Dengan
tertatih, Lastri menapaki anak tangga rumahnya yang terbuat dari kayu yang
sudah agak reot itu. Tangga yang terpasang hampir curam membuat kaki
Lastri agak bergetar melangkah naik.
Bukan
hanya karena kayu anak tangga itu sudah terjemur lama oleh matahari, tapi
lantai rumah yang sebagiannya sudah lapuk itu harus membuat Lastri
melangkah hati-hati. Kalau tidak, janin yang membuncitkan perutnya sebesar
bola volley itu mungkin akan
menderita di dalam.
Kadang-kadang,
setelah ia turun mengantarkan secangkir kopi untuk ayahnya seperti hari ini,
Lastri duduk dulu agak sejenak di pintu yang dibiarkan terbuka, menjuntaikan
kakinya yang dipenuhi farises, atau
meletakan tapak kaki di salah satu anak tangga. Dari situlah, dia akan
menikmati pemandangan betapa masih terampilnya ayah yang sudah renta itu
menyerut kayu, memaku, dan merakit kusen pintu. Dia tentu menikmati juga saat
sang ayah meneguk kopi hangat yang baru saja ia seduh.
Di
halaman, Ayah Lastri yang mengenakan kaos kutang yang sudah tidak putih lagi,
meneruskan pekerjaannya. Berbekal kaca
mata dengan gagang abu-abu tebal dengan kaca seukuran lingkaran botol coca cola, dia menorehkan pensil di atas kayu
membuat garis untuk menandai bagian mana yang akan dipahat.
Lelaki
yang dulu perkasa, penoreh getah, atau perawat pohon sawit itu kini telah agak
bungkuk. Tubuhnya yang dulu kekar terbakar matahari, kini kurus berbungkus
kulit tipis yang keriput. Namun semangatnya tak pernah pudar. Kalau ia
masih kuat menyerut kayu-kayu merbau di halaman rumahnya walau dengan tangan
bergetar, ia masih akan menerima upah untuk ia dan anak perempuannya makan.
Sore
itu, Lastri tidak duduk-duduk di pintu seperti biasa. Setelah mengantar
kopi itu, ia langsung menuju jendela. Tempat itu telah menjadi tempat
pertapaannya sejak beberapa bulan terakhir. Sambil menahan bagian bawah
perutnya dengan tangan kiri, ia dudukkan pantatnya ke kursi yang sejak enatah
beberapa bulan tidak pernah dipindahkannya lagi dari situ. Ia pun melemparkan
pandangannya jauh ke luar.
Ada satu
tempat di ujung sana. Di seberang tangki-tangki kecil pengumpul minyak
yang tak jauh dari halaman rumahnya, ada tanjung-tanjung buatan yang
menjorok ke laut seperti sepuluh jari manusia terbakar air panas.
Tanjung-tanjung itu dibuat selebar truk untuk menghubungkan sumur-sumur minyak
yang ada di laut dengan pantai. Di seberang tanjung itu ada
sebuah jetty.
Ketika
saat lifting tiba, biasanya
tiga bulan sekali, sebuah kapal tangker raksasa akan merapat di Jetty yang dibangun di ujung sebuah
daratan yang menjorok ke laut sejauh 600m. Sejumlah orang akan hilir mudik
berbagi tugas di sana. Mereka bekerja memastikan minyak mengalir ke kapal dari
sebuah tangki yang terletak 1.5 km melalui sebuah pipa sebesar dua kali batang
kelapa.
Di sore
yang terang itu sedang terjadi lifting.
Sudah sejak tadi malam tangker bersandar. Sudah sejak subuh Lastri duduk di
sana. Bagaikan seekor elang yang sedang mengintip mangsanya dari kejauhan,
Lastri mengawasi gerak gerik setiap orang yang bekerja di dermaga itu melalui
jendela rumahnya. Dia berharap kalau retina matanya menangkap sosok Niko.
Hanya Niko yang ingin ia lihat.
"Kalau
ada Niko di Bula, pastilah ia ada di jetty itu,"
bisiknya.
Telah
lima tahun Niko bekerja di Bula, di industri minyak tua yang sudah berumur
lebih dari 127 tahun itu. Niko, sebagai seorang mandor, bertanggung jawab untuk
memastikan pengiriman minyak berlangsung secara aman dan lancar. Untuk itulah
dia ada di Jetty setiap
kali lifting.
“Seluruh
operasi produksi minyak itu di bawah pengawasan Niko, ” kata Lastri suatu hari
ketika meyakinkan ayahnya tentang siapa Niko.
