Seorang kawan mengirim email melalui salah satu milis yang saya anggotai, “Kepada Bang Jufran dan para senior pendukung fanatik Jokowi-JK, ijinkan dari lubuk hati yang paling dalam, saya mengucapkan selamat atas kemenangan capres pilihan Anda menurut versi mayoritas lembaga quick-count.”
Subhanallah. Saya terhenyak dan menarik nafas dalam-dalam. Saya kehabisan kata-kata. Hampir-hampir air mata saya mengalir membasahi pipi.
Terus terang, saya terharu membaca pesan kawan itu. Dia adalah seorang pendukung fanatik pasangan Prabowo-Hatta. Menjelang pilpres yang baru lalu, antara kami terjadi adu argumentasi sengit. Lebih sengit dari adu debat di layar TV dan di forum manapun.
Ketika itu, saya menyampaikan alasan-alasan mengapa saya harus memilih pasangan Jokowi-JK. Dia pula bertahan dengan argumentasi hebatnya mengapa memilih pasangan Prabowo-Hatta. Saya ada data, dia pun ada data. Kami saling membeberkan data masing-masing. Saya ada dalil-dalil agama, dia pun ada dalil-dalil agama. Kami saling uji dalil masing-masing.
Untungnya, sampai pilpres berakhir, kami tidak terjebak untuk saling menghina pilihan masing-masing. Inilah momen yang membuat saya terharu. Saya dan dia tetap berkawan sampai detik ini. Saya masih terkesima dengan ajang saling gugat yang ditayangkan di TV, eh kawan saya itu telah menyampaikan ucapan selamat.
Setelah saya renungkan dalam-dalam, mungkin semua itu karena kami sama-sama bukan elite politik. Dan barangkai pula, itulah yang membedakan cara adu argumentasi di kalangan elite dan kalangan akar rumput.
Para elite masing-masing kubu mengklaim kemenangan di pihaknya, tapi para pendukung jelata justru sudah ada saling pengakuan dan saling memaafkan. Para elite hanya dapat menerima hasil perhitungan lembaga tertentu dan menolak hasil perhitungan lembaga lainnya, sedangkan para pendukung jelata bisa melihat hasil perhitungan dari berbagai lembaga secara lebih proporsional. Para elite memilih emosional, para jelata masih menghargai batas-batas rasionalitas.
Ke depan, sekali-sekali boleh juga dong ya agar para elite politik belajar berpolitik kepada kaum awam seperti saya dan kawan saya itu. Siapa tahu, ke depan suhu politik menjadi lebih menyejukkan, tidak panas seperti sekarang ini.
Masih dalam keharuan, saya membalas surat elektronik kawan saya itu, “Saudara, tidak perlulah mengucapkan tahniah pada saya atau pada pendukung Jokowi-JK lainnya. Kita tidak sedang berjudi.”
Saya yakin betul bahwa tidak ada sesungguhnya yang menang atau kalah dalam perbedaan pendapat kami tempo hari.
Waktu itu, kami hanya berbeda dalam cara menilai sosok kandidat presiden dan wakil presiden yang pas untuk negeri kita ini. Kami sama-sama mencintai negeri ini maka kami sama-sama menginginkan pemimpin terbaik yang akan membawa negeri ini ke level yang lebih baik. Bukankah begitu, Saudara?
Ketika pilpres kemarin, hampir semua kita memang menempuh jalur yang berbeda-beda. Kita berbeda sudut pandang sedikit, berbeda kriteria sedikit, dan berbeda rasa sedikit. Akibatnya, kita pun bebeda pilihan.
Tapi ingat, perbedaan kita itu ternyata sedikit. Perbedaan 1-3%, menutut saya, bukanlah perbedaan yang berarti. Tidak elok rasanya bila kita saling klaim “menang-kalah” untuk selesih yang secuil itu.
Perlu saya tekankan pula, bahwa terpilihnya kandidat saya, Jokowi-JK, versi mayoritasquick count, bukan karena keberhasilan salah satu partai, dalam hal ini PDIP. Saya bukan orang PDIP. Saya bukan anggota partai manapun. Saya hanya rakyat jelata. Karena itu, orang-orang PDIP tidak boleh menepuk dada bahwa merekalah yang memenangkan Jokowi-JK, apalagi merayakan kemenangan di pihaknya.
