Breaking

Sunday, February 16, 2014

Obituari Dr. Riesdam Effendi: Antara Cinta dan Logika

Telah berpulang ke rahmatullah, rekan kami Dr. Ing. Riesdam Effendi, pada hari Rabu, 5 Februari 2014, pukul 09.55 WIB pagi, di ruang ICU Rumah Sakit PMI Bogor, di usia 50 tahun. Ustaz yang lebih dikenali oleh kerabatnya dengan nama lain Abdurrahman atau sering dipanggil Dr. Rahman itu wafat meninggalkan 3 orang istri yang masih hidup dan 4 orang anak (salah satu istrinya telah lebih dulu wafat).

Setelah disemayamkan sejenak di rumah duka, di kawasan Sentul, Bogor, pada hari itu juga jenazah almarhum dibawa oleh sanak keluarganya ke daerah Gunung Batin, Lampung Tengah, untuk dimakamkan di sana. Konon kabarnya, Riesdam sendiri yang memilih tempat peristirahatannya yang terakhir itu, di sisi makam ayahnya, melalui wasiat kepada keluarga ketika almarhum masih dirawat di rumah sakit.

Kepergian Riesdam bagi saya bukan saja kepergian seorang sahabat yang baik, tapi juga kepergian seorang figur pencari kebenaran sejati. Kewafatannya tepat waktu ketika baru saja dia membuat keputusan besar yang mengubah perjalanan hidupnya secara totalitas.

Sebagai manusia, pastilah tidak semua yang ada pada dirinya sempurna. Justru karena karena tidak sepenuhnya sempurna itu, kisah perjalanan hidup Riesdam menjadi menarik diceritakan untuk dijadikan iktibar. Saya mempunyai sedikit catatan yang merekam turun naiknya hubungan kami.

Foto keluarga Riesdam bersama empat istri (deretan depan) dan empat anak (deretan belakang). Istri yang berdiri paling kanan, Salwa,  telah wafat terlebih dulu setahun yang lalu. Sumber: FB ybs

Cinta dan taat Riesdam pada pemimpin spiritualnya sungguh luar biasa. Saya, juga beberapa kawan yang saya jumpai, mengetahui hal itu. Di dalam organisasi tarekat, mursyid (pemimpin spiritual) memang dipandang sebagai wasilah bagi murid menuju Tuhan. Keselamatan hidup murid sangat tergantung kepada penerimaan mursyid. Seolah-olah, sayang mursyid adalah sayangnya Allah dan bencinya adalah bencinya Allah.

Sebagai pengikut tarekat, Riesdam meyakini itu. Terbukti, hampir separuh usianya itu diabdikannya untuk berjuang di atas keyakinan itu. Walaupun latar belakang pendidikannya adalah teknik penerbangan bergelar doktor, tapi masyarakat umum di Indonesia justru mengenalinya sebagai juru da’wah anggota Arqam. Arqam adalah organisasi da'wah berbasis tarekat.

Kalau cinta kepada mursyid itu masih dikawal oleh akal sehat di bawah panduan syariat secara tepat, tidak ada yang akan mempermasalahkan tarekat dan konsep mursyidnya itu. Ratusan tarekat telah ada di dunia ini sepanjang sejarah. Tapi, kalau kecintaan itu telah jatuh ke dalam taksub (pengkultusan) pada pemimpin yang keterlaluan, tidak heran kalau sebagian tarekat dicap masyarakat sebagai ajaran sesat.

Kasus taksub (pengkultusan) kepada mursyid inilah yang membuat Arqam, tempat Riesdam beraktifitas, menjadi organisasi yang kontroversial di tengah masyarakat. Sejak tahun 1994, Arqam telah dinyatakan sebagai organisasi terlarang di seluruh Malaysia. Bahkan, ulama di beberapa daerah di Indonesia dan Brunei menyatakan Arqam sebagai organisasi sesat.

****

Sejak kecil, Riesdam dikenal sebagai anak yang cerdas. Ketika SMP, ia pernah terpilih sebagai siswa teladan se kota Tanjung Karang. Pendidikan tinggi Riesdam dimulai di jurusan Teknik Mesin ITB, di almamater tempat saya juga menuntut ilmu. Riesdam masuk ITB angkatan 1982 sedangkan saya 1981.

