Breaking

Showing posts with label Catatan. Show all posts
Showing posts with label Catatan. Show all posts

Friday, January 10, 2014

Friday, January 10, 2014

Haifa Siti Jufrani

Kang Jonih, demikian beliau akrab dipanggil, adalah kerabat saya sesama alumni aktifis Masjid  Salman-ITB  angkatan 80-an. Di samping kegiatan super sibuk beliau di SKKMIGAS, sebagai Spesialis Utama bagi Sekretaris SKKMIGAS, ustaz yang bernama lengkap Jonih Rahmat ini  adalah juga pengasuh hampir seratus anak yatim dan du’afa di rumah kediamannya di Ciomas,  Bogor.  

Di sisi lain kehidupannya, beliau nampaknya gemar menuliskan berbagai pengalaman sehari-hari hasil pengamatan dan perenungan atas berbagai kejadian, dalam bentuk catatan-catatan. Tidka main-main, sebagian catatan-catatan itu telah diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, hingga kini sudah dua buku.  Buku pertama adalah “Malaikat Cinta”. Buku kedua adalah “Buku Tentang Kebaikan”. Seluruh isi  catatan-catatan itu, menurut saya, layak dijadikan sumber inspirasi oleh siapapun yang membaca.

1389162186483107272
Sumber: Akun Facebook Jonih Rahmat
Saya termasuk beruntung karena di hari akad nikah anak saya pada 5 Januari 2014 yang lalu, di Taman Mini Indonesia Indah, beliau berkenan hadir dan menyampaikan doa penutupan setelah prosesi aqad nikah itu.  Saya lebih beruntung lagi karena setelah itu beliau menuliskan liputan acara akad nikah itu dalam bentuk sebuah tulisan yang dihadiahkannya  untuk  saya sekeluarga.

Karena isi tulisan itu layak disimak dan demi untuk berbagi ilmu dan kebahagiaan dengan kawan-kawan,  berikut saya kutipkan tulisan itu secara utuh  di Kompasiana. Selamat menikmati.

HAIFA SITI JUFRANI

Tadi pagi, saya meluncur ke arah Taman Mini. Ada rasa khawatir di hati, kalau-kalau seperti beberapa kali nyaris terjadi- saya telat tiba di lokasi.

Alhamdulillah, pagi itu banyak warga Jakarta masih menikmati istirahat di kediamannya masing-masing, sementara turis-turis domestik dan para tamu undangan ke pernikahan di Jakarta dari kota-kota sekitarnya, belum pada tiba. Jalanan lenggang. Sepuluh menit dari pukul tujuh, saya sudah berada di dalam Gedung Sasana Kriya, The Venue at TMII, demikian tertulis di kaca pintu masuk itu gedung.

Begitu saya membuka pintu yang terbuat dari bahan kaca itu, rasa segar dan sejuk menerpa badan dan menyentuh qalbu. Angin segar datang dari pendingin udara di dalam ruangan; yang menyejukkan qalbu muncul dari pengeras suara yang mengalunkan selawat yang merdu.

“Yaa Nabie salaam ‘alaika.
yaa Rasuul salaam ‘alaika
yaa Habieb salam ‘alaika
shalawaattullaah ‘alaika
Anta syamsun anta badrun
Anta nuurun fauqa nuurin
Anta iksieruw_ wa ghaalie
Anta mishbaahush-shuduuri
Asyraqal badru ‘alainaa
fakhtafat minhul buduuru
mitsla husnika maa ra-ainaa
qaththu yaa wajhas suruuri
Yaa habiebie yaa Muhammad
yaa ‘aruusal khaafiqaini
yaa muayyad yaa mumajjad
yaa imaamal qiblataini.”

Meja dan kursi  yang diselimuti kain putih bersih -untuk acara akad-  sudah rapi terpasang. Di depan, kiri, dan kanannya berbaris kursi-kursi untuk para tamu undangan. Kecuali beberapa orang panitia dan kerabat dekat mempelai, gedung masih sepi. Calon pengantin pria dan wanita beserta keluarga besarnya, barangkali, masih di ruang rias.

