, Mak.  Tunggu aku ya, Mak.  Segeralah Mak ke bandara.  Sekarang, sebelum maghrib tiba. Aku OTW."

Walaupun Rubayah hanya sekolah rendah di zamannya, ia tahu apa arti "OTW".  Rubayah sering menggunakan banyak singkatan sejak zaman seluler ini.

Betapa girang hatinya kini. Sebentar lagi ia akan dapat memeluk anaknya yang dikira orang anak durhaka itu. "Terimakasih, oh Tuhan," kata Rubayah pelan.

"Tapi, dari mana kau tahu nomor HP Mak?" balas Rubayah cepat.

"Aku lihat foto Mak di facebook," balas Malin Kundang.  "Garis-garis wajah Mak masih seperti dulu, walaupun kini  menua. Berkali-kali aku mencoba memastikan apakah itu Mak atau bukan. Aku ragu.  Aku coba cermati status Mak di halaman wall. Aku cermati profil  Mak.  Akhirnya, yakinlah aku bahwa ini memang Mak. "

"Untunglah Mak cantumkan nomor  HP Mak di sana, " lanjut pesan Malin.

Rubayah hampir saja jadi batu karena kagetnya. Ia bingung apakah ini mimpi atau kenyataan.  Kalau mimpi, mengapa pula ia harus bermimpi jauh-jauh ke pinggir laut?  Kan, di rumah bisa.  Kalau kenyataan, mengapa kenyataan ini datang begitu terlambat setelah ratusan tahun anaknya dituduh anak jahanam.

"Kalau bukan kau, jadi siapa yang jadi batu itu?" tanya Rubayah pada Malin dengan tak sabar.

"Ceritanya panjang Mak. Tapi, agar Mak tidak penasaran, biarlah Malin ceitakan juga. Yang jadi batu itu Sutan Rangkayo Mudo.  Mak masih ingat Ia?

"Aaaaah?",  Rubayah melongo sambil mengernyitkan dahinya yang keriput .

"Sutan Rangkayo memang jahat," bisik Rubayah ketika pikirannya melayang ke masa mudanya.

Ratusan tahun cerita ini terkubur misteri. Terbayang oleh Rubayah ketika pemuda mata keranjang itu  mengaku bujang dan datang melamarnya.  Eh, tahu-tahunya ia sudah beristri tiga. Semua istri-istri itu tak tahu kalau suaminya beristri yang lain. Dia membohongi Rubayah yang masa mudanya memang cantik jelita itu.

"Aku bukan tak mau dinikahiya. Aku bukan tak mau berpoligami," bantah Rubayah pada  orang yang menuduhnya anti poligami.   "Aku hanya tak mau kalau anak-anakku mempunyai ayah yang pembohong walaupun kaya raya  semacam dia, " sambung  Rubayah.

Bagi Rubayah, Sutan Rangkayo Mudo itu pengecut.  Hanya berani berpoligami secara diam-diam, sembunyi-sembunyi.  "Suami macam apa dia itu, " bisik Rubayah sambil mencibir.

"Kalau memang berpoligami,  aku hanya mau kalau aku tinggal serumah dengan madu-maduku.  Dengan begitu,  aku bisa bekerja sama dengan madu- maduku membangun rumah tangga," tegas Rubayah.

Oh, jadi dialah  yang jadi batu itu, Lin?  Sungguh tak kusangka," lanjut Rubayah di dalam SMS nya kepada anaknya itu.

"Ya, Mak. Dialah orangnya," balas  Malin Kundang. "Dia membuat kesalahan berat yang tak termaafkan. Dia bukan hanya dikutuk oleh satu orang, tapi oleh orang sekampung.

"Kau sendiri?" tanya ibu Malin.

"Aku sehat-sehat saja Mak.  Aku buka restoran.  Selepas lulus sekolah, aku  tak mau jadi pegawai negeri karena takut korupsi. Aku memilih beternak itik jawa dan memelihara ikan gurami.  Karena terkenang dengan rendang Mak, aku pun buka rumah makan. "

"Mak tahu Rumah Makan Begadang Simpang Tigo?  Ya, di sana aku punya saham. Nasi bungkus yang Mak bekalkan dulu ketika aku berlayar, enak sekali.  Sejak itu aku bertekad  berjualan nasi.