Mayoritas bangsa Indonesialah, khususnya grass-root, yang telah memilih Jokowi-JK pada pilpres kemarin. Walaupun banyak elite-elite partai, tokoh masyarakat, dan tokoh agama yang tidak segan-segan menyampaikan ketidakberpihakanya pada Jokowi-JK dengan alasan agama, adat, strategis, dll, namun terbukti masyarakat umumnya tetap mengunggulkan Jokowi-JK.
Saya kurang tahu apa alasan masyarakat Indonesia itu. Yang pasti, masing-masing ada alasan betapapun tidak terucapkan. Alasan saya sangat jelas, Saya hanya merindukan lahirnya pemimpin baru yang sederhana, merakyat, adil, ramah, dan bijaksana, walaupun saya tahu kalau pasangan Jokowi-JK yang saya pilih itu bukan pasangan capres-cawapres yang sempurna.
Apakah saya menutup telinga dengan berbagai berita miring tentang Jokowi dan Jusuf Kala? Apakah saya tidak tahu kalau begitu banyaknya ustaz, guru, ulama yang saya kagumi justru mengkhawatirkan orang-orang yang ada di latar belakang Jokowi?
Saya mendengar dan saya memikirkannya.
Kekhawatiran tertentu saya anggap benar karena dilengkapi dengan data dan argumentasi logis. Tapi kekhawatiran lainnya hanya membuat saya geli, terpingkal-pingkal, dan sakit perut.
Kita seharusnya tidak mudah percaya pada semua berita, lebih-lebih berita yang muncul tentang capres-cawapres menjelang pilpres. Kita seharusnya memilah mana berita yang benar dan mana yang palsu. Berita-berita palsu memang sengaja digunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk mengganjal capres tertentu jadi presiden. Orang-orang ini memiliki misi buruk untuk Indonesia secara keseluruhan, namun menggunakan metoda kampungan.
Kita semua tahu bahwa dalam pilpres kemarin, Jokowi-JK itu sebenarnya tidak menghadapi satu kubu saja, tapi menghadapi dua kubu sekaligus. Kubu pertama adalah kubu Prabowo-Hatta, yang kedua adalah kubu Anti Jokowi.
Mari saya analisa agak sedikit.
Kubu pertama, pendukung pasangan Prabowo-Hatta, menurut saya bermain elegan. Mereka mendukung Prabowo-Hatta karena mereka melihat pasangan itu lebih pas memimpin Indonesia dibanding pasangan Jokowi-JK. Mereka bukan tidak suka pada Jokowi-JK. Mereka melihat sosok semacam Prabowo yang tegas berwibawa dan sosok Hatta Rajaya yang anggun dan cerdas itu sangat sesuai untuk masa depan Indonesia. Kubu ini berkampanye memperkenalkan kepada publik visi dan misi idolanya itu tanpa menghina visi dan misi pasangan lain. Kalaupun Jokowi tidak mereka rekomendasikan menjadi presiden, mereka masih melihat Jokowi masih cocok sebagai gubernur atau walikota. Karena itu, kubu ini bukanlah rival Jokowi-JK yang sesunguhnya. Mereka adalah orang-orang baik dan berada di sisi yang baik. Mereka sportif. Melihat cara mereka menyampaikan gagasan, hampir-hampir saya berpindah jalur.
Tapi kubu kedua, kubu Anti Jokowi, sangat lain pendekatannya. Mereka itu bermain kasar. Mereka sesungguhnya bukan pendukung Prabowo-Hatta walaupun mereka berada di pihak itu. Mereka sebenarnya pendukung siapapun asal bukan Jokowi. Kalaupun Jokowi harus berhadapan dengan monyet, misalnya, di pilpres, mereka pasti akan memilih monyet itu. Mereka tidak peduli bangsa ini mau dibawa kemana. Yang penting bagi mereka, Jokowi tidak boleh jadi apapun, apalagi jadi presiden. Jangankan jabatan presiden, jabatan walikota pun masih terlalu tinggi bagi Jokowi.
