Karena terprovokasi oleh kedua istri, saya akhirnya memutuskan untuk menonton film Surga Yang Tak Dirindukan, sebuah film drama rumah tangga yang mengangkat isu poligami. Poligami lagi, poligami lagi. "Ah, sepertinya poligami ini tak habis-habisnya menjadi bidikan para sineas kita'" pikir saya.
Film ini diangkat dari novel karya penulis yang telah lama saya kenal, Asma Nadia. Ini yang membuat saya penasaran. Setahu saya, Asma Nadia bukan pelaku poligami. Dia memang penulis muslimah muda berbakat yang banyak mengangkat masalah-masalah perempuan. Saya mengenalnya sebagai corong kaum perempuan, corong para istri yang menyuarakan kekecewaan mereka pada suami yang jahat, kasar, pelit, dan tidak setia. Ia juga corong bagi para istri yang merasa korban poligami. Saya pernah membaca beberapa tulisannya tentang itu.
Setahu saya, Asma Nadia bukan pendukung poligami, apalagi pelakunya, walaupun ia bukan pula penentangnya yang keras. Karena novelnya sendiri, dengan judul yang sama dengan film, belum saya baca, saya belum tahu apa pesan yang ingin disampaikan Mbak Asma tentang poligami. Samakah pesan di novel dan di film ini?
Penasaran ...
Apakah melalui film ini Asma Nadia akan menyampaikan bahwa ia kini sudah siap bermadu? He he he. Atau, apakah ia hanya sekedar menyatakan rasa simpati kepada orang yang berpoligami tanpa ingin mengalaminya sendiri? Atau, apakah ia justru sebaliknya ingin menyampaikan rasa antipati dan mengajak masyarakat memerangi poligami?
Okelah. Saya penasaran. Saya ingin tahu apa yang ingin diceritakannya.
Selama dua jam lebih beberapa menit, pada Minggu malam, 26/7/2015, tanpa pop-corn di tangan, sambil menahan flu dan batuk, saya terpaku di kursi Cinema XXI Citra Grand Cibubur, didampingi istri, menyimak adegan demi adegan film di bawah arahan sutradara kondang sajian MD Production ini.
Terus terang, sajiannya memang bagus. Tata gambar dan tata suara bagus. Menurut saya, Ini sebuah karya film yang bermutu. Walaupun ceritanya mempunyai banyak sub-plot (mungkin untuk menambah komplikasi) dan flash-back berulang-ulang, tapi jalan cerita utamanya secara keseluruhan cukup sederhana, kohesif, dan mudah diikuti tanpa harus banyak mikir. Emosi sedih dengan dialog-dialog yang mengejutkan dan mengundang air mata mendominasi. Nuansa ini sepertinya memang sengaja dibuat dominan agar penonton terlarut dan tegang. Rasa haru dan tegang pun menyelimuti saya.
Tapi, setelah film berakhir, saya jadi berpikir tentang contentnya. Apakah keputusan poligami dalam dunia nyata sesederhana yang diceritakan dalam film ini?
Oh, kok rasanya tidak ya. Di film ini banyak hal yang terasa janggal. Poligami sepertinya digampang-gampangkan saja. Tidak tampak tikungan-tikungan terjalnya. Tidak tampak gregetnya. Sepertinya kita menonton kehidupan hitam putih tanpa abu-abu. Yang lebih mengejutkan saya, poligami dimulai secara gampangan dan diakhiri pula secara gampangan. Saya sadar kalau ceritanya pasti fiktif belaka, hasil renungan, bukan kejadian sebenarnya. Tapi, kalau dibuat terlalu fiktif, film ini terkesan jauh dari realitas.
Diceritakan, Pras (dimainkan Fedi Nuril yang ganteng) adalah seorang arsitek, pekerja keras, namun berjiwa sosial. Ia mempunyai masa kanak-kanak yang suram karena terlahir dari seorang ibu yang kecewa dengan suami kemudian memilih bunuh diri. Pras terpaksa dibesarkan di panti asuhan (?). Latar yang kelam itu membentuk karakter Pras yang solider dengan orang yang senasib.
