Menarik juga membaca kisah suku A'rab (orang-orang Arab badui yang tinggal jauh dari pusat Islam, Madinah) yang belum lama masuk Islam yang dikisahkan di dalam Al Quran, Surah Al Hujurat, ayat 14-18.
Saya membayangkan bahwa mereka, sebagai orang Islam, tentu menjalankan perintah agama seperti layaknya orang-orang beriman lainnya, setidaknya yang wajib-wajib seperti shalat, puasa, zakat, dll. Mereka tentu sudah mulai pula menggunakan berbagai terminologi atau atribut keislaman yang biasa dipakai di kalangan sahabat-sahabat Nabi yang beriman. Tapi suatu ketika, entah bagaimana, terletuplah dalam ucapan mereka, "Kami telah beriman." Spontan Allah merespon bahwa mereka tidak layak merasa diri telah beriman. Mereka hanya layak mengaku Islam. Boleh mengaku Islam tapi jangan mengaku beriman. Iman, sedikitpun, belum ada di hati mereka.
Kesalahpahaman seperti ini sebenarnya bukan milik kaum badui tempo dulu saja. Tidak sedikit fenomena itu menimpa kita di hari ini. Saya sengaja menyebut "kita" karena besar kemungkinan saya pun termasuk di dalamnya.
Kita merasa sudah beriman dengan Allah dan Rasul Nya lantaran, setidak-tidaknya, tidak tinggal shalat lima waktu. Kita merasa sudah beriman karena sudah rutin berpuasa. Kita merasa sudah beriman karena tidak telat bayar zakat. Bahkan mungkin kita merasa telah beriman karena sudah umrah dan menangis-nangis di depan ka'bah. Ternyata, bagi Allah, itu bukan tanda-tanda Iman.
Manusia sering terkecoh, tapi Allah tidak. Allah tahu siapa yang di hatinya ada iman dan siapa yang tidak. Tuhan tahu siapa yang islamnya secara benar, yaitu dengan iman, dan siapa yang islamnya hanya sebagai "kedok" saja. Na'uzubillah min zalik.
Sekarang kita bisa memahami mengapa sebagian ummat Islam hanya mampu menjalankan Islam sekedarnya saja: Islam minimalis. Sebagian lagi sedikit di atas itu, dan sebagian lagi sanggup berjuang habis-habisan untuk menduduki maqam yang tertinggi. Perbedaan itu terletak pada sebuah daya dorong yang terdapat di rongga hati yang dinamakan iman.
Iman itu bagaikan sebuah amunisi yang terletak di ruang bakar yang energinya mampu menggerakkan. Jika iman itu lemah, sedikitlah energinya. Energi yang sedikit itu tidak akan cukup untuk melawan tarikan hawa nafsu yang lebih kuat dan berlawanan arah dengan dorongan iman. Akhirnya kita tewas dibawa arus hawa nafsu itu.
Iman yang sedikit lebih kuat tentu masih bisa melahirkan ketaatan pada Tuhan. Dapat juga berlaku syariat dalam dirinya, terutama yang nampak-nampak di mata dan tidak memerlukan pengorbanan yang berat. Itu pun dilakukan dengan lesu, pas-pasan di garis minimum. Itulah Islam minimalis itu.
Hanya iman yang kuat atau yang sangat kuat yang mampu menampakkan Yaumul Akhir itu dengan sangat jelas. Daya dorongnya dahsyat. Tidak ada gunung rintangan yang terlalu tinggi baginya, kecuali didakinya. Tidak ada jurang yang terlalu dalam, kecuali diseberanginya. Mereka berjuang dengan harta dan jiwa. Itulah iman.
"Shalat yang dikerjakan dengan iman," firman Allah dalam AlQuran, "akan mencegah pelakunya berbuat keji dan mungkar." Shalat yang dilakukan tanpa iman, bukan saja sia-sia tapi bahkan dapat membawa celaka bagi pelakunya.
Nabi SAW pernah pula bersabda, "Barang siapa yang berpuasa karena iman dan harapan pada Tuhan, diampuni dosanya." Tapi , kalau puasa hanya sekedar menahan makan dan minum, yang didapat hanya lapar dan dahaga. Atau, setidak-tidaknya, dia hanya dapat penurunan berat badan.
Nabi pernah pula bersabda bahwa tidak ada balasan bagi haji kecuali surga. Pastilah yang dimaksudkan beliau itu adalah haji yang didorong oleh iman. Karena didorong iman, bekal yang dibawa pun adalah takwa. Tapi, bagi yang berhaji atau berumrah dengan motif lain, perginya tobat, pulangnya kumat.
Wallahu a'lam
Bagaimana pendapat Anda?
No comments:
Post a Comment