Saya menamai lorong itu lorong kematian. Ya, lorong kematian. Hanya itu nama yang pas rasanya. Anak, istri, serta orang terkasih lainnya hanya boleh mengantar saya sampai dipintu lorong. Di pintu itulah mereka terakhir boleh memeluk, mencium, melambaikan tangan, dan mengucapkan kata selamat jalan. Selebihnya yang tersisa pada mereka adalah derai air mata dan do'a.
Sementara saya, dalam telentang tak berdaya, di atas tandu beroda, dibawa setengah berlari memasuki lorong itu: panjang, gelap, jauh, dan sepi. Betapapun panjang lorong itu, cepat atau lambat, saya pasti akan sampai juga di ujungnya yang lain. Betapapun terang lampunya, berisik suara musiknya, saya mungkin hanya akan melihat kegelapan dan keheningan: keheningan menuju kematian.
Bagaimana tidak. Diujung lorong telah menunggu tim medis yang dengan sigap akan segera menusukkan pisau bedahnya yang runcing, pas di ulu hati. Tsukan itu di ujung jantung. Ujung pisau itu terus masuk ke dalam, makin dalam, kemudian sisi tajamnya mengarah ke bawah menyobek sampai ke pusar, kemudian berbelok ke kiri sampai ke pinggang. Oh, terburailah usus saya, tersembullah limpa, mengulurlah hati, dan …berhentilah jantung.
Ya, Allah, jika itu benar-benar terjadi pada saya, masih sanggupkah saya berkata di saat itu, di saat tak ada lagi daya yang bisa menolong, "Hanya engkau Tuhan ku"?
Itulah rasa hati saya ketika Dahlan Iskan menceritakan proses transplantasi hatinya kejadian demi kejadian. Proses transplantasi hati penulis yang kini jadi idola saya itu, ternyata bukan hanya proses yang bermula di ujung lorong yang satu dan berakhir di ujung yang lain.
Proses itu sangat panjang dan berliku. Proses melewati momen demi momen yang mencekam, penuh duka. Muntah darah, pemotongan limpa, penambalan usus ternyata hanya sebagian episode dari sekian banyak episode mencekam lainnya. Masa kecil yang miskin dan kumuh, rendahnya pendidikan, kepahaman agama yang dangkal, cara hidup yang cuai terhadap kebersihan dan kesehatan merupakan rangkaian yang tak terpisahkan dari semuanya itu. Kalaulah bukan karena kemahiran jurnalis Dahlan Iskan merangkainya, tak mungkinlah saya menangkap ketersambungannya.
Hampir-hampir terasa seperti orang gila, saya menikmati baca tuntas buku yang dijuduli sendiri oleh Pak Dahlan dengan Ganti Hati . Ini bukan ganti hati dalam makna metafora yang sering digunakan khatib ketika mau memasuki Ramadhan atau Muharam. Ini ganti hati benaran, ganti liver. Liver lama dibuang, liver baru dipasang. Bukan hanya cara penceritaannya saja yang hebat tapi juga keunikan isinya: keunikan anekdot-anekdotnya, keunikan sindiran-sindirannya, keunikan kritik-kritiknya.
Buku itu, menurut kabarnya, pernah diterbitkan beberapa tahun yang lalu, laku keras hingga saya tak kebagian. Pada edisi baru inilah, edisi 2012, saya berpeluang. Edisi yang sudah ditambahi sub judulTantangan Menjadi Menteri ini saya dapatkan tak lama setelah saya mendapatkan Dua Tawa dan Ribuan Tangis. Saya menyambarbuku itu secepat kilat sebelum tak kebagian lagi.
Entah mengapa, tangan saya harus selalu meraba ulu hati saya sendiri ketika menyimak kata-kata Dahlan, terutama ketika beliau medeskripsikan isi rongga dada beliau. Entah mengapa pula, setiap saya mendengar cerita yang menyentuh kalbu, menakutkan, menegangkan, saya merasa sesuatu terjadi di dada saya: di dalamnya. Sepertinya ada yang terbakar di sana; hangus. Kalau saya tidak urut-urut, saya khawatir akan terjadi sesuatu. Jantung seperti mau lepas. Sebelum benar-benar lepas, saya peganglah jantung saya itu. Bahkan dalam ekstrimnya, saya kadang-kadang memang tak kuasa untuk menahan air mata.
Demikianlah saya mengalami keganjilan menyimak kalimat demi kalimat tokoh jurnalistik, pengusaha, dan pernah mendapat amanah sebentar menakhodai PLN itu. Dengan kemampuan menulis dan berceritanya yang luar biasa, ia berhasil membawa saya memasuki rongga tubuhnya: menyaksikan sendiri betapa ganasnya sel kanker telah mengeraskan livernya. Akibat pengerasan itu limpanya membesar sampai tiga kali lipat sehingga harus dipotong sepertiga.
Bukan itu saja, pembuluh-pembuluh darah yang berada sepanjang ususnya nampak jelas membentuk balon-balon kecil yang siap meletus mengeluarkan gumpalan darah berwarna hitam. Sepertiga limpa akhirnya dibuang. Namun, pengurangan limpa tidak menyembuhkan sama sekali. Saat kematian masih bisa diramalkan dekatnya. Satu-satunya yang harus ditempuh adalah hatinya yang sudah kasat itu dibuang. Hati baru dipasang melalui suatu operasi transplantasi.
