Setelah membaca obituari dari Prof Rudy Rubiandini ( Sindo, 23/4/2012) tentang seniornya , almarhum Prof Widjajono Partowidagdo, yang baru saja secara mengejutkan wafat di Gunung Tambora, saya jadi tahu kalau ternyata bukan hanya Pak Dahlan Iskan dan saya saja yang biasa naik ojek, he he he. Saya baru tahu kalau Pak Wit, panggilan akrab Prof Widjajono , ternyata biasa naik ojek juga. Seorang wakil menteri yang dikenal cerdas di kalangan koleganya, sesama guru besar ITB itu ternyata tidak hanya malu-malu berambut gondrong di tengah pejabat lain yang klimis, tapi juga tak malu-malu boncengan berkendaraan roda dua. Terbukti sudah, kalau kami bertiga adalah pengguna ojek, bersama-sama dengan jutaan orang Indonesia lainnya.
Tapi, kalau mau dibanding-bandingkan benar, tentulah kebiasaan itu tak akan persis sama di antara kami bertiga. Bagi mereka berdua, naik ojek bisa jadi lambang kesederhanaan dan kebersahajaan, sedangkan bagi saya naik ojek adalah lambang keterpaksaan. Dari segi seringnya mungkin juga tak sama. Walaupun di antara kami bertiga belum saling memberi tahu frekuensi masing-masing, saya yakin kalau saya mengungguli mereka berdua. Bedanya lagi: Saya selalu bayar. Pak Wit, kurang tahu saya. Tapi, Pak Dis (Dahlan Iskan) sekali nggak bayar, waktu dibonceng sehabis kuliah umum di ITB. Mahasiswa yang ngantar beliau itu sepertinya lupa menagih karena begitu gembiranya. Perbedaan yang lain: mereka berdua menjadi terkenal karena sering naik ojek. Sedangkan, saya biasa-biasa saja, tuh.
Ojek memang kendaraan yang sangat praktis. Rodanya cuma dua sehingga tak memakan ruas jalan. Kita bisa bandingkan dengan Alphard yang memakan ruas jalan secara buas sedangkan penumpangnya sering-sering hanya satu. Pemakaian bensin ojek jelas hemat, sehingga tak dikhawatirkan akan menghabiskan cadangan BBM nasional yang biaya produksinya sudah bikin ampun-ampun itu. Karena ligat geraknya, waktu tempuh di tengah macet jelas lebih pendek. Hal ini sangat diperlukan bagi orang-orang sibuk yang berpacu dengan waktu. Dan, masih banyak lagi yang lain.
Jadi, menurut saya, kalau Pak Dis, Pak Wit , dan saya merupakan pengguna ojek, apakah masih ada alasan untuk tidak menjadikan ojek sebagai kendaraan resmi nasional? Dua pejabat ditambah satu rakyat jelata sudah biasa pakai ojek. Tiga suara itu saja, rasanya sudah cukup untuk mengusung ide agar kendaraan beroda dua ini resmi dinyatakan sebagai kendaraan nasional yang bermartabat. Pengakuannya, kalau perlu pakai SK Presiden.
Inilah momennya. Di saat krisis BBM, krisis kemacetan jalan, jadikan ojek sebagai kendaraan resmi nasional yang bergengsi dan membanggakan. Kalau perlu bukan sebagai kendaraan alternatif, tapi kendaraan utama. Kita ramai-ramai naik ojek. Menteri, gubernur, bupati mari naik ojek. Anggota DPR ayo naik ojek.
Selama ini, ojek atau sepeda motor dianggap kendaraan tidak terhormat. Satpam sebuah hotel berbintang yang sebenarnya tidak mewah-mewah benar, di Jakarta, pernah mencegah saya dan ojek memasuki gerbang utamanya. Kalau mau masuk, mereka suruh kami lewat pintu belakang yang entah dimana. Sorot matanya kepada kami pun seperti sorot burung hantu kepada dua ekor pipit. Terpaksalah, akhirnya, saya turun pas di bawah portal dan berjalan kaki ke lobi.