Walaupun sama-sama mengasah pena di bumi Ganesha, Bandung, kami ditakdirkan tidak sempat bertemu waktu itu. Riesdam hanya satu tahun di sana. Di tahun kedua, ia telah dihijrahkan pemerintah Indonesia ke Perancis melalui program beasiswa IPTN. Di salah satu universitas terbaik di Perancis dalam bidang aeronautika, SUPAERO di Toullouse, Riesdam menuntaskan pendidikan kesarjanaannya, kemudian master. Di sana pula ia menyelesaikan program doktornya, lulus dengan predikat cum-laude.

Sekembalinya ke Indonesia tahun 1993, Riesdam bekerja untuk industri pesawat terbang Indonesia, IPTN. Sebenarnya, selama kuliah dan tinggal di Perancis, Riesdam sempat bekerja paruh waktu di industri pesawat raksasa dunia, Airbus. Tahun 2000 ia keluar dari IPTN sejalan dengan gagalnya proyek rintisan industri kapal terbang pertama Indonesia itu.

Ketika mayoritas ahli-ahli pesawat Indonesia, mantan IPTN, pindah ke industri lain di dalam dan luar negeri, Riesdam menmpuh jalan yang berbeda. Ia justru lari dari dunia teknologi yang gemerlap memasuki dunia tarekat. Dan ia memilih bekerja purnawaktu di Arqam.

Riesdam telah mengenal Arqam sejak tahun 1989 ketika ia masih kuliah di Perancis. Ust Ashaari (wafat 2010), yang mendirikan dan sekaligus memimpin Arqam sejak tahun 1968 di Malaysia itu, berhasil menemui Riesdam di sana dan mengajaknya berjuang bersama. Pesona Ust Ashaari begitu merasukinya. Ia pun bersedia ketika namanya diganti menjadi Abdurrahman (nama perjuangan di Arqam). Bahkan, istri-istri Riesdam itu dijodohkan oleh Ust Ashaari kepadanya.

Bagi Riesdam, aktifitas bersama Arqam ternyata lebih memikatnya daripada mengurusi kapal terbang. Positif, sejak tahun 2000, ia telah tinggalkan seluruh aktifitas dalam keteknikan pesawat terbang, berganti dengan aktifitas dakwah keliling Indonesia, juga ke beberapa negara, sambil mengamalkan ritual-ritual tarekat versi Arqam.

Kekerabatannya dengan Ust Ashari dan pengikut lainnya mengental. Ketika guru yang dipanggil Abuya itu berhadapan dengan kasus hukum di Malaysia di tahun 1994-2004, Riesdam masih bertahan. Arqam dilarang dan Ust Ashaari pun diasingkan. Hal itu ternyata tidak menyurutkan semangat Riesdam untuk terus memperjuangkan cita-cita Arqam. Katika ribuan pengikut Arqam memilih keluar, secara diam-diam Riesdam menerima arahan Ust Ashaari untuk mendirikan organisasi baru bernama Rufaqa.

Tidak berhenti di situ, ketika Rufaqa juga diburu pada tahun 2007 di seluruh Malaysia karena diindikasikan sebagai metamorfosis Arqam, Riesdam bersama-sama dengan pengikut Rufaqa lainnya yang masih setia mendirikan oraganisasi baru bernama Global Ikhwan.

Dalam track record kesetiaannya, Riesdam telah menyertai proses metamorphosis organisasi terlarang Arqam, kemudian ke Rufaqa, kemudian ke Global Ikhwan. Inilah semangat perjuangan Riesdam yang tak pudar-pudar yang ada dalam catatan saya.

Kedudukan Riesdam tentu menjadi sangat penting di setiap fase organisasi bentukan Ust Ashaari dengan nama terakhirnya Global Ikhwan itu. Back-ground dan gelar akademis Riesdam menjadi asset perjuangan jamaah. Kalau pada awalnya ia di Arqam hanya disebut seorang simpatisan (simpati kuat), di Rufaqa dan di Global Ikhwan beliau berada di barisan kepemimpinan elit. Terakhir, saya dengar beliau telah mencapai gelar tertinggi, RA (radhiallahu anhu), sebuah gelar di organisasai itu yang katanya hanya diberikan kepada segelintir manusia di akhir zaman.

Betapapun secara ekonomi Riesdam terlihat tertatih-tatih. Bukan ia tidak punya penghasilan. Sebagian besar penghasilannya diserahkan sehabis-habisnya untuk perjuangan mempromosikan gurunya itu. Itu semua demi cinta; demi mendapatkan syafaat guru dalam perjalanan menuju Tuhan. Dalam pandangan umum, itu berlawanan dengan logika akal sehat.

