Breaking

Friday, February 10, 2012

CEO Notes Versi Dahlan Iskan


Akhirnya, Dua Tangis dan Ribuan Tawa karya Dahlan Iskan terpaksa saya beli juga, terpaksa saya baca, dan terpaksa saya acungkan jempol: dua jempol sekaligus. Mengapa?

Sebenarnya, ketika pertama kali melihat buku itu di meja pajang New Arrival, meja pajang yang tak pernah saya lewatkan kalau saya berkunjung ke Gramedia Matraman, saya cuek. Testimoni tiga tokoh besar di sampul belakang tidak mampu membuat air liur kehobibacaan saya menetes. Alias saya tak minat. Buktinya, tanpa perlu harus membaca ke dalam-dalam, saya langsung menebak isinya, "Ah, ini tentang PLN."

 Otak saya langsung mendamprat, "Apa menariknya sih PLN?" Saya bukan karyawan PLN. Keluarga saya: kakak, adik, ipar, besan, kemenakan, tidak ada seorang pun di PLN. So what? Bahkan, saya tidak tersangkut dengan tagihan PLN; setiap bulan saya membayarnya tepat waktu; hanya sekali-sekali saja kena denda. Rumah saya, yang sekarang, jarang mati lampu. Kalau dulu, ya. Ketika saya masih tinggal di Prabumulih, tiada hari tanpa mati lampu, sampai-sampai saya gelari PLN di sana dengan PLTA, yang TA nya bukan tenaga air, tapi takut angin. Soalnya, kalau ada angin, lampu mati. Apalagi kalau ada hujan dan petir. Waktu itu, wajar kalau saya pernah ingin tahu isinya PLN. Wajar kalau saya ingin tahu apa sih maunya orang-orang PLN. Tapi kini, kok rasanya tak perlu lagi: tak pernah mati lampu lagi, he he he. Kalau begitu, buat apa saya menghabiskan waktu untuk membaca tentang PLN? Logis, bukan?

 Mungkin akibat bawaan sejak kuliah dulu juga, tentang listrik ya tentang travo, generator, transmisi, dan motor. Tentang PLN artinya tentang itulah: tentang travo, generator, transmisi, dan motor. Intinya: PLN is about nothing: setidak-tidaknya untuk saat ini.

 Pada beberapa kesempatan berikutnya, mungkin sampai empat kesempatan, saya tetap mampir di meja new arrival. Saya melihat kembali Dua Tangis dan Ribuan Tawa masih di sana. Kesan PLN is about nothing masih belum bergeser dari kepala. Saya lirik buku itu sebentar, saya lirik juga foto penulisnya sebentar, saya baca testimoninya sebentar. "Ah", bisik saya. Saya letakkan kembali buku itu ke tempat semula.

 Tiba-tiba....

 Pada suatu ketika. Saya sama sekali tidak ada niat membeli satupun buku bacaan. Saya datang ke toko buku hanya untuk membeli alat tulis dan alat olah raga. Ketika saya menunggu kasir meghitung total belanjaan, saya melihat buku itu di meja kasir: saya hanya melihat-lihat tanpa minat. Eh, si Kasir yang masih muda itu bertanya, "Mau beli sekalian buku ini, Pak? Best seller lho". Saya menggeleng. Istri , yang kebetulan menemani saya di sana, nyeletuk dari samping , "Boleh juga nih."

 Terus terang, lama juga saya menimbang: beli tak beli. Bukan karena harganya atau saya kekurangan minat baca, atau saya belum pernah baca tulisan Dahlan Iskan, tapi sejumlah buku dan artikel yang saya unduh dari internet sudah panjang antriannya untuk dibaca.

 Kata saya, "Ya sudah, sekalian. Tambahkan."

 Anehnya, sesampai di rumah, sayalah yang mengambil alih buku itu pertama kali, bukan istri saya. Istri saya, keduanya, memilih mendahulukan terkekeh bersama Sule dan Nunung dalam Opera Van Java. Saya memilih bersama Dahlan Iskan bertualang, mulai dari Pontianak menelusuri jalan darat sampai di Palangkaraya dan terus ke Singkawang. Dari situ saya dan Dahlan pindah rute lain menelusuri trans Sulawesi, dari Makasar terus ke utara sampai Gorontalo. Istri saya makin kuat kekehnya bersama Parto di Opera Van Java. Saya malah menelusuri jalan dengan 6432 kelokan di sebuah pegunungan di Flores memeriksa sebuah proyek geothermal. Tak lama kemudian saya terbang ke Sumatera merayapi punggung bukit barisan Sumatera, dari Lampung, Bengkulu, Palembang, Padang, Medan, sampai ke Aceh. Saya ikut Dahlan Iskan makan ubi rebus di Timika, makan durian di Ambon, dan tentunya ikut menikmati kue-kue renyah buatan ibu-ibu PLN di berbagai daerah ketika menyambut kedatangan kami.