Memanfaatkan waktu, saya keluar gedung menuju rumah ibadah di depan Sasana. Bakda salat beberapa rakaat di Masjid Diponegoro, itu saya kembali ke tempat akan diselenggarakannya akad nikah. Pembawa Acara baru saja memulai tugasnya.  Mempelai pria, ayah pihak wanita, petugas dari Kantor Urusan Agama, dan saksi-saksi sudah siap sedia menghadap meja.

Hari ini, Minggu, 5 Januari 2014, sahabat saya, Jufran Helmi, mengundang banyak orang. Ia akan menikahkan Haifa, putri sulungnya.

Bagi saya, ini adalah undangan ketiga kalinya dari kawan ini. Pada undangan pertama di sebuah hotel bintang lima di Jakarta, yang juga dihadiri oleh selebritis dan menteri, beberapa tahun lalu, saya berhalangan hadir. Tetapi, dua anak kami datang mewakili. Undangan kedua yang diselenggarakan di hotel paling besar di Jalan Dr. Djudjunan, Terusan Pasteur, Bandung, saya dan istri, alhamdulillah, bisa mengikuti. Acara di Grand Aquila itu, belakangan saya tahu, ternyata diliput banyak media dan menjadi berita yang rada-rada menghebohkan. Mengapa? Karena ia  mengangkat masalah poligami berdasarkan syariat.  Acara itu diselenggarakan oleh Global Ikhwan. 

“Saya dan kedua istri dihadirkan karena keluarga kami adalah keluarga poligami,” Uda Jufran menjelaskan.

Bapak Penghulu memimpin prosesi akad nikah dengan singkat dan jelas. Ayah calon mempelai wanita menggenggam telapak tangan calon menantunya. Dengan suara berat, namun mantap, insinyur mesin yang ustaz ini berkata:

“Saya nikahkan dan kawinkan engkau, Rio Satria Muhammad bin Syukri Agus Tanjung dengan putri saya, Haifa Siti Al-Kautsar dengan mas kawin cincin dan seperangkat alat salat, tunai!”

“Terima nikahnya saya dengan Haifa Siti Al-Kautsar binti Jufran Helmi dengan mas kawin cincin dan seperangkat alat salat, tunai!” Rio, pemuda tampan, berserban ala Pangeran Diponegoro, dengan sigap dan tegas menyambut ijab.

“Baarakallaahu laka wa baaraka ‘alaika wa jamaa baina kumaa fie khoier,” penghulu beserta hadirin serentak mendoakan pengantin.

Setelah penyerahan mas kawin dan  disusul dengan saling memasangkan cincin oleh pengantin, petugas KUA meninggalkan ruangan, bergegas ke tempat lainnya. Acara dilanjutkan dengan nasihat pernikahan.

Taushiah disampaikan oleh Ustaz lulusan Teknik Fisika  ITB, Al-Mukarom Bapak Muhammad Furqan Al Faruqiy*. Isi ceramah terbilang ringkas, padat, dan penuh makna.

Penceramah, antara lain, menyampaikan bahwa dengan pernikahan ini, suami harus sayang kepada istri;  istri menyayangi suami. Kendatipun sudah berpisah rumah dengan ibu dan ayah, seorang suami dan istri harus makin hormat dan sayang kepada ibu dan ayah; juga kepada ayah dan ibu dari suami, ayah dan ibu dari istri.

Dalam hidup berumah tangga, mesti akan ada topan godaan yang akan menerpa. Karena itu,  suami dan istri harus mempelajari dan mengerti management conflict. Dengan ini ia akan mampu memainkan peran dalam menghadapi godaan dan cobaan yang datang menghadang.
Untuk mempersiapkan kehadiran anggota baru dalam rumah tangga, kedua pengantin baru perlu belajar bagaimana mendidik dan bersikap bijak terhadap anak. Sehingga, nanti, saat sang buah hati hadir di tengah-tengah keluarga, kedua orangtua sudah siap membimbingnya.
“Alhamdulillah, sekarang, kursus-kursus parenting, ada di mana-mana. Manfaatkanlah waktu yang ada untuk menimba ilmu demi kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga! Bersiap-siaplah menyambut kedatangan anak-anak yang saleh-salehah!”

