Breaking

Friday, January 8, 2010

Entrepreneurship, antara praktek dan teori

Saya sudah sebutkan sebelum ini bahwa kemahiran yang dimiliki seorang entrepreneur disebut entrepreneurship. Selanjutnya, tidaklah seseorang itu disebut sebagai entrepreneur kecuali bila ia memang sedang atau telah membidani lahirnya usaha baru. Jadi, sesungguhnya entrepreneurship itu, tidak lain dan tidak bukan, adalah nama sebuah kemahiran dalam mewujudkan usaha baru.

 Tingkat kemahiran seorang entrepreneur hanya dapat diketahui atau diukur orang lain melalui hasil nyata usaha yang sedang atau telah didirikannya. Gelar akademis, jumlah buku yang dibaca, ataupun buku yang ditulis seseorang, sama sekali tidak bisa diajadikan ukuran entrepreneurshipnya.

 Kalau Anda ingin mengatahui apakah seseorang itu seorang entrepreneur atau bukan, coba Anda cari tahu berapa banyak usaha yang sudah coba dibidaninya, usaha apa dan dalam bidang apa saja. Usaha yang dimaksud tentulah usaha ekonomi. Cari tahu di mana lokasinya dan ukurannya. Cari tahu siapa partnernya dan siapa insvestornya. Di antara yang pernah dibidani itu, berapa usaha yang gagal dan berapa yang masih bisa bertahan. Itu satu-satunya cara menentukannya.

 Kalau Anda kebetulan membaca riwayat hidup seseorang yang berhasil mengelola satu usaha, menjadikannya besar, menghasilkan laba setiap tahun, memperkerjakan ratusan karyawan dan semuanya sejahtera, jangan-jangan Anda telah membaca riwayat hidup seorang manager yang sukses. Yang merintis usaha itu mungkin bukan dia, tetapi ayah atau ibunya. Yang memiliki enterepreneurship justru adalah ayah atau ibunya itu, bukan dia.

 Kalau Anda bertemu seseorang dan Anda tertarik mendengarkan ocehannya tentang dunia usaha dan entrepreneurship, jangan-jangan Anda sedang menemui seorang wartawan yang menjadi karyawan dari sebuah majalah kewirausahaan, atau seorang dosen di fakultas ekonomi, atau seorang penulis buku-buku entrepreneurship. Sering-sering, seorang wartawan, dosen, atau penulis yang notabene berprofesi sebagai buruh lebih fasih berbicara tentang entrepreneurship dibanding entrepreneur itu sendiri. Bukan berarti bicara dengan mereka tak perlu. Saya hanya ingin mengatakan agar Anda jangan keliru melihat mana yang entrepreneur dan mana yang bukan.

 Seseorang tidak bisa mengakui dirinya sebagai entrepreneur begitu saja tanpa dia bisa antarkan atau tunjukkan kepada kita, "Ini nih usaha yang saya bangun. Ini yang gagal dan ini yang masih bertahan." Dari sini baru kita bisa mengukur atau setidak-tidaknya mengamati kemahiran dan kreatifitasnya mendirikan usaha-usaha baru.

 Sebagai sebuah kemahiran, entrepreneurship tidak berbeda dengan kemahiran yang lain, seperti kemahiran menulis, melukis, mematung, bersepeda, dan menyetir mobil. Entrepreneurship bukan pengetahuan yang harus dihafalkan. Ia bukan rumus-rumus akuntansi atau ekonomi mikro. Entrepreneurship bukan kumpulan peraturan perpajakan atau peraturan pemerintah lainnya tentang perusahaan. Entrepreneurship adalah sebuah keterampilan.

 Kalau kita lihat lebih jauh, entrepreneurship adalah sebuah keterampilan dalam permainan berpikir dan merasa. Ia adalah sebuah kreatifitas, kearifan, yang beranjak dari sebuah cara pandang. Karena itu, entrepreneurship akan berbeda-beda dari orang ke orang dan dari satu situasi ke situasi yang lain. Kalau Anda berharap adanya sebuah entrepreneurship yang baku, yang berlaku pada semua orang, Anda keliru.

 Entrpreneurship hanya berisi latar belakang, motivasi, cara pandang, strategi, taktik, dan trik seorang entrepreneur melahirkan usaha baru. Itu saja. Satu-satunya jalan untuk mengetahui itu adalah mendatangi seorang yang benar-benar entrepreneur dan mewawancarainya sendiri. Anda bisa juga membaca hasil wawancara seseorang dengan entrepreneur yang ditulis di majalah atau buku. Tapi cara ini kurang direkomendasi karena jalan berpikir yang tertuang di dalam hasil wawancara itu dipengaruhi juga oleh jalan berpikir si pewawancara. Untung kalau si pewawancara itu juga seorang entrepreneur. Kalau hanya wartawan, Anda mungkin akan terjebak menjadi wartawan daripada menjadi entrepreneur.

