Breaking

Saturday, August 16, 2014

Saturday, August 16, 2014

No Tipping Please!

Suatu siang, anak-anak mengajak saya ke sebuah mall mentereng di Jakarta.  "Mumpung libur,  kita lihat-lihat buku atau jalan-jalan saja," kata mereka. Saya menurut.

Ketika mobil kami memasuki tempat parkir, seluruh petugas parkir berseragam rapi -- baju putih dan celana panjang hitam -- sibuk dengan perannya masing-masing. Laki-laki dan perempuan. Mereka sangat necis dengan seragam yang membalut tubuh mereka yang mayoritas rampaing itu. Dengan sopan dan cekatan, salah seorang mereka menuntun kami  ke tempat parkir yang kosong. Kami merasa terlayani dengan baik.


Yang menarik saya, ketika petugas-petugas parkir itu  membelakang,  di bagian punggung baju mereka  dekat pundak,  ada sebuah tulisan dengan huruf kapital berwarna hitam:


NO TIPPING.


Tulisan itu menyolok mata. Tertulis dalam huruf kapital. Warnanya kontras dengan warna baju mereka yang putih. Tulisan itu sangat jelas terbaca dari kejauhan sekalipun.


Saya membayangkan,   pasti gagah juga rasanya jika  baju seragam aparatur negara, mulai dari presiden, menteri, dirjen,  gubernur, kabag, kadin, pantia tender,  ditulis "NO TIPPING" di punggungnya.


Slogan itu juga dapat dipasang di kantor-kantor, di rumah, atau di mobil-mobil dinas. Slogan sederhana yang memberi ingatan kepada siapapun.


Akan lebih bagus lagi, bila setiap mereka memulai pembicaraan apapun dengan tamu-tamunya, dengan senyum ia berkata, "No tipping, please!"

Friday, August 15, 2014

Friday, August 15, 2014

Pemarah Versus Pemberani 3

Si ayah meletakkan buku dan menanggalkan kacamata. Mengapa anak dan istri tiba-tiba mengajukan dua persoalan yang sama sekali tidak penting? Bukankah ada persoalan besar yang lebih mendesak? 

Ia menoleh kepada jam dinding yang tiba-tiba berdentang. Jarum jam menunjuk pukul 00.00. Tengah malam. Ia bangkit dari tempat duduk lalu berjalan ke kamar. Aku harus bicara pada mereka besok.
Friday, August 15, 2014

Pemarah Versus Pemberani 2

Si ibu, yang dari tadi menguping pembicaraan si anak dan si ayah, muncul tiba-tiba. Ia penasaran ingin bertanya pula walaupun sebenarnya ia tidak terlalu ingin tahu. "Apa beda semangat dan nafsu?"
Si ayah melirik istrinya itu dari sisi atas kacamata yang melorot ke hidung. "Semangat hanya bisa membakar sedangkan nafsu bisa menghanguskan."
Si Ibu tersenyum geli. "Jagalah nafsumu sebelum engkau terpanggang hangus." Ia pun pergi berlalu.
Friday, August 15, 2014

Pemarah Versus Pemberani

Seorang anak sudah berbaring dari tadi tapi masih gelisah. Di kepalanya bergayut sebuah pertanyaan yang membuatnya tidak bisa tidur. Ia bangun lalu berjalan keluar kamar menemui ayahnya yang masih duduk membaca buku. "Ayah, apa beda pemarah dan pemberani?"
Sang ayah menatap si anak. "Si pemarah menggunakan kemarahanannya agar ia tekesan pemberani. Tapi, si pemberani tidak perlu marah-marah karena keberanian itu tidak memerlukan alat lain menampakkan wujudnya."
Anak itu mengangguk-angguk. "Baik Ayah, aku mau tidur dulu." Ia pun kembali ke kamarnya. Tidur.

Friday, August 1, 2014

Friday, August 01, 2014

Membantu untuk pemerintahan baru yang bersih, efektif, dan efisien

Sebelum ini saya pernah membagi ada dua kubu yang dihadapi Jokowi. Pertama: kubu pro-prabowo dan kedua: kubu anti-jokowi.

Kubu pro-prabowo saya lihat lebih gentle. Mereka menjagokan Prabowo menjadi presiden, bukan Jokowi. Mereka berjuang membuat Prabowo unggul. Tapi, setelah Prabowo tidak terpilih di pilpres, mereka kemudian menerima kekalahan Prabowo secara legowo. Mereka sadar betul bahwa pengkultusan seseorang tidak banyak gunanya. Kalah dan menang adalah hal biasa. Yang kalah tak mesti berguling-guling di tanah, memukul-mukul diri meratapi nasib, sedangkan yang menang juga tak perlu meloncat-loncat penuh euforia.

Kalaupun kubu ini sedang berupaya menggugat perolehan Prabowo ke MK, gugatan mereka legal dan profesional. Mereka datang baik-baik dengan membawa bukti-bukti, bukan hanya slogan-slogan yang tidak berguna. Bahkan, mereka membantu menyediakan bukti-bukti lain yang mungkin dapat digunakan oleh tim hukum Prabowo. Setidak-tidaknya mereka membantu menyusun file gugatan biar tak tercecer.

Sikap mereka satu. Jika MK nanti memutuskan Prabowo menang, mereka pasti akan membantu Prabowo sebagai presiden. Tapi, bila MK menolak gugatan Prabowo, mereka pun akan mengakui Jokowi sebagai presiden. Itulah sikap positif kubu ini. Nama mereka layak diabadikan dalam sejarah demokrasi Indonesia.

Berbeda jauh dari kubu pertama, kubu kedua, kubu anti-jokowi, panas menggelegak. Kemenangan Jokowi membuat hati mereka terbakar hangus. Tidur mereka tak nyenyak. Emosi mereka hampir-hampir tak terkendali. Materi-materi kampanye hitam atas Jokowi yang beredar tempohari mereka file baik-baik untuk disebarluaskan kembali bila waktunya nanti dengan berbagai improvisasi. Tak sabar rasanya mereka menunggu suasana idul-fitri berakhir karena mereka ingin segera meluncurkan kembali serangan pada Jokowi. 

Sejak awal sekali, saya lihat, kubu kedua ini memang tidak suka dengan anak muda kelahiran bantaran sungai yang kurus dan miskin yang secara mencengangkan melaju ke RI-1 dan sukses itu. Jokowi bagi mereka adalah bagaikan manusia yang harus dimusnahkan dari muka bumi. Wajah Jokowi sama sekali tidak sedap untuk mereka tatap. Cara tertawa Jokowi membuat usus besar mereka melilit dan berkerut sehingga lambung mereka mengeluarkan hawa busuk melalui kerongkongan. Dengan hati yang sakit terkoyak-koyak dan terluka mereka tidak tahan melihat sepak terjang para relawan pendukung Jokowi, yang benar-benar rela, yang tak habis-habisnya mendukung sang idola. Mereka pun kehabisan dalil. Dalil aqli dan naqli.