Ketika Pras dewasa, takdir membawanya bertemu seorang bayi yang bernasib malang. Bayi itu baru saja lahir dari seorang ibu yang ingin bunuh diri. Ibu itu bernama Meirose (dimainkan oleh Raline Shah yang cantik). Walaupun sudah pernah gagal bunuh diri, ibu bayi itu masih saja mencari jalan untuk mati. Rasa peduli Pras pada bayi tak berdosa yang diberinya sendiri nama Akbar menguasai Pras. Spontan, tergeraklah hatinya untuk menyelematkan sang bayi yang tidak berdosa itu dengan cara menikahi sang ibu, Meirose. Pras sendiri padahal sudah punya istri yang sangat ia sayangi, cantik, sholehah, dan setia, bernama Arini (dimainkan Laudya Cyinthia Bella yang juga cantik). Padahal, tidak ada masalah rumah tangga Pras dan Arini. Mereka hidup bahagia, berjanji saling setia, dan ingin membangun rumah tangga surgawi bersama anak lima tahun mereka yang pintar, Nadia.
Intinya, Pras membuat sebuah keputusan yang sangat nekat. Dengan keputusan itu berarti ia akan memulai sebuah drama kehidupan yang tak terbayangkan sebelumnya, yaitu p-o-l-i-g-a-m-i. Ada istri kedua yang pasti akan membakar hangus jiwa istri pertamanya, Arini. Ada pula anak orang yang tak jelas ayahnya namun tak boleh dibiarkan bernasib sama dengan dirinya.
Dramatis sekali memang.
Dari sisi karya sinematography, film ini saya nilai sangat bagus. Ada dua tokoh sentral Pras dan Arini . Di dalam film ini, saya tidak dapat menebak yang mana satu yang dijadikan tokoh protagonis atau hero. Di kebanyakan film, protagonisnya langsung bisa ditebak, di film ini sepertinya dibuat kabur. Pokoknya ada dua tokoh utama. Penonton pilih sendiri protagonisnya sesuai selera masing-masing. Pras dan Arini dieksplorasi secara berimbang dan proporsional. Ekplorasi kedua karakter ini saya nilai berhasil.
Ferdi Nuril dan Laudya Cynthia bermain sangat bagus dalam memerankan karakter masing-masing. Akting mereka nyaris sempurna. Gugupnya, takutnya, marahnya, cemburunya, semua persis seperti dalam keluarga poligami. Saya heran dari mana mereka belajar berpoligami karena saya dengar mereka menikah saja belum.
Raline Shah yang memerankan tokoh Meirose, menurut saya, juga lumayan bagus. Hanya saja, tokoh Meirose ini kurang dieksplorasi emosi-emosinya. Seharusnya, istri keduapun tak kalah serunya bertarung dibanding istri pertama dalam menghadapi masalah rumah tangga poligami.
Tapi, dari segi content saya cukup geleng-geleng kepala.
Keputusan Pras menikahi Meirose cepat-cepat itu jelas keputusan yang sangat gopoh, terkesan tidak masuk akal. Harus secepat itukah? Keputusan itu dibuat tanpa sempat berunding terlebih dulu dengan Arini atau setidak-tidaknya memberi tahunya walaupun melalui telepon. Meirose, tanpa usul periksa, langsung saja percaya dengan Pras. Apapun penilaian orang atas keputusan Pras itu, intinya Pras diam-diam telah menikahi Meirose tanpa sepengetahuan Arini. Walaupun semua resiko harus ia tanggungnya dunia akhirat, keputusan dan cara yang ditempuh Pras menurut saya adalah cara yang buruk. Tujuanya mulia tapi caranya kurang mulia.
Terjadinya pergulatan demi pergulatan batin setelah keputusan poligami itu tentunya natural. Memang demikianlah adanya. Rumah tangga monogami saja penuh pergulatan apatah lagi poligami. Saya maklum kalau Pras mengalami dillema ketika menyusun strategi bagaimana menceritakan perkawinan kedua yang telah terlanjur dibuatnya ini kepada Arini atas desakan Meirose. Ia sendiri sedang dalam tekanan pekerjaan, Arini sendiri sedang dalam suasana duka karena kematian ayahnya yang juga apengamal poligami yang salah.
Saya juga mafhum kalau Pras mengalami kebingungan luar biasa ketika Arini akhirnya tahu juga pernikahan itu sebelum ia sempat memberitahu. Arini jelas kecewa dan marah. Itu pun terjadi di dalam realitas, bukan hanya dalam fiksi.
Konflik yang bertambah besar dan semakin komplikated itu juga wajar. Kalau tidak demikian, penonton tentu akan pulang. Pergulatan demi pergulatan hubungan segitiga Pras, Arini, dan Meirose dibuat susul menyusul. Pergulatan mencapai puncaknya ketika Arini akhirnya 'terpaksa' rela menerima takdir Tuhan bahwa ia harus hidup berpoligami demi masa depan anaknya. Sampai di sana cukup bagus.