 Dalam sekali duduk saja, tanpa terasa, saya sudah menyelesaikan 10 bab. Dalam beberapa kali duduk di hari yang lain ditambah beberapa kali berdiri --saya biasa membaca sambil berdiri, bahkan berlari--, buku itupun saya tamatkan.

 O, alangkah menyesalnya....

 "Mengapa baru sekarang saya membeli buku ini?" bisik saya: buku hebat yang sudah sejak lama dipajangkan. Kalau dipukul rata saya ke toko buku sekali sebulan, berarti saya sudah hampir empat bulan buku itu di sana. Dan, saya tidak menaruh minat.

 Ternyata lain. Buku Dua Tangis dan Ribuan Tawa, rupanya bukan buku tentang PLN. Saya keliru. Ini buku tentang semuanya: tentang manajemen, tentang pertarungan, tentang keuletan, tentang kerendahhatian, tentang kesombongan, tentang kreatifitas, tentang kesabaran, tentang keikhlasan, tentang petualangan, tentang ketegasan, tentang ketakutan, tentang kelemahan, tentang sistem, tentang keterbukaan. Komplit. Bahasanya gaul. Pilihan kalimatnya tepat dan menggigit-gigit.

 Tentang PLN-nya jelas ada. Tapi, hanya sekedar basic frame karena penulisnya kebetulan dirut PLN dan tulisan itu merupakan kumpulan tulisan rutin yang ditulisnya, sebagai dirut, bagi karyawannya. Dahlan Iskan yang mengaku berlatarbelakang tarekat shatariyah itu membawa orang-orang PLN melihat organisasi mereka secara utuh, iba, dan tanggung jawab. Mereka dibawanya melihat langsung ke lapangan, bertualang ke kota-kota kecil, atau pulau terpencil yang mungkin tak semua orang PLN mengetahui dimana tempat itu. Dahlan membawa tim kepememimpinan PLN menyelami perasaan anak buah, perasaan pelanggan, perasaan bangsa. Dan, memang itulah tugas seorang CEO yang sesungguhnya.

 Kalau awalnya saya membayangkan bahwa pembicaraan akan fokus pada persoalan listrik melulu, saya keliru besar. Isi tulisan di dalam buku itu adalah suara hati Dahlan Iskan, tentang kehidupan, tentang kreativitas, tentang ambisi, tentang kerjasama, tentang solidaritas, tentang kepemimpinan. Semuanya itu keluar dari hati sang CEO, yang sejak 4 tahun sebelumnya benar-benar "ganti hati". Dengan hati baru, nampaknya, ia menarik kereta besar yang berisi 50,000 penumpang: PLN, ke destinasi baru, ke PLN yang mendunia, yang mengalahkan Malaysia.

 Tiga kepiawaai Dahlan memang nampak jelas dari apa-apa yang dia tulis: mulai dari kepiawaian bisnis, kepiawaian manajerial, dan sampai kepiawaian komunikasi. Dalam bisnis, dia begitu jeli melihat hubungan siapa raja dan siapa hamba. Kalau pelanggan adalah raja, mengapa dibiarkan raja kecewa, berdendam. Bukankah kekecewaan pelanggan harus menjadi pertimbangan pertama dalam bisnis sebelum kepuasaanya. Ini logika Dahlan, yang mengaku hanya tamatan madrasah Aliyah itu.

 Dalam manajerial, Dahlan sangat piawai dalam pemberdayaan tim. Dia hargai orang-orang yang layak dihargai dengan cara-cara yang patut dihargai. "Saya tak perlu membawa orang luar ke dalam," katanya," karena di dalam banyak orang hebat-hebat." Dari 50,000 personil hebat-hebat itu, tidak kurang 400 orang yang bergelar master. Dahlan Iskan hadir di PLN sebagai bagian dari tim, bukan sebagai hakim dan karyawannya terdakwa. Ia memberi kesempatan agar orang-orang berprestasi tampil ke depan, dipuji, diberitakan. Pemberitaan itu menurut logika Dahlan merupakan cara paling ampuh dalam pemberdayaan tim.