Setelah kubu kedua ini gagal mengganjal Jokowi, secara memalukan, di pilpres yang lalu, mereka sedang menyusun strategi mengganjal di tahapan berikutnya. Ini kabar yang sudah beredar di kalangan mereka. Jika tidak sukses di MK, katanya, mereka akan mengganjal Jokowi di pelantikan Oktober. Jika itu gagal lagi, mereka akan meng-impeach Jokowi di tengah jalan seperti impeachment untuk Gusdur tempohari. Kalau perlu, mereka akan menghentikan Jokowi di detik-detik terakhir pemerintahannya 2019 yang akan datang. 

Wow, betapa dahsyatnya dendam kesumat, ya. Dendam yang beranak dan berketurunan. Semoga tak seorang pun dari keluarga kita bagian dari kubu kedua ini, insyaallah.

Setahu saya, di sini ( di forum ini) tidak ada kubu kedua ini. Kalau pun ada,  ya barangkali hanya satu atau dua orang saja, dan pengaruhnya pun minor. 

Kita semua, warga yang mayoritasnya mengutamakan kepentingan ummat, memilih berpikir waras dan tidak akan menggubris kelompok yang penuh dendam kesumat itu. Kalau bisa, kita malah ikut serta menyadarkan mereka agar kembali ke jalan yang benar. 

Kalau tak bisa menyadarkan mereka, fokus kita membantu Presiden Jokowi memerintah negeri ini tidak terganggu. Hanya satu tujuan kita yaitu berdirinya negeri yang adil dan makmur dalam ampunan Allah SWT. 


Ada tiga langkah cepat, menurut saya, membantu pemerintahan ke depan yang bersih, efektif, dan effisien:

1. Beri masukan kepada Jokowi-JK menyusun tim-tim kuat yang jujur, amanah, cerdas, dan komunikatif. Beliau bedua menungggu masukan-masukan konstruktif dari semua pihak. Silakan masukan nama-nama yang dianggab berbahaya bagi republik ini dan nama-nama yang dianggap baik. Mari berpartisipasi di:


atau


2. Beri masukan kepada Jokowi-JK tentang program-jangka pendek yang bersifat urgen dan mendesak yang harus diselesaikan pada 3-12 bulan pertama.

3. Beri masukan kepada Jokowi-JK program-program jangka panjang untuk meletakkan pembangunan berkesinambungan sampai 25 tahun mendatang.

Itu saja yang bisa sampaikan. Mohon maaf lahir dan batin. Minal 'aidin wal faidzin.

Saturday, July 26, 2014

Saturday, July 26, 2014

Yth Pak SBY

Sabar, ya Pak. Kemarin anggaranmu dituding BOCOR. Sekarang pemilumu dituding CURANG.  Untunglah Bapak tidak mudah termakan puji dan caci. Karena sesungguhnya puji dan caci tak selalu masif, sistematis, dan berstruktur.  Ia selalu datang dan pergi sesuai kepentingannya.

Salam

Thursday, July 24, 2014

Thursday, July 24, 2014

Kakanda Hatta Rajasa

Usaha Kakanda mendampingi Prabowo menjadi presiden sudah cukup maksimal. Terus terang, Kakanda telah ikut mendongkrak elektabiltas Prabowo secara siginifikan dengan menambahkan suara pengagum-pengagum Kakanda untuknya. Kalaulah bukan karena bantuan Kakanda serta aktifis muda yang mengagumi kakanda, tak akanlah perolehan suara Prabowo sebesar yang sekarang.

Senior, junior, guru, serta orang seputaran Kakandalah yang telah  menaikkan suara Prabowo secara mencengangkan. Mereka sesungguhnya menginginkan Kakanda, bukan Prabowo. Suara mereka adalah untuk Kakanda demi masa depan bangsa Indonesia yang lebih baik. Kakandalah yang mereka elu-elukan menjadi tumpuan ummat yang akan mengibarkan bendera tauhid, bukan mantan menantu petinggi orde baru itu.


Kini, pemilu telah usai. Apakah kakanda masih berminat mengejar ambisi pencari-pencari kuasa yang tak berujung itu? Apakah tidak lebih baik Kakanda segera menarik diri dan tidak perlu memenuhi ambisi Prabowo? Apakah Kakanda tidak melihat betapa lucunya sepak terjang Bapak kita yang berkata lantang "siap menang ataupun kalah" itu? Tak perlulah kakanda mendaftarkan diri melakukan stand-up comedy seperti yang dilakukan beliau.

Rasanya, cukuplah upaya yang telah dilakukan Kakanda bersama barisan PAN, alumni ITB, keluarga SALMAN, serta Wong Kito Palembang, yang telah habis-habisan, siang dan malam, mendukung dan mengantarkan mantan petinggi militer itu menduduki kursi kepresidenan sampai selesainya pilpres 9 Juli yang lalu itu. Allah tahu dan bangsa Indonesia tahu niat tulus Kakanda itu. Tak perlulah Kakanda ikut-ikut meratapi nasib Prabowo dengan mencederai martabat Kakanda sendiri.

Biarkanlah, sekarang, Prabowo sendiri meneruskan ambisinya dengan caranya sendiri. Mau ia sebut apapun nama perjuangannya, itu urusan dia. Kita tak tahu persis apa valueyang beliau perjuangkan. Kita punya value yang mungkin tak sama dengan beliau. Valuebeliau mungkin benar menjadi macan di asia, atau menegakkan nasionalisme yang tak akan membiarkan sejengkalpun tanah kita diambil asing. Sangat heroic, memang. Tapi, bukankah value kita menjadi rahmatan lil'alamin?  Bukankah value kita menjadi sirajan muniira?  Apalah artinya tanah yang sejengkal? Jauh berbeda bukan? 

Janganlah Kakanda korbankan niat suci pendukung-pendukung Kakanda sendiri. Ingatlah, doa dan airmata mereka adalah untuk Kakanda, bukan untuk Prabowo. Dalam tahajjudmereka, meraka menyeru Tuhan agar rakyat memberi hati kepada Kakanda.

Ingatkah Kakanda dengan doa Pak Miftah Faridl ketika beliau merestui Kakanda menuju pilpres 2014 mendampingi Prabowo ketika beliau masih sedang sakit? Untuk Prabowokah doa itu atau untuk Kakanda?

Jangan kecewakan Pak Miftah serta guru-guru kita yang lain yang justru akan sangat bangga bila Kakanda tetap menjaga akhlak mulia, bersikap intelektual, dan menjadi seorang yang gentle betapapun tidak terpilih.

Eloklah Kakanda beserta seluruh barisan PAN serta aktifitifis muda lainnya segera menata masa depan politik Indonesia, memperbaiki citra diri di mata masyarakat. Ladang perjuangan kita di depan terbentang luas tak bertepi. Dan tujuan perjuangan kita sesungguhnya bukanlah untuk di dunia ini, tapi untuk di akhirat kelak ketika kita harus menjawab pertanyaan malaikat di kubur dan pertanyaan Allah di mahsyar.

