Breaking

Saturday, November 9, 2013

Saturday, November 09, 2013

Ketika Eksistensi Jadi Taruhan

"Aku sama sekali tidak benci pada Micky. Aku hanya marah karena setiap ia menengok adik-adiknya, ia selalu meludahi mereka,"  bisik hati Kimmy mengenangkan mengapa ia sering menampar wajah anak lelakinya itu.

"Padahal  mereka itu kan adik-adik yang seharusnya disayangi oleh setiap kakak." 

Sore ini, sudah tiga hari  Micky tidak pulang ke rumah. Suasana sore yang biasanya riuh oleh suara Micky menyapa siapa saja yang datang, kini sepi dan hening. Hanya tetesan hujan gerimis yang menusuk-nusuk atap berbunyi nyaring.  Tidak ada tanda-tanda Micky akan pulang. Sejauh apapun ia bermain, ia pasti sudah ada di sini di waktu dan suasana seperti sekarang.

Kimmy duduk menerawang. Perenungan filosofis yang dalam sedang menghampiri dirinya. Yang ada padanya sekarang hanyalah sebuah fakta. Yang ada di balik fakta itu hanya misteri, atau kegelapan, atau teka-teki, atau apa saja nama yang lebih sesuai untuk sesuatu yang tak jelas hakikatnya. Sambil membiarkan hatinya melompati semua simbol-simbol yang tak mudah dibaca, mata Kimmy sayu menatap langit yang gelap yang ditutupi gumpalan awan yang hitam. Mungkin ia sedang mencari  suatu jawaban dari matahari sore yang tidak menyembul walau seujung jari.  Dadanya kian gemuruh. Sebagai makhluk yang berperasaan, ia khawatir akan sesuatu yang buruk terjadi pada Micky.

Harga diri memang segala-galanya bagi siapapun. Kalau bukan karena harga diri, tidak akan ada perang, protes, demonstrasi, gugat-menggugat  di dunia ini. Bagi Micky, mungkin tamparan seorang ibu bukan berarti penghinaan apalagi kriminalitas. Ibu menampar anak yang nakal tentu biasa. Tapi, tamparan ibu bisa berarti penolakan ekistensinya sebagai anak. Apalagi Kimmy menampar Micky sambil meladeni kemanjaan adik-adik Micky. Ini mungkin masalah harga diri bagi Micky. Lari memang sering dipilih oleh siapapun yang tak bisa menemukan eksitensinya di dalam sebuah keluarga atau komunitas. Bahkan ada yang memilih bunuh diri.

Tanpa tahu darimana jawaban itu berasal, intuisi Kimmy bergerak menuju jawaban bahwa Micky pasti lari. Ia ingin menemukan eksistensinya  di tempat lain dengan memilih lari. Ini pilihan yang paling wajar.

"Tapi, apakah ia benar-benar lari?" bisik Kimmy mendebat hatinya sendiri. "Bukankah ia terlalu kecil untuk lari? Lari kemanakah ia? Lari memerlukan tempat berlindung yang baru."

Bercampur rasa sesal, hati Kimmy  menjadi bertambah galau tak menentu. Pilihan-pilihan baru mucul secara tiba-tiba.  Suara-suara baru menyuarakan alternatif yang tidak boleh dianggap enteng.   

"Jangan-jangan ia mati tenggelam dihanyutkan oleh air yang bergulung-gulung. "

Ini sangat logis. Musim hujan yang mengguyur Jakarta di bulan ini tidak hanya mampu menenggelamkan makhluk hidup tapi bahkan mampu menggusur gunung.

"Atau ia digilas kereta api ketika menyeberang tidak hati-hati."

Ini juga tak kalah logis. Perlintasan kereta api di Jakarta telah menelan banyak nyawa sejak beberapa dekade terakhir.

" Atau ia diculik orang yang tak mengenal belas kasihan."