Ustaz yang dawam salat malam, ini juga menyebutkan bahwa ikatan pernikahan di dalam Al-Qur’an disebut sebagai mietsaaq. “Kata miestaaq mempunyai makna jauh lebih kuat dan hebat dibanding perjanjian-perjanjian biasa atau kontrak-kontrak di perusahaan.”
Mietsaaqan ghaliedzaa adalah perjanjian yang berat, perjanjian  yang kokoh dan agung. Selain dalam pernikahan, hanya dua kali Allah Swt., menyebut kata-kata ini di dalam kitab suci. Semuanya dalam peristiwa sangat besar dalam sejarah umat beragama.
Pertama, ketika Allah mengambil janji para Nabi ulul azmi:

Wa idz akhadznaa minannabiyyiena mietsaaqahum wa minka wa min nuuhi wa ibrahiema wa muusaa wa ‘iesaa ibni maryama, wa akhadznaahum mietsaaqan ghaliedzaa (Al-Ahzab:37).
Dan, kedua, saat Allah mengangkat Bukit Tursina di atas kepala Bani Israil dan meminta mereka berjanji setia di hadapan Allah:

Warafa’naa fauqahumuththuura biemietsaaqihim waqulnaalahumudkhulul baaba sujjadaw_wa qulnaa lahum laa ta’duu fissabti wa akhadznaa minhum mietsaaqa gholiedzaa (An-Nisaa: 154).
Dan, yang ketiga adalah dalam ikatan pernikahan:
…wa akhadzna minkum mietsaaqan ghaliedza (An-Nisaa: 21).
Mengapa Allah mensejajarkan penggunaan kata-kata mitsaaqa ghaliedzaa untuk peristiwa pernikahan dengan perjanjian para nabi dan perjanjian dengan Bani Israil itu?
Jawabnya adalah bahwa pernikahan merupakan sebuah kejadian yang agung, peristiwa sangat besar. Ia tidak saja disaksikan kedua orangtua, kerabat, dan para sahabat; melainkan…disaksikan pula oleh Allah dan para malaikat di langit tinggi!

Dan, dengan kalimat sederhana, ijab dan kabul, terjadilah perubahan sangat besar, perubahan luar biasa di antara kedua insan.  Dengan dua kalimat itu, yang haram menjadi halal, yang maksiat menjadi ibadat, kekejian menjadi kesucian, dan kebebasan berubah menjadi tanggung jawab.

Mubaligh bergamis dan berpeci putih, ini menutup khotbahnya dengan doa yang sangat indah.
Sebelum sungkeman, saya menyisip hendak menyampaikan bingkisan khusus untuk sahabat, pasangan Uda Jufran dan Ema – ayah dan ibu dari Haifa; dan sebagai hadiah bagi Kedua Mempelai. Persembahan itu berupa untaian kalimat panjang yang saya ambil dari Alquran, hadis Nabi saw., orang-orang saleh terdahulu, dan para kiai.

Mempelai wanita bersimpuh di lutut ibu dan ayahnya, demikian pula pengantin pria. Tetes-tetes air mata menambah syahdunya suasana. Air mata ayah-ibu yang akan melepas putri dan putranya. Air mata anak karena sesal atas salah dan dosa yang pernah mereka perbuat, selama ini. Rasa kurang berbakti, ketika hendak pergi meninggalkan ayah dan bunda, terasa sekali.

Ketika hadirin antre menyalami pengantin, saya diajak ke ruang sebelah, mengikuti antrean lainnya: santapan bakda akad. Sehabis menikmati soto ayam yang panas dan sedap, lama saya berbincang dengan seorang kerabat mempelai pria dan seorang bapak kawan sekantor Mas Nono (Dr. Pariatmono Sukamdo. Apa kabar Mas Nono? Lama tak bersua). Kemudian, karena shohibul bayt tidak terlihat di ruang utama, lantaran sedang pada berganti pakaian, saya memijat-mijat telepon seluler. Melalui pesan pendek,  saya berpamitan kepada yang punya hajat, meneruskan perjalanan menuju undangan lainnya di Jakarta Selatan.

Semoga Haifa dan Rio, hidup sehat bahagia. Allah karuniakan kepada mereka kehidupan yang sakinah, mawaddah, warahmah,  penuh dengan curahan rahmat-Nya.  Semoga mereka berdua menjadi pemererat tali silaturahmi kedua keluarga besar, dan dikarunia putra dan putri yang menyejukkan hati -yang kelak akan menjemput kedua orangtuanya, dalam rida-Nya. Aamiin.