Dalam bayangan saya, yang belum pernah mengalami--- semoga tidak mengalami--, transplantasi hati itu pasti operasi yang sangat mengerikan: operasi di ambang kematian. Ia tak sama dengan operasi sunatan. Betapapun Pak Dahlan telah mencoba menyederhanakan ungkapannya, kengerian itu tak mungkin ditutup-tutupi.
Memang muncul juga pertanyaan nakal saya, seperti pertanyaan yang muncul pada diri Pak Menteri BUMN itu, apakah hati yang baru itu cukup kuat terpasangnya sehingga bila orang itu berdiri hatinya tak akan jatuh? Cukup kuatkah ikatannya? Apakah hati yang baru akan dapat bekerja sama dengan baik dengan organ tubuh kita yang lain yang pasti beda usia, beda kelamin, beda budaya, beda hobi, beda agama, beda tabiat? Apakah orang yang hatinya diambil itu mati sementara kita yang menerima hatinya bersambung umur? Bagaimana rasanya membayangkan kematian orang lain yang hatinya diberikan pada kita, sementara kita bisa berleluasa ke mana-mana?
Terus terang, buku Ganti Hati Dahlan Iskan belum menjawab setimbun pertanyaan lagi yang mungkin muncul di benak pembaca seperti saya. Betapapun Dahlan berusaha mengantisipasi nya dan telah menjawab sebisanya, pasti akan tetap ada pertanyaan-pertanyaan lain yang tidak akan terdeteksi oleh logika mantiqnya itu.
Kekhasan putra kelahiran Magetan Jawa Timur yang pandai berbahasa Mandarin itu dalam menulis adalah bahwa ia tidak berfokus pada narasi atau kisah. Baginya kisah-kisah itu hanya sekedar pengantar saja. Misi terbesarnya adalah menyampaikan saran, gagasan, nasihat, kritik. Sangat sulit saya mencari kontinuitas plotnya karena plotnya meloncat-loncat, maju mundur. Bagi pembaca yang senang dengan cerita bersambung atau plot utuh, akan mudah tersesat. Bagi pembaca yang lebih fokus pada eksposisinya, pada deskripsinya, atau pada fokusnya untuk menangkap pesan-pesan original khas Dahlan Iskan, buku Ganti Hati benar-benar bacaan yang mencerahkan.
Kalau ada orang yang hanya membaca kata pengantar dan kata penutup buku ini saja, orang seperti saya yang ada bibit penyakit hati nurani, memang akan sakit sekali mendengarkan cerita Pak Dahlan. Coba bayangkan. Di bagian pengantar, belum lagi cerita panjang lebar tentang operasi ganti hatinya, eh beliau membuka cerita tentang helikopter yang ia beli sebelum operasi itu. Orang seperti saya, yang dipenuhi mazmumah, jangankan membeli, naik helikopterpun belum pernah. Wajarlah kalau saya terbakar panas.
Belum lagi rasa panas itu hilang, Dahlan mengipas-ngipas bara hati orang seperti saya di setiap episodenya dengan cerita-cerita yang mengesankan begitu banyak uangnya. Ia turun naik pesawat seperti turun naik busway saja, ia terbang dari kota ke kota, negara ke negara hanya sekedar berburu yang remeh-temeh, dan pantang pula pakai uang dinas atau SPD.
Kalau rasa hati orang seperti saya tak bisa dikendalikan, ia benar-benar akan pingsan sambil berdiri ketika Dahlan bercerita tentang Mercedes seri S500-nya yang berharga 3 miliar itu.
Tapi, kalau kita renungkan dalam-dalam, kisah kesuksesan finansial yang diceritakan Dahlan, itu adalah suatu petunjuk agar orang seperti saya jangan mudah berputus asa ketika sekarang saya miskin. Maksudnya, Dahlan pun dulu miskin. Ia hanya tinggal di rumah berlantai tanah. Saking miskinnya, lemari yang satu-satunya dimiliki ayahnya harus dijual untuk berobat ibunya. Sampai-sampai, Dahlan tak tahu lagi kapan tanggal lahirnya karena tanggal lahir itu dituliskan ibunya di dinding lemari itu.
Pesan-pesan lain yang tak boleh kita anggap enteng adalah pesan bahwa kerja keras itu ada manfaatnya, kejujuran itu tidak sia-sia. Perjuangan untuk mencapai kebebasan finansial, berkecukupan adalah hasil jerih payah, memeras keringat, bukan hasil sulap sim salabim, hasil meratap-ratap, apalagi hasil korupsi. Indah sekali ajakan pemimpin Group Jawa Pos itu. Berbisnislah, bekerjaalah yang halal. Tuhan akan berikan kebebasan finansial.
Memang berat bagi orang seperti saya yang hatinya kotor untuk disadarkan. Cerita ganti hati Dahlan Iskan mungkin akan diresponnya secara sakit hati, penuh tanya keirian. Dari mana Dahlan dapat uang sebanyak itu? Bisnis apa dia? Bukankah sekolahnya cuma aliah. Ilmunya cuma ilmu mantiq tak pernah belajar kalkulus apalagi IT? Ibunya juga mati muda, keluarganya dari pesantren kumuh. Orang seperti saya akan sibuk mempertanyakan siapa Dahlan Iskan nya (man qala) bukan memikirkan apa yang disampaikannya (ma qala).
Jangan-jangan, orang seperti saya harus ganti hati dulu -- hati dalam arti nurani-- sebelum bisa memahami kisah ganti hati Dahlan Iskan secara arif.
No comments:
Post a Comment