Setiap ia biarkan suara-suara itu menghunyamkan alternatif, semakin dadanya terasa menyempit. Ia tahu kalau alternatif jawaban tidak boleh dibunuh begitu saja. Semua alternatif mesti dikembangkan. Itulah logika. Siapa tahu, jawaban yang sesungguhnya ada pada salah satu alternatif yang dikira aneh. Tapi, bila dibiarkan, alternatif-alternatif itu akan saling kait mengait dan tumbuh seperti kanker ganas di hati. Akhirnya seperti benang kusut.

Di sore yang sesunyi ini, Kimmy tak bisa menahan air mata yang telah mendanau di balik kelopak matanya. Fitrahnya sebagai ibu yang telah melahirkan Micky tidak bisa digusur begitu saja oleh pertanyaan-pertanyaan filosofis.  Betapapun ada banyak kemungkinan yang ditawarkan pikirannya, yang diharapkan oleh perasaannya adalah bahwa Mikcy lari.

Mengapa ia berharap Micky lari? Lari masih menyisakan harapan. Pilihan lain betapapun logis, tidak memberi peluang. Ia benci dengan sesuatu yang tidak menawarkan apa-apa. Ia benci dengan sesuatu yang hanya menjanjikan kepasrahan.

Pikiran dan perasaan memang sering tidak sejalan. Matanya  yang sayu itu secara pelan meneteskan air mata yang tak terendung lagi. Air mata itu kemudian mengalir secara pelan membasahi pipinya dan menutupi rongga hidungnya. Air mukanya memilih berpihak pada perasaan bukan pada pikiran.

"Jika engkau pulang, aku akan memelukmu dan tak akan menampar-namparmu lagi," janji Kimmy kepada bayangan wajah Micky yang tiba-tiba muncul di hadapannya sambil ia mengapitkan kedua bibirnya yang bergetar menahankan ledakan gemuruh di dada.

Adik-adik Micky yang ikut menemani Kimmy tak bisa menyembunyikan kesedihan melihat ibu mereka yang bermuram durja itu, dalam kesepian, betapapun mereka tetap mencoba mengalihkan perhatian Kimmy dengan canda-canda yang mereka buat.

 Kimmy pun mengulurkan lidahnya menjilati bulu keempat anaknya yang masih kecil-kecil itu satu persatu. Semua anak kucing itu tiba-tiba mendekap ibunya ketika terdengar suara petir menggelegar. Di dalam kehangatan bulu Kimmy yang tebal itu, di tengah suara hujan bercampur suara angin yang tiba-tiba keras, anak-anak Kimmy itu dengan jelas mendengar Kimmy berbisik di depan telinga mereka dengan lirih, "I love you my children."


Sambil cekikikan mereka berseru," I love you, Mom."

Sunday, September 29, 2013

Sunday, September 29, 2013

Gadis Bula

Dengan tertatih, Lastri menapaki anak tangga rumahnya yang terbuat dari kayu yang sudah agak reot itu.  Tangga yang terpasang hampir curam membuat kaki Lastri agak bergetar melangkah naik.

Bukan hanya karena kayu anak tangga itu sudah terjemur lama oleh matahari, tapi lantai rumah yang  sebagiannya sudah lapuk itu harus membuat Lastri melangkah hati-hati. Kalau tidak, janin yang membuncitkan perutnya sebesar bola volley itu mungkin akan menderita di dalam.

Kadang-kadang, setelah ia turun mengantarkan secangkir kopi untuk ayahnya seperti hari ini, Lastri duduk dulu agak sejenak di pintu yang dibiarkan terbuka, menjuntaikan kakinya yang dipenuhi   farises, atau meletakan tapak kaki di salah satu anak tangga. Dari situlah, dia akan menikmati pemandangan betapa masih terampilnya  ayah yang sudah renta itu menyerut kayu, memaku, dan merakit kusen pintu. Dia tentu menikmati juga saat sang ayah meneguk kopi hangat yang baru saja ia seduh.

Di halaman, Ayah Lastri yang mengenakan kaos kutang yang sudah tidak putih lagi, meneruskan pekerjaannya. Berbekal  kaca mata dengan gagang abu-abu tebal dengan kaca seukuran lingkaran botol coca cola, dia menorehkan pensil di atas kayu membuat garis untuk menandai bagian mana yang akan dipahat.