Sasana Kriya, TMII, pagi hari; dan Jagorawi, sore hari, 5 Januari 2014.
Salam,
jr

Catatan:
Tulisan ini adalah Kado dari kami sekeluarga untuk Uda Jufran, Ema, serta Haifa dan Rio. Haifa adalah nama depan putri Uda Jufran - Ema; Siti adalah nama tengah (middle name) pengantin wanita. Di Masyarakat Sunda (Sukabumi termasuk di dalamnya), orang biasa menambahkan kata Siti di depan nama wanita yang disayang atau dihormati. Jadi, kata “Siti” di judul tulisan bukan saja nama tengah sang putri, melainkan pula representasi sebutan wanita mulia cq. untuk nama ibunya. Di samping itu, orang-orang Jawa Barat, sebagian besar, memanggil ibunya dengan sebutan “Ema”. Semoga kepada Ema, Allah tambah karuniakan kemulian para ibu. Sedangan, tambahan huruf “i” pada kata Jufran, melambangkan “dinasti”, pam, marga (dalam makna positif, dan tidak dalam arti yang sedang ramai diberitakan). Bagi Rio, mempelai pria, Haifa, Siti, dan Jufrani, sejak ijab-kabul tadi, adalah bagian yang tak terpisah dengan diri Anda. Bersama mereka, beramal salehlah sebanyak-banyaknya dalam menggapai rida-Nya. Dari Jufrani inilah, kelak, semoga lahir pemuda-pemudi saleh dan pintar yang menyebarkan manfaat yang luas bagi umat, memberikan rasa aman dan nyaman kepada siapa pun yang berada di sekitarnya.

*Ustaz Muhammad Furqan Alfaruqiy adalah penceramah yang insinyur. Ia lulus dari Teknik Fisika ITB. Beliau, selain membina Majelis Al-Quran Indonesia, Pusat Da’wah Al Quran Bina Qolbu, di Jakarta,  juga adalah pengurus Keluarga Alumni Masjid Salman-ITB. Ustaz berpenampian kalem ini, juga adalah penulis buku “Belajar dari Kejatuhan Iblis dan Nabi Adam, as.”
Friday, January 10, 2014

Ijab Kabul Putri Sulung

Beberapa hari sebelum hari pernihakan putri sulung saya yang berlangsung  5 Januari 2014, entah bercanda entah serius seorang kerabat di luar pulau mengirim pesan  singkat melalui akun facebook saya. Katanya, “Kalau ijab kabul nanti, awas jangan sampai menangis cengeng, ya. Kalau menangis, bisa batal lho.”

Sontak saja saya tertawa dalam hati membaca pesan itu. Ah mana mungkin saya cengeng. Tidak mungkinlah saya akan menangis melafazkan ijab kabul di hari penuh kebahagiaan,  di hadapan calon menantu, dan disaksikan oleh orang banyak. Gengsi dong.

Apa yang dikhawatirkan kawan itu ternyata terjadi di saat saya sudah berada dalam prosesi ijab kabul, he he he.  Kalaulah saya tidak berjuang keras melawan gemuruh haru di hati yang membuncrat dari dalam, hampir-hampir saja saya tidak sanggup menyelesaikan kalimat  ”Saya nikahkan engkau dengan anak saya dengan mahar ….”

Untunglah, kalimat yang terbata-bata saya ucapkan itu selesai juga akhirnya sampai titik dan dapat diterima sah oleh para saksi. Untung pula, yang menjadi salah seorang saksi adalah kakak kandung saya sendiri yang paling tua. Kalau tidak, mungkin saya akan mengulangi kembali. Oh, malunya.

Kalimat ijab kabul itu ringan di lidah tapi berat di ucapan. Mungkin ada yang mengira kalau saya sedang tidak bahagia pada waktu itu. Saya justru sedang bahagia-bahagianya. Saya bahagia karena anak sulung saya,  perempuan pula, melepaskan masa lajangnya menikah dengan lelaki pilihannya. Tak mungkin seorang ayah tidak bahagia melihat anaknya tumbuh dewasa dan kemudian menikah dengan baik-baik.

