Breaking

Friday, March 16, 2012

“Malin Kundang Bukan Anak Durhaka,” kata ibunya.



Pantai Air Manis,  manusia batu,  kutukan ibu,  dan anak durhaka adalah sebagian perkataan  yang tak mudah dihapus dari ingatan wanita yang bernama  Rubayah binti Haji Mahmud.  Ia dipanggil  Mande Rubayah  (mande artinya ibu).  Namanya ikut melegenda karena dialah ibu yang melahirkan Malin Kundang,  anak yang seantero negeri  dicap anak durhaka.

Rubayah tak pernah setuju dengan  gelar buruk untuk anaknya itu. "Betapapun Malin nakal ketika kecilnya dan pongah ketika besarnya, dia tetap anakku," kata Rubayah menepis setiap gunjingan.

Begitulah perempuan yang telah bungkuk itu berjalan kaki dari kampung ke kampung merehabilitasi nama baik keluarganya.

Rambutnya sudah putih semua. Jalannya pun tertatih-tatih. Walaupun ia tidak lagi sesigap masa mudanya, jangan kira ia akan diam begitu mendengar mulut-mulut latah yang terus berceloteh  kalau Malin, anaknya, anak durhaka. Ia akan buru kemana pun juga.

Sore ini, sampai juga Rubayah di pantai Air Manis.  Orang boleh bercerita tentang belasan pantai indah di dunia. Baginya hanya ada satu pantai: pantai yang selalu disebut pantai kutukan. Pantai itu terlalu sulit dilupakannya.  Walaupun jalan  ke sana mendaki dan berkelok,  tiba juga ia di sana, tempat yang masih menyisakan duka dan harapan, misteri dan teka-teki.

Di pantai itu, Rubayah duduk sendirian di atas satu batu seperti geladak sampan. Ia tak peduli air yang terus mengguyur  ketika gelombang laut pecah menendang karang.  Selain batu datar itu, banyak lagi batu lain berbagai bentuk. Batu-batu itu bersusun, mirip sisa kapal yang terjungkal dihempas  badai dan patah tiga atau lima.  Nampak, secara samar, dinding  yang terkuak dan separuhnya tenggelam.  Ada pula struktur serupa tiang layar yang rebah.  Ada pilinan kecil menyerupai tali:  tali kapal.

"Wajarlah kalau orang-orang berpikir kalau ini adalah dulunya kapal yang telah berubah jadi batu," bisik Rubayah meyakinkan diri sendiri.

Rubayah duduk menerawang. Di ujung  tatapannya yang  belum begitu rabun,  terletak satu batu yang  bulat  sebesar tempurung. Batu itu mirip jasad  yang telungkup mencium lantai.

"Oh, Malin, Malin, " panggil Rubayah sambil menarik nafas dalam-dalam.

Gunjingan dari zaman ke zaman mengatakan bahwa bulatan itu adalah kepala Malin Kundang.  Betapa pedih hatinya mengenangkan tuduhan yang tak kunjung padam itu.

"Ini fitnah yang kejam," kata Rubayah sambil menggertakkan gigi ompongnya dan menggepalkan tinju kanannya yang keriput.

Ia mencoba berdiri di atas batu itu sejenak, oleng dan hampir saja ia terjengkang. Untunglah ia duduk lagi. Ditatapnya langit ke arah barat yang semakin menyenja.  Angin pantai yang kadang lurus dan kadang berputar melambai-lambaikan tepi kerudungnya yang lusuh.

Sebagai seorang ibu, Rubayah malu kalau orang terus mengumbar cerita tentang anaknya, yang tak sedap di telinga itu. Dan, dia lebih malu lagi kalau anaknya dituduh jadi batu akibat kutukannya.  Bagi wanita yang dulu penjual kue keliling itu, dirinyalah yang  telah bersalah.  Kesalahan  anaknya itu,  kalaupun pun ada, tentulah tak seberapa.

"Mungkin waktu kecil Malin kurang kasih sayang, " bisiknya membela anaknya yang telah terlanjur jadi legenda kedurhakaan itu.  Karena, sejak kematian suaminya, Rubayah  harus membanting tulang dari pagi hingga petang membesarkan anak satu-satunya itu.

"Jadi, kalaulah  anakku terbukti durhaka padaku atau pada Tuhan,"  kata Rubayah, "akulah yang pantas dihukum, bukan ia. Ia anak baik-baik."

"Malin Kundang jadi batu karena doa kau, Rubayah," kata salah satu tetangga Rubayah pada suatu hari.

"Tapi, apakah doaku sedemikian makbulnya?" bantah Rubayah.  "Doa ibu memang mujarab. Tapi, aku bukan ibu yang baik-baik amat. "

Rubayah melihat ada yang tak logis dalam legenda Malin Kundang. Sunguh sulit diterima akalnya kalau doa orang yang tak baik bisa dikabulkan Tuhan.