Dengan langkah tegar, didampingi didampingi empat orang istri, Riesdam terus maju. Walaupun sistem rumah tangga poligami yang juga diamalkan oleh sebagian besar pimpinan Global Ikhwan ini menjadi kontroversi di Indonesia, banyak kalangan menilai Riesdam berhasil mempertahankan citra positif pada keluarganya ini sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi sebagian orang.

***

Saya berjumpa Riesdam pertama kali di kota Prabumulih, Sumatera Selatan, tahun 2002. Masa itu termasuk periode awal berdirinya Rufaqa sebagai strategi Ust Ashaari karena Arqam tidak boleh lagi ada. Ketika itu saya menaruh hati pada perilaku orang-orang Rufaqa ini dalam kesehariannya. Sistem hidup, pakaian, perilaku, dan cara mereka menyampaikan da’wah terkesan unik, berbeda dengan organisasi lain yang saya kenal. Barangkali memang sengaja dibuat, seluruh materi ajaran yang menjadi kontroversi di masyarakat di zaman disembunyikan. Setidak-tidaknya itu tidak diekspose lagi. Saya tidak melihat sesuatu yang negatif dari ajaran mereka.

Ajaran-ajaran tasawuf yang digali dari kitab-kitab lama kemudian dihadirkan kembali dalam format baru, kemudian diimplementasikan ke dalam berbagai aktifitas ekonomi dan kebudayaan, membuat saya dan istri mengikuti pengajiannya. Bermula dari sana, akhirnya saya pun menyertai Riesdam di Rufaqa. Saya murid baru, paruh waktu, sedangkan Riesdam adalah tim kepemimpinan inti.

Hubungan saya dengan Riesdam, yang notabene bawahan dan atasan itu, semakin hari semakin rapat. Dalam banyak hal, saya dan istri belajar dari beliau dan keluarga.

Pribadi yang biasa saya panggil Pak Doktor itu (karena beliau memang bergelar doktor) atau Pak Doktor Rahman (mengikut panggilan dari kebanyakakan kerabatnya di jamaah), adalah pribadi yang unik. Di jamaah, Riesdam dikenal bukan saja sebagai seorang intelek, pekerja keras, tapi juga seorang pemimpin yang sangat peduli dengan bawahan.

Barangkali berkat disiplin tarekat, ia menjadi seorang yang sederhana dan ramah yang susah dicari tandingannya. Perkataan sekasar apapun yang ditujukan orang kepadanya pastilah dibalasnya dengan ucapan yang lembut tanpa menyakitkan. Dia mahir dalam mengkomunikasikan nasihat-nasihatnya dengan baik, termasuk dalam tulisan-tulisan.

Orang yang lebih tua dilayaninya sebagai orang yang lebih tua, demikian pula yang muda. Dia sangat pandai menempatkan diri dengan siapa ia berhadapan.

Itulah sebagian catatan saya tentang Riesdam selama 8 tahun bersamanya dalam satu kapal perjuangan.

***

Sayang amat sayang, sejak tahun 2010, hari kewafatan Ust Ashaari, antara saya dan Riesdam mulai mengalami perbedaan pandangan.

Sehari setelah Ust Ashaari wafat, Hatijah Am, mantan istri kedua Ust Ashaari, mengambil alih kepemimpinan Global Ikhwan (nama baru Rufaqa sejak 2007). Dalam pandangan saya, pengambilalihan kepemimpinan Global Ikhwan oleh Hatijah Am dengan menyisihkan orang-orang dekat Ust Ashaari itu penuh intrik politik.

Aneh rasanya, intrik seperti itu berlaku di sebuah jamaah tarekat. Biasanya, kepemimpinan tarekat diambil alih oleh salah seorang anak mursyid atau diserahkan oleh orang banyak kepada salah seorang murid yang sangat dekat dengan mursyid. Biasanya pula, kepemimpinan terekat adalah laki-laki, bukan perempuan.

