Iman itu adalah keyakinan dan bukan pengetahuan tentang Allah SWT, yang terpatri di hati. Keyakinan ini melahirkan rasa takut dan cinta padaNya.
Pengetahuan sendiri lebih bersifat informasi yang tersimpan di akal. Orang yang berpengetahuan biasanya mampu bercerita dengan fasih apa-apa yang diketahuinya itu. Orang ini belum tentu merefleksikannya dalam wujud perbuatan. Saya kenal dengan seorang dokter yang paham menguraikan bagaimana bahayanya merokok. Bukan sekedar seperti orang awam, tapi dia dapat merinci bahaya merokok secara ilmiah, lengkap dengan uraian bagaimana pengaruh negatif rokok pada pernafasan, jantung, dan alat reproduksi. Tapi ironinya: dia sendiri seorang perokok berat.
Di samping dokter perokok, ada pula orang yang faham menguraikan bab-bab dalam ilmu tauhid, fiqih dan tasawuf. Pandai sekali ia mendefinisikan istiqomah, sabar, redha, syukur, dan tawakal, lengkap dengan dalil AlQuran dan AsSunnah. Tak tidur orang karena merenungkan isi paparanya. Tapi nampaknya, lain ilmu lain perbuatan. Perbuatannya bertentangan dengan uraian itu.
Saya tidak bermaksud menafikan bahwa keyakinan memang bermula dari pengetahuan. Tapi pengetahuan itu bukan keyakinan. Pengetahuan masih bersifat aqliah, sedangkan keyakinan bersifat qalbiah atau ruhaniah.
Pengetahuan tempatnya di otak, sedangkan keyakinan bertempat di hati. Kalau pengetahuan adalah pohon, keyakinan adalah buahnya. Pohon bisa ada tanpa buah. Malah, lebih banyak pohon yang tak berbuah daripada yang berbuah. Tapi, buah tak mungkin ada tanpa pohon. Awalnya, pengetahuan melahirkan keyakinan. Kemudian keyakinanlah yang melahirkan rasa di hati. Keyakinan pada Allah melahirkan rasa takut dan cinta Allah.
Rasa takut itu muncul karena Allah SWT memperkenalkan diriNya sebagai yang sangat menakutkan hati. Dari 99 sifat Tuhan, hampir separuhnya menakutkan. Coba perhatikan bagaimana Tuhan memperkenalkan diriNya sebagai Al Qahhar, Al Jabbar, Al Qaddar, Al Muhyi, Al Mumit, dll. Sifat-sifat itu membuat perut kecut. Kalau kita bayangkan bagaimana Tuhan menyiksa manusia yang durhaka, seolah-olah Dia bukan pencipta kita yang memiliki rasa belas kasih.
Tuhan, di lain pihak, memperkenalkan diriNya pula sebagai yang sangat diingini manusia: Ar Rahman, Ar Rahim, Al Wahhab, Ar Razak, dll. Manusia menginginkan kasih sayang, kecukupan, kemudahan, dan pertolongan. Tuhan menjanjikan semua itu tanpa hitung-hitungan. Kalau mengenangkan sifat-sifat ini, manusia rasanya tidak memerlukan lagi yang lain kecuali Dia. Manusia hanya ingin hidup denganNya saja tanpa terpisah walaupun sekejap mata.
Iman, akhirnya, melahirkan takut dan cinta berjalin dan bersatu dalam wadah yang sama, yaitu hati. Mereka bagaikan dua kutub pada bumi. Kutub yang satu adalah takut sedangkan kutub yang lain adalah cinta. Kalau bumi berputar disebabkan oleh tarikan kedua kutubnya, besar kemungkinan hati manusia bergejolak karena tarikan dari kedua rasa, takut dan cinta, itu. Keduanya memaksa manusia melahirkan perbuatan: lari atau mendekat. Lari karena takut, mendekat karena cinta pada Allah SWT.
Jelaslah kini bahwa hakikat iman bukanlah terletak pada pengetahuan tentang Allah SWT. Hakikat iman adalah hadirnya dua rasa yang paling elementer di hati, yaitu rasa takut dan rasa cinta kepada Allah sebelum iman itu menampakkan diri dalam bentuk perbuatan, ketaatna dan kepasrahan.
Wallahu a'lam
Bagaimana pendapat Anda?
No comments:
Post a Comment