Biasanya,
dengan sebuah radio HT di
tangan, lelaki yang usianya setengah abad dengan perut agak buncit itu
mengarahkan anak buahnya untuk berbagai tugas.
Dengan
setelan baju coverall biru
laut bermerek Nomex III-A
Dupont yang tertempel di bawah saku kanan, dengan
sepasang safety shoes coklat
yang menutup separuh betis, dengan helmet putih
di kepala, dan tak lupa dengan sebuah kaca mata hitam yang terpasang di
matanya, Niko yang bertubuh sedang itu akan nampak seperti Robert De Niro
dalam pandangan Lastri.
Lebih-lebih
di tengah kesibukan itu, Niko menyempatkan diri melambaikan tangan ke arah
Lastri. Dan perempuan yang juga tidak muda itu pun akan membalas dengan sebuah
lambaian pula ditambah dengan senyuman yang lebar dan hati yang berbunga-bunga.
Di
setiap usai proses lifting yang
menyibukkan itu, setelah kapal tangker menggulung jangkar bergerak perlahan ke
laut lepas ke utara, dermaga khusus untuk kapal tangker itu akan segera sepi.
Seperti
sudah di dalam insting Lastri, tak lama setelah itu pasti lekaki pujaanya itu
akan muncul di depan pintunya dengan senyum sumringah.
"Ada
kopi, Las? Aku haus," begitulah kalimat itu diulang-ulang setiap Lastri
membukakan pintu rumahnya untuk sang Pangeran.
Lelaki
tua yang mengetam, memahat, atau memaku kayu saban hari sampai maghrib tiba itu
hanya senyam-senyum saja bila Niko datang. Ia tahu secangkir kopi pun akan
segera tersedia untuknya. Anaknya yang baik itu akan menyeduh dua cangkir. Satu
untuk Niko dan satu untuknya.
***
Cahaya
sore semakin meredup. Warna cahaya yang agak menguning tiba-tiba bercampur
dengan tiupan angin membuat senja di Bula semakin temaram. Kapal tangker yang
tadinya terpaut, kini telah menjauh, bergerak ke utara, ke laut
lepas meninggalkan Bula. Selesai sudah ritual tigabulanan itu. Di Jetty itu sudah tidak ada seorangpun yang
tersisa. Seluruh peralatan yang dipakai lifting telah
tersusun rapi. Hanya ombak yang pecah ketika membentur besi tua bekas yang
terkapar di dekat Jetty yang masih terlihat.
"Belum
juga Niko datang," air mata Lastri pun mengalir.
Suara
hatinya gemuruh tak menentu, lebih gemuruh dari gemuruhnya ombak yang membentur
batu-batu penahan dermaga. Lebih gemuruh
dari gemuruhnya arus sungai Bula Air
ketika musim pasang dapat menghantam jembatan.
Dari
arah pintu rumah Lastri tak terdengar ketukan. Tak seorang pun yang muncul
mengetuk. Dari luar, hanya terdengar suara mesin penyerut kayu ayah Lastri,
atau ketukan palu ketika menghantam pahat atau paku. Dan, itu pasti ayah
Lastri, bukan Niko.
Sudah
tiga kali lifting, Lastri tidak
melihat Niko di Jetty itu. Itu
berarti sudah enam bulan Niko menghilang dari Bula. Di mess, di kantor, di café, bahkan di masjid tidak ditemukannya
Niko. Niko seperti menguap ke angkasa atau tenggelam ke dasar bumi tanpa
kabar berita.
Sepanjang
malam ditunggunya ketukan pintu.
Deru
mesin yang memutar pompa pengisap minyak dari sumur-sumur minyak yang memenuhi
pantai Bula hampir tak mampu menenggelamkan gemuruh hati Lastri. Padahal setiap
mesin itu memutar satu putaran, akan mengalir minyak dengan gemuruh dari dalam
sumur ke pipa-pipa yang akan mengantarkannya ke tangki yang tak jauh dari
rumahnya.
Dari
tangki pengumpul itu, setiap tengah malam akan ada hiruk pikuk orang memompakan
minyak ke tangki penyimpan yang lebih besar yang tempatnya di atas bukit
di sebelah mess tempat
biasanya tinggal Niko.
"Empat
minggu, ia bekerja di sini terus menerus. Tapi, dua minggu ia libur terus
menerus. Liburnya mungkin di Jakarta. Mungkin juga ia ke Palembang atau
ke Medan," jelas Lastri kepada ayahnya tentang sistem kerja Niko.
Komentar
orang pun bermacam-macam tentang kepergian Niko.
"Niko
sekarang ditugasi di Jakarta, di kantor pusat, sehingga akan jarang ke
Bula" kata Gempur, anak buah Niko yang dikenal Lastri cukup dekat dengan
Niko.
"Ah,
tidak," jawab Evi ketika Lastri mencoba mengklarifikasinya ke bagian
administrasi perusahaan.
"Setahu
aku, dia pulang ke Palembang, bekerja di perusahaan pengeboran di sana, "
ujar Faisal yang dulu pernah dalam satu tim dengan Niko.
Mungkin,
penjelasan Pak Mijan, pegawai admisnistrasi perusahaan tempat Niko bekerja,
satu-satunya yang memuaskan Lastri sehingga sejak itu ia hanya menunggu
kedatangan Niko tanpa bertanya-tanya lagi.
"Dia
sudah berhenti, mengundurkan diri. Tidak tahu apa alasannya,” kata Pak Mijan
yang sudah hampir pensiun itu.
“Mungkin
dia menemukan perusahaan lain yang lebih baik, tapi entah perusahaan apa dan
dimana," sambung Pak Mijan.
Walaupun
sudah banyak yang curiga, kepada siapapun Lastri tidak mau menceritakan apa
hubungannya dengan Niko. Hubungan ini adalah hubungan rahasia. Itu
perjanjiannya dengan Niko yang tak boleh ia langgar. Hanya ayahnya saja yang
tahu.
"Kami
sudah menikah, Ayah," kata Lastri kepada ayahnya. Itu diceritakan Lastri
kepada ayahnya agar Niko tak dilarang bertandang ke rumah, walau malam
sekalipun.
"Demi
karir Niko, ayah tak boleh menceritakan hal ini kepada siapapun, " bujuk
Lastri mayakinkan.
Sebagai
ayah yang sudah tua dan uzur, ayah Lastri menyerahkan semua keputusan itu
kepada anak perempuannya yang lahir 40 tahun yang lalu itu. Ia tak ingin
melihat anaknya menggadis sampai ia tutup usia. Kedatangan Niko disambutnya
dengan penuh harapan.
Apa
hendak dikata oleh Lastri dan ayahnya, sepandai-pandainya ia membungkus durian,
baunya akan tercium orang juga. Menghilangnya Niko telah menjadi tanda tanya
besar di Bula. Kehamilan Lastri yang menunggu hari telah menjadi buah bibir di
setiap warung. Keingintahuan Lastri tentang Niko telah dipahami semua orang.
Kalaulah
Ustaz Asghar tidak segera mengaku bahwa dialah yang menikahkan Niko dengan
Lastri di hadapan dua orang saksi, pastilah Lastri ataupun ayahnya akan diusir
dari Bula.
"Dasar
orang tak tahu malu," kata seorang ibu yang kenal baik dengan almarhumah
ibu Lastri.
"Kalau
kau orang asli Bula, sudah kami tenggelamkan ke laut, " bentak
seorang kakek yang sebaya dengan ayah Lastri.
Lastri
tahu kalau dia bukan orang asli Bula. Ia hanyalah anak dari seorang transmigran
yang gagal berkebun di desa transmigrasi yang berjarak 200 km ke arah barat
Bula. Setelah ibunya wafat akibat suatu penyakit aneh, ayah Lastri
memboyong anak gadis satu-satunya itu pindah ke Bula. Ayah yang sudah menua
itu mengambil pekerjaan dari seorang toke Cina membuat kusen pintu.
Rumah
kayu yang ditempati perempuan yang kini hamil tua dan ayahnya itu sebetulnya
rumah milik si toke. Upah ayah Lastri akan dipotong sebesar harga sewa. Sisanya
itulah yang diserahkan untuk mereka hidup sekeluarga.
Lastri
membantu ekonomi ayahnya dengan membabu. Perusahaan jasa catering yang mendapatkan kontrak di
perusahaan minyak tempat Niko bekerja merekrutnya untuk menjadi tukang cuci
piring di mess. Itulah
yang mempertemukan ia dengan Niko dan menjalin asmara sejak setahun yang lalu.
***
Sore
itu, suasana di Bula sudah semakian gelap. Matahari sudah hampir menukik ke
barat meninggalkan warna langit yang memerah. Hati Lastri semakin gundah.
Dalam-dalam ia menghela nafas sambil termenung. Tak habis pikir, mengapa
setelah alat test kehamilan itu memastikan dia mengandung, justru Niko pergi
meninggalkannya.