Makanya, ketika saya menonton berita ojek masuk ke istana Bogor, tempo hari, saya bertepuk tangan dalam hati. Bangga rasanya. Saya sangat berharap kalau satpam bermata burung hantu yang mencegah saya di depan hotel yang tidak terlalu mewah itu menonton berita itu. Biar dia tahu kalau apa yang selama ini dipandang rendah adalah keliru. "Lihat, tuh, menteri saja naik ojek ke istana."
Kalau sudah semakin banyak orang naik ojek, kita bisa lihat nanti begitu banyak keuntungan bagi bangsa ini bila ojek diberi tempat yang layak di tengah moda transportasi umum lainnya. Sesaknya jalan akan sedikit teratasi. Terobosan yang dibuat Pak Dis, Pak Wit dan saya, termasuk perkara besar yang perlu diperhitungkan.
Tentu saja, agar ojek menjadi kendaraan umum yang semakin meluas, semakin diminati, aman, dan nyaman, berbagai peningkatan dan perbaikan tentu harus dibuat. Sistem lalulintas sepeda motor yang sekarang ini semberawutan harus diakui. Asal mau, pembenahannya tentu tidak sulit. Perbaikan-perbaikan itu tak perlu yang rumit-rumit. Banyak hal-hal yang sederhana saja yang bisa dilakukan.
Misalnya, setiap tukang ojek diberi bantuan baju atau jaket seragam. Helm-nya dan sepatunya juga diseragamkan. Di samping memberi kesan rapi, seragam akan memudahkan konsumen mengenali mana yang tukang ojek dan mana yang bukan. Soalnya, saya pernah keliru. Seseorang yang berdiri sambil menyandar pada motornya yang sedang diparkir di depan kantor saya, saya pikir tukang ojek. Eh tahu-tahunya bukan. Dia ternyata seorang pemuda yang sedang menunggu kekasihnya keluar kantor itu. Dengan adanya seragam, hal itu tentu tak perlu terjadi lagi.
Kalau perlu, warna plat nomor sepeda motor yang dipakai ojek dibuat kuning, seperti kendaraan umum lainnya. Jadi, kalau nanti pemerintah akan menyediakan bensin premium hanya untuk kendaraan umum berplat kuning–dan ini memang saran saya untuk menghemat BBM bersubsidi, maka motor roda dua yang telah berplat kuning bisa tercakup di dalamnya.
Itu di antara perbaikan yang bisa di buat di samping perbaikan-perbaikan lainnya. Kalau kita gali, pasti masih banyak ide-ide lainnya yang bisa muncul yang intinya menjadikan ojek aman dan nyaman.
Kalau perhatian pemerintah sudah cukup memadai bagi ojek-ojek ini, tidak tertutup kemungkinan bisnis ojek akan semakin bekembang dengan berbagai kreasi. Sekarang saja, sudah ada yang menggarap ojek online. Hebat, kan? Mungkin, suatu saat akan lebih banyak lagi ojek online semacam ini yang bisa melayani panggilan melalui telepon atau sms semacam itu.
Mungkin, suatu saat akan lahir pula ojek yang khusus melayani penumpang wanita, yang gadis maupun yang hamil. Suspensinya dirancang khusus. Pengemudinya juga wanita.
Kalau sekarang pemerintah sedang serius-seriusnya menggarap mobil listrik nasional, seperti yang sering dilontarkan Pak Dis, saya kira memulainya dengan gagasan ojek listrik nasional akan lebih rasional. Sepeda motor pasti tidak memerlukan energi listrik yang lebih besar dibandingkan mobil. Baterainya pasti lebih kecil dan daya simpannya lebih lama. Lebih-lebih lagi kalau untuk men-charge-nya hanya diperlukan cahaya matahari. Ojeknya tinggal berjemur sambil menunggu penumpang.
Kalau pelayanan ojek ini sudah demikian bagus dan penggunanya semakin meluas, pemerintah mungkin perlu mempertimbangkan untuk membuat jalur khusus ojek yang diberi batas seperti jalur busway. Kita sebut saja jalur ini dengan ojekway, misalnya.
No comments:
Post a Comment