 Cara lain yang juga bagus untuk mengetahui tentang entrepreneurship adalah dengan membaca buku yang ditulis sendiri oleh seorang entrepreneur yang kebetulan pandai menulis, yang berisi entrepreneurshipnya. Tulisan itu kira-kira akan berisi latar belakang, cara pandang, strategi, taktik dan triknya mendirikan usaha baru atau memperbarui usaha yang sudah ada.

 Yang perlu Anda catat baik-baik adalah bahwa entrepreneurship yang ditulis oleh seorang entrepreneur atau hasil wawancara dengannya hanya berlaku untuk dirinya sendiri. Anda tidak bisa mengeneralisasikan pengalaman itu sebagai entrepreneurship semua entrepreneur yang lain. Bahkan Anda keliru besar bila itu Anda anggap sebagai bagian dari entrepreneurship Anda sendiri.

 Entrepreneurship tumbuh dari waktu ke waktu dalam diri seseorang melalui pengalaman. Ia tumbuh melalui proses " try-error". Entrepreneurship adalah buah berbuat. Bila Anda ingin menjadi entrepreneur, Anda dituntut berbuat, yaitu melahirkan usaha baru. Dari perbuatan itu akan tumbuh entrepreneurship setahap demi setahap. Kecepatan tumbuhnya pun berbeda dari orang ke orang. Ada yang menyerap banyak pengalaman setelah membidani tiga usaha baru, namun ada pula yang baru melihat entrepreneurship di dalam dirinya setelah membidani lebih dari 10 usaha baru.

 Bila Anda hanya duduk membaca ratusan buku tentang entrepreneurship tanpa mencoba sendiri mendirikan usaha, Anda akan sama dengan orang yang hanya membaca buku tentang bagaimana menyetir mobil tanpa pernah memegang stir mobil, atau sama dengan seseorang yang membaca buku tentang teknik menulis tapi tidak pernah mengetikkan jarinya menghasilkan tulisan. Orang seperti ini tidak akan pernah menjadi entrepreneur. Paling-paling ia akan menjadi pengamat entrepreneurship. Kalau ia hanya sibuk mewawancarai entrepreneur dan berdiskusi dengan mereka, tapi tidak mencoba mendirikan satupun usaha, orang ini lebih berbakat menjadi wartawan tentang entrepreneurship. Entrepreneurship dibangun melalaui jam terbang berbuat, berbuat dan terus berbuat.

 Harus diakui pula bahwa memang ada sedikit teori dasar yang harus diketahui seorang calon entrepreneur. Tapi, teori itu sedikit sekali. Teori itu dapat dipelajari hanya dalam beberapa hari saja. Bahkan teori itu dapat Anda pelajari bersamaan dengan mendirikan usaha itu. Ini yang terbaik. Teori yang Anda perlukan, tinggal dikumpulkan dari berbagai diskusi atau konsultasi dengan orang-orang yang Anda temui selama proses mendirikan usaha. Karena selama proses mendirikan usaha, Anda pasti akan menjumpai banyak orang. Anda mungkin akan menemui calon investor, calon manager, calon karyawan, calon pemasok, calon pembeli, pejabat pemerintah, notaris, polisi, satpam, preman, pejabat bank, dll. Anda bisa kumpulkan teori-teori itu dari mereka. Teori-teori itu akan jauh lebih praktis dibanding teori yang Anda peroleh dari membaca buku atau mendengarkan kuliah sebelum memulai usaha.

 Artinya teori itu, walaupun diperlukan, tidak mesti Anda pelajari terlebih dulu. Sambil jalan saja. Bahkan, mungkin sebagian besar teori, malah sudah Anda ketahui sewaktu Anda mempelajari ilmu-ilmu yang lain. Anda tidak sadar saja.

 Saya tidak berani menakar berapa persen teori dalam enterpreneurship. Tak seorangpun yang telah menghitung secara pasti berapa persen pengetahuan teori dan berapa persen hasil pengalaman praktis yang membangun entrepreneurship seseorang. Ada yang mencoba membuat perkiran-perkiraan saja, namun akurasinya tidak bisa dijamin. Tapi bolehlah dipakai sekedar perhitungan kasar. Menurut perkiraan saya, teori itu hanya 10% saja. Sisanya 90% adalah hasil dari pengalaman berbuat.

 Bagaimana pendapat Anda?

 Wallahu a'lam

2 comments:

  1. Terima kasih atas pelajaran entrepreneurnya pak..akan lebih hangat dan bersahabat bila bapak tidak menyebut profesi karyawan semisal dosen atau wartawan itu dengan sebutan "BURUH"

    ReplyDelete
  2. Terimakasih atas komentarnya. Secara makna, "buruh" sama saja dengan "karyawan". Yang, yang satu terasa lebih bergengsi. Itulah rasa bahasa.

    ReplyDelete