"Walaupun aku menutup aurat, aku bukan sufi sekelas Rabiah Al-Adawiyah yang tak pernah melepas tasbih dari jarinya. Aku hanya wanita biasa, yang  kadang-kadang  juga bisa dendam, bisa marah, bisa iri, dan juga bisa cemburu, terutama kalau ayah Malin terlambat pulang."

Rubayah  sadar kalau ketika itu, ketika ia melihat Malin Kundang  begitu congkak, di saat ia berlabuh dengan istrinya yang cantik, Rubayah terlalu emosional. Ia merasa kurang pertimbangan. Anak malang itu pun akhirnya jadi batu.

"Ia memang jahat . Tapi, aku lebih jahat lagi," sesal Rubayah dengan hati iba setiap terkenang olehnya kutukan untuk anak yang tidak menimbang rasa itu.

Begitulah Rubayah terus mengadili  dirinya yang selama ini berpihak pada dongeng orang.    Kini, di depan pantai yang semakin senja itu, ia begitu rindu dengan anaknya; rindu yang tak tertahankan.

"Badai yang memporakporandakan kapal dagang Malin itu terjadi hanya kebetulan," katanya lagi. "Dan kebetulan pula aku sedang tersinggung dengan Malin ketika itu."

Bagi Rubayah, tak semua yang didoakan mesti terjadi dan tidak semua yang terjadi karena didoakan. Itulah falsafah Rubayah dalam memahami hubungan antara doa dan takdir.

"Kalaulah Tuhan selalu mengabulkan doa, alangkah banyaknya anak-anak yang jadi anjing atau monyet," kata Rubayah. Rubayah  memang tahu kalau banyak ibu-ibu mengutuki anaknya  begitu,  ketika anak itu berbuat ulah.  Buktinya, mereka tidak jadi hewan hina itu, tapi malah jadi anggota parlemen.

Seingat Rubayah, ia pernah mendoakan Malin ketika Malin masih kecil. Ia sendirilah  yang menamainya  Malin.  "Nama adalah doa," katanya.

Malin,  dalam bahasa kampungnya,  berarti anak yang saleh.  Nama Malin biasa digelarkan bagi orang-orang yang pandai mengaji. Rubayah tahu kalau nama adalah doa. Itulah sebabnya Rubayah tak memberi sembarang nama kepada anaknya yang terlahir sebagai  yatim itu. Ia namakan anaknya Malin mengikut saran Haji Samsudin, gurunya.  Bahkan, ia tambahkan  pula Kundang sebagai nama belakang agar kelak  Malin bisa jadi ulama kondang.

"Nah, mestinya doaku itu yang diterima Tuhan," bisiknya.

Rubayah nampaknya mulai tak yakin kalau Malin Kundang  benar-benar anak durhaka seperti yang diperkatakan orang.  Ia besarkan Malin dengan usaha halal, jualan kue.  Disisihkannya  juga sedikit uang  untuk sumbangan di tempat  Malin mengaji. Ia tak biarkan Malin hanya puas dengan ilmu bumi. Ilmu hayat, atau geometri. Di sore hari Ia antar  Malin belajar ilmu tajwid dan ilmu nahwu di surau.

Bahkan, sebelum Malin berangkat berlayar waktu itu, meninggalkan kampung,  Malin sudah khatam Quran dua kali.  Rubayah sadar-sesadarnya kalau keberangkatan Malin pun ketika itu  atas restunya.

"Sungguh tak masuk akal kalau anakku yang baik itu jadi batu," katanya.

Di pantai yang mulai semakin petang, ditatap ulangnya serakan batu-batu itu. Ditatapnya berulang-ulang  batu  yang seperti raga manusia  yang terfitnah sebagai jasad pendurhaka itu. Ia selidiki benda keras itu dari berbagai sudut pandang.  Walaupun Rubayah tak tamat tsanawiyah, ia  tahu juga kalau menganalisa tak boleh dari satu sisi saja. Pengamatan mesti dari semua sudut dan horizon.

Tiba-tiba Rubayah terkejut.  Telepon genggamnya bergetar. Mungkin ringnya berbunyi dari tadi, tapi tak terdengar karena kalah oleh debur ombak.  Getaran itu pertanda ada pesan masuk. Lamunan Rubayah bubar.  Ia segera membuka tas tangan tempat ia menaruh teleponnya.

Terbacalah di situ pesan singkat:

MAK, INI MALIN.
MALIN KUNDANG

Terbelalak mata Rubayah menatap kata-kata itu. Ia usap-usap matanya takut salah baca.

"Apakah Mak sehat-sehat saja?" lanjut pesan itu.  "Terlalu panjang untuk diceritakan, Mak.  Tunggu aku ya, Mak.  Segeralah Mak ke bandara.  Sekarang, sebelum maghrib tiba. Aku OTW."

Walaupun Rubayah hanya sekolah rendah di zamannya, ia tahu apa arti "OTW".  Rubayah sering menggunakan banyak singkatan sejak zaman seluler ini.