Kalau Kakanda masih akan berpolitik, boleh terus. Hadapilah pemilu 2019 yang tinggal hanya 5 tahun lagi. Kalau masih ada rezeki berupa sisa dana kampanye tahun ini, gunakanlah untuk kepentingan dakwah dan sosial ke depan.  Kalau dananya cukup banyak, tak salah dana itu Kakanda gunakan untuk untuk menstabilkan harga sembako di pasar-pasar menjelang idul fitri tahun ini. Kalau masih banyak lagi, gunakanlah dana itu untuk beasiswa adik-adik kita yang akan masuk perguruan tinggi tahun ini namun dana orang tuanya tak cukup. Mereka akan menyambutnya dengan linangan air mata. Nama Kakanda akan terukir di hati anak bangsa ini.

Tapi, ..... ya sudahlah. tak sangup saya menorehkan kalimat ini lagi.

Ambisi boleh, Kakanda. Tapi takarlah setiap ambisi itu dengan realitas. Tak seorangpun anak bangsa yang beradab dan dari kalangan orang baik-baik menilai positif pada sikap Prabowo memaki-maki KPU dan pelaksana pemilu yang telah bekerja siang dan malam itu. Itu sikap yang memalukan, wahai Kakanda. Tidakkah Kakanda melihat itu?

Cacat pastilah ada. Tak ada gading yang tak retak. Kalau betul ada kecurangan yang bersifat masif dan sistematis di pilpres 2014, tentu penyelesaiannya memerlukan energi besar. Dan pasti hasilnya pun tidak akan maksimal bila dikerjakan secara gopoh. Tak seorang pun orang Indonesia ini yang sekaliber Ifrit, yang menawarkan jasa pemindahan kursi Bulqis sebelum Sulaiman berdiri.

Manakah yang lebih baik menurut Kakanda menyelesaikan masalah kecurangan pemilu itu "sekarang", tapi tergesa-gesa dan tidak maksimal,  ataukah kita mencegah kecurangan masif dan sistematis yang dicurigai itu secara sistematis pula?

Bukankah sesuatu yang sistematis harus dihadapai secara sistematis pula? Bukankah itu yang dulu kita pelajari sama-sama ketika kita dididik di ruang kelas yang sama, ruang serba guna Masjid Salman mengikuti Latihan Mujahid Dakwah?

Mari kita buat perubahan-perubahan ke depan sehingga kecurangan yang sama (jika memang ada) tidak terjadi lagi di pemilu 2019.


Saya,

Jufran Helmi
Junior Kakanda di ITB dan Masjid Salman.

Saturday, July 12, 2014

Saturday, July 12, 2014

Presiden Jokowi Versus Dua Kubu

Seorang kawan mengirim email melalui salah satu milis yang saya anggotai, “Kepada Bang Jufran dan para senior pendukung fanatik Jokowi-JK, ijinkan dari lubuk hati yang paling dalam, saya mengucapkan selamat atas kemenangan capres pilihan Anda menurut versi mayoritas lembaga quick-count.”


Subhanallah. Saya terhenyak dan menarik nafas dalam-dalam. Saya kehabisan kata-kata. Hampir-hampir air mata saya mengalir membasahi pipi.

Terus terang, saya terharu membaca pesan kawan itu. Dia adalah seorang pendukung fanatik pasangan Prabowo-Hatta.  Menjelang pilpres yang baru lalu, antara kami terjadi adu argumentasi sengit. Lebih sengit dari adu debat di layar TV dan di forum manapun.

Ketika itu, saya menyampaikan alasan-alasan mengapa saya harus memilih pasangan Jokowi-JK. Dia pula bertahan dengan argumentasi hebatnya mengapa memilih pasangan Prabowo-Hatta.  Saya ada data, dia pun ada data. Kami saling membeberkan data masing-masing. Saya ada dalil-dalil agama, dia pun ada dalil-dalil agama. Kami saling uji dalil masing-masing.

Untungnya, sampai pilpres berakhir, kami tidak terjebak untuk saling menghina pilihan masing-masing. Inilah momen yang membuat saya terharu. Saya dan dia tetap berkawan sampai detik ini.  Saya masih terkesima dengan ajang saling gugat yang ditayangkan di TV, eh kawan saya itu telah menyampaikan ucapan selamat.

Setelah saya renungkan dalam-dalam, mungkin semua itu karena kami sama-sama bukan elite politik. Dan barangkai pula, itulah yang membedakan cara adu argumentasi di kalangan elite dan kalangan akar rumput.

Para elite masing-masing kubu mengklaim kemenangan di pihaknya, tapi para pendukung jelata justru sudah ada saling pengakuan dan saling memaafkan. Para elite hanya dapat menerima hasil  perhitungan lembaga tertentu dan menolak hasil perhitungan lembaga lainnya, sedangkan para pendukung jelata bisa melihat hasil perhitungan dari berbagai lembaga secara lebih proporsional.  Para elite memilih emosional, para jelata masih menghargai batas-batas rasionalitas.

Ke depan, sekali-sekali boleh juga dong ya agar para elite politik belajar berpolitik kepada kaum awam seperti saya dan kawan saya itu. Siapa tahu, ke depan suhu politik menjadi lebih menyejukkan, tidak panas seperti sekarang ini.

Masih dalam keharuan, saya membalas surat elektronik kawan saya itu, “Saudara, tidak perlulah mengucapkan tahniah pada saya atau pada pendukung Jokowi-JK lainnya. Kita tidak sedang berjudi.”

Saya yakin betul bahwa tidak ada sesungguhnya yang menang atau kalah dalam perbedaan pendapat kami tempo hari.

Waktu itu, kami hanya berbeda dalam cara menilai sosok kandidat presiden dan wakil presiden yang pas untuk negeri kita ini. Kami sama-sama mencintai negeri ini maka kami sama-sama menginginkan pemimpin terbaik yang akan membawa negeri ini ke level yang lebih baik. Bukankah begitu, Saudara?

Ketika pilpres kemarin, hampir semua kita memang menempuh jalur yang berbeda-beda. Kita berbeda sudut pandang sedikit, berbeda kriteria sedikit, dan berbeda rasa sedikit. Akibatnya, kita pun bebeda pilihan.

Tapi ingat, perbedaan kita itu ternyata sedikit.  Perbedaan 1-3%, menutut saya, bukanlah perbedaan yang berarti. Tidak elok rasanya bila kita saling klaim “menang-kalah” untuk selesih yang secuil itu.

Perlu saya tekankan pula, bahwa terpilihnya kandidat saya, Jokowi-JK, versi mayoritasquick count, bukan karena keberhasilan salah satu partai, dalam hal ini PDIP. Saya bukan orang PDIP. Saya bukan anggota partai manapun. Saya hanya rakyat jelata. Karena itu, orang-orang  PDIP tidak boleh menepuk dada bahwa merekalah yang memenangkan Jokowi-JK, apalagi merayakan kemenangan di pihaknya.

Mayoritas bangsa Indonesialah, khususnya grass-root, yang telah memilih Jokowi-JK pada pilpres kemarin. Walaupun banyak elite-elite partai, tokoh masyarakat, dan tokoh agama yang tidak segan-segan menyampaikan ketidakberpihakanya pada Jokowi-JK dengan alasan agama, adat, strategis, dll, namun terbukti masyarakat umumnya tetap mengunggulkan Jokowi-JK.

Saya kurang tahu apa alasan masyarakat Indonesia itu. Yang pasti, masing-masing ada alasan betapapun tidak terucapkan. Alasan saya sangat jelas, Saya hanya merindukan lahirnya pemimpin baru yang sederhana, merakyat, adil, ramah, dan bijaksana, walaupun saya tahu kalau pasangan  Jokowi-JK yang saya pilih itu bukan pasangan capres-cawapres yang sempurna.

Apakah saya menutup telinga dengan berbagai berita miring tentang Jokowi dan Jusuf Kala? Apakah saya tidak tahu kalau begitu banyaknya ustaz, guru, ulama yang saya kagumi justru mengkhawatirkan orang-orang yang ada di latar belakang Jokowi?

Saya mendengar dan saya memikirkannya.

Kekhawatiran tertentu saya anggap benar karena dilengkapi dengan data dan argumentasi logis. Tapi kekhawatiran lainnya hanya membuat saya geli, terpingkal-pingkal, dan sakit perut.
Kita seharusnya tidak mudah percaya pada semua berita, lebih-lebih berita yang muncul tentang capres-cawapres menjelang pilpres. Kita seharusnya memilah mana berita yang benar dan mana yang palsu. Berita-berita palsu memang sengaja digunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk mengganjal capres tertentu jadi presiden. Orang-orang ini memiliki misi buruk untuk Indonesia secara keseluruhan, namun menggunakan metoda kampungan.

Kita semua tahu bahwa dalam pilpres kemarin, Jokowi-JK itu sebenarnya tidak menghadapi satu kubu saja, tapi menghadapi dua kubu sekaligus. Kubu pertama adalah kubu Prabowo-Hatta, yang kedua adalah kubu Anti Jokowi.

Mari saya analisa agak sedikit.

Kubu pertama, pendukung pasangan Prabowo-Hatta, menurut saya bermain elegan. Mereka mendukung Prabowo-Hatta karena mereka melihat pasangan itu lebih pas memimpin Indonesia dibanding pasangan Jokowi-JK. Mereka bukan tidak suka pada Jokowi-JK. Mereka melihat sosok semacam Prabowo  yang tegas berwibawa dan sosok Hatta Rajaya yang anggun dan cerdas itu sangat sesuai untuk masa depan Indonesia. Kubu ini berkampanye memperkenalkan kepada publik visi dan misi idolanya itu tanpa menghina visi dan misi pasangan lain. Kalaupun Jokowi tidak mereka rekomendasikan menjadi presiden, mereka masih melihat Jokowi masih cocok sebagai gubernur atau walikota. Karena itu, kubu ini bukanlah rival Jokowi-JK yang sesunguhnya. Mereka adalah orang-orang baik dan berada di sisi yang baik. Mereka sportif. Melihat cara mereka menyampaikan gagasan, hampir-hampir saya berpindah jalur.

Tapi kubu kedua, kubu Anti Jokowi, sangat lain pendekatannya. Mereka itu bermain kasar. Mereka sesungguhnya bukan pendukung Prabowo-Hatta walaupun mereka berada di pihak itu. Mereka sebenarnya pendukung siapapun asal bukan Jokowi. Kalaupun Jokowi harus berhadapan dengan monyet, misalnya, di pilpres, mereka pasti akan memilih monyet itu. Mereka tidak peduli bangsa ini mau dibawa kemana. Yang penting bagi mereka, Jokowi tidak boleh jadi apapun, apalagi jadi presiden. Jangankan jabatan presiden, jabatan walikota pun masih terlalu tinggi bagi Jokowi.

Bagi kubu ini, Jokowi adalah musuh kemanusiaan yang harus dibasmi dari muka bumi. Mereka tidak ingin melihat bangsa ini menjadi bangsa yang dipimpin oleh seorang berwajah ndeso, tidak pandai pidato, tidak fasih berbahasa Inggris. Wajah Jokowi membuat mereka mengalami mimpi buruk setiap tidur.

Cara mereka yang kasar terlihat jelas pada alat yang mereka pakai mengganjal Jokowi. Mereka mengguankan hoax, berita palsu, dan fitnah serapah. Sehari-hari, mereka menangguk informasi negatif  apapun tentang Jokowi di dunia maya kemudian menyebarluaskannya melaui media apapun yang mereka punya. Mereka tidak berani tampil di arena terbuka karena argumentasinya lemah. Mereka menelusup seperti hantu ke tengah-tengah berbagai kumpulan, milis, atau komunitas agama yang beragam. Isu agama, isu sosial, isu ras, dan isu budaya mereka campurkan jadi satu dan kemudian mereka hembuskan . Tidak sedikit anak-anak muda, kaum perempuan, bahkan sebagian kaum intelektual yang termakan racun fitnah itu. Semua isu negatif dan black-campaign tentang Jokowi berasal dari kubu ini.

Seketika, ketika Jokowi ternyata akhirnya unggul dalam pilpres, walaupun baru melalui versi hitung cepat, berita-berita palsu itupun dengan sendirinya lenyap. Tak seorangpun dari penyebar berita itu berani muncul lagi kini. Mereka tidak lagi lempar batu sembunyi tangan tapi lempar batu sembunyai badan. Orang-orang yang telah terlanjur membenci Jokowi kini pun mulai insaf dengan berlinangan air mata, menyesali diri mengapa sampai harus membenci anak muda lugu dari desa itu. Ustaz-ustaz yang terlanjur menyebar fatwa haram dan sesat bagi pemilih Jokowi kini telah mulai bertaubat. Semoga Allah ampunkan dosa mereka dan juga dosa kita yang telah menyimpan potongan-potongan fitnah itu di saku.

Tentu saja, kepada kawan yang mengucapkan selamat pada saya itu saya pesankan“ Mulai sekarang segera kita bulatkan niat untuk mensukseskan program-program Presiden Jokowi untuk lima tahun mendatang yang akan dilaksanakannya selepas serah terima dari Presiden SBY nanti.”

Saya tidak berpura-pura jadi negarawan walaupun ada juga yang menyindir saya seperti itu.
Kita akan bekerja sesuai bidang kita masing-masing.  Tidak perlu ada yang mimpi untuk berganti profesi, apalagi mimpi jadi menteri atau pejabat di jajaran pemerintahan Presiden Jokowi.  Biarkanlah Pak Jokowi menata timnya yang pas untuk memerintah negeri ini. Minimal, kita sokong melalui do’a. Kita sokong semua program yang baik dan kita kritik bila mereka menyimpang atau tersesat jalan.