"Tapi, mengapa selama ini kau tak pulang-pulang, Nak?

"Itulah bodohnya Aku. Aku kira  Mak sudah tiada,  hanyut ditelan gelombang yang menghantam kota Padang waktu itu. Tapi, sabarlah Mak. Tak beradab  kalau kuceritakan di layar Blackberry yang kecil ini.  Tunggulah aku, " jawab Malin singkat.

Seperti amunisi yang meledak, energi  baru masuk dalam tubuh Rubayah yang sudah uzur renta itu. Tulangnya menjadi kuat tiba-tiba. Otot-otot di sekitar tulang belikatnya  berkontraksi . Ia bangkit, berjalan, dan setengah berlari.  Secepat kilat Ia meloncat  ke dalam taksi.

"Antar aku sekarang, cepat.  Cepat.  Ke Bandara Minangkabau, " hardiknya  tegas kepada  sopir taksi yang masih setengah mengantuk.

Sambil kegirangan, Rubayah binti Haji Mahmud berteriak-teriak, "Anakku,  Malin Kundang,  kini akan pulang."

****

Wednesday, March 14, 2012

Wednesday, March 14, 2012

Selamat Untuk Aa’ Gym


Saya sudah menduga sebelumnya kalau perceraian Aa Gym tidak akan bertahan lama. Artinya, betapapun gegap gempitanya pemberitaan peceraian Aa' Gym dan Teh Ninih tempo hari, suatu saat mereka akan rujuk kembali. Saya percaya kalau di antara keduanya masih ada kekuatan pengikat yang tak mudah putus. Perceraian mereka tempo hari hanya disebabkan kegamangan dalam menjalankan praktek poligami yang memang tidak mudah.

Hanya dalam jeda sembilan bulan, perpisahan itu akhirnya khatam. Tepatnya, pada tanggal 13 Maret 2012, Aa Gym menikahi kembali mantan istrinya Teh Ninih. Keluarga poligami menjadi pilihan mereka seterusnya.
  
Rujuk ini tentu akan menggemparkan para aktifis anti poligami yang memandang monogami lebih baik dari poligami dengan semboyan yang selalu dikibarkan "Daripada hidup dimadu lebih baik hidup sendiriran." Kepada perempuan-perempuan, oleh kelompok ini, terus dikumandangkan agar jangan mau dimadu. Kepada yang sudah terlanjur dimadu pun terus dihimbau agar menuntut cerai . Perceraian Aa' Gym tempo hari telah dijadikan simbolnya.
  
Entah mengapa, sampai hari ini, poligami masih saja menjadi tanda-tanya sebagian pihak, "Apakah ia benar-benar dihalalkan agama ataukah hanya sebuah warisan jahiliah yang dibenarkan untuk waktu sementara yang kesementaraannya itu telah pun berakhir seperti telah berakhirnya perbudakan?" Sebenarnya, kita tentu tak perlu repot lagi dengan pertanyaan semacam ini, yang nampak jelas sebagai sisa-sisa kegelisahan pihak yang memang menolak poligami dari sono-nya.
  
Lambat laun, tatakala pelaku poligami telah menunjukkan kredibilitasnya, pertanyaan itu tentu akan terjawab dengan sendirinya. Selanjutnya, keluarga poligamist (yang memilih poligami secara terbuka) secara perlahan akan mendapat ruang yang cukup di tengah masyarakat, bukan sebagai warga kelas dua yang selalu dicuriagai keberadaannya. Karena, memang sewajarnya pelaku poligami mendapatkan ruang itu.
 Akhirnya, saya sependapat dengan Aa yang mengatakan bahwa pernikahan kembalinya ini adalah takdir Tuhan. Sepanjang manusia berikhtiar untuk tetap di jalan-Nya, Tuhan akan tunjukkan jalan-Nya.

Sunday, February 12, 2012

Sunday, February 12, 2012

Ganti Hati


Saya menamai lorong itu lorong kematian. Ya, lorong kematian. Hanya itu nama yang pas rasanya.  Anak, istri, serta orang terkasih lainnya hanya boleh mengantar saya sampai dipintu lorong. Di pintu itulah mereka terakhir boleh memeluk, mencium, melambaikan tangan, dan mengucapkan kata selamat jalan.  Selebihnya yang tersisa pada mereka adalah derai air mata dan do'a.

Sementara saya, dalam telentang tak berdaya, di atas tandu beroda,  dibawa setengah berlari memasuki lorong itu: panjang,  gelap, jauh, dan sepi. Betapapun panjang lorong itu, cepat atau lambat, saya pasti akan sampai juga di ujungnya yang lain.  Betapapun terang lampunya, berisik suara musiknya, saya mungkin hanya akan melihat kegelapan dan keheningan: keheningan menuju kematian. 

Bagaimana tidak. Diujung lorong telah menunggu tim medis yang dengan sigap  akan segera menusukkan pisau bedahnya yang runcing,  pas di ulu hati.  Tsukan itu di ujung jantung. Ujung pisau itu terus masuk ke dalam, makin dalam, kemudian sisi tajamnya  mengarah  ke bawah menyobek sampai ke pusar, kemudian berbelok ke kiri sampai ke pinggang.  Oh, terburailah usus saya, tersembullah  limpa, mengulurlah hati, dan …berhentilah jantung.

 Ya, Allah, jika itu benar-benar terjadi pada saya, masih sanggupkah saya berkata di saat itu, di saat tak ada lagi daya yang bisa menolong, "Hanya engkau Tuhan ku"?
 Itulah rasa hati saya ketika Dahlan Iskan menceritakan proses transplantasi hatinya kejadian demi kejadian. Proses transplantasi hati penulis yang kini jadi idola saya itu, ternyata bukan hanya proses yang bermula di ujung lorong yang satu dan berakhir di ujung yang lain.
Proses itu sangat panjang dan berliku.  Proses  melewati  momen demi momen yang mencekam, penuh duka.   Muntah darah, pemotongan limpa, penambalan usus ternyata hanya sebagian episode dari sekian banyak episode mencekam lainnya. Masa kecil yang miskin dan kumuh, rendahnya pendidikan, kepahaman agama yang dangkal, cara hidup yang cuai terhadap kebersihan dan kesehatan merupakan rangkaian yang tak terpisahkan dari semuanya itu. Kalaulah bukan karena kemahiran jurnalis Dahlan Iskan merangkainya, tak mungkinlah saya menangkap ketersambungannya.

Hampir-hampir terasa seperti orang gila, saya menikmati baca tuntas  buku  yang dijuduli sendiri oleh Pak Dahlan dengan  Ganti Hati . Ini bukan ganti hati dalam makna metafora yang sering digunakan khatib ketika mau memasuki Ramadhan atau Muharam.  Ini ganti hati benaran, ganti liver.  Liver lama dibuang, liver baru dipasang.  Bukan hanya cara penceritaannya saja yang hebat tapi juga keunikan isinya: keunikan anekdot-anekdotnya, keunikan sindiran-sindirannya, keunikan kritik-kritiknya.

Buku itu, menurut kabarnya, pernah diterbitkan beberapa tahun yang lalu, laku keras hingga saya tak kebagian. Pada edisi baru inilah, edisi 2012, saya berpeluang. Edisi yang sudah ditambahi sub judulTantangan Menjadi Menteri  ini saya dapatkan tak lama setelah saya mendapatkan Dua Tawa dan Ribuan Tangis. Saya menyambarbuku itu secepat kilat sebelum tak kebagian lagi.

Entah mengapa, tangan saya harus selalu meraba ulu hati saya sendiri ketika menyimak kata-kata Dahlan, terutama ketika beliau medeskripsikan isi rongga dada beliau. Entah mengapa pula, setiap saya mendengar cerita yang menyentuh kalbu, menakutkan, menegangkan,  saya merasa sesuatu terjadi di dada saya: di dalamnya. Sepertinya ada yang terbakar di sana; hangus.  Kalau saya tidak urut-urut, saya khawatir akan terjadi sesuatu.  Jantung  seperti mau lepas.  Sebelum benar-benar lepas, saya peganglah jantung saya itu. Bahkan dalam ekstrimnya, saya kadang-kadang memang tak kuasa untuk menahan air mata.

Demikianlah saya mengalami keganjilan menyimak kalimat demi kalimat tokoh jurnalistik, pengusaha, dan pernah mendapat amanah sebentar menakhodai PLN itu.  Dengan kemampuan menulis dan berceritanya yang luar biasa, ia berhasil membawa saya memasuki rongga tubuhnya: menyaksikan sendiri betapa ganasnya sel kanker telah mengeraskan livernya. Akibat pengerasan itu limpanya membesar sampai tiga kali lipat sehingga harus dipotong sepertiga.

Bukan itu saja, pembuluh-pembuluh darah yang berada sepanjang ususnya nampak jelas membentuk balon-balon kecil yang siap meletus mengeluarkan gumpalan darah berwarna hitam. Sepertiga limpa akhirnya dibuang.  Namun, pengurangan limpa tidak menyembuhkan sama sekali.  Saat kematian masih bisa diramalkan dekatnya. Satu-satunya yang harus ditempuh adalah hatinya yang sudah kasat itu dibuang. Hati baru dipasang melalui suatu operasi transplantasi.

Dalam bayangan saya, yang belum pernah mengalami--- semoga tidak mengalami--, transplantasi hati itu pasti operasi yang sangat mengerikan: operasi di ambang kematian.  Ia tak sama dengan operasi sunatan. Betapapun  Pak Dahlan telah mencoba menyederhanakan ungkapannya, kengerian itu tak mungkin ditutup-tutupi.

Memang muncul juga pertanyaan nakal saya, seperti pertanyaan yang muncul pada diri Pak Menteri BUMN itu, apakah hati yang baru itu cukup kuat terpasangnya sehingga bila orang itu berdiri hatinya tak akan jatuh? Cukup kuatkah ikatannya? Apakah hati yang baru akan dapat bekerja sama dengan baik dengan organ tubuh kita yang lain yang pasti beda usia, beda kelamin, beda budaya, beda hobi, beda agama, beda tabiat?  Apakah orang yang hatinya diambil itu mati sementara kita yang menerima hatinya bersambung umur? Bagaimana rasanya membayangkan kematian orang lain yang hatinya diberikan pada kita, sementara kita bisa berleluasa ke mana-mana?

Terus terang, buku Ganti Hati  Dahlan Iskan belum menjawab setimbun pertanyaan  lagi yang mungkin muncul di benak pembaca seperti saya. Betapapun Dahlan berusaha mengantisipasi nya  dan telah menjawab sebisanya, pasti akan tetap ada pertanyaan-pertanyaan lain yang tidak akan terdeteksi oleh logika mantiqnya itu.

Kekhasan putra kelahiran Magetan Jawa Timur yang pandai berbahasa Mandarin itu dalam menulis adalah bahwa ia tidak berfokus pada narasi atau kisah. Baginya kisah-kisah itu hanya sekedar pengantar saja. Misi terbesarnya adalah menyampaikan saran, gagasan, nasihat, kritik. Sangat sulit saya mencari kontinuitas plotnya karena plotnya meloncat-loncat, maju mundur.  Bagi pembaca yang senang dengan cerita bersambung atau plot utuh,  akan mudah tersesat. Bagi pembaca yang lebih fokus pada eksposisinya, pada deskripsinya,  atau pada fokusnya untuk menangkap pesan-pesan original khas Dahlan Iskan, buku Ganti Hati benar-benar bacaan yang mencerahkan.