Sayangnya, poligami yang sudah diterima oleh Arini atas nama Allah itu, eh tidak lama kemudian berakhir tiba-tiba. Meirose memilih untuk berpisah. Wow. Meirose meninggalkan anaknya. Wow.
Ending film ini memang dramatis dan layak disimak dari sisi perfileman. Mungkin beberapa penonton menarik nafas panjang karena lega. Tapi, dari sisi content, sangat disayangkan. Mengapa Meirose dibuat harus pergi? Pergulatan batin Meirose itu sendiri tidak diekplorasi dengan baik sejak awal sehingga tidak jelas mengapa tiba-tiba ia mengakhiri poligami yang baru saja akan dimulai itu.
Menurut saya, ini ending yang terlalu dipaksakan. Terus terang, saya kurang suka dengan ending seperti ini dalam film manapun.
Mau saya, Meirose itu bertahan. Toh, Arini sudah bersedia. Pras pun telah siap menjadi tulang punggung keluarga, memimpin dua istri. Tuhan pun sudah dilibatkan dalam urusan mereka karena terlihat mereka telah melakukan shalat bersama. Mengapa tidak dibiarkan saja mereka mengharungi kehidupan rumah tangga yang baru ini? Biarkan masyarakat tahu bagaimana pahit-manisnya poligami tanpa harus dipaksa berakhir. Petanyaan ini tentu saya tujukan kepada Asma Nadia, sang penulis.
Tapi baiklah. Itu pilihan Asma Nadia. Hak dia sepenuhnya.
Saya hanya khawatir cerita semacam ini akan menambah persepsi masyarakat kalau sesungguhnya poligami itu negatif adanya sehingga harus diakhiri kalau mau selamat. Seolah-olah, tidak ada poligami yang benar. Poligami yang ada selalu dimulai diam-diam. Poligami harus sulit karena hanya boleh kalau tujuannya menolong orang. Poligami harus berakhir pula kalau mau selamat. Jelek sekali poligami seperti itu.
Betulkah poligami hanya boleh kalau tujuannya menolong orang? Menolong orang adalah tujuan yang mulia. Tapi, poligami yang diizinkan Islam tidak hanya untuk itu. Sepanjang tujuan poligami adalah tujuan yang baik dan halal, poligami diperbolehkan asalkan ditempuh dengan cara yang benar dan halal juga. Tujuan poligami yang terbaik adalah menghidupkan sunnah.
Betulkah poligami boleh tanpa sepengetahuan istri? Persetujuan istri memang tidak diperlukan sebagai syarat bagi seorang laki-laki menikah lagi. Tapi, rumah tangga poligami mustahil dapat dijalankan dengan benar, baik dan adil bila kedua istri tidak saling mengenal, apalagi tidak saling bekerjasama. Poligami sembunyi-sembunyi adalah poligami buruk.
Poligami Pras, Arini, dan Meirose yang ditunjukkan Asma Nadia, menurut saya, adalah poligami yang kurang baik, banyak cacatnya. Tujuan Pras menikahi Meirose mungkin bisa dipandang mulia. Tapi, cara yang ditempuh Pras dengan menikah diam-diam, sembunyi-sembunyi, adalah buruk.
Keputusan Arini untuk menerima poligami karena anak, bukan karena melihat manfaat poligami itu sendiri, menurut saya juga kurang bagus dan kurang mendidik. Ada unsur "terpaksa", atau "daripada."
Yang paling tidak bagus adalah keputusan Meirose yang akhirnya pergi meninggalkan anaknya padahal Pras sudah siap menanggung seluruh resiko rumah tangga itu.
Jadi, don't try it at home, ya!
Barang kali, memang tepat kalau judul film ini Surga Yang Tidak Dirindukan. Artinya, inilah contoh poligami yang jangan ditiru.
Karena Asma Nadia adalah seorang penulis hebat dan bukan antipoligami, saya tantang Asma Nadia untuk menulis karya berikutnya berupa rumah tangga poligami yang baik dan benar, yang layak ditiru. Awal poligami itu harus baik dan benar, akhirnyapun harus baik dan benar. Judulnya mungkin "Surga yang dirindukan." Kalau ceritanya jadi, saya siap merogoh kantong kembali untuk membeli karcisnya lagi, he he he.
Bagaimana pendapat Anda?
No comments:
Post a Comment