"Tak
percayakah Niko kalau yang dikandung ini anaknya? bisik Lastri sambil
membiarkan airmatanya mengalir sampai di pipi.
"Takutkah
ia kalau istrinya tahu kalau di Bula dia beristri lagi?” sambung Lastri.
Biasanya,
di saat-saat gundah seperti ini, hanya ayahnya yang bias diajak bicara.
"Apakah
Niko dipecat karena korupsi, Yah?" tanya Lastri.
Ayahnya
menggeleng, entah ingin mengatakan "tidak" atau ingin mengatakan
"tidak tahu."
"Si
Mahmud bilang kalau istrinya mengamuk setelah tahu Niko pacaran dengan gadis
Bula," kata Lastri.
Sore
itu, matahari benar-benar telah lenyap dari horizon. Cahaya yang menerangi Bula
hanyalah cahaya mega. Walaupun demikian, orang masih bisa bekerja di luar
rumah. Ayah Lastri telah mulai mengumpulkan perkakasnya. Itu pertanda maghrib
hampir tiba. Di mess, yang
pasti tidak Niko di sana, beberapa
ekor babi bercengkerama seperti tak sabar menunggu datangnya malam.
Tiba-tiba,
seperti seekor anak rusa yang dikejar babi hutan bertaring panjang, seorang
tetangga Lastri, namanya Surti, berlari dengan kencang. Gadis remaja itu
melesat meninggalkan rumahnya menyelinap di antara tumpukan kusen ayah Lastri
yang belum selesai dirapikan. Dia melesat menaiki anak tangga rumah Lastri dan
menggedor pintu. Karena Lastri tidak semerta-merta langsung membuka pintu,
Surti berteriak sambil mengguncang-guncang pintu yang terkunci dari dalam.
"Mbak
Las, Mbak, cepat nyalakan TV. Saluran 7. Cepat, cepat." Surti berteriak
keras sambil terus menampar-nampar daun pintu.
"Ada
apa?" suara Lastri menyambut dari dalam.
Pintu
yang tadinya terkunci dibukanya dengan cepat. Surti muncul di depan pintu
dengan nafas seperti angin puting beliung.
"Nyalakan
TV cepat. Cepat, Mbak" suara Surti keras tapi serak seperti suara mesin
yang tidak diisi oli.
Secepat
kilat Lastri menyambar tombol penyalaan TV. Ia tak sempat lagi berpikir mengapa
TV harus dinyalakan. Ia tak sempat bertanya mengapa harus
buru-buru. Nafasnya ikut sesak, turun naik, tak kalah sesak seperti
sesaknya nafas Surti.
Untunglah
kemarin Lastri mematikan TV di saluran 7, sehingga sekarang tiba-tiba saja TV
tabung 14" yang dibawa ayahnya dari kampung transmigrasi dulu menyala
tepat di saluran 7.
Ada
seorang polisi di sana yang sedang diwawancara. Lastri dan Surti terpana.
"Seorang
lelaki, berkulit sawo gelap, berumur sekitar 50 tahun ditemukan digilas oleh
kereta api, tidak jauh dari persimpangan jalan, dekat Pasar Minggu, " kata
polisi itu dengan artikulasi yang sempurna.
Mulut
Lastri dan Surti serentak menganga. Kalau ada bola kasti pasti bisa masuk ke
mulut-mulut itu. Bola mata mereka hampir saja meloncat keluar. Ayah
Lastri pun sudah ada di belakang mereka membelakkan mata yang penuh katarak ke
arah TV.
"Saksi
mata mengatakan bahwa lelaki itu melemparkan dirinya ke atas rel tepat
menjelang kereta api listrik dari arah Bogor mendekat tempat itu, "
sambung polisi itu.
Ayah
Lastri tetap berdiri dan diam seribu bahasa di belakang kedua perempuan yang
sudah membeku seperti batu. Lastri mencoba membungkukkan sedikit badannya
yang buncit sambil menopangkan tangan ke kedua lututnya.
Polisi
berambut jarang itu melanjutkan perkataannya kepada wartawati yang sedang
memegang mikropon di depan mulutnya.
"Tubuh
korban terpotong dua tepat di pinggang . Kepalanya remuk. Tidak
ditemukan kartu identitas apapun kecuali sebuah kertas terlipat di saku
celananya yang mengatakan kalau dia bekerja di sebuah perusahaan minyak
di Bula."
"Niii…….koooooo…..,
" Lastripun jatuh pingsan.
No comments:
Post a Comment