Kalau ada orang yang hanya membaca kata pengantar dan kata penutup buku ini saja, orang seperti saya yang ada bibit penyakit hati nurani, memang akan sakit sekali mendengarkan cerita Pak Dahlan. Coba bayangkan. Di bagian pengantar, belum lagi cerita panjang lebar tentang operasi ganti hatinya, eh beliau membuka cerita tentang helikopter yang ia beli sebelum operasi  itu. Orang seperti  saya, yang dipenuhi mazmumah,  jangankan membeli, naik helikopterpun belum pernah. Wajarlah kalau saya terbakar panas. 

Belum lagi rasa panas itu hilang, Dahlan mengipas-ngipas bara hati orang seperti saya di setiap episodenya dengan cerita-cerita yang mengesankan begitu banyak uangnya. Ia turun naik pesawat seperti  turun naik busway saja,  ia terbang dari kota ke kota, negara ke negara  hanya sekedar berburu yang  remeh-temeh, dan pantang pula pakai uang dinas atau SPD.

Kalau rasa hati orang seperti saya tak bisa dikendalikan, ia benar-benar akan pingsan sambil berdiri ketika Dahlan bercerita tentang Mercedes seri S500-nya yang berharga 3 miliar itu.

Tapi, kalau kita renungkan dalam-dalam, kisah kesuksesan finansial yang diceritakan Dahlan, itu  adalah suatu petunjuk agar orang seperti saya jangan mudah berputus asa ketika  sekarang saya miskin. Maksudnya, Dahlan pun dulu miskin. Ia hanya tinggal di rumah berlantai tanah. Saking miskinnya, lemari yang satu-satunya dimiliki ayahnya harus dijual untuk berobat ibunya. Sampai-sampai, Dahlan tak tahu lagi kapan tanggal lahirnya karena tanggal lahir itu dituliskan ibunya di dinding lemari itu.

Pesan-pesan lain yang tak boleh kita anggap enteng adalah pesan bahwa kerja keras itu ada manfaatnya,  kejujuran itu tidak sia-sia. Perjuangan untuk mencapai kebebasan finansial, berkecukupan  adalah hasil jerih payah, memeras keringat, bukan hasil sulap sim salabim, hasil meratap-ratap, apalagi hasil korupsi. Indah sekali ajakan pemimpin Group Jawa Pos itu. Berbisnislah, bekerjaalah yang halal. Tuhan akan berikan kebebasan finansial.

Memang  berat bagi orang seperti saya yang hatinya kotor untuk disadarkan.  Cerita ganti hati Dahlan Iskan mungkin akan diresponnya secara sakit hati, penuh tanya keirian. Dari mana Dahlan dapat uang sebanyak itu? Bisnis apa dia? Bukankah sekolahnya cuma aliah. Ilmunya cuma ilmu mantiq tak pernah belajar kalkulus apalagi IT? Ibunya juga mati muda, keluarganya dari pesantren kumuh. Orang seperti saya akan sibuk mempertanyakan siapa Dahlan Iskan nya (man qala)  bukan memikirkan apa yang disampaikannya (ma qala).

Jangan-jangan, orang seperti saya harus ganti hati dulu -- hati dalam arti nurani-- sebelum bisa memahami kisah ganti hati Dahlan Iskan secara arif.

Friday, February 10, 2012

Friday, February 10, 2012

CEO Notes Versi Dahlan Iskan


Akhirnya, Dua Tangis dan Ribuan Tawa karya Dahlan Iskan terpaksa saya beli juga, terpaksa saya baca, dan terpaksa saya acungkan jempol: dua jempol sekaligus. Mengapa?

Sebenarnya, ketika pertama kali melihat buku itu di meja pajang New Arrival, meja pajang yang tak pernah saya lewatkan kalau saya berkunjung ke Gramedia Matraman, saya cuek. Testimoni tiga tokoh besar di sampul belakang tidak mampu membuat air liur kehobibacaan saya menetes. Alias saya tak minat. Buktinya, tanpa perlu harus membaca ke dalam-dalam, saya langsung menebak isinya, "Ah, ini tentang PLN."