Lelaki yang dulu perkasa, penoreh getah, atau perawat pohon sawit itu kini telah agak bungkuk. Tubuhnya yang dulu kekar terbakar matahari, kini kurus berbungkus kulit tipis yang keriput.  Namun semangatnya tak pernah pudar. Kalau ia masih kuat menyerut kayu-kayu merbau di halaman rumahnya walau dengan tangan bergetar, ia masih akan menerima upah untuk ia dan anak perempuannya makan.

Sore itu, Lastri tidak duduk-duduk  di pintu seperti biasa. Setelah mengantar kopi itu, ia langsung  menuju jendela. Tempat itu telah menjadi tempat pertapaannya sejak beberapa bulan terakhir. Sambil menahan bagian bawah perutnya dengan tangan kiri, ia dudukkan pantatnya ke kursi yang sejak enatah beberapa bulan tidak pernah dipindahkannya lagi dari situ. Ia pun melemparkan pandangannya jauh ke luar.

Ada satu tempat di ujung sana.  Di seberang tangki-tangki kecil pengumpul minyak yang tak jauh dari halaman rumahnya,  ada tanjung-tanjung buatan yang menjorok ke laut seperti sepuluh jari manusia terbakar air panas. Tanjung-tanjung itu dibuat selebar truk untuk menghubungkan sumur-sumur minyak yang ada di laut dengan pantai.  Di seberang tanjung itu ada sebuah  jetty.

Ketika saat lifting tiba, biasanya tiga bulan sekali, sebuah kapal tangker raksasa akan merapat di Jetty yang dibangun di ujung sebuah daratan yang menjorok ke laut sejauh 600m. Sejumlah orang akan hilir mudik berbagi tugas di sana. Mereka bekerja memastikan minyak mengalir ke kapal dari sebuah tangki yang terletak 1.5 km melalui sebuah pipa sebesar dua kali batang kelapa.

Di sore yang terang itu sedang terjadi lifting. Sudah sejak tadi malam tangker bersandar. Sudah sejak subuh Lastri duduk di sana. Bagaikan seekor elang yang sedang mengintip mangsanya dari kejauhan, Lastri mengawasi gerak gerik setiap orang yang bekerja di dermaga itu melalui jendela rumahnya.  Dia berharap kalau retina matanya menangkap sosok Niko. Hanya Niko yang ingin ia lihat.

"Kalau ada Niko di Bula, pastilah ia ada di jetty itu," bisiknya.

Telah lima tahun Niko bekerja di Bula, di industri minyak tua yang sudah berumur lebih dari 127 tahun itu. Niko, sebagai seorang mandor, bertanggung jawab untuk memastikan pengiriman minyak berlangsung secara aman dan lancar. Untuk itulah dia ada di Jetty setiap kali lifting.

“Seluruh operasi produksi minyak itu di bawah pengawasan Niko, ” kata Lastri suatu hari ketika meyakinkan ayahnya tentang siapa Niko.

Biasanya, dengan sebuah radio HT di tangan, lelaki yang usianya setengah abad dengan perut agak buncit itu mengarahkan anak buahnya untuk berbagai tugas.

Dengan setelan baju coverall biru laut bermerek Nomex III-A Dupont yang tertempel di bawah saku kanan, dengan sepasang safety shoes coklat yang menutup separuh betis, dengan helmet putih di kepala, dan tak lupa dengan sebuah kaca mata hitam yang terpasang di matanya,  Niko yang bertubuh sedang itu akan nampak seperti Robert De Niro dalam pandangan  Lastri.

Lebih-lebih di tengah kesibukan itu, Niko menyempatkan diri melambaikan tangan ke arah Lastri. Dan perempuan yang juga tidak muda itu pun akan membalas dengan sebuah lambaian pula ditambah dengan senyuman yang lebar dan hati yang berbunga-bunga.

Di setiap usai proses lifting yang menyibukkan itu, setelah kapal tangker menggulung jangkar bergerak perlahan ke laut lepas ke utara, dermaga khusus untuk kapal tangker itu akan segera sepi.