Hal yang biasanya itu ternyata tidak berlaku di Global Ikhwan. Walaupun kaidah memilih pemimpin itu ada di buku-buku Ust Ashaari, dengan strategi unik janda Ust Ashaari itu berhasil meyakinkan bahwa suaminya itu tidak mati, tapi ghaib. Suaminya tetap memimpin dari alam ghaib, sedangkan dia ditunjuk sebagai penterjemah di alam nyata yang akan memberikan arah-arahan kepada organisasi. Kebetulan, Ust Ashaari wafat dalam keadaan gagap sehingga tak seorang pun yang bisa memahami perkataannya kecuali melalui penterjemahan. Hanya Hatijah Am yang bisa menterjemahkan.

Yang lebih dahsyat, Hatijah Am dengan berani mengatakan bahwa yang memintanya berkata begitu adalah Rasulullah SAW yang kini menyertai suaminya di alam ghaib. Konon katanya, Hatijah telah diangkat menjadi juru bicara Rasulullah SAW itu dengan gelar Bunda Wasilah.

Aneh memang.

Taoi, yang paling lebih aneh lagi di dalam pikiran saya, mengapa sahabat saya yang katanya lulus cum laude dari universitas hebat dunia itu, bergelar doktor dalam ilmu eksakta, bisa menerima akal bulus seorang janda yang jelas-jelas menunjukkan gejala-gejala skizoprenia akut itu.

Pada tahun 2010 itulah awal perbedaan saya dengan Riesdam.

Saya mengambil langkah menentang mursyid perempuan Global Ikhwan yang baru yang mengaku wasilah Rasul itu. Sedangkan Riesdam tetap bertahan di Global Ikhwan dengan seluruh doktrin kurafat yang akan diterimanya kemudian.

Walaupun telah jelas sikap yang diambil masing-masing, saya tetap menghubungi Riesdam sebagai seorang sahabat. Kami hanya terpisah dari segi keyakinan saja bukan sebagai pribadi. Perbedaan pandangan itu memang sangat disayangkan. Tapi, apa boleh buat, jalan kami memang berbeda.

Kadang-kadang di hari-hari berikutnya, saya memantau juga perkembangan sepak terjang Hatijah Am dan aktifitas kawan-kawan lain seperti Riesdam di Global Ikhwan melaui media sosial. Setiap saya menerima informasi keganjilan ajaran Hatijah Am, saya mengontak Riesdam untuk mendapatkan klarifikasi, atau sekedar mengingatkan. Biasanya melalui BBM.

Jawaban beliau biasanya, "Terimakasih Pak Jufran atas infonya. Nanti saya klarifikasi lebih lanjut."

Hanya itu. Riesdam tidak mengulas lebih panjang, baik menyatakan persetujuan ataupun ketidaksetujuannya.

Jawaban Riesdam seperti itu mengesankan saya kalau sebenarnya beliau merasa aneh juga dengan ajaran yang jelas-jelas tertolak dalam Islam itu. Tapi, Riesdam berada di posisi yang sulit membantah mursyid barunya itu. Telah lama diyakininya apapun yang dikatakan mursyid pasti benar. Kalau salahpun, tetap harus dikembalikan kepada mursyid. Lebih-lebih, janda Ust Ashaari yang mengaku sering berhubungan badan dengan suaminya yang gghaib itu telah menganugerahkan Riesdam gelar RA (radiallahu anhu). Gelar ini konon didapatkan Hatijah dari Rasulullah SAW. Riesdam telah terlanjur percaya.

Dalam keyakinan saya, Riesdam tetap seorang yang lurus dan sehat rohaninya. Hanya orang yang mengalami gangguan jiwa saja, menurut saya, yang bisa percaya kalau Rasulullah SAW menyuruh menuliskan buku berkategori pornografi, menyuruh memindahkan tanah suci dari Mekah ke Serawak, mengganti ritual haji menjadi haji ruh, menghalalkan thalak beratus kali.

Hanya orang yang sudah tertular skizoprenia pula, bukan Riesdam, yang bisa mempercayai kalau Rasulullah selalu menemani Hatijah Am berbincang-bincang dan sampai menilai keelokan betis janda berumur 57 tahun yang mengaku berumur 17 tahun itu.


***

Ketika saya tidak berhenti pada mentertawakan Hatijah Am dengan ajarannya yang lucu dan lugu itu saja, tapi saya mulai menyodorkan fakta baru tentang Ust Ashaari, Riesdam memasang sikap tegas dengan saya. Tahun berikutnya adalah era baru perbedaan saya dan Riesdam yang semakin memuncak.