 Otak saya langsung mendamprat, "Apa menariknya sih PLN?" Saya bukan karyawan PLN. Keluarga saya: kakak, adik, ipar, besan, kemenakan, tidak ada seorang pun di PLN. So what? Bahkan, saya tidak tersangkut dengan tagihan PLN; setiap bulan saya membayarnya tepat waktu; hanya sekali-sekali saja kena denda. Rumah saya, yang sekarang, jarang mati lampu. Kalau dulu, ya. Ketika saya masih tinggal di Prabumulih, tiada hari tanpa mati lampu, sampai-sampai saya gelari PLN di sana dengan PLTA, yang TA nya bukan tenaga air, tapi takut angin. Soalnya, kalau ada angin, lampu mati. Apalagi kalau ada hujan dan petir. Waktu itu, wajar kalau saya pernah ingin tahu isinya PLN. Wajar kalau saya ingin tahu apa sih maunya orang-orang PLN. Tapi kini, kok rasanya tak perlu lagi: tak pernah mati lampu lagi, he he he. Kalau begitu, buat apa saya menghabiskan waktu untuk membaca tentang PLN? Logis, bukan?

 Mungkin akibat bawaan sejak kuliah dulu juga, tentang listrik ya tentang travo, generator, transmisi, dan motor. Tentang PLN artinya tentang itulah: tentang travo, generator, transmisi, dan motor. Intinya: PLN is about nothing: setidak-tidaknya untuk saat ini.

 Pada beberapa kesempatan berikutnya, mungkin sampai empat kesempatan, saya tetap mampir di meja new arrival. Saya melihat kembali Dua Tangis dan Ribuan Tawa masih di sana. Kesan PLN is about nothing masih belum bergeser dari kepala. Saya lirik buku itu sebentar, saya lirik juga foto penulisnya sebentar, saya baca testimoninya sebentar. "Ah", bisik saya. Saya letakkan kembali buku itu ke tempat semula.

 Tiba-tiba....

 Pada suatu ketika. Saya sama sekali tidak ada niat membeli satupun buku bacaan. Saya datang ke toko buku hanya untuk membeli alat tulis dan alat olah raga. Ketika saya menunggu kasir meghitung total belanjaan, saya melihat buku itu di meja kasir: saya hanya melihat-lihat tanpa minat. Eh, si Kasir yang masih muda itu bertanya, "Mau beli sekalian buku ini, Pak? Best seller lho". Saya menggeleng. Istri , yang kebetulan menemani saya di sana, nyeletuk dari samping , "Boleh juga nih."

 Terus terang, lama juga saya menimbang: beli tak beli. Bukan karena harganya atau saya kekurangan minat baca, atau saya belum pernah baca tulisan Dahlan Iskan, tapi sejumlah buku dan artikel yang saya unduh dari internet sudah panjang antriannya untuk dibaca.

 Kata saya, "Ya sudah, sekalian. Tambahkan."

 Anehnya, sesampai di rumah, sayalah yang mengambil alih buku itu pertama kali, bukan istri saya. Istri saya, keduanya, memilih mendahulukan terkekeh bersama Sule dan Nunung dalam Opera Van Java. Saya memilih bersama Dahlan Iskan bertualang, mulai dari Pontianak menelusuri jalan darat sampai di Palangkaraya dan terus ke Singkawang. Dari situ saya dan Dahlan pindah rute lain menelusuri trans Sulawesi, dari Makasar terus ke utara sampai Gorontalo. Istri saya makin kuat kekehnya bersama Parto di Opera Van Java. Saya malah menelusuri jalan dengan 6432 kelokan di sebuah pegunungan di Flores memeriksa sebuah proyek geothermal. Tak lama kemudian saya terbang ke Sumatera merayapi punggung bukit barisan Sumatera, dari Lampung, Bengkulu, Palembang, Padang, Medan, sampai ke Aceh. Saya ikut Dahlan Iskan makan ubi rebus di Timika, makan durian di Ambon, dan tentunya ikut menikmati kue-kue renyah buatan ibu-ibu PLN di berbagai daerah ketika menyambut kedatangan kami.