Yang muncul di hati adalah rasa haru, bukan ketidakbahagiaan. Rasa itu di luar kendali. Tiba-tiba saja, ketika saya melafazkan kalimat ijab secara perlahan, kata perkata, sambil meresapi maknanya, rasa haru bercampur gamang berkecamuk di hati. Timbul pikiran instan: sudahkah saya sebagai ayah membekali anak saya dengan ilmu, bimbingan, arahan sehingga dia nanti sanggup menghadapai badai rumah tangga yang bisa menerpa secara tiba-tiba?

O, rasanya belum. Inilah yang membuat saya galau, gamang, cemas, dan grogi.

Rasanya baru kemarin anak itu lahir, merangkak, dan bersekolah. Walau anak sulung itu sudah berusia 24 tahun kini, baru kemarin rasanya anak itu masih merengek-rengek minta uang jajan.  Sepertinya, jarum jam  tiba-tiba berputar cepat menunjuk suatu waktu ketika  anak itu meminta restu untuk dinikahkan. Sudah dewasakah dia?

Kalau dipikir-pikir, sebenarnya tidak ada yang tiba-tiba di dalam alam ini.  Semua pergerakan waktu sudah tertata sedemikian rupa.  Sayalah yang sering lengah dan tidak hirau dengan lajunya pergerakan waktu. Saya mungkin sering lupa kalau waktu tidak pernah mengenal perlambatan, percepatan, dan lebih-lebih lagi mundur.  Waktu, sampai kapanpun,  berjalan maju dengan laju yang tetap. Waktu datang dan pergi menggilas segalanya.  Rambut yang hitam tiba-tiba putih oleh waktu. Kulit yang mulus tiba-tiba keriput.

Merugilah orang-orang  seperti saya yang membiarkan waktu  berlalu begitu saja.  Janganlah terkejut ketika kita  belum mencukupkan bimbingan kepada anak perempuan kita, tiba-tiba saja  anak itu sudah dewasa, dan harus berpindah tangan kepada suaminya.  Jangan pula terkejut, kalau biasanya kita dipangil akang atau uda, tiba-tiba dipanggil kakek. Oh, waktu cepat berlalu.

Dalam haru, setelah pelafazan akad nikah di hari Ahad itu, hanya satu kalimat yang sanggup saya bisikkan di telinga  Rio, sang menantu, “Pimpinlah Haifa, anak saya, dengan pimpinan yang baik.”  Saya titipkan anak saya kepada suaminya itu untuk dipimpin.

Sebenarnya, untuk mengantisipasi kegamangan menghadapi hari pernikahan anak itu, saya telah menyandera tiga orang kerabat saya untuk datang. Penyanderaan dalam arti positif.  Barangkali memang rezeki saya sedang baik, mereka pun hadir.

Yang pertama adalah Adinda Khaidir Azwar. Saya selalu menambahkan gelar Al-Hafizdi belakang namanya bila memperkenalkan anak muda ini kepada orang lain.  Al-HafizItu bukan gelar main-main.  Itu adalah gelar yang biasa diberikan bagi penghafal Al-Quran.  Beliau memang seorang penghafal 30 juz Al-Quran dan sekaligus pembaca Al-Quran yang fasih walaupun usia beliau masih sangat muda. Kalau beliau hadir di masjid Ar-Rahmah, mesjid di dekat rumah saya tinggal di Raffles Hills Cibubur, beliaulah yang didaulat jamaah menjadi imam. Sesuai tuntunan Rasulullah, yang paling fasih bacaan Al-Quran dan paling banyak hafalannya adalah yang paling layak mengimami shalat.  Suaranya yang merdu mengantar ayat-ayat Tuhan itu ke relung hati kami yang keras bagaikan batu.

Sebelum hari pernikahan anak saya, saya daulat Ustaz Khaidir untuk melantunkan ayat-ayat Alquran sebelum aqad nikah. Saya senang karena beliau pun mengabulkan permintaan saya itu. Bergemalah kalam ilahi yang agung itu memenuhi ruangan akad nikah, Sasana Kriya, TMII, walaupun sejenak.

