Melihat kincir ini -- yang di sini hanya sebagai ornamen -- hati jadi sedih. Saya terkenang pada akhir 60-an di kampung saya, desa Koto Marapak. Kami sekampung mengalami musim kering. Sawah-sawah kami di Galanggang retak karena menunggu hujan yang tidak kunjung turun. Matahari terus menerus membakar setiap jengkal tanah tanpa ada pelindung. Sementara itu, persawahan tidak boleh dihentikan.
Di dekat sana ada kolam abadi yang airnya tidak kering walaupun musim panas. Tapi permukaan airnya terlalu rendah dibanding permukaan sawah. Kolam itu pun sedang berupaya bertahan dari sengatan matahari.
Kincir adalah satu-satunya teknologi tercanggih waktu itu untuk mengangkat air kolam ke permukaan kalau tidak mau repot menimba. Itulah salah salah satu hasil kreatifitas turun temurun nenek moyang kami.
Orang tua dan keluarga kami yang kuat-kuat bergantian dengan kaki memutar kincir yang dibuat dari bambu itu. Pagi siang, dan petang.
Di setiap putaran, tempayan-tempayan kecil yang dipasang di roda kincir bergantian menyauk air kolam -- yang tidak banyak itu -- lalu menumpahkannya ke saluran penampung yang terbuat dari bambu.
Energi dari kaki-kaki perkasa keluarga kami berubah menjadi putaran kincir dan akhirnya menjadi aliran air. Sedikit demi sedikit.
Usaha itu mampu juga mempertahankan kehidupan padi di sawah melawan teriknya matahari. Padi tak jadi kering hingga akhirnya dipanen.
Lelah, berkeringat, menyenangkan, sekaligus mengharukan.
Sunday, April 1, 2018
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment