"Pak Harto lengser dan pemerintah Orde Baru bubar disebabkan oleh demo besar-besaran yang terjadi menjelang bulan Mei 1998. Karena itu, demo yang serupa pasti akan mengakiri pula pemerintahan SBY."
Kalau ada yang bepikir seperti itu, orang itu telah melakukan setidak-tidaknya dua kekeliruan berpikir. Kekeliruan pertama disebut post hoc propter hoc. Yang kedua disebut false analogy.
Kekeliruan post hoc propter hoc adalah keliru dalam melihat rangkaian peristiwa. Beberapa peristiwa terjadi berangkai: yang satu mendahului yang lain. Peristiwa yang mendahului, dengan ringannya, dianggap sebagai penyebab peristiwa yang didahului. Kekeliruan falsa analogy adalah keliru karena terlalu berani menarik kesimpulan dengan menyerupakan satu peristiwa dengan peristiwa lain tanpa melihat seberapa sama variabel-variabelnya.
Bila ada seorang yang jatuh sakit dan disakiti sebelum terjadi tsunami, logiskah kalau dipandang ia sebagai penyebab terjadinya Tsunami? Kalau ada yang yang berbuat demikian, maka itulah contoh lain dari kekeliruan post hoc propter hoc itu. Kekeliruan itu tak berbeda dengan kelirunya seseorang yang mengira kokok ayam sebelum matahari terbit sebagai sebab terbitnya matahari.
Demo 1998, yang saya sebut di atas tadi, tentu akan berbeda dengan demo 2010, dan tak sama pula dengan demo 1966. Masalah di tahun 1998 tak sama dengan masalah di tahun 2010, dan lebih tak sama lagi dengan masalah di tahun 1966. Penganalogian demo dengan demo di masa yang berbeda atau tempat yang berbeda jelas suatu kekeliruan, bila semua variabelnya tidak dibandingkan dengan cermat. Itu namanya false analogy.
Bahkan, kalau diperiksa lebih lanjut, kekeliruan ketiga ,hasty generalization, sering pula menyertai false analogy membentuk kekeliruan yang lebih serius lagi. Saya menyebutnya keliru di atas kekeliruan. Fakta yang menunjukkan betapa banyaknya demo yang dibuat di berbagai tempat, namun tidak menggoyang sama sekali sebuah pemerintahan, sudah cukup sebagai pembukti kekeliruan berpikir yang membayangkan runtuhnya pemerintahan SBY melalui demo.
Saya tidak bermaksud membahas tentang demo, pemerintahan Orde Baru, dan apalagi pemerintahan SBY. Itu hanya contoh saja. Contoh di atas hanyalah sebagian dari apa, yang di dalam logika, dinamakan keliru pikir. Saya justru tertarik dengan berbagai kasus yang semakin hari semakin nampak, yang menunjukkan gejala keliru pikir yang semakin akut. Saya justru ingin mengajak semuanya, tanpa kecuali, untuk belajar kembali ke pangkal.
Dalam ilmu logika, semuanya ada 28 keliru pikir (istilah aslinya: the
fallacies) yang didaftarkan oleh Irving M. Copi, dalam Introduction to Logic, dan Monroe C. Beardsley, dalam Thinking Straight.
fallacies) yang didaftarkan oleh Irving M. Copi, dalam Introduction to Logic, dan Monroe C. Beardsley, dalam Thinking Straight.
Anda tak perlu membaca kedua buku itu lagi bila Anda kurang berminat. Semua bentuk dan bentuk kekeliruan itu telah diringkaskan dengan sangat bagus dalam sebuah buku yang berjudul Logika, terbitan RajaGrafindi, Jakarta, 2010, karya Mundiri. Buku ini terbit pertama kali tahun 1994. Kini, buku ini telah dicetak ulang untuk ke- 13 kalinya. Nah, saya ingin mengatakan bahwa buku ini, meminjam moto Tempo sejak tempo dulu, enak dibaca dan perlu. Tidak main-main kalau saya berani merekomendasikan buku ini agar dibaca oleh para aktifis perjuangan di berbagai medan dan lini, pejabat negara, anggota DPR, para penulis, dan bahkan para demonstran.
Sebagai seseorang yang nampaknya pakar logika, Mundiri (si penulis buku ini) cukup mahir meringkaskan daftar keliru pikir (the fallacies) itu dalam satu bab yang dijadikannya bab teraakhir bukunya yang terdiri dari 15 bab itu. Melalui 14 bab sebelumnya, kalimat-kalimat Mundiri mengalir lincah. Barangkali, sebuah kekeliruan kalau saya memandang karya Mundiri ini sebagai buku filsafat, karena buku itu terlalu enak dibaca, tak ubahnya seperti sebuah buku pop, dan jauh dari kesan berfilsafat. Tapi, kalau mau dipandang sebagai buku pop, mungkin saya keliru juga, karena semua materi yang dibahas adalah materi berat yang menjadi tulang punggung filsafat itu sendiri.
Dengan kalimat yang pendek-pendek yang berkoherensi tinggi, contoh yang apik, dan definisi yang menggigit, pikiran penulis mengalir dengan sangat lancar bab demi bab. Sekali-sekali pembaca akan dihentakkannya dengan berbagai perumpamaan yang sangat logis. Dari sana, baru kita tahu, bahwa yang selama ini dipandang logis, ternyata tidak logis. Tak heran kalau banyak ucapan para petinggi negara menjadi tertawaan orang ramai kalau salah nalar. Buku ini sangat sistematis, ringkas. Saya memandang buku ini sangat cocok dibaca oleh bangsa kita, yang semakin hari semakin kehilangan akal sehatnya.
Menurut Mundiri, yang diambilnya dari salah satu dari 25 referensi yang dicantumkannya di akhir buku, asal kata logika adalah logos, dari bahasa Latin, yang bermakna perkataan. Dalam bahasa Arab, logika dipadankan dengan kata mantiq, yang juga bermakna sama: perkataan. Mengapa perkataan? Bepikir itu, katanya, adalah berkata-kata, dan berkata-kata itu adalah berpikir. Sehingga, kata adalah pikiran.
Walaupun logika sebagai sebuah ilmu dinisbatkan kepada Aristoteles, namun kaum Sofis, Socrates, dan Plato tetap dianggap sebagai perintis awalnya. Bahkan, diyakini oleh banyak pakar, bahwa orang yang pertama kali menggunakan kata logos bukanlah Aristoteles, tetapi kaum Zeno dari Citium, yang hidup jauh sebelum Aristototeles berbicara panjang lebar tentang logika. Wallahu a'lam.
Walaupun demikian, keenam buku karya Aristoteles: De Interpretatiae, Anlitica Priora, Analitica Posteriora, Topika, dan De Sophistics, merupakan inti dari ilmu logika, yang disebut logika klasik. Sejak itu, ilmu logika menjadi bagian penting filsafat, bahkan boleh dikatakan sebagai rohnya. Tanpa logika, filsafat telah jadi bangkai. Ilmu logika berkembang dari satu stase ke stase lain sampai mencapai suatu bentuk yang disebut sebagai logika modern. Maka, pada giliran berikutnya, bersama-sama dengan matematika dan bahasa, logika menjadi tulang punggung pengembangan berbagai cabang ilmu sampai ke zaman ini.
Umat Islam pada abad ke-2 H (abad ke-8 M) ramai-ramai belajar ilmu logika yang mereka sebut sebagai ilmu mantiq. Mereka menterjemahkan karya Aristoteles ke dalam bahasa Arab. Al Farabi dan Al Kindi, disebutkan sebagai sebagian nama tokoh-tokohnya itu. Walaupun beberapa ulama, seperti Imam Nawawi memfatwakan ilmu logika haram, namun jumhur ulama memandang bahwa hukumnya boleh (mubah). Para ulama Islam telah meyakini bahwa Allah mewajibkan manusia berpikir secara logis, menggunakan akal sehat, dan mengumpulkan fakta-fakta melalui oberservasi empiris.
Fakta telah menunjukkan bahwa manfaat Imu Mantiq tak terelakkan lagi, bahkan dalam pengembangan ilmu-ilmu keislaman seperti ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu sejarah, ilmu fiqih, dll. Tak terbayangkan rasanya, kalau kaidah-kaidah logika atau yang dalam bahasa Arabnya disebut mantiq ini tidak dikusai oleh para ulama zaman sebelum kita, kita akan menemukan banyak sekali pertentangan logis dalam karya-karya mereka itu di zaman ini.
Logika adalah kaidah dalam menalar (reasoning), yang terdiri dari kaidah dalam memilih proposisi, fakta, argumen untuk suatu kesimpulan. Logika juga berisi kaidah menguji kebenaran tiap fakta atau proposisi, dan kaidah menautkan mereka satu sama lain. Bila proses itu berjalan dengan benar, maka akan dihasilkan proposisi baru yang sangat berguna bagi pengetahuan manusia. Logika mencakupi kedua metoda berpikir: deduksi dan induksi, lengkap dengan seluruh cabang-cabangnya: silogisme, generalisasi, analogi, hubungan kausalitas, dll.
Mundiri menjelaskan, dalam buku yang serba ringkasnya ini, bagaimana melahirkan sebuah definisi yang benar, eksplanasi yang logis, dan sampai kepada bagaimana melahirkan sebuah teori. Sebuah teori yang berasal dari proses induksi, yang digunakan pada sains modern, betapapun tidak pernah mencapai kebenaran 100%, sudah dapat dipandang sebagai sebuah kebenaran. Tentu saja, kebenaran ilmiah itu bukanlah kebenaran mutlak. Secermat-cermatnya proses induksi ilmiah dilakukan, manusia hanya dapat mencapai kebenaran relatif, sebagai sebuah probabilitas.
Buku ini memang ditujukan sebagai pendamping mata kuliah logika bagi mahasiswa S1. Namun, saya menilai tidak salah kalau buku ini dibaca dan dicermati oleh siapa saja yang ingin berpikir logis, termasuk siapa saja yang selama ini merasa sudah sangat logis karena sudah mengondol gelar S3, professor, ulama, cendikiawan, dll. Tak ada biografi penulis di halaman belakang buku ini. Saya kira ini bagus, supaya kita tak terjebak kepada keliru pikir fallacy of abusing (menyerang argumen dengan menyerang pribadi pencetusnya). Barangkali, dengan belajar kembali ilmu logika, mengenal kembali bagaimana menalar dengan baik dan mengenal kembali berbagai jebakan berpikir yang menghasilkan keliru pikir, bangsa ini akan menjadi lebih baik. Insyaallah.Wallau a'lam
Bagaimana pendapat Anda?
No comments:
Post a Comment