Breaking

Saturday, October 16, 2010

Maqam dan Makam


Dua orang Indonesia pernah hampir bertengkar tatkala mereka berbeda persepsi tentang monumen yang terletak di depan ka'bah. Apakah itu "maqam Ibrahim" atau "makam Ibrahim"? Kalau diteruskan, mungkin, mereka akan berbunuhan tatkala berbincang tentang "nafsu" dalam makna yang satu, dan "nafsu" dalam makna yang lain lagi.

Apa pasal? Mereka terjebak pada perbedaan makna kata yang mirip bunyinya dan berlaku secara luas, mentang-mentang sama-sama tak pernah kuliah di linguistik. Lebih-lebih lagi, kata-kata itu merupakan bagian dari kajian nilai-nilai keislaman. Rasanya, perlu pula kita kupas permasalahan perbedaan itu.

"Maqam" dan "makam", sama bunyinya namun tak sama maknanya. Para pihak berpegang pada definisi masing-masing. Mereka pun bertengkar. Pasti lebih parah lagi, kalau seandainya mereka berdiskusi tentang "nafsu", sambil "bernafsu" pula. Bisa-bisa mereka benar-benar akan berbunuhan. Saya tak paham apakah itu karena bawaan bangsa ini memang senang bertengkar atau kita ini bangsa yang sudah sangat kaya dengan kosa kata.

"Maqam" berasal dari bahasa AlQuran yang berarti tempat berpijak, atau biasa juga dipakai sebagai tempat berdiri untuk menggapai tempat yang lebih tinggi. Misalnya, saya mau memasang lampu di kamar. Karena saya pendek, maka saya ambil sebuah bangku. Bangku itu adalah maqam saya. Kaum sufi menggunakan istilah maqam untuk menamai tahapan pencapaian kualitas ruhani. Mereka biasa mengatakan, "Perjalanan ruhani akan melewati tujuh maqam." Nah, yang di depan ka'bah itu adalah maqam Ibrahim, bukan makamnya, karena ia adalah batu yang digunakan Nabi Ibrahim ketika meninggikan ka'bah.

Kata, "makam" dalam bahasa kita bermakna kuburan. Makam wali-wali, misalnya, jangan diartikan sebagai level kerohanian para wali seperti muraqabah, musyahadah, dll. Makam para wali adalah kuburan wali-wali, tempat jenazah para wali ditempatkan selepas kewafatannya. Ziarah makam wali-wali sangat dianjurkan oleh tokoh-tokoh sufi untuk mengingati mati. Kita tahu bahwa Nabi Ibrahim wafat di Pelestina dan dikuburkan di sana. Jadi, makam Ibrahim ada di Palestina, bukan di Makkah.

Bagaimana dengan nafsu? "Nafsu", dalam bahasa Arab dan juga dalam Alquran, diartikan sebagai jiwa (soul), sesuatu yang immaterial yang terdapat dalam tubuh manusia yang di dalamnya terdapat berbagai daya. "Nafsu" dalam pengertian ini tidak boleh dibunuh. Membunuh nafsu sama artinya dengan membunuh diri. Tapi, nafsu, dalam bahasa Indonesia, dipahami sebagai birahi, dan cendrung berkonotasi negatif. Orang Indonesia sangat jijik melihat orang yang makan bernafsu. Siapa yang berani mengatakan, "Pak SBY, misalnya, "memimpin dengan nafsu?"

Al Quran sendiri tidak pernah menggunakan kata "nafsu" untuk menggambarkan birahi manusia, tetapi menggunakan kata "hawa". Kalau kita gunakan kata "hawa" memaknai birahi, orang Indonesia akan berpikir bahwa yang kita kita maksud adalah "rasa pada kulit", seperti kita sering menyebut "Bandung berhawa dingin". Nanti, orang akan mengelompokkan "hawa nafsu" bersama-sama dengan "hawa dingin", "hawa panas", "hawa sejuk", dll.

Itu baru dua contoh kepusingan yang saya sebutkan. Silakan cari contoh-contoh lain yang sering membuat orang keliru memahami terminologi AlQuran menggunakan terminologi lokal. Kepusingan itu terjadi ketika terminologi AlQuran diterjemahkan bulat-bulat dengan kata Bahasa Indonesia yang mirip bunyinya atau tulisannya seperti kedua contoh di atas. Kosa bahasa Indonesia yang dipilih itu sering sudah terlanjur didefiniskan berbeda dengan maksud yang diinginkan.

Coba juga kita perhatikan, jangan -jangan ada beda antara taqwa (bahasa AlQuran) dan takwa (bahasa Indonesia, ikhlas (bahasa Al Quran) dan ikhlas (bahasa Indonesia) , tafakur (bahasa AlQuran) dan tafakur (bahasa Indonesia), sabar (bahasa AlQuran) dan sabar (bahasa Indonesia) . Saya belum cek dengan baik. Coba buka AlQuran dan buka pula kamus Bahasa Indonesia. Jangan-jangan, pasangan-pasangan kata itu berbeda makna.

Contoh kata kata juga sering disalahartikan adalah kata "pahit" dalam kalimat, "Sampaikanlah kebenaran itu walaupun pahit." Coba renungkan, apakah "pahit" yang dimaksud adalah pahit bagi si pendengar sehingga pendengar itu harus demam dua hari dua malam ketika penyampaian itu menyakitkannya? Ataukah "pahit" itu pahit bagi si pembicara sehingga ia mesti bermujahadah sebelum berbicara?

Wallahu a'lam
Bagaimana pendapat Anda?

No comments:

Post a Comment