Breaking

Sunday, September 20, 2015

Rahma Sari



Gadis yang berdiri di depan kampus Civil and Mechanical Engineering, University of Birmingham itu bernama Rahma Sari. Tidak terlalu tinggi juga tidak gemuk.

Saya sampai meneteskan air mata melihat wajahnya yang polos. Senyumnya mengingatkan saya pada ibunya yang sederhana, mudah senyum, dan ramah kepada siapa saja. Sinar matanya mengingatkan saya pada sosok sang ayah, sahabat sekaligus guru saya, Ismet Hasan.

Pak Ismet, demikian saya memanggil sang ayah, adalah seorang wiraswastawan, pedagang kain, seorang aktifis dakwah, aktifis berbagai organisasi sosial keagaman di kota Prabumulih, kota yang terletak 90 km dari Palembang. Kalau bukan ketua, beliau sering diangkat jadi bendahara di berbagai organisasi. Kegigihannya luar biasa memperjuangkan tegaknya syariah Islam, ceramah dan khutbahnya bernas. Lebih dari itu, ia bekerja membiayai sendiri dakwah-dakwahnya. Ia tidak bekerja sebagai pegawai kantoran yang bergantung dengan gaji, tetapi berbisnis. Brand bisnisnya di Prabumulih terkenal dengan nama Dusra.

Pak Ismet dididik dari kecil sebagai seorang pekerja keras, ulet, dan berpikiran mandiri, oleh keluarga besarnya yang hijrah dari Banuhampu, Bukittinggi, ke Prabumulih. Di kota nenas ini keluarga besar Haji Hasan, orang tuanPak Ismet, menetap dan berkiprah.

Beberapa hari lalu, ketika saya berkunjung ke Prabumulih, Pak Ismet tak sempat berbincang-bincang lama  dengan saya di salah satu toko kainnya. Tampaknya beliau sudah punya agenda lain hari itu. Padahal biasanya, kalau ngobrol dengan saya bisa semalam suntuk.

"Pak Jufran, saya besok pagi harus berangkat ke Eropa, " kata Pak Ismet seraya minta maaf, "tepatnya ke Brimingham, Inggris."

"Ada urusan apa?"

Saya mengira Pak Ismet ke sana mau merayakan Idul Adha karena kecewa dengan jadwal Idul Adha di Indonesia yang kembali berbeda antara NU dan Muhammadiyah.  Beliau termasuk yang tidak bahagia jika kita berhariraya tidak serentak.

Atau,  Pak Ismet sengaja ke Inggris agar bisa berkurban dengan sapi yang lebih besar tapi lebih murah dibanding harga di Prabumulih. Di sini harga daging sedang tinggi. Siapa tahu di Ingris lebih murah sedikit.

Banyak lagi dugaan-dugaan saya yang secara bercanda saya sampaikan kepada beliau. Semua itu dibantahnya sambil tertawa lebar.

Tenyata beliau ke Inggris urusan putri keduanya, Rahma Sari.  "Anak saya mau wisuda," katanya lirih dengan mata berkaca-kaca. Ekspresi wajahnya dengan rambut yang telah memutih menyembunyikan keharuan karena bahagia.

Hari ini, Rahma Sari, boleh senyum bahagia, Ayah kandung yang telah membesarkannya susah payah itu hadir langsung di Birmingham menghantarkannya diwisuda di sekolah bergengsi, di negeri yang melahirkan banyak ilmuwan dunia, di negeri yang dimimpikan oleh jutaan anak Indonesia bersekolah di sana.

Walaupun ayahnya hanya lulusan SMA, orang biasa, pedagang kain di pasar Prabumulih, Rahma Sari membuat keluarganya berbeda. Rahma Sari harus bersyukur. Lulusan SMA 1 Prabumulih, remaja putri berjilbab, yang menyelesaikan S1 di Teknik Sipil UNSRI itu, kini diwisuda di level S2, master, di University of Birmingham, dalam bidang Road Engineering and Management.

Saking bahagianya Pak Ismet, berpuluh-puluh foto tentang kota Birmingham dikirimnya melalui FB langsung dari kota di bawah kekuasaan Ratu Elizabeth itu. Saya heran, ia sampai nekat masuk ke dalam Cathedral dan mengirim foto ruang kosong gereja tua itu.

Tidak satupun sudut kota Birmingham yang tidak dilewati. Semua difotonya pula dan dikirimnya melaluimFB. Puluhan komentator menanggapinya. Ada tanggapan lucu, main-main ada tanggapan serius.

"Salam untuk nenek Ratu."
"Saya titip jaket."
Dan lain-lain komentar

Ketika Pak Ismet mengirim foto stadion bola milik Manchester United, saya sampaikan kepada Pak Ismet, sebaiknya orang Indonesia berhenti dulu main bola. Nanti, kalau masa krisis sudah berlalu, boleh main lagi. Sekarang, tenaga yang ada digunakan dulu untuk bertani, beternak, atau berniaga. PSSI biar saja beku dulu. Toh, kalaupun masih ngotot bertanding, PSII juga tidak akan menang melawan klub bola Inggris itu.

Saran saya ditanggapi dingin oleh ustaz penggemar berat bola kaki itu. Beliau risau dengan lapangan bola yang banyak di Indonesia.

Saya bilang, "Lapangan itu bisa kita gunakan untuk tempat pengembalaan kambing atau sapi."

Pak Ismet menulis, " Ha ha ha ha.." Kawan saya yang usianya sudah lebih 50 tahun itu ternyata bisa juga tertawa secara tertulis. He he he.

Bukannya memikirkan saran saya, malam ini, Pak Ismet malah siap-siap menonton pertandingan Chelsea dan Arsenal, di bangku deret ke-3, blok ke 5. Karcis seharga 56 Pound itu sudah di tangannya.  "Para penjudi disini meramalkan Chelsea bisa menghajar Arsenal 2-0," tulisnya. Beliau tidak akan ikut berjudi. Beliau hanya peminat sebakbola, apalagi sepakbola kelas dunia.

Saya hanya berharap, dengan kembalinya Rahma Sari --anak Pak Ismet yang cantik itu-- ke Palembang, ilmu geotechnical yang didalaminya di Inggris dapat segera diaplikasikannya pada pembuatan jalan antara Palembang dan Prabumulih yang banyak rawa-rawa. Ekonomi Sumsel akan maju bila semua jalannya lebar, minimum 30m, kuat, mulus, dua jalur, dan bebas hambatan. Semoga model jalan di Inggris bisa dicontek Rahma untuk Indonesia.

Rahma, tidak usah dipakai ilmunya membuat lapangan bola, ya.

No comments:

Post a Comment