 Dalam sekali duduk saja, tanpa terasa, saya sudah menyelesaikan 10 bab. Dalam beberapa kali duduk di hari yang lain ditambah beberapa kali berdiri --saya biasa membaca sambil berdiri, bahkan berlari--, buku itupun saya tamatkan.

 O, alangkah menyesalnya....

 "Mengapa baru sekarang saya membeli buku ini?" bisik saya: buku hebat yang sudah sejak lama dipajangkan. Kalau dipukul rata saya ke toko buku sekali sebulan, berarti saya sudah hampir empat bulan buku itu di sana. Dan, saya tidak menaruh minat.

 Ternyata lain. Buku Dua Tangis dan Ribuan Tawa, rupanya bukan buku tentang PLN. Saya keliru. Ini buku tentang semuanya: tentang manajemen, tentang pertarungan, tentang keuletan, tentang kerendahhatian, tentang kesombongan, tentang kreatifitas, tentang kesabaran, tentang keikhlasan, tentang petualangan, tentang ketegasan, tentang ketakutan, tentang kelemahan, tentang sistem, tentang keterbukaan. Komplit. Bahasanya gaul. Pilihan kalimatnya tepat dan menggigit-gigit.

 Tentang PLN-nya jelas ada. Tapi, hanya sekedar basic frame karena penulisnya kebetulan dirut PLN dan tulisan itu merupakan kumpulan tulisan rutin yang ditulisnya, sebagai dirut, bagi karyawannya. Dahlan Iskan yang mengaku berlatarbelakang tarekat shatariyah itu membawa orang-orang PLN melihat organisasi mereka secara utuh, iba, dan tanggung jawab. Mereka dibawanya melihat langsung ke lapangan, bertualang ke kota-kota kecil, atau pulau terpencil yang mungkin tak semua orang PLN mengetahui dimana tempat itu. Dahlan membawa tim kepememimpinan PLN menyelami perasaan anak buah, perasaan pelanggan, perasaan bangsa. Dan, memang itulah tugas seorang CEO yang sesungguhnya.

 Kalau awalnya saya membayangkan bahwa pembicaraan akan fokus pada persoalan listrik melulu, saya keliru besar. Isi tulisan di dalam buku itu adalah suara hati Dahlan Iskan, tentang kehidupan, tentang kreativitas, tentang ambisi, tentang kerjasama, tentang solidaritas, tentang kepemimpinan. Semuanya itu keluar dari hati sang CEO, yang sejak 4 tahun sebelumnya benar-benar "ganti hati". Dengan hati baru, nampaknya, ia menarik kereta besar yang berisi 50,000 penumpang: PLN, ke destinasi baru, ke PLN yang mendunia, yang mengalahkan Malaysia.

 Tiga kepiawaai Dahlan memang nampak jelas dari apa-apa yang dia tulis: mulai dari kepiawaian bisnis, kepiawaian manajerial, dan sampai kepiawaian komunikasi. Dalam bisnis, dia begitu jeli melihat hubungan siapa raja dan siapa hamba. Kalau pelanggan adalah raja, mengapa dibiarkan raja kecewa, berdendam. Bukankah kekecewaan pelanggan harus menjadi pertimbangan pertama dalam bisnis sebelum kepuasaanya. Ini logika Dahlan, yang mengaku hanya tamatan madrasah Aliyah itu.

 Dalam manajerial, Dahlan sangat piawai dalam pemberdayaan tim. Dia hargai orang-orang yang layak dihargai dengan cara-cara yang patut dihargai. "Saya tak perlu membawa orang luar ke dalam," katanya," karena di dalam banyak orang hebat-hebat." Dari 50,000 personil hebat-hebat itu, tidak kurang 400 orang yang bergelar master. Dahlan Iskan hadir di PLN sebagai bagian dari tim, bukan sebagai hakim dan karyawannya terdakwa. Ia memberi kesempatan agar orang-orang berprestasi tampil ke depan, dipuji, diberitakan. Pemberitaan itu menurut logika Dahlan merupakan cara paling ampuh dalam pemberdayaan tim.