Jokowi bukan manusia sempurna. Ia banyak kekurangan. Ia perlu pendampingan.

“Bagaimana mendampingianya?” kata kawan yang lain penuh penasaran.

“Kalau tak bisa mendampinginya secara fisik, dampingi dia secara virtual,” jawab saya. “Beri dia saran-saran. Kritik dan tegur bila dia menyimpang. Gunakan tulisan-tulisan bila tidak ada peluang untuk bertemu langsung. Itulah yang saya maksud dengan pendampingan secara virtual.”

Partai yang tidak mendukung Jokowi di pilpres tempo hari, tidak perlu malu-malu sehingg memilih jalur oposisi mutlak. Sekali-sekali berkoalisilah untuk hal yang memang baik untuk rakyat Indonesia.

Berkoalisi untuk sesuatu yang ma’ruf dan beroposisi pada kemaksiatan dan kemungkaran hukumnya wajib. Melalui sikap itu, kita bersama-sama membangun Indonesia yang baldatun thaiyyibatun wa rabbun ghafur.

Sunday, February 23, 2014

Sunday, February 23, 2014

Darul Arqam: Aqidah dan Dakwah

Tak disangka, ternyata ada juga kawan saya yang merespons  tulisan saya tentang Obituari Dr. Riesdam Effendi, mantan tokoh Arqam yang wafat 5 Februari 2014 yang lalu, dengan satu pertanyaan serius. "Apakah semua yang ada di dalam Darul Arqam  itu buruk semuanya sehingga  orang yang keluar dikatakan telah insaf dan kembali ke jalan yang benar?"

Wah, terus  terang, pertanyaan itu menarik sekaligus sulit dijawab. Saking sulitnya, tidak mungkin saya jawab dalam satu  kata "ya" atau "tidak".  Bahkan, dengan satu kalimat pun tidak mungkin.  Saya harus membuka catatan-catatan saya tentang  organisasi yang pernah saya masuki 2002-2010 yang lalu itu agar jawaban saya tidak disalahartikan.

NOSTALGIA

Darul Arqan atau Al-Arqam atau Arqam didirikan di Malaysia tahun 1968 oleh sebuah kelompok usrah yang terdiri dari beberapa orang aktifis muda. Ashaari Muhammad, yang kemudian memimpin oragnisai ini sampai akhir hayatnya, adalah salah seorang dari mereka. Ini mungkin sudah banyak yang tahu.

Dari istilah"usrah" yang dipakai, terlihat kalau organisasi Arqam itu ada kaitan (setidak-tidaknya terinspirasi) dengan  gerakan da'wah Ikhwanul Muslimin di Mesir.  Barangkali berbeda dari gaya Ikhwanul Muslimin, pendekatan Arqam dalam berdakwah  hampir seperti Jamaah Tabligh. Dakwahnya halus, anti kekerasan. Bahkan, tidak pakai demo-demoan.

Dari segi  zikir, wirid, dan maulid, mereka menggunakan cara tarekat sufi. Tarekat yang dipilih adalah tarekat Aurad Muhammadiah, tarekat yang ada cabangnya di Malaysia dan Singapura.  Ada juga yang mengatakan di peringkat awal, Arqam juga mengamalkan tarekat Naqsabandiah karena di dalam Arqam ada tokoh Naqsabandiah yang bernama Mukhtar Ya'kub. 

Dari segi kunut dan thaharah Arqam terlihat seperti bermazhab  Syafei, tapi dari shalat jama' dan qashar mereka mirip orang-orang Syiah.

Intinya, Arqam nampak seperti  gado-gado.

Tapi, justru kegado-gadoan itu barangkali yang membuat Arqam menjadi menarik kepada publik. Jadilah Arqam sebuah fenomena sekitar tahun 70-80, dekade pertama perkembangan Arqam.



Model perkampungan Islam yang didirikan Arqam di Sungai Penchala barangkali jarang ditemukan di dunia ini.  Dibandingkan kebanyakan gerakan Islam yang mengambil cara-cara ceramah atau tabligh, Arqam memang beda. Arqam mengambil jalan yang khas. Pendekatan dakwahnya individu per individu. Setelah pendekatan individu sukses, barulah dilakukan pendekatan komunal dalam bentuk perkampungan dengan melibatkan hampir seluruh aspek kehidupan berjamaah. 

Masyarakat Indonesia mengenal Arqam sekitar tahun 1987 ketika Ashaari Muhammad beserta rombongannya mulai memasuki wilayah Indonesia.  Belum jelas betul wilayah mana yang dikunjunginya pertama kali. Yang jelas mulai 1987 masyarakat di Indonesia mulai memerergoki rombongan laki-laki berjubah dan beserban serta perempuan bercadar bertamu ke rumah-rumah tokoh-tokoh masyarakat.

Mereka, orang-orang Arqam, rajin menemui  kelompok mahasiswa di kampus-kampus. Wajar kalau pengikut Arqam di Indonesia pada peringkat awal kebanyakannya adalah mahasiswa.  Pada masa itu, secara kebetulan, di Indonesia sedang aktif-aktifnya gerakan masjid kampus.

Melalui berbagai program yang cocok untuk kaum intelektual muda, Arqam berhasil menarik satu dua orang dari masjid kampus itu untuk menyertai mereka. Bagi Arqam, dapat satu atau dua orang sudah memadai. Orang-orang itu kemudian dijadikan tenaga inti penggerak kegiatan Arqam yang lebih besar.  Ada orang-orang Indonesia yang mereka bawa ke Malaysia, ada juga tenaga Indonesia yang ditempatkan sebagai penggerak di sini.

Cii-ciri Al-Arqam yang paling banyak diingat masyarakat Indonesia adalah perempuannya bercadar dan rela dipoligami dan secar terang-terangan. Mereka hidup berkoloni-koloni. Kalau keluar, mereka bergerombolan dengan pakaian yang hampir seragam. Dibanding Jamaah Tabligh yang juga berjubah dan beserban, pakaian orang-orang Arqam nampak lebih rapi dan bersih.

Dalam catatan saya, Ashaari Muhammad telah mengunjungi banyak tempat di Indonesia. Di beberapa tempat yang dikujunginya itu, Ashaari berhasil membentuk kelompok  usrah kecil yang berafiliasi kepadanya.  Anggota awal usrah rata-rata mahasiswa-mahasiswa. Kemudian, usrah itu diikuti juga oleh karyawan dan ibu-ibu rumah tangga. Kelompok-kelompok inilah yang kemudian membesar.

Dalam tahap awal, Arqam merekrut para simpati. Pada tahap berikutnya, para simpati itu digiring menjadi anggota paruh waktu. Pada tahap terakhir, anggota paruh waktu digiring menjadi loyalis yang bekerja penuh waktu di dalam jamaah.