Betapa girang hatinya kini. Sebentar lagi ia akan dapat memeluk anaknya yang dikira orang anak durhaka itu. "Terimakasih, oh Tuhan," kata Rubayah pelan.

"Tapi, dari mana kau tahu nomor HP Mak?" balas Rubayah cepat.

"Aku lihat foto Mak di facebook," balas Malin Kundang.  "Garis-garis wajah Mak masih seperti dulu, walaupun kini  menua. Berkali-kali aku mencoba memastikan apakah itu Mak atau bukan. Aku ragu.  Aku coba cermati status Mak di halaman wall. Aku cermati profil  Mak.  Akhirnya, yakinlah aku bahwa ini memang Mak. "

"Untunglah Mak cantumkan nomor  HP Mak di sana, " lanjut pesan Malin.

Rubayah hampir saja jadi batu karena kagetnya. Ia bingung apakah ini mimpi atau kenyataan.  Kalau mimpi, mengapa pula ia harus bermimpi jauh-jauh ke pinggir laut?  Kan, di rumah bisa.  Kalau kenyataan, mengapa kenyataan ini datang begitu terlambat setelah ratusan tahun anaknya dituduh anak jahanam.

"Kalau bukan kau, jadi siapa yang jadi batu itu?" tanya Rubayah pada Malin dengan tak sabar.

"Ceritanya panjang Mak. Tapi, agar Mak tidak penasaran, biarlah Malin ceitakan juga. Yang jadi batu itu Sutan Rangkayo Mudo.  Mak masih ingat Ia?

"Aaaaah?",  Rubayah melongo sambil mengernyitkan dahinya yang keriput .

"Sutan Rangkayo memang jahat," bisik Rubayah ketika pikirannya melayang ke masa mudanya.

Ratusan tahun cerita ini terkubur misteri. Terbayang oleh Rubayah ketika pemuda mata keranjang itu  mengaku bujang dan datang melamarnya.  Eh, tahu-tahunya ia sudah beristri tiga. Semua istri-istri itu tak tahu kalau suaminya beristri yang lain. Dia membohongi Rubayah yang masa mudanya memang cantik jelita itu.

"Aku bukan tak mau dinikahiya. Aku bukan tak mau berpoligami," bantah Rubayah pada  orang yang menuduhnya anti poligami.   "Aku hanya tak mau kalau anak-anakku mempunyai ayah yang pembohong walaupun kaya raya  semacam dia, " sambung  Rubayah.

Bagi Rubayah, Sutan Rangkayo Mudo itu pengecut.  Hanya berani berpoligami secara diam-diam, sembunyi-sembunyi.  "Suami macam apa dia itu, " bisik Rubayah sambil mencibir.

"Kalau memang berpoligami,  aku hanya mau kalau aku tinggal serumah dengan madu-maduku.  Dengan begitu,  aku bisa bekerja sama dengan madu- maduku membangun rumah tangga," tegas Rubayah.

Oh, jadi dialah  yang jadi batu itu, Lin?  Sungguh tak kusangka," lanjut Rubayah di dalam SMS nya kepada anaknya itu.

"Ya, Mak. Dialah orangnya," balas  Malin Kundang. "Dia membuat kesalahan berat yang tak termaafkan. Dia bukan hanya dikutuk oleh satu orang, tapi oleh orang sekampung.

"Kau sendiri?" tanya ibu Malin.

"Aku sehat-sehat saja Mak.  Aku buka restoran.  Selepas lulus sekolah, aku  tak mau jadi pegawai negeri karena takut korupsi. Aku memilih beternak itik jawa dan memelihara ikan gurami.  Karena terkenang dengan rendang Mak, aku pun buka rumah makan. "

"Mak tahu Rumah Makan Begadang Simpang Tigo?  Ya, di sana aku punya saham. Nasi bungkus yang Mak bekalkan dulu ketika aku berlayar, enak sekali.  Sejak itu aku bertekad  berjualan nasi.

"Tapi, mengapa selama ini kau tak pulang-pulang, Nak?

"Itulah bodohnya Aku. Aku kira  Mak sudah tiada,  hanyut ditelan gelombang yang menghantam kota Padang waktu itu. Tapi, sabarlah Mak. Tak beradab  kalau kuceritakan di layar Blackberry yang kecil ini.  Tunggulah aku, " jawab Malin singkat.

Seperti amunisi yang meledak, energi  baru masuk dalam tubuh Rubayah yang sudah uzur renta itu. Tulangnya menjadi kuat tiba-tiba. Otot-otot di sekitar tulang belikatnya  berkontraksi . Ia bangkit, berjalan, dan setengah berlari.  Secepat kilat Ia meloncat  ke dalam taksi.

"Antar aku sekarang, cepat.  Cepat.  Ke Bandara Minangkabau, " hardiknya  tegas kepada  sopir taksi yang masih setengah mengantuk.

Sambil kegirangan, Rubayah binti Haji Mahmud berteriak-teriak, "Anakku,  Malin Kundang,  kini akan pulang."

****

No comments:

Post a Comment