Saya menyodorkan fakta kalau kurafat yang dianut Hatijah Am ini sebenarnya diwariskan dari Ust Ashaari. Hatijah hanya memolesnya dalam format yang lebih mutakhir, namun intinya sama. Ajaran taqiah dan takshub yang diamalkan Hatijah adalah warisan dari Ust Ashaari. Pengakuan yaqazah (perjumpaan dengan Nabi) versi Hatijah sebenarnya derivatif versi Ust Ashaari. Karena hebatnya strategi yang dimainkan oleh tim kepemimpinan Global Ikhwan, ajaran yang sebenarnya telah popoler di zaman Arqam, tidak tergubris oleh orang-orang baru di jamaah ini. Ini adalah untold story bagi orang-orang baru.

Saya mengirimkan banyak tulisan dan dokumen lama yang baru saya temukan tentang Arqam, tentang Ust Ashaari kepada Riesdam. Saya kirimkan tulisan-tulisan yang ditulis oleh orang-orang lama yang memlih keluar dari Arqam, seperti Zabidi dengan bukunya “Arqam Tersungkur di Pintu Surga”. Saya tidak peduli Riesdam mau merespons atau tidak. Saya gunakan emailnya, tanpa menghiraukan balasannya.

Bagi Riesdam, ini tentu berat sekali. Hidup matinya telah ia abdikan untuk berjuang untuk dan atas nama Ust Ashaari. Empat buku yang pernah ditulis Riesdam dengan jelas menunjukkan taksubnya kepada Ust Ashaari. Kini ia harus mereview ulang semuanya itu. Kalau hanya persoalan Hatijah Am, tentu masih ringan baginya. Tapi, kalau sudah persoalan guru besar yang dicintai dan ditaati itu lebih dari separuh umurnya itu tentu berat.

Pernah sekali Riesdam melayani permintaan saya untuk bertemu serius setelah sekitar setahun perpisahan kami. Riesdam datang ke rumah saya dengan istri pertamanya, Gina Puspita. Namun, diskusi di antara kami tidak menemukan titik temu. Perbedaan kami nampak semakin jauh. Tanpa harus mengubah hubungan kekeluargaan kami sebagai dua orang sahabat, kami akhiri diskusi itu. Kami sepakat kalau dalam beberapa hal prinsip berkaitan dengan Ust Ashaari kami tidak sepakat.

***

Waktu ternyata berlalu begitu cepat. Tidak ada yang tidak bisa berubah di dalam hidup ini.

Sekitar awal Desember 2013, saya terkejut mendengarkan berita dari beberapa kawan kalau Riesdam telah menyatakan keluar dari Global Ikhwan. Tidak banyuak yang tahu karena Riesdam belum secara terang-terangan mengumumkan sikap barunya ini. Melalui BBM, whatsup, dan media lain diuangkapkannya kegundahan hatinya kepada orang-orang tertentu.

Seorang kawan mengabari saya kalau Riesdam telah mengabarkan kepadanya kalau keyakinannya sudah mulai runtuh kepada ajaran Hatijah Am dan Ust Ashaari yang selama ini diperjuangkannya. Namu, ia merisaukan perpecahan keluarganya bia ia ungkapkan secara transparan.

“Riesdam menyatakan ingin belajar kembali agama melalui jalur yang benar dan sumber yang sah,” katanya.

Sudah barang tentu, pimpinan Global Ikhwan bereaksi keras terhadap kabar ini. Saya memonitor itu. Posisi Riesdam dan keluarganya yang begitu penting bagi bertapaknya Global Ikhwan di Indonesia, tentu dikhawatirkan dapat mempengaruhi keluarga-keluarga di Indonesia lainnya yang diklaim sebagai anggota setia Global Ikhwan. Saya mendengar intimidasi yang dilakukan tim Global Ikhwan terhadap istri dan anak-anak Riesdam yang sebagiannya mungkin tak sekuat Riesdam keyakinannya.

Walaupun tidak dinyatakannya secara eksplisit, Dalam suatu pertemuan di rumah saya di pertengahan Desember 2013, di hadiri beberapa kawan yang telah lama keluar dari Global Ikhwan, saya menangkap kalau Riesdam memang telah ragu terhadap banyak hal yang selama ini diyakininya sebagai kebenaran dan bahkan dipromosikannya.