Para loyalis yang berhasil dibentuk itu akan tinggal di perkampungan Arqam. Mereka tinggal dalam satu wilayah secara bergerombolan. Perkampungan itu didirikan di wilayah-wilayah yang ada pengikutnya dalam jumlah yang memadai. Sistem perkampungan ini menurut saya memang hebat. Loyalitas pengikut-pengikut yang tinggal di perkampungan itu luar biasa.

Sampai tahun 1994, pengikut Arqam asal Indonesia sudah cukup banyak, mungkin lebih dari 500 orang.  Tercatat, telah ada cabang Arqam di Aceh, Medan, Pekan Baru, Padang, Palembang, Jakarta, Bandung, Jogja. Walaupun di kebanyakan  tempat, mereka hanya terdiri dari dua -tiga keluarga, di beberapa  daerah seperti Medan dan Pekanbaru, telah berdiri sekolah Arqam untuk kalangan internal.

Tahun 1994, orang Indonesia terkejut ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) menetapkan bahwa ajaran Arqam sebagai  ajaran sesat sejalan dengan Pemerintah Malaysia yang juga menyatakan Arqam sebagai organisasi terlarang di seluruh Malaysia.

Kalau kita melihat hanya poin-poin negatif sebagai yang disebutkan dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia  dan Majelis Fatwa Kebangsaan Malaysia itu, kita akan menggeneralisasikan kalau Arqam itu buruk semua.

Menurut saya, janganlah begitu. Kita perlu juga menengok sedikit ke dalam Arqam dan seluruh gerakannya itu. Siapa tahu kita masih melihat yang positif. Ibarat sebatang pohon yang kena benalu, mungkin tidak seluruh pohon perlu ditebang. Cukup ranting busuknya saja yang dipangkas. Rasanya kurang logis bila di dalam sebuah komposisi, yang ada hanya yang buruk semata tanpa  ada yang baiknya sama sekali. Tapi, tetap hati-hati dalam memangkas karena yang busuknya itu bukan ranting-ranting kecilnya saja. bahkan batang utamanya disinyalir pun rusak.

Salah seorang Indonesia yang pernah mengkaji sistem dakwah Arqam secara komprehensif adalahTasman Ya'kub. Elok juga kita bertanya pada Tasman. Karya tulisnya bolehlah dibaca.

Melalui disertasi doktoralnya yang berjudul Dakwah Islam Dalam Perspektif Ashaari Muhammad, Tasman Yakub bercerita tentang organisasi fenomenal yang berpusat di Malaysia itu. Tasman mengajukan disertasinya itu kepada sidang guru besar UIN Syarief Hidayatullah, Jakarta,  sekitar 2006. Dosen IAIN Imam Bonjol, Padang,ini menurut  saya cukup bagus bahasannya.

Di Malaysia, saya menemukan nama lain, seorang sosiolog dari Universitas Kebangsaan Malaysia,dengan bukunya  Al-Arqam di Sebalik Tabir. Pakar yang juga dosen itu, bernama Ann Wang Seng, mengkaji Arqam secara cukup komprenhensif.  Menurut Ann Wann Seng,  gerakan Arqam adalah gerakan social engineering yang sangat efektif di Malaysia. Ann Wann Seng mencatat perubahan-perubahan mendasar yang dihasilkan oleh sistem dakwah Arqam di Malaysia hingga bisa meraup tak kurang dari 10,000 pengikut di pertengahan 80-an.

Sayangnya, baik Tasman Ya'kub di Indonesia dan Ann Wan Seng di Malaysia belum melihat secara totalitas. Mereka melihat Arqam secara sosiologis saja sebagai sebuah gerakan dakwah murni. Barangkali spesialisasi mereka hanya di sana.

Keduanya sama sekali tidak menyentuh persoalan aqidah dan syariah yang membelit Arqam. Pada hal, pengharaman Arqam di Indonesia dan Malaysia justru berpusat  pada masalah Aqidah yang dianut oleh anggota Arqam.

Sejak tahun 1980, kemajuan sistem  ekonomi gaya Arqam dan kemajuan dalam sistem pendidikannya yang pesat ternyata tidak sejalan dengan fakta tentang aqidah dan ibadah yang justru merosot.  Masalah yang mebelit Arqam ini luput dari catatan kedua pakar tersebut.

HALUAN BARU ARQAM

Haluan Arqam dari sebuah gerakan tarekat yang berorientasi dakwah di era 70-an telah berubah menjadi organisasi yang beorientasi politik di era 80-an. Sejak 80-an berkali-kali diramalkan oleh Ashaari Muhamamd kalau ia akan menduduki jabatan Perdana Menteri Malaysia sebelum kedatangan Imam Mahdi. Jabatan itu seklau diklaim sudah dekat. Konon kabarnya, ramalan itu disampaikan oleh Rasulullah SAW kepada Ashaari Muhammad. Kenyataannya, sampai Ashaari Muhammad wafat, jabatan itu tak pernah didudukinya.

Bukan saja orientasi baru itu sebenarnya yang dipermaslahkana kepada Arqam, ramalan-ramalan yang mengatasnamakan Rasulullah SAW itu dipandang merupakan sebuah penistaan kepada pribadi Rasulullah yang bersifat shiddiq. Ada penistaan agama untuk mencapai tujuan-tujuan duniawi.

Ashaari Muhammad, sebagai pemimpin Arqam,  telah berhasil ditempatkan di dalam sistem Arqam yang baru sebagai figur yang tidak ada duanya. Dia diklaim sebagai seorang yang telah ditunjuk Tuhan memimpin sebuah gerakan untuk mempersiapkan kedatangan penyelamat dunia, Imam Mahdi. Doktrin itu tentunya diharapkan menjadi penguat bagi perjuangannya memenuhi cita-cita politik itu.

Yang menarik, perubahan orientasi Arqam itu dimulai di tahun 1980. Sebelum tahun itu, orientasi Arqam masih dalam koridor sosial, pendidikan, ekonomi, dan budaya berdasrkan perbaikan akhlak. Setelah tahun 1980, politik, kekusaaan, dan kepemimpinan masuk ke dalam doktrin-doktrinnya. Bahasa-bahasa (term) agama digunakan untuk memantapkan doktrin tersebut di kalangan pengikut. 

Kalau kita bentangkan timeline perjalanan Arqam dari 1968 sampai 1994, tahun 80 merupakan sebuah milestone penting. Arqam mengalami perubahan mendasar pada tahun 1980 itu.

Pada tahun itu, 1980, Ashaari Muhammad melengkapkan istrinya menjadi 4 dengan mengawini salah seorang pengikutnya yang bernama Hatijah Am. Kecerdasan Hatijah serta kemampuannya berbicara dan menulis telah memikat Ashaari untuk memasukkannya ke dalam baris perjuangan.

