Breaking

Tuesday, October 7, 2008

Kata, Kamus dan Tesaurus


Menurut definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata adalah serangkaian huruf (kalau tulisan) atau serangkaian bunyi (kalau lisan) yang mewakili segala sesuatu yang maujud dalam pikiran manusia. Manusia memikirkan sesuatu. Ketika ia ingin menyampaikan pikiran itu kepada orang lain, mereka harus menciptakan kata sebagai simbol yang disepakati di antara mereka. Korelasi antara pikiran dan kata itulah yang dinamakan makna.
Setiap bangsa manusia memiliki kosa kata mereka masing-masing. Suatu bangsa belum tentu dapat memahami kosa kata suatu bangsa yang lain. Itulah sebabnya, komunikasi antar bangsa memerlukan pencarian kesamaan antar kata untuk melihat korelasi masing-masing pada pikiran.
Dari sini kita bisa melihat berbagai perbedaan kata-kata merujuk kepada referensi yang sama. Kita bisa melihat satu bangsa sangat kaya kosa katanya dalam bidang tertentu, sementara bangsa yang lain sangat miskin. Dalam bidang komputer dan teknologi, misalnya, bangsa Indonesia memiliki kosa kata yang sangat terbatas. Tapi dalam bidang pertanian, kita memiliki kosa kata yang sangat kaya. Sebagai contoh kita tidak punya padanan kata download, chatting, blog, fax, dan scan, dll. Kita terpaksa memakai kata-kata itu apa adanya. Sementara itu bangsa Amerika tidak punya padanan kata untuk padi, gabah, beras, dan nasi. Mereka hanya punya satu kata rice , padahal keempat kata itu memiliki makna yang berbeda. Saya belum tahu apakah mereka mempunyai pada kata untuk petai dan jengkol.
Korelasi antara kata dan segala sesuatu yang maujud dalam pikiran suatu bangsa, dapat dilihat di dalam kamus. Setiap ahli bahasa di setiap bangsa telah berusaha mendaftarkan semua kosa kata yang hidup di bangsanya masing-masing. Di Arab kita mengenal Al Qamus Al-Munjid, di Amerika ada Meriam Webster's Dictionary. Di Inggris ada Oxford Dictionary. Di Malaysia ada Kamus Diwan.Sedangkan di Indonesia kita menemukan Kamus Besar Bahasa Indonesia. Selain itu kita temukan pula kamus padanan kata antar dua bahasa, seperti Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris berbolak balik.
Apa hubungannya dengan menulis? Semakin banyak kosa kata yang dikuasasi seorang penulis, semakin beragam pikiran yang dapat diugkapkannya dalam tulisannya. Kita, sebagai pembaca, sering menemukan tulisan yang miskin kosa kata, sehingga tulisan itu terasa hambar tanpa rasa. Lebih parah lagi, kekurangan kosa kata itu ditopang pula oleh kemiskinan struktur kalimat. Ini belum lagi kita sebut kerancuan kalimat.
Penguasaan kosa kata tidak sama dengan pemahaman kosa kata. Seseorang ketika disodorkan kepadanya satu kata tertentu, dia mungkin akan memahaminya. Dia dapat membaca tulisan dengan kosa kata yang kaya dan beragam. Tapi ketika ia disuruh menulis, dia tetap menggunakan kata yang itu-itu saja, tanpa variasi seolah olah kata itu saja yang dipahaminya. Dalam kasus ini, pemahamanya lebih baik dari penguasaannya. Penguasaan kosa kata berarti kemampuan seseorang menemukan kata untuk mengungkapkan pikiran-pikirannya, bukan sekedar kemampuan memahami.
Dalam proses menulislah, penguasaan kata seseorang itu teruji. Ada tulisan yang datar, hambar, tanpa rasa. Tapi ada tulisan yang enerjik, hidup, yang dapat meledakkan emosi seperti bom. Seseorang hanya mampu menyampaikan gagasannya secara lurus, tapi yang lain mampu mengorek emosi pembaca, melahirkan pesona. Satu tulisan mampu memberikan kepahaman kepada pembaca, tapi tulisan yang lain mampu menggerakkannya melakukan sesuatu atau menolak sesuatu.
Menurut Joe Vitale, penulis Hypnotic Writing, pernah diadakan penelitian terhadap novel-novel karya Agatha Cristie. Novel-novel itu begitu memukau, selalu dicari pembacanya. Pembaca seperti ketagihan. Dari penelitian itu ditemukan bahwa di dalam novelnya, Agatha telah menggunakan kata-kata terpilih dengan susunan yang juga terpilih. Kata-katanya pilihannya memiliki energi penggerak yang besar, bagaikan bom. Ide-idenya meledak dahsyat di dada pembacanya. Kata-katanya memicu imajinasi.
Untuk melahirkan tulisan sekelas karya Agatha Cristie, kita tentu harus melakukan pentahapan. Pada awal penulisan, kita mungkin lebih terfokus kepada penuangan ide-ide dari gudang memori kita. Saat ini kita harus menulis cepat sebelum ide-ide itu berhenti mengucur. Jadi merugilah kita kalau terlalu bermain dengan kata-kata, ejaan, struktur dan lain-lain. Saat ini hasil tangkapan berupa ide jauh lebih berharga.
Tapi, setelah itu akan ada saat kita menyunting semuanya. Pada tahapan ini kita akan memperbaiki ejaan, memvariasikan susunan, dan yang tak kalah penting adalah mengganti-ganti kata dan ungkapan. Pada saat inilah kita akan membuka perbendaharaan kata sehingga kita dapat memungut satu yang paling tepat. Ketika menulis tahap awal, kita mungkin melihat suatu kata paling tepat. Tapi setelah kita bolak-balik menggantinya, kita akan melihat kata-kata lain yang lebih mengena bermunculan dari pikiran kita.
Kita tidak hanya menemukan kata-kata baru pada saat penyuntingan itu. Kita bisa membumbui tulisan dengan cerita-cerita yang menghidupkan. Kita dapat tambahkan pula dengan pernyataan-pernyataan yang membuat pembaca penasaran dan ingin tahu lebih banyak. Kalimat berita diubah menjadi kalimat tanya. Kalimat pasif diubah menjadi kalimat aktif. Pada akhirnya lahirlah tulisan yang tidak sekedar memberi kepahaman, tapi tulisan yang mampu menghipnosis pembaca.
Saya ingat apa yang ditulis Pak Jalal dalam Retorika Modernnya. Kata yang retoris adalah kata yang jelas, tepat dan menarik. Kata menjadi jelas jika kata itu spesifik sesuai dengan maksud yang sebenarnya dan tidak menimbulkan arti ganda. Pilihan kata harus tepat sesuai dengan tujuan tulisan, situasi, jenis pembaca dll. Terakhir, kata-kata mesti menarik, menimbulkan kesan yang kuat, hidup dan merebut perhatian.
Semua penulis profesional, termasuk Agatha Cristie, memanfaatkan tesaurus untuk urusan pemilihan kata. Otak kita memerlukan pemicu agar ia mengeluarkan kosa kata dari celah sel-sel penyimpanannya. Sebelum kita buka tesaurus ini, kita mengira satu kata tertentu adalah kata satu-satunya yang paling tepat. Tapi setelah tesaurus dibuka pada lema kata yang ada itu, luar biasa, puluhan kata-kata lain akan bermunculan sehingga kita tidak melihat lagi bahwa kata yang ada tadi sebagai yang terbaik. Kalau Agatha Cristie saja menggunakan tesaurus, mengapa kita tidak?

No comments:

Post a Comment