Seperti sudah di dalam insting Lastri, tak lama setelah itu pasti lekaki pujaanya itu akan muncul di depan pintunya dengan senyum sumringah.

"Ada kopi, Las? Aku haus," begitulah kalimat itu diulang-ulang setiap Lastri membukakan pintu rumahnya untuk sang Pangeran.

Lelaki tua yang mengetam, memahat, atau memaku kayu saban hari sampai maghrib tiba itu hanya senyam-senyum saja bila Niko datang. Ia tahu secangkir kopi pun akan segera tersedia untuknya. Anaknya yang baik itu akan menyeduh dua cangkir. Satu untuk Niko dan satu untuknya.

***

Cahaya sore semakin meredup. Warna cahaya yang agak menguning tiba-tiba bercampur dengan tiupan angin membuat senja di Bula semakin temaram. Kapal tangker yang tadinya terpaut, kini telah menjauh, bergerak  ke utara, ke laut lepas  meninggalkan Bula. Selesai sudah ritual tigabulanan itu. Di Jetty itu sudah tidak ada seorangpun yang tersisa. Seluruh peralatan yang dipakai lifting telah tersusun rapi. Hanya ombak yang pecah ketika membentur besi tua bekas yang terkapar di dekat Jetty yang masih terlihat.

"Belum juga Niko datang," air mata Lastri pun mengalir.

Suara hatinya gemuruh tak menentu, lebih gemuruh dari gemuruhnya ombak yang membentur batu-batu penahan  dermaga. Lebih gemuruh dari gemuruhnya arus sungai  Bula Air ketika musim pasang dapat menghantam jembatan.

Dari arah pintu rumah Lastri tak terdengar ketukan. Tak seorang pun yang muncul mengetuk. Dari luar, hanya terdengar suara mesin penyerut kayu ayah Lastri, atau ketukan palu ketika menghantam pahat atau paku. Dan, itu pasti ayah Lastri, bukan Niko.

Sudah tiga kali lifting, Lastri tidak melihat Niko di Jetty itu. Itu berarti sudah enam bulan Niko menghilang dari Bula. Di mess, di kantor, di café, bahkan di masjid tidak ditemukannya Niko. Niko seperti menguap  ke angkasa atau tenggelam ke dasar bumi tanpa kabar berita.

Sepanjang malam ditunggunya ketukan pintu.

Deru mesin yang memutar pompa pengisap minyak dari sumur-sumur minyak yang memenuhi pantai Bula hampir tak mampu menenggelamkan gemuruh hati Lastri. Padahal setiap mesin itu memutar satu putaran, akan mengalir minyak dengan gemuruh dari dalam sumur ke pipa-pipa yang akan mengantarkannya ke tangki yang tak jauh dari rumahnya.

Dari tangki pengumpul itu, setiap tengah malam akan ada hiruk pikuk orang memompakan minyak ke tangki penyimpan  yang lebih besar yang tempatnya di atas bukit di sebelah mess tempat biasanya tinggal Niko.

"Empat minggu, ia bekerja di sini terus menerus. Tapi, dua minggu ia libur terus menerus. Liburnya mungkin di Jakarta.  Mungkin juga ia ke Palembang atau ke Medan," jelas Lastri kepada ayahnya tentang sistem kerja Niko.

Komentar orang pun bermacam-macam tentang kepergian Niko.

"Niko sekarang ditugasi di Jakarta, di kantor pusat, sehingga akan jarang ke Bula" kata Gempur, anak buah Niko yang dikenal Lastri cukup dekat dengan Niko.

"Ah, tidak," jawab Evi ketika Lastri mencoba mengklarifikasinya ke bagian administrasi perusahaan.

"Setahu aku, dia pulang ke Palembang, bekerja di perusahaan pengeboran di sana, " ujar Faisal yang dulu pernah dalam satu tim dengan Niko.