Hatijah yang waktu itu mahasiswa di salah satu bidang studi sains ditugasi menuliskan ceramah-ceramah Ashaari. Sejak tahun 1980 lahirlah buku-buku karya Ashaari yang sesungguhnya adalah transkrip ceramah-ceramahnya yang dibukukan oleh Hatijah. Melalui buku-buku itu, pengaruh Ashaari semakin kuat di tengah masyarakat. Pengaruh Hatijah pun semakin kuat di mata pengikut Ashaari. Doktrin-doktrin baru Arqam pun diperkenalkan kepada pengikut

Ketika  dimulainya era dakwah Arqam ke luar negeri, Hatijah tidak pernah absen. Dia mendamping Ashaari sebagai juru tulis. 

Dua kejaian pentimg dalam kehidupan Ashaari dan Arqam pun terjadi. Tak lama setelah pernikahan Ashaari dengan  Hatijah, Ashaari menceraikan istrinya yang pertama, Hasanah. Tak lama kemudian lagi, Ashaari mengeluarkan Mukhtar Yakub dari jamaah. Padahal, di kalangan pengikut Ashaari, Mukhtar terkenal dengan kemampuannya dalam bidang aqidah dan syariah. Kepergian Mukhtar Ya'kub ditandai oleh banyak pengamat pihak sebagai permulaan hilangnya kajian ilmu di dalam Arqam. Sebagai ganti ilmu, digunakan bisikan-bisikan alam ghaib sebagai rujukan. 

Ada yang  keberatan dengan analisis saya yang seolah-olah melemparkan kesalahan kepada istri keempat Ashaari itu. Pihak yang keberatan itu bersikukuh bahwa yang bertanggung jawab terhadap seluruh kesesatan Arqam adalah Ashaari Muhammad. Hatijah hanyalah seorang pesuruh yang patuh kepada suami.

Saya tidak ingin fokus pada siapa yang harus bertanggungjawab. Karena pemimpin Arqam adalah Ashaari, jelas beliaulah yang harus bertanggungjawab. Tapi, yang menarik bagi saya, berbagai keanehan di dalam Arqam dimulai sejak tahun 1980, saat bergabungnya Hatijah.

Mungkin itu suatu kebetulan. Ya, mungkin juga. Semoga begitu.

TAKSHUB

Sejak 1980, Ashaari Muhammad berhasil menambahkan satu strategi baru perjuangannya, yaitu takshub (kultus individu). Ini sama sekali tidak disinggung oleh Tasman maupun Ann Wann Seng dalam karyanya masing-masing.

Tahun 2005, Hatijah menulis biografi suaminya itu sebagai pemimpin yang paling ajaib di dunia. Hatijah mengakui di dalam buku itu kalau takshubitu dipilih Arqam  untuk menciptakan loyalitas anak buah. Hatijah berargumentasi bahwa Nabi pun mengajarkan takshub kepada para sahabatnya. Ketaatan anak buah tidak bisa diperoleh kecuali bila anak buah tidak mengkultuskan pemimpinnya.

Dengan informasi dari buku itulah, saya curiga kalau takshub itu adalah ide dari Hatijah.Wallahu a'lam.

Ketakshuban yang diterapkan Arqam kepada Ashaari Muhammad telah melahirkan pecapaian lahiriah yang luar biasa. Dengan ketakshuban, orang-orang yang dianggaptrouble maker dapat disingkirkan dengan cepat tanpa menimbulkan guncangan yang lama pada organisasi.

Melalui program takshub versi Arqam,  Ashaari Muhammad naik setingkat demi setingkat. Kalau awalnya Ashari dipanggil Ustaz, sejak tahun 1980 sudah harus dipanggil Syekh. Gelarnya yang baru itu adalah Syeikhul Arqam.

Kemudian Ashaari Muhammad berubah menjadi Syeikh Imam. Nasab Ashaari pun kemudian diciptakan. Dipilihlah At Tamimi.

Akhirnya, gelar lengkap Ashaari sejak tahun 80-an adalah Abuya Syeikh Imam Ashaari Muhammad AtTamimi.

Ashaari bukan saja namanya yang semakin panjang sejak 80 itu, sejumlah atribut pun ditambahkan. Atribut yang ditempelkan pada Ashaari adalah:

  1. Ghaust, penolong
  2. Sahibuzzaman, pemilik zaman
  3. Mujaddid
  4. Pemuda Bani Tamim

At Tamimi ditambahkan di belakang namanya sebagai tanda bahwa beliau adalah pemuda bani Tamim, seorang tokoh yang disebutkan di dalam hadits Nabi yang akan mendampingi Imam Mahdi. 

Ide-ide yang diceramahkan Ashaari dan kemudian dibukukan oleh Hatijah Am diyakini di Arqam sebagai pemikiran-pemikiran tajdid. Walaupun secara isi, pemikiran-pemikiran itu diambil dari buku-buku lain. Hanya kemasannya yang beda. Dengan kemasa baru itu, Ashaari pun layak menyandang predikat mujaddid.

Sebagai sahibuzzaman, Ashaari mempunyai peranan besar dalam pengaturan alam semesta di sisi Tuhan. Banyak kejadian di dunia ini, mulai dari banjir, gempa bumi, badai, perang sebenarnya Ashaarilah yang merancangnya.

Tsunami yang melanda Aceh 2004 yang menewaskan 250,000 penduduk Aceh, menurut Hatijah Am, adalah atas kehendak Ashaari. 

Peran Ashaari sebagai sahibuzzaman tidak hanya mengatur kejadian fisik. Ashaari dapat memilih orang-orang yang mana yang akan diwafatkan Allah terlebih dulu dan mana yang belakangan.

Ashaari dipandang sebagai ghaust yang akan menolong pengikutnya. Ashaari tidak hanya menolong pengikutnya di dunia. Bahkan, Ashaari diyakini akan datang mendampingi muridnya di dalam kubur menjawab pertanyaan-pertanyaan Munkar Nankir. Ketika ditanya oleh malaikat, si Murid cukup memanggil Ashaari dengan kalimat "Abuya Tolong", Ashaari akan muncul di sisi kepalanya di liang lahat dan menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.

Lebih dahsyat, Ashaari akan mendampingi muridnya di hadapan pengadilan Tuhan di mahsyar seperti seorang pengacara yang mendampingi kliennya di pengadilan.

Karena begitu pentingnya kedudukan Ashaari, hampir seluruh bagian tubuh Ashaari, kecuali yang najis, adalah berkah. Banyak pngikut Arqam  yang mengoleksi jenggot, kuku, dan kulit Ashaari yang mengelupas.

Seorang kawan saya mengaku telah memakan satu kelupasan kulit bibir Ashaari yang mengering yang diserahkan Ashaari kepadanya.