Bagi kubu ini, Jokowi adalah musuh kemanusiaan yang harus dibasmi dari muka bumi. Mereka tidak ingin melihat bangsa ini menjadi bangsa yang dipimpin oleh seorang berwajah ndeso, tidak pandai pidato, tidak fasih berbahasa Inggris. Wajah Jokowi membuat mereka mengalami mimpi buruk setiap tidur.
Cara mereka yang kasar terlihat jelas pada alat yang mereka pakai mengganjal Jokowi. Mereka mengguankan hoax, berita palsu, dan fitnah serapah. Sehari-hari, mereka menangguk informasi negatif apapun tentang Jokowi di dunia maya kemudian menyebarluaskannya melaui media apapun yang mereka punya. Mereka tidak berani tampil di arena terbuka karena argumentasinya lemah. Mereka menelusup seperti hantu ke tengah-tengah berbagai kumpulan, milis, atau komunitas agama yang beragam. Isu agama, isu sosial, isu ras, dan isu budaya mereka campurkan jadi satu dan kemudian mereka hembuskan . Tidak sedikit anak-anak muda, kaum perempuan, bahkan sebagian kaum intelektual yang termakan racun fitnah itu. Semua isu negatif dan black-campaign tentang Jokowi berasal dari kubu ini.
Seketika, ketika Jokowi ternyata akhirnya unggul dalam pilpres, walaupun baru melalui versi hitung cepat, berita-berita palsu itupun dengan sendirinya lenyap. Tak seorangpun dari penyebar berita itu berani muncul lagi kini. Mereka tidak lagi lempar batu sembunyi tangan tapi lempar batu sembunyai badan. Orang-orang yang telah terlanjur membenci Jokowi kini pun mulai insaf dengan berlinangan air mata, menyesali diri mengapa sampai harus membenci anak muda lugu dari desa itu. Ustaz-ustaz yang terlanjur menyebar fatwa haram dan sesat bagi pemilih Jokowi kini telah mulai bertaubat. Semoga Allah ampunkan dosa mereka dan juga dosa kita yang telah menyimpan potongan-potongan fitnah itu di saku.
Tentu saja, kepada kawan yang mengucapkan selamat pada saya itu saya pesankan“ Mulai sekarang segera kita bulatkan niat untuk mensukseskan program-program Presiden Jokowi untuk lima tahun mendatang yang akan dilaksanakannya selepas serah terima dari Presiden SBY nanti.”
Saya tidak berpura-pura jadi negarawan walaupun ada juga yang menyindir saya seperti itu.
Kita akan bekerja sesuai bidang kita masing-masing. Tidak perlu ada yang mimpi untuk berganti profesi, apalagi mimpi jadi menteri atau pejabat di jajaran pemerintahan Presiden Jokowi. Biarkanlah Pak Jokowi menata timnya yang pas untuk memerintah negeri ini. Minimal, kita sokong melalui do’a. Kita sokong semua program yang baik dan kita kritik bila mereka menyimpang atau tersesat jalan.
Jokowi bukan manusia sempurna. Ia banyak kekurangan. Ia perlu pendampingan.
“Bagaimana mendampingianya?” kata kawan yang lain penuh penasaran.
“Kalau tak bisa mendampinginya secara fisik, dampingi dia secara virtual,” jawab saya. “Beri dia saran-saran. Kritik dan tegur bila dia menyimpang. Gunakan tulisan-tulisan bila tidak ada peluang untuk bertemu langsung. Itulah yang saya maksud dengan pendampingan secara virtual.”
Partai yang tidak mendukung Jokowi di pilpres tempo hari, tidak perlu malu-malu sehingg memilih jalur oposisi mutlak. Sekali-sekali berkoalisilah untuk hal yang memang baik untuk rakyat Indonesia.
Berkoalisi untuk sesuatu yang ma’ruf dan beroposisi pada kemaksiatan dan kemungkaran hukumnya wajib. Melalui sikap itu, kita bersama-sama membangun Indonesia yang baldatun thaiyyibatun wa rabbun ghafur.
No comments:
Post a Comment