Mungkin, penjelasan Pak Mijan, pegawai admisnistrasi perusahaan tempat Niko bekerja, satu-satunya yang memuaskan Lastri sehingga sejak itu ia hanya menunggu kedatangan Niko tanpa bertanya-tanya lagi.

"Dia sudah berhenti, mengundurkan diri. Tidak tahu apa alasannya,” kata Pak Mijan yang sudah hampir pensiun itu.

“Mungkin dia menemukan perusahaan lain yang lebih baik, tapi entah perusahaan apa dan dimana," sambung Pak Mijan.

Walaupun sudah banyak yang curiga, kepada siapapun Lastri tidak mau menceritakan apa hubungannya dengan Niko. Hubungan ini adalah hubungan rahasia. Itu perjanjiannya dengan Niko yang tak boleh ia langgar. Hanya ayahnya saja yang tahu.

"Kami sudah menikah, Ayah," kata Lastri kepada ayahnya. Itu diceritakan Lastri kepada ayahnya agar Niko tak dilarang bertandang ke rumah, walau malam sekalipun.

"Demi karir Niko, ayah tak boleh menceritakan hal ini kepada siapapun, " bujuk  Lastri mayakinkan.

Sebagai ayah yang sudah tua dan uzur, ayah Lastri menyerahkan semua keputusan itu kepada anak perempuannya yang lahir 40 tahun yang lalu itu. Ia tak ingin melihat anaknya menggadis sampai ia tutup usia. Kedatangan Niko disambutnya dengan penuh harapan.

Apa hendak dikata oleh Lastri dan ayahnya, sepandai-pandainya ia membungkus durian, baunya akan tercium orang juga. Menghilangnya Niko telah menjadi tanda tanya besar di Bula. Kehamilan Lastri yang menunggu hari telah menjadi buah bibir di setiap warung. Keingintahuan Lastri tentang Niko telah dipahami semua orang.

Kalaulah Ustaz Asghar tidak segera mengaku bahwa dialah yang menikahkan Niko dengan Lastri di hadapan dua orang saksi, pastilah Lastri ataupun ayahnya akan diusir dari Bula.

"Dasar orang tak tahu malu," kata seorang ibu yang kenal baik dengan almarhumah ibu Lastri.

"Kalau kau orang asli Bula, sudah kami tenggelamkan ke laut, " bentak seorang  kakek yang sebaya dengan ayah Lastri.

Lastri tahu kalau dia bukan orang asli Bula. Ia hanyalah anak dari seorang transmigran yang gagal berkebun di desa transmigrasi yang berjarak 200 km ke arah barat Bula.  Setelah ibunya wafat akibat suatu penyakit aneh, ayah Lastri memboyong anak gadis satu-satunya itu pindah ke Bula. Ayah yang sudah menua  itu mengambil pekerjaan dari seorang toke Cina membuat kusen pintu.

Rumah kayu yang ditempati perempuan yang kini hamil tua dan ayahnya itu sebetulnya rumah milik si toke. Upah ayah Lastri akan dipotong sebesar harga sewa. Sisanya itulah yang diserahkan untuk mereka hidup sekeluarga.

Lastri membantu ekonomi ayahnya dengan membabu.  Perusahaan jasa catering yang mendapatkan kontrak di perusahaan minyak tempat Niko bekerja merekrutnya untuk menjadi tukang cuci piring di mess.   Itulah yang mempertemukan ia dengan Niko dan menjalin asmara sejak setahun yang lalu.

***

Sore itu, suasana di Bula sudah semakian gelap. Matahari sudah hampir menukik ke barat meninggalkan warna langit yang memerah.  Hati Lastri semakin gundah. Dalam-dalam ia menghela nafas sambil termenung. Tak habis pikir, mengapa setelah alat test kehamilan itu memastikan dia mengandung, justru Niko pergi meninggalkannya.

"Tak percayakah Niko kalau yang dikandung ini anaknya?  bisik Lastri sambil membiarkan airmatanya mengalir sampai di pipi.

"Takutkah ia kalau istrinya tahu kalau di Bula dia beristri lagi?” sambung Lastri.