 Yang paling saya sorot adalah: Dahlan menunjukkan kepiawaianya berkomunikasi dengan suara hati yang dikemas secara sastrawi. Ini penting.

 Tulisan-tulisan cantik yang lebih cerpen dari cerpen benaran itu jelas bukan wejangan, instruksi, dan lebih-lebih bukan khutbah. Tentang listriknya banyak: krisis daya, gangguan transmisi, pelayanan masyarakat, sistem keuangan, proyek yang terlantar, dll. Tapi lebih banyak lagi tentang gebrakan-gebrakan; bukan sembarang gebrakan, tapi gebrakan yang terukur dengan akal sehat, yang konon diperolehnya di madrasah aliyah dengan nama ilmu manthiq. Dahlan menyelipkan kritik-kritik halusnya dalam setiap note. Dengan humor dan anekdot dia menyindir. Dengan menyebut nama-nama tim yang berprestasi, dia memotivasi, membakar semangat yang lain.

 Apakah ini ciri khas Dahlan Iskan karena ia sesungguhnya seorang jurnalis? Apakah darah jurnalisme telah mengajarinya pandai menulis? Dan apakah nafas jurnalisme telah mengajarinya pandai mendengar? Tak tahulah. Yang saya tahu menulis dan mendengar adalah keterampilan asas yang dipelajari setiap orang sejak di SD.

 Yang jelas, seorang CEO yang bekerja keras untuk memecut laju organisasinya, tentunya, bukan Dahlan Iskan satu-satunya. Seorang CEO yang membuat terobosan-terobosan besar, juga terobosan gila, bukan Dahlan Iskan pelopornya. Seorang CEO yang sangat benci dengan rokok, benci dengan upacara bendera, benci dengan tabiat-tabiat feodalistis, benci dengan ketidakdisiplinan, benci dengan kelambatan-kelambatan, bukan monopoli Dahlan Iskan.

 Tapi, seorang CEO yang pandai bercerita melalui surat terbuka, melalui kisah, melalui deskripsi, dengan kemasan narasi satrawi yang mantap, saya pikir, Dahlan Iskanlah perintisnya. Tak terbayangkan oleh saya akan begini jadinya bila seorang CEO pandai menulis, pencerita yang terampil. Surat edaran direksi untuk karyawan yang biasanya berisi poin-poin yang harus dikerjakan, disulapnya menjadi cerpen. Sekali lagi saya katakan: CEO Notes untuk karyawan PLN ini lebih cerpen daripada cerpen benaran. Silakan Anda baca!

 Dalam kemasan yang seperti itu, saya melihat CEO Notes versi Dahlan Iskan ini merupakan sarana komunikasi antara manajemen dan karyawan yang sangat efektif . Keefektifan itu ternyata bukan isapan jempol pula, tapi dibuktikan secara nyata dari perubahan besar yang terjadi pada tubuh PLN yang diakui oleh banyak pihak. Masyarakat bisnis mengakui. DPR mengakui. Presiden SBY saja ikut mengakui. Buktinya, Dahlan dipercaya kini mengendalikan organisasi yang jauh lebih besar: Kementrian BUMN.

 Kinilah saatnya, kepiwaian Dahlan menulis dan mendengar diuji dalam level yang lebih tinggi. Kalau dulu kepiawaiannya baru diuji pada level syariat, level kedirekturan, kini diuji pada level yang lebih tinggi, level tarekat, level kementrian. Untuk seterusnya, siapa tahu, akan diuji di level yang lebih tinggi lagi, level hakikat, level di presidenan, he he he. Istilah syariat, tarekat, dan hakikat itu saya pinjam dari istilah Dahlan sendiri.

 Kalaulah CEO Notes ini tidak diterbitkan untuk publik, saya benar-benar akan iri dengan kawan-kawan saya di PLN. Mentang-mentang mereka punya CEO yang pandai bercerita, saya kok tidak diajak-ajak.
Untunglah CEO Note itu kini ada di tangan saya.

 Bagaimana dengan Anda?