Yang kedua adalah seorang kerabat yang dulu sama-sama aktif dengan saya di Masjid Salman-ITB.  Beliau adalah Muhammad Furqan Al-Faruqiy yang sebetulnya adalah seorang insinyur teknik fisika. Tapi, karena beliau berkutat mendalami Al-Quran bersama majelis yang dibinanya, Majlis  Al Quran di Pusat Dakwah Al Quran Bina Qolbu Jakarta, beliau layak saya sandera untuk beberapa menit untuk mengajari kami bagaimanana menerapkan Al Quran di dalam kehidupan berumah tangga.  Penulis buku “Belajar dari Kejatuhan Iblis dan Nabi Adam, AS”  yang inspiratif itu, alhamdulilllah hadir dan menyampaikan nasihat-nasihatnya. Menurut saya, nasihat yang disampaikan Ustaz Furqan sangat runtut dan sangat layak kami jadikan referensi kehidupan.

Orang ketiga adalah Kang Jonih Rahmat. Semua kawan yang banyak berurusan dengan minyak dan gas bumi mestinya kenal beliau.  Sebagai pejabat tinggi di lingkungan SKKMIGAS, saya tahu kalau beliau sibuk dalam berbagai perjalanan baik di dalam maupun ke luar negeri mengurus minyak dan gas di Indonesia.  Saya maklum itu tapi saya perlu beliau. Untuk mengatasi kegamangan saya melepaskan anak menikah, saya tak segan-segan meminta beliau hadir mendoakan kami sekeluarga. Alhamdulillah beliau juga datang.  Dan beliau pun mendoakan kami sekeluarga dengan doa yang sangat menyentuh. Gabungan doa dan nasihat sekaligus.

Pilihan saya pada Kang Jonih untuk memimpin doa adalah karena saya yakin kalau orang yang paling menyayangi anak yatim pastilah paling makbul doanya. Walaupun Kang Jonih seorang geologist senior, pakar eksplorasi migas,  dan sebenarnya bisa hidup berlimpahan harta dengan seluruh pendapatannya, tapi beliau memilih hidup sederhana bersama hampir seratus  anak yatim yang dibinanya bersama istri tercinta. Di sebuah rumah sederhana di Ciomas, Bogor,  pria sederhana tapi penulis dua bukubest seller Gramedia ”Malaikat Cinta” dan “Kitab Kebaikan” itu, hidup menyantuni anak-anak yatim piatu.

Setelah ijab kabul di pagi hari, walimah pun diadakan di siang hari. Di kenduri yang terbatas dihadiri keluarga dan karib kerabat itu,  saya berhasil pula menahan Ust Muhammad Said, seorang guru agama, pimpinan sebuah pesantren dari Jayapura, untuk memberikan doa pembukaan walimah. Saya mohon beliau bertahan di lokasi resepsi padahal beliau sesungguhnya segera menuju bandara berangkat kembali ke Papua.

Ada beberapa kawan  yang hanya menyampaikan doa dan ucapan selamat melalui sms, email, atau facebook karena tidak sempat hadir.  Itu juga lumayan. Saya maklum dengan berbagai hambatan mereka untuk hadir. Doa dari jarak jauh pun bagi saya begitu penting. Saya tidak punya kekuatan kecuali kekuatan doa.

Walaupun demikian, banyak juga sahabat yang meluangkan waktu hadir menyertai kegembiraan kami sekeluarga dalam kenduri sederhana itu. Saya sungguh terharu dan berlelehan air mata menjabat tangan atau memeluk kerabat-kerabat itu satu persatu, apalagi sebagiannya adalah sahabat-sahabat lama yang puluhan tahun tidak bertemu.
Bercampurlah acara walimah pernikahan itu keluarga, tetangga, guru, pembimbing, dan kawan-kawan, baik kawan sepertumbuhan, sepermainan, seperguruan, sepengajian, dan ataupun  seperjuangan. Bercampurlah haru dan bahagia sekaligus.

Untuk yang hadir maupun yang tak hadir,  saya mengucapkan terimakasih  atas perhatian dan doanya masing-masing, baik doa untuk si sulung yang menikah itu maupun doa untuk ayahnya, ibu-ibunya, maupun adik-adiknya.  Saya minta maaf atas seluruh kekurangan pelayanan yang pasti jauh dari sempurna. Walaupun air mata tak tertahankan dan rasa haru yang dalam, kehadiran para kerabat di acara ijab kabul yang disusul resepsi sederhana itu sungguh menggembirakan.