Breaking

Friday, November 20, 2009

Ai, ternyata menulis itu memang sangat mudah. He he he.


Tulislah dulu satu kalimat, satu saja. Kalimat pendek boleh. Anda akan tahu bahwa menulis itu ternyata memang mudah . Tulislah lagi satu kalimat kedua sebagai pengiringnya. Anda akan rasakan bagaimana pikiran Anda mulai bangun dan menuntun Anda menulis kalimat yang ketiganya. Ikutilah tuntutan itu. Dengarkan suara hati. Ubahlah suara itu menjadi kalimat-kalimat berikutnya, sampai ia beriring-iringan seperti gerbong kereta api.
Setelah itu, Anda akan mulai merasakan aliran pikiran yang berbaris seperti serdadu Nazi, melompat keluar satu persatu karena takut dibunuh, berubah bentuk menjadi kalimat demi kalimat. Kini alirannya hampir tak bisa dibendung lagi. Otak menggelinjang. Botol pikiran itu kini telah seperti kehilangan sumbatnya. Mengalir dan mengalir.
Ai, ternyata, saya baru tahu menulis itu memang mudah, bahkan sangat mudah. Lihat, saya sudah selesaikan dua paragraf. Ajaib, bukan?
Saya ada cerita lama yang sedikit memalukan. Geli rasanya kalau diingat-ingat kembali. Suatu ketika dulu, tahun 80-an, saya bertemu satu buku yang ditulis oleh seorang penulis novel sohor Arswendo Atmowiloto yang berjudul, "Mengarang itu Gampang." Anda pernah baca buku itu? Terus terang, saya marah dan tersinggung.
Saya jawab, "Ah, siapa bilang mengarang itu gampang?" Kalaulah mengarang atau menulis itu gampang, tidaklah saya harus bersusah payah mencari tempat fotokopi yang murah sepanjang Gang Pelesiran di Bandung untuk mengopi "text book" asing, berbahasa asing, ditulis oleh orang asing, yang dipakai dalam kuliah, yang harga buku aslinya membuat kepala pening. Kalau menulis itu mudah, dosen-dosen itu pasti telah menuliskan kuliahnya dalam diktat-diktat yang pasti harganya terjangkau. Mengapa pula harus pakai buku tulisan orang lain? Bukankah di kampus sehebat ini, banyak pakar, bertaraf internasional, jebolan sekolah-sekolah antar bangsa? Tapi, buktinya tidak. Buku-buku agamapun pada waktu itu hampir seluruhnya karya terjemahan. Waktu itu kami banyak membaca buku2 tulisan ulama Mesir, Pakistan, dan Iran.
Saya punya bukti lain bahwa mengarang atau menulis tidak gampang. Tahukah Anda bahwa pernah juga dulu saya paksakan menulis dan mengirimkannya ke salah satu bulletin di kampus. Bulletin yang sama sekali tidak terkenal. Eh, tulisan itu ditolak mentah-mentah. Sang redaktur mengirimkan naskahnya kembali ke alamat saya, penuh dengan coretan dengan menyelipkan sebuah note, "Tulisan ini bagus, tapi maaf tidak bisa kami muat."
Apa salahnya, coba. Topiknya seingat saya tentang jin. Menarik bukan? Membicarakan jin waktu itu lebih menarik daripada membicarakan manusia. Tapi, mengapa tidak bisa dimuat?
Saya menuduh Arswendo Atmowiloto telah membuat lelucon besar. Dia meremehkan pekerjaan menulis seolah-olah setiap orang bisa melakukannya. "Gampang, gampang, tulislah!" Buktinya? Bukan saya saja, saya melihat ribuan intelektual, sarjana, dosen, mahasiswa, insinyur, dokter, ustaz, kiyai, manajer, bergelimpangan tidak bisa menulis. Inikah yang disebut "gampang" itu?
"Oh, mereka mungkin tidak punya bahan." Tak punya bahankah seorang professor?
"Oh, mungkin tak punya waktu." Selama 40, 50, bahkan 60 tahun? Tak bisa kah menyisihkan waktu untuk beberapa hari untuk sebuah buku atau beberapa jam untuk sebuah artikel?
Waktu itu, saya yakin hanya orang-orang tertentu saja yang mampu menulis. Yang lain hanya berhak untuk membaca. Logikanya nampak seperti itu, harus lebih banyak pembaca dari penulis. Lha, kalau semua orang menulis, siapa lagi yang membacanya?. Orang yang sudah biasa menulis, kebetulan diberi rezki kemampuan menulis, seperti Arswendo tentu akan mengatakan menulis itu gampang. Pak Habibi juga akan mengatakan bahwa membuat pesawat terbang itu gampang. Kalau begitu apakah semua orang bisa membuat pesawat terbang seperti Pak Habibi?
Begitu sulitnya menuangkan pikiran ke dalam tulisan itu, sampai-sampai saya pikir saya ditakdirkan hanya untuk membaca bukan untuk menulis. Menulis saya anggap keterampilan luar biasa yang hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu yang IQ nya jauh di atas saya. Orang yang IQ nya sekelas saya, terimalah nasib untuk menjadi pembaca saja seumur hidup, jangan bermimpi jadi penulis. "Menulis tak kalah sulitnya dari merancang pesawat ruang angkasa, biar pakarnya saja" pikir saya.
Akhirnya untunglah saya bertemu juga dengan orang-orang pilihan, penulis-penulis yang senang berbagi ilmu. Mereka menempeleng "mental block" yang sangat memalukan itu. Mereka membantu mencabik-cabik "frame" berpikir saya, dan membantu melepaskan kaca mata kuda yang saya pasang sendiri untuk mengekang potensi yang sudah Tuhan anugerahkan pada saya. Saya anggap mereka orang-orang yang baik hati. Tuhanlah yang mengirim mereka pada saya. Alhamdulillah.
Menulis itu ternyata mudah. Bahkan sangat mudah. Sekarang saya ingin minta maaf kepada Arswendo karena sudah berprasangka buruk. "Mas, mengarang itu ternyata memang gampang, bahkan sangat gampang" Hua ha ha ha. Begitu gampangnya, sehingga tidak diperlukan kursus mengarang. Hua ha ha ha.
Kalaupun masih terasa sulit dalam menulis, itu hanya akibat kegamangan seperti gamangnya penganten baru menaiki ranjang pengaten di minggu-minggu pertama. Para penulis senior mengatakan bahwa sulitnya menulis seperti sulitnya belajar menyetir mobil pertama kali, tubruk sana tubruk sini. Keringat bercucuran, tapi menyenangkan. Kalau sudah sehati, menyetir mobil itu bisa sambil ngobrol, makan kacang atau chatting di HP.
Aduh maaf, jadi terlalu panjang nnarasinya.
Bagaimanapun juga, kursus atau workshop untuk membangkitkan motivasi dan memantapkan teknik-teknik khusus dalam kepenulisan, seperti teknik narasi, argumentasi, eksposisi, sastrawi, dll, sah-sah saja diikuti. Biayanya toh tidak seberapa dibanding dengan manfaatnya.
Anda berani menerima tantangan? Let's go...
Wallahu a'lam.

No comments:

Post a Comment