 Yang paling saya sorot adalah: Dahlan menunjukkan kepiawaianya berkomunikasi dengan suara hati yang dikemas secara sastrawi. Ini penting.

 Tulisan-tulisan cantik yang lebih cerpen dari cerpen benaran itu jelas bukan wejangan, instruksi, dan lebih-lebih bukan khutbah. Tentang listriknya banyak: krisis daya, gangguan transmisi, pelayanan masyarakat, sistem keuangan, proyek yang terlantar, dll. Tapi lebih banyak lagi tentang gebrakan-gebrakan; bukan sembarang gebrakan, tapi gebrakan yang terukur dengan akal sehat, yang konon diperolehnya di madrasah aliyah dengan nama ilmu manthiq. Dahlan menyelipkan kritik-kritik halusnya dalam setiap note. Dengan humor dan anekdot dia menyindir. Dengan menyebut nama-nama tim yang berprestasi, dia memotivasi, membakar semangat yang lain.

 Apakah ini ciri khas Dahlan Iskan karena ia sesungguhnya seorang jurnalis? Apakah darah jurnalisme telah mengajarinya pandai menulis? Dan apakah nafas jurnalisme telah mengajarinya pandai mendengar? Tak tahulah. Yang saya tahu menulis dan mendengar adalah keterampilan asas yang dipelajari setiap orang sejak di SD.

 Yang jelas, seorang CEO yang bekerja keras untuk memecut laju organisasinya, tentunya, bukan Dahlan Iskan satu-satunya. Seorang CEO yang membuat terobosan-terobosan besar, juga terobosan gila, bukan Dahlan Iskan pelopornya. Seorang CEO yang sangat benci dengan rokok, benci dengan upacara bendera, benci dengan tabiat-tabiat feodalistis, benci dengan ketidakdisiplinan, benci dengan kelambatan-kelambatan, bukan monopoli Dahlan Iskan.

 Tapi, seorang CEO yang pandai bercerita melalui surat terbuka, melalui kisah, melalui deskripsi, dengan kemasan narasi satrawi yang mantap, saya pikir, Dahlan Iskanlah perintisnya. Tak terbayangkan oleh saya akan begini jadinya bila seorang CEO pandai menulis, pencerita yang terampil. Surat edaran direksi untuk karyawan yang biasanya berisi poin-poin yang harus dikerjakan, disulapnya menjadi cerpen. Sekali lagi saya katakan: CEO Notes untuk karyawan PLN ini lebih cerpen daripada cerpen benaran. Silakan Anda baca!

 Dalam kemasan yang seperti itu, saya melihat CEO Notes versi Dahlan Iskan ini merupakan sarana komunikasi antara manajemen dan karyawan yang sangat efektif . Keefektifan itu ternyata bukan isapan jempol pula, tapi dibuktikan secara nyata dari perubahan besar yang terjadi pada tubuh PLN yang diakui oleh banyak pihak. Masyarakat bisnis mengakui. DPR mengakui. Presiden SBY saja ikut mengakui. Buktinya, Dahlan dipercaya kini mengendalikan organisasi yang jauh lebih besar: Kementrian BUMN.

 Kinilah saatnya, kepiwaian Dahlan menulis dan mendengar diuji dalam level yang lebih tinggi. Kalau dulu kepiawaiannya baru diuji pada level syariat, level kedirekturan, kini diuji pada level yang lebih tinggi, level tarekat, level kementrian. Untuk seterusnya, siapa tahu, akan diuji di level yang lebih tinggi lagi, level hakikat, level di presidenan, he he he. Istilah syariat, tarekat, dan hakikat itu saya pinjam dari istilah Dahlan sendiri.

 Kalaulah CEO Notes ini tidak diterbitkan untuk publik, saya benar-benar akan iri dengan kawan-kawan saya di PLN. Mentang-mentang mereka punya CEO yang pandai bercerita, saya kok tidak diajak-ajak.
Untunglah CEO Note itu kini ada di tangan saya.

 Bagaimana dengan Anda?

No comments:

Post a Comment