Biasanya, di saat-saat gundah seperti ini, hanya ayahnya yang bias diajak bicara.

"Apakah Niko dipecat karena korupsi, Yah?" tanya Lastri.

Ayahnya menggeleng, entah ingin mengatakan "tidak" atau ingin mengatakan "tidak tahu."

"Si Mahmud bilang kalau istrinya mengamuk setelah tahu Niko pacaran dengan gadis Bula," kata Lastri.

Sore itu, matahari benar-benar telah lenyap dari horizon. Cahaya yang menerangi Bula hanyalah cahaya mega. Walaupun demikian, orang masih bisa bekerja di luar rumah. Ayah Lastri telah mulai mengumpulkan perkakasnya. Itu pertanda maghrib hampir tiba. Di mess, yang pasti tidak Niko di sana, beberapa ekor babi bercengkerama seperti tak sabar menunggu datangnya malam.

Tiba-tiba, seperti seekor anak rusa yang dikejar babi hutan bertaring panjang, seorang tetangga Lastri,  namanya Surti, berlari dengan kencang. Gadis remaja itu melesat meninggalkan rumahnya menyelinap di antara tumpukan kusen ayah Lastri yang belum selesai dirapikan. Dia melesat menaiki anak tangga rumah Lastri dan menggedor pintu. Karena Lastri tidak semerta-merta langsung membuka pintu, Surti berteriak sambil mengguncang-guncang pintu yang terkunci dari dalam.

"Mbak Las, Mbak, cepat nyalakan TV. Saluran 7. Cepat, cepat." Surti berteriak keras sambil terus menampar-nampar daun pintu.

"Ada apa?" suara Lastri menyambut dari dalam.

Pintu yang tadinya terkunci dibukanya dengan cepat. Surti muncul di depan pintu dengan nafas seperti angin puting beliung.

"Nyalakan TV cepat. Cepat, Mbak" suara Surti keras tapi serak seperti suara mesin yang tidak diisi oli.

Secepat kilat Lastri menyambar tombol penyalaan TV. Ia tak sempat lagi berpikir mengapa TV harus dinyalakan.   Ia tak sempat bertanya mengapa harus buru-buru.  Nafasnya ikut sesak, turun naik, tak kalah sesak seperti sesaknya nafas Surti.

Untunglah kemarin Lastri mematikan TV di saluran 7, sehingga sekarang tiba-tiba saja TV tabung 14" yang dibawa ayahnya dari kampung transmigrasi dulu menyala tepat di saluran 7.

Ada seorang polisi di sana yang sedang diwawancara. Lastri dan Surti terpana.

"Seorang lelaki, berkulit sawo gelap, berumur sekitar 50 tahun ditemukan digilas oleh kereta api, tidak jauh dari persimpangan jalan, dekat Pasar Minggu, " kata polisi itu dengan artikulasi yang sempurna.

Mulut Lastri dan Surti serentak menganga. Kalau ada bola kasti pasti bisa masuk ke mulut-mulut itu.  Bola mata mereka hampir saja meloncat keluar. Ayah Lastri pun sudah ada di belakang mereka membelakkan mata yang penuh katarak ke arah TV.

"Saksi mata mengatakan bahwa lelaki itu melemparkan dirinya ke atas rel tepat menjelang kereta api listrik dari arah Bogor mendekat tempat itu, " sambung polisi itu.

Ayah Lastri tetap berdiri dan diam seribu bahasa di belakang kedua perempuan yang sudah membeku seperti batu.  Lastri mencoba membungkukkan sedikit badannya yang buncit sambil menopangkan tangan ke kedua lututnya.

Polisi berambut jarang itu melanjutkan perkataannya kepada wartawati yang sedang memegang mikropon di depan mulutnya.

"Tubuh korban terpotong dua tepat di pinggang .  Kepalanya remuk.  Tidak ditemukan kartu identitas apapun kecuali sebuah kertas terlipat di saku celananya  yang mengatakan kalau dia bekerja di sebuah perusahaan minyak di Bula."


"Niii…….koooooo….., " Lastripun jatuh pingsan.