Breaking

Friday, December 18, 2009

Friday, December 18, 2009

Cara tercepat mendapatkan ide tulisan


Pembiasaan menulis dimulai dengan langsung menulis. Jangan buat perencanaan apapun, baik dalam bentuk plot maupun outline. Jangan risaukan ide, karena pengalaman para penulis menunjukkan bahwa ide datang ketika sedang menulis. Mencari ide berjam-jam merupakan tindakan yang sanagt keliru.
 Keadaan paling menyiksa yang dialami ketika seseorang ingin mencoba menulis ialah ketika ia duduk termenung berjam-jam di depan komputer atau kertas tulis, tanpa menuliskan satu kalimatpun. Layar monitor atau kertas masih kosong melompong. Bertumpuk bahan telah tersedia di meja. Otak sudah terasa panas, namun tak satu kalimatpun yang terjelma. Ketika muncul satu kalimat, secepat itu pula jarinya menghapusnya kembali. Bahkan ketika dia berhasil menuliskan satu paragraf, tanpa belas kasihan, paragraf itu akan dihajar habis-habisan. Seolah-olah ada dua personal dalam dirinya, yang satu Sang Ilham dan yang satu lagi Sang Editor yang kejam. Berjam-jam hatinya berbisik, "Aduh, belum ada ide yang dapat saya tulis. Dari tadia, saya masih sedang menyusun rencana apa yang akan ditulis."
 Apakah situasi seperti ini pernah menimpa Anda? Saya pernah.
 Coba ingat-ingat kembali apa saja yang telah Anda kerjakan sejak pagi tadi sampai dengan saat ini. maksud saya pekerjaan selain menulis seperti mandi, sarapan pagi, membersihkan sepatu, dll. Adakah pekerjaan-pekerjaan itu direncanakan terlebih dulu? Misalnya, sebelum Anda mengerjakannya, Anda susun dulu langkah-langkahnya. Saya kira tidak. Saya yakin, hampir semua pekerjaan itu berlangsung dengan spontan, begitu saja. Pertanyaan sederhana, "Kalau pekerjaan yang lain dapat Anda lakukan tanpa perencanaan, mengapa menulis tidak?"
 Sekarang saya ingin sampaikan kepada Anda satu hal yang sangat penting. Ini adalah rahasia terbesar dari penulis-penulis hebat. Mereka ternyata menulis tanpa membuat perencanaan apapun. Mereka bahkan mulai menulis di saat di otak mereka tidak ada satu idepun untuk ditulis. Mereka langsung siapkan alat tulis seperti pena dan kertas, atau komputer, mereka langsung menulis satu kalimat yang muncul saat itu secara spontan di pikiran mereka sebagai kalimat pertama. Ketika kalimat pertama telah dituliskan, mereka langsung menulis kalimat kedua dan membiarkan kalimat itu keluar apa adanya sebagai respons atas kalimat pertama. Setelah itu, merekapun melanjutkan menulis kalimat ketiga. Mereka biarkan jari mereka bergerak terus, menulis kalimat demi kalimat yang sambung-menyambung. Demikian seterusnya, perlahan-lahan sampai mereka selesaikan beberapa kalimat. Mereka belum akan berhenti sampai mereka menulis tiga sampai lima paragaraf secara asal-asalan.
 Mereka menulis tanpa membebankan pikiran kepada satu rencana apapun. Joe Vitale dalam "Hypnotic Writing" melaporkan bahwa Eric Butterworth, penulis ratusan buku, artikel, dan sandiwara radio, selalu memulai harinya dengan menulis asal-asalan. Bahkan penulis fiksi produkstif Ray Bradbury setiap hari menuliskan apa saja yang ada di otaknya untuk sampai muncul satu ide yang tepat. Pamusuk Eneste mengumpulkan hasil wawancara dengan lebih dari 30 orang penulis top sastra Indonesia. Sebagian besar mereka mengaku menemukan ide apa yang akan ditulis di saat mereka sedang menulis. Kalaupun mereka punya satu ide sebelum menulis, entah mengapa ketika mulai menulis, mereka akan menuliskan ide yang sama sekali lain.
 Nasihat penulis-penulis hebat itu hanya satu. Mulailah menulis dan Sang Ilham akan datang sendiri setelah dia mengendus aroma kalimat-kalimat Anda. Dia akan duduk di samping Anda mendiktekan apa yang akan Anda tulis berikutnya. Jangan percaya kepada mitos bahwa menulis dimulai dengan adanya ide, Merdekakan pikiran itu. Jangan belengu arahnya. Biarkan otak menemukan ide-ide yang