Keyakinan saya bahwa Riesdam telah berbalik arah saya peroleh ketika tanggal 24 Januari 2014 beliau mengirim pesan BBM. Kepada saya ia menceritakan telah membaca ulang tulisan-tulisan yang dulu pernah saya kirimkan kepada beliau. Beliau berencana akan mengklarifikasi lebih lanjut data-data yang saya sampaikan kepada beberapa orang. Beliau meminta waktu saya bertemu di rumah untuk berdiskusi panjang lebar sekaligus pinjam-pinjam buku-buku agama. Kami berjanji bertemu pada Senin malam, 27 Januari 2014

Kepada seorang kawan lain (saya ketahui belakangan) melalui pesan singkat, Riesdam menulis, "sebenarnya sejak lama lagi ada hal-hal yang boleh buat kita ragu dengan Abuya (pangilan untuk Ust Ashaari) sebab kurang sesuai dengan Islam, tapi tak tahu bagaimana, hal itu itu kita terima saja."

Saya sedih, karena di hari dijanjikan untuk bertemu itu, Senin 27 Januari 2014 itu, beliau tidak jadi datang.

"Maaf Pak Jufran, saya sejak pagi tadi sakit, terbaring saja di tempat tidur. Dada dan kepala sakit, keluar keringat dingin. Jadi belum dapat ke rumah Pak Jufran sore ini. Mudah-mudahan esok," tulis Riesdam dalam BBM.

Tiga hari berikutnya beliau tidak sembuh, malah dikabarkan harus dirawat di rumah sakit PMI, Bogor, dengan diagnose serangan jantung koroner.

Saya baru sempat menjenguk beliau Jumat 31 Januari 2014 di kamar rawatnya di rumah sakit itu. Ditemani istri saya yang kedua, kami sempat berbincang-bincang ringan. Kami seolah-olah merayakan hubungan baik kami yang bertaut kembali setelah terpisah hampir tiga tahun akibat perbedaan keyakinan.

Tiba-tiba ..........,

Bagaikan suara petir menggelegar di angkasa, di tengah kemesraan hubungan silaturahim saya dan Riesdam yang telah kembali melekat, dalam suasana telah berada dalam jalan yang sama, tiba-tiba saya dikabarkan bahwa Dr. Riesdam Effendi telah menghembuskan nafasnya yang penghabisan di hari Rabu 5 Februari 2014 dengan tenang. Istri pertama saya yang kebetulan berada di rumah sakit itu mengabari berita ini melalui HP nya dengan suara terbata-bata yang hampir-hampir tak bisa diselesaikannya.

Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Kepada Tuhan jugalah akhirnya segala yang bernyawa. Manusia hanya punya harapan. Yang berlaku tetap qudrat dan iradat-Nya.

Riesdam pergi untuk selama-lamanya menuju kekasih agung yang dirindukannya, Allah SWT. Beliau telah meninggalkan gemerlapnya hidup para teknokrat di dunia industri dan memilih kesahajaan di jalan da'wah.

Seharusnya beliau bisa kaya raya dengan bekerja di industri raksasa dunia seperti Boeing dan Airbus bermodalkan gelar pendidikan tinggi teknologi aeronautika yang beliau miliki. Tapi beliau memilih bergabung dengan dunia da'wah karena cintanya pada kebenaran dan keselamatan.

Walaupun akhirnya beliau harus berada dalam kegundahan memilih antara cinta yang mendalam pada mursyid atau berpihak pada akal sehat di bawah tuntunan syariat, Tuhan membukakan tabir kebenaran di saat yang tepat. Sebelum Tuhan mendatangkan sang sakratul maut, hati beliau telah diliputi kembali oleh cahaya kebenaran, cahaya keinsyafan. Yang benar pasti akan nampak benar, yang batil akan nampak batil juga.

Semoga Allah menilai baik seluruh upayanya dalam menempuh perjalanan menuju Allah dengan penuh kemudahan dalam keampunan Allah SWT. Seluruh catatan hidupnya menjadi iktibar bagi kita yang di belakang. Kepada seluruh keluarga, anak-anak, istri-istri beliau, saya sampaikan permohonan maaf atas sikap-sikap saya yang tak wajar kepada almarhum.

1 comment:

  1. kenapa waktu Abuya masih hidup kamu ngga ada komen apa2 ? Apa kerna ilmu kamu secuil, ilmu A segunung ? Jd takut kelihatan bodohnya kamu?
    Sejahat jahatnya manusia, tdk akan menikam org yg pernah menjadi gurunya. Artinya kamu ini lebih jahat dr manusia.
    Sekian..

    ReplyDelete