Apapun yang disentuh Ashaari menjadi berkah dan obat. Air bekas Ashaari mandi akan dibotolkan dan dibagi-bagi ke seluruh murid Ashaari untuk diminum atau dicampurkan ke air mandi masing-masing. Barang-barang bekas Ashaari, bukan saja diberikan cuma-cuma, bahkan murid kadang-kadang harus menebusnya dengan harga tertentu sebagai mahar.

TAQIAH

Strategi yang lupa juga dibahas oleh Tasman Ya'kub maupun Ann Wann Seng di dalam karyanya masing-masing adalah strategi Taqiah yang diterapkan di dalam Arqam.

Arqam mengamalkan berdusta demi kebenaran, taqiah. Praktek itu telah ditunjukkan Ashaari ketika melakukan taubat 1992 di depan umum. Ternyata hanya dalam waktu 2 tahun, ia tertangkap basah kembali kepada doktrin semula.

Ketika Ashaari di bebaskan tahun 2004 dari tahanan kota, Ashaari berjanji akan meninggalkan doktrinnya, tapi terbukti hanya dalam masa 2 tahun, di tahun 2006, Ashaari tertangkap basah di Nilai, Negeri Sembilan, Malaysia, melakukan kembali ritualnya.

Saya hanya menebak kalau taubat yang dilakukan Hatijah Am dan pengikutnya yang setia di Syah Alam, Malaysia, di bulan oktober 2013 yang lalu adalah sebuah taqiah yang sama. wallau a'alam

SIAPAKAH DI BALIK PERUBAHAN ITU?

Yang menjadi pertanyaan saya, apakah perubahan dahsyat Arqam sejak tahun itu hanya sebuah kebetulan digagas oleh Ashaari Muhammad bersamaan dengan masuknya Hatijah Am? 

Kalau Ashaari telah memiliki niat itu sejak sebelumnya, mengapa baru di tahun 80 dieksekusinha?

Ehm, ehm...

Tidak seorang pun, termasuk saya, bisa menyimpulkan kalau perubahan  haluan Arqam sejak 80 itu terkait erat atau tidak dengan masuknya Hatijah Am. Sekali lagi wallahu a'lam.

Yang jelas, sejak Ashaari wafat tahun 2010, seluruh kendali kepemimpinan Arqam (dengan nama baru Global Ikhwan) telah berada di tangan Hatijah Am. Di tangan Hatijah Am, sejumlah keyakinan baru yang tidak ada di zaman Ashaari dulu telah ditambahkan. 
Sunday, February 23, 2014

Akmal Nasery Basral, Penulis Fiksi

Nama Akmal Nasery Basral pertama kali saya kenal  tahun 2010 setelah menonton film hebat Sang Pencerah.  Beberapa hari setelah menonton film tentang Kiai Ahmad Dahlan itu,  saya menemukan buku dengan judul yang sama dengan film: Sang Pencerah. 
Nampaknya, buku Sang Pencerah adalah versi  novel yang ditulis oleh Akmal Nasery Basral berdasarkan skenario yang sama dengan versi Film. Versi film sendiri ditulis oleh Hanung Brahmantyo.  Tentu saja, film dan novel punya kekuatan dan kelemahan masing-masing  yang tidak bisa dibandingkan.  Namun, kedua versi tersebut ternyata sama-sama  lupa menceritakan kalau istri Kiai Ahmad Dahlan adalah empat, bukan satu.

Ketika saya bertemu Akmal Nasery Basral beberapa hari yang lalu, Kamis 20 Februari 2014, hal itu saya tanyakan kepadanya. Penulis yang mengaku berdarah Minang itu mengatakan kalau ia tidak lupa. Dalam data yang dimilikinya, Kiai Ahmad Dahlan berpoligami setelah Muhammadiah berdiri sedangkan Sang Pencerah menyungkil sejarah Kiai Ahmad Dahlan sebelum berdirinya organisasi besar itu. Ya, masih monogami di saat itu.



Tiga hari penuh, 20-22 Februari 2014, bertempat di kantor IKAPI, Jakarta, dalam program ALINEA (Akademi Literasi dan Penerbitan Indonesia) yang diadakan oleh IKAPI, saya duduk menyimak Akmal yang baru pertama kali saya jumpai di waktu itu.  Akmal adalah pengajar penulisan fiksi di ALINEA tersebut.  Dalam kesempatan yang langka itu, bukan hanya karya beliau saja yang kami diskusikan secara rinci untuk melihat elemen-elemen sastra yang harus ada dalam sebuah karya fiksi. Draft novel saya yang masih berantakan sempat juga dibahas. He he he.

Walaupun dibahas hanya sebentar, bakal novel saya yang rencananya  akan mengangkat kehidupan para pengikut Arqam di Indonesia itu tenyata banyak sekali bolong-bolong yang mesti ditambal. Wah, masih lama nih novel ini bisa terbit. Tapi, terimakasih Akmal yang telah menunjukkan poin-poin penting yang harus saya perbaiki. Plot sudah oke. Beberapa dialog mesti ditambah supaya lebih dramatis. Semoga kisah tragis yang diangkat dari kisah true story itu segera jadi kenyataan.

Dalam catatan saya, Akmal Nasery Basral bukan penulis sastra sembarangan.  Karya pertamanya adalah Imperia (2005). Karya ini ditulisnya ketika ia masih aktif sebagai jurnalis di majalahTempo. Kepiawaiannya merangkai data sebagai jurnalis telah dipadukannya dengan ketajaman perasaannya sebagai sastrawan dalam hampir semua karya fiksinya.

Karya Akmal Nasery lain dalam bentuk novel  adalah  Legenda Bandar Angin (2006),Nagabonar Jadi 2 (2007), Parlemen Undercover: Kisah-kisah Sontoloyo Wakil RakyatNegeri Indosiasat (2008),  Presiden Prawiranegara (2011), Batas  (2011), Anak Sejuta Bintang (2012), Tadarus Cinta Buya Pujangga (2013).

Seluruh karya yang berkaitan dengan tokoh nasional seperti Kiai Ahmad Dahlan, Syafrudin Prawira Negara, Ahmad Bakri, dan Buya Hamka ditulis berdasarkan fakta-fakta historis yang shahih sesuai riset yang dikerjakannya secara mendalam.

Tiga belas cerpen Akmal yang terkumpul dalam satu buku Ada Seseorang di Kepalaku Yang Bukan Aku  memiliki variasi berbagai macam struktur yang cocok dijadikan referensi bagi siapapun yang ingin belajar menulis cerpen. Seluruh struktur yang dikaji oleh para teoritis fiksi ada di sana.

Salah satu cerpen Akmal Nasery yang berjudul Swans of  The Rising Sun, cerpen yang tergabung di dalam An Anthology of Short Story from 25 Writers Around The Wolrd, membuat saya pilu. Kisah gadis kecil korban tsunami Aceh 2004, bernama Mutia, yang harus menghadapi kenyataan pahit kedua kalinya di tsunami Furushima, Jepang 2011, betul-betul membuat saya tak mampu  membendung airmata.