Breaking

Thursday, November 26, 2009

Dari catatan ke tulisan


     Beberapa tahun yang lalu, saya berkesempatan mengikuti satu workshop hebat yang diadakan di sebuah hotel mewah di Bali, tentang lingkungan hidup. Acara yang sangat menarik: topiknya, pembicaranya, dan sudah barang tentu tempatnya. Di dalam workshop mahal itu dihadirkan dua keynote speaker petinggi pemerintahan di bidang lingkungan hidup. Dalam tiga hari berturut-turut ditampilkan pembicara yang bukan sembarang orang yang terdiri dari pakar-pakar lingkungan hidup, industri, perguruan tinggi dan LSM. Peserta yang hadirpun adalah professional dari berbagai bidang (termasuk saya kali ya? He he he). Saya, sebagai peserta biasa, duduk tertib di bangku empuk di ruang megah berhawa dingin mendengarkan pemakalah yang silih berganti.
     Sebagai peserta, selama workshop berlangsung, saya memanfaatkan dengan baik notepad, stabilo, dan pulpen mahal yang disediakan panitia untuk mencatat. Kami memang dibekali satu tas elegant lengkap dengan alat-alat tulis di dalamnya. Satu demi satu ide yang dilontarkan para pembicara sepanjang siangnya terliput di dalam catatan saya dalam bentuk poin-poin ringkas. Saya buat juga sedikit coretan dan sketsa di sana sini. Saya beri warna beberapa kata. Saya tidak mungkin mencatat kalimat demi kalimat setiap pembicaraan seperti layaknya wartawan bertulisan steno.
     Di malam harinya, dalam kesendirian saya di kamar hotel, selepas makan dan shalat, saya isi waktu dengan membuka-buka kembali catatan itu, sambil menonton acara TV yang tidak menarik, menunggu mata mengantuk. Betapa menariknya workshop itu. Dari catatan yang hanya berisi poin-poin itu saja, pikiran saya bisa mereview ulang seluruh pembicaran para pakar dengan rinci. Bukan itu saja, ide-ide cemerlang yang dilontarkan peserta lain di saat tanya-jawab di kelas atau diskusi lepas sambil berdiri di saat coffee-break, memperkaya khasanah saya mengenai lingkungan hidup.
     Ide-ide sayapun tanpa saya duga bermunculan deras, membersit-bersit, mengait-kait dengan ide para pembicara dan ide-ide peserta. Semua menyatu padu. Saya tidak bisa menahan diri untuk tidak membuat berbagai catatan tambahan dari ide-ide yang bermunculan itu. Demikianlah sepanjang empat malam, selama workshop, saya menemukan pencerahan intelektual, penyegaran pengetahuan, dan penemuan berbagai gagasan baru berkaitan dengan penyelesaian masalah lingkungan hidup yang waktu itu menjadi isu besar di mana-mana.
     Waktupun berlalu.
     Dua tahun kemudian, tanpa sengaja saya menemukan catatan workshop itu kembali di lemari file ketika saya mencari satu file yang lain. Catatan itu masih utuh dan rapi, tersimpan dalam sebuah map yang juga masih rapi. Saya ambil sedikit waktu untuk duduk membaca ulang seluruh lembaran catatan-catatan itu. Apa yang saya dapat?
     Saya sungguh terkejut. Saya tidak bisa menggambarkan kembali kaitan-kaitan ide yang tertulis dalam catatan itu secara utuh. Jangankan muncul ide baru, sebagian besar ide yang tertangkap selama workshop itu telah hilang dari memori saya. Catatan yang sekarang ada di tangan saya terlihat hanya seperti sobekan kertas yang tidak berharga, penuh coretan-coretan yang tidak berarti. Poin-poin yang tertulis tidak lagi terasa saling kait-mengait. Kata-kata yang saya selipkan, ada yang miring, tegak, dsb tidak nampak relevansi satu sama lain. Bahkan saya tidak bisa mengerti apa yang saya maksud dengan beberapa garis atau diagram yang banyak saya tambahkan dalam catatan itu. Hanya satu ide yang muncul pada waktu itu, "kertas-kertas ini layaknya dibuang saja daripada jadi sampah dalam lemari"
     Sekarang, setelah saya membiasakan menulis, terbayanglah oleh saya seandainya di malam-malam workshop di hotel mewah itu saya membuka laptop dan menulis. Saya tuliskan semua catatan itu dalam kalimat-kalimat yang lengkap, paragraf yang tersusun. Saya tuliskan seluruh ide yang dilontarkan kawan-kawan. Saya tambahkan lagi kalimat yang merupakan ekspresi dari ide-ide saya yang bermunculan yang tidak kalah briliannya dengan ide orang lain. Maka, setiap malam saya akan menghasilkan setidak-tidaknya tiga artikel yang komprehensif. Selama empat malam, berarti saya akan menulis 12 artikel. Sesampainya di rumah saya tulis lagi dua artikel lagi, satu pembukaan dan satu lagi penutup, sehingga total 14 artikel. Esoknya, saya kirimkan ke sebuah penerbit, maka lahirlah satu buku spektakuler, karya saya yang terdiri dari 14 bab yang masing-masingnya satu artikel, yang siap di baca oleh ribuan mungkin jutaan orang.
Dasar bodoh.
     Itu tidak saya lakukan. Saya pulang dari workshop dengan melenggang-lenggang kangkung bagaikan seorang turis selepas beristirahat di sebuah resort wisata yang terkenal ke seluruh dunia. Saya pulang hanya menenteng souvenir yang sekarangpun sudah tidak tahu dimana berada. Saya pulang bukan sebagai seorang professional yang baru saja mencerahkan pemikirannya di sebuah ajang pertemuan ilmiah yang begengsi. Kini, apalah nilai seluruh catatan yang saya buat dengan antusias pada waktu itu, dengan pulpen mahal lengkap dengan tas elegantnya? Catatan itu kini tinggal coretan-coretan di atas kertas buram yang layak dibuang ke tong sampah. Jangankan bisa dipahami orang lain, saya saja tidak paham lagi isinya.
     Apakah Anda ingin workshop, seminar, kursus, penataran yang Anda ikuti, bernilai tinggi? Buatlah catatan-catatan ketika acara itu berlangsung. Setelah itu, tuliskanlah seluruh catatan itu dalam format tulisan yang lengkap di malam harinya, di saat ide-ide itu masih segar dalam ingatan. Tulisan itu tidak hanya akan bermanfaat untuk proses pembiasaan menulis, tetapi juga akan bermanfaat untuk referensi Anda sendiri di suatu saat nanti. Kalau dipublikasikan dalam blog atau buku, wah, jutaan manusia akan menarik manfaat pula. Tidak terbayangkah oleh Anda betapa besarnya manfaat menulis?
     Bagaimana dengan pengalaman Anda?
 
 

Wallahu a'lam.

No comments:

Post a Comment