Breaking

Friday, December 18, 2009

Giat membaca dan lebih giat lagi menulis.


Membaca tanpa mengaitkannya dengan menulis akan sangat menjenuhkan. Bacaan yang terlalu banyak menyebabkan otak menjadi stagnasi dan malas berpikir. Menulis membuat semangat membaca tetap dipertahankan. Bahkan dengan menulis, gairah membaca menjadi bertambah-tambah. Itu disebabkan terjadinya regerasi ide yang dahsyat selama menulis sehingga otak memerlukan nput yang lebih banyak.
 Membaca membuat jumlah ide di dalam otak bertambah. Menulis membuat ide lebih banyak lagi pertambahannya. Kalau mau dibanding-bandingkan secara matematis, bisa jadi menulis menghasilkan re generasi ide dua tau tiga kali lebih banyak daripada membaca. Mengapa demikian?
 Ide yang sudah tersimpan di dalam sel otak itu bisa berkembang biak, beranak pinak, melalui stimulus berpikir. Kalau awalnya ada satu ide, kemudian Anda berpikir, ide itu berpotensi menghasilkan ide lain yang sama sekali baru. Bahkan kita sering terkejut dengan kemunculan ide-ide baru ini. Jumlahnya kadang-kadang di luar dugaan, berlimpah. Hal yang tidak terpikirkan sebelumnya, muncul di benak. "Ah ini dia", kata kita sambil tersenyum heran.
 Itulah hebatnya ciptaan Tuhan berupa otak dengan jumlah sel bertriliun-triliun. Kita sendiri heran dengan otak yang sepertinya kecil tapi seolah-olah tidak ada batas daya tampungnya."Nggak penuh-penuhnya."
 Ide akan bertambah dengan berpikir. Ide bisa beranak pinak dalam otak tanpa batas, bahkan dalam waktu yang sangat singkat, sesingkat kerdipan mata. Kelihatannya ide ini tidak perlu kawin dulu sebelum beranak, dan bahkkan tidak ikut KB. Menulis membuat proses berpikir ini lebih dinamis. Ketika kita menulis, otak akan terstimulus, sehingga ide-ide-ide baru akan bermunculan bertubi-tubi."Sampai pegal tuh tangan menulisnya."
 Membaca juga akan menambah ide di dalam otak. Apalagi dalam proses membaca kita memikirkan apa yang sedang dibaca. Hanya saja dari pengalaman, berpikir ketika membaca tidak seaktif berpikir ketika sedang menulis. Karena itu jumlah ide yang dihasilkan dalam membaca tidak sebanyak waktu menulis. Ini menjawab pertanyaan mengapa para jenius dunia menulis. Albert Einstein, Leonardo De Vinci, Isac Newton menulis. Ulama-ulama besar Islam seperti Al-Ghazali, Ibnu Sina, Ibnu Rusd meninggalkan karya tulis berjilid-jilid tebalnya. Bahkan mereka bukan saja meninggalkan buku-buku resmi yang dijadikan referensi di mana-mana, bahkan mereka meninggalkan catatan harian yang menjadi fenomena sampai ke hari ini.
 Membaca hukumnya wajib. Kita memerlukan tambahan ide dari luar. Tidak seluruh ide dapat dihasilkan oleh otak sendiri. Namun, kalau membaca terlalu banyak juga tidak bagus. Bukan tambah cerdas, tapi dapat membuat otak menjadi tumpul. Otak bisa menjadi stress. Hati menjadi terbebani, apalagi membaca tulisan atau buku yang hanya berisi ide, konsep, atau teori, bukan data-data atau fakta. Lebih-lebih lagi setelah membaca buku atau tulisan yang bertentangan dengan hati nurani.
 Bayangkan orang yang kebanyakan makan. Linglung. Begitulah gambaran orang yang terlalu banyak membaca. Lebih-lebih lagi, orang yang banyak membaca, tapi tidak pernah menulis. Persislah perumpamaanya dengan orang yang terus makan, tapi tidak pernah buang air besar. Mampat.
 Nampaknya perlu perimbangan yang memadai antara membaca dan menulis, agar proses berpikir menjadi optimum. Walaupun Anda selalu berpikir ketika sedang membaca, perlu juga Anda pertimbangkan untuk berpikir ketika menulis.Buktikan!
 Anda punya pendapat yang lin?
 Wallahu a'lam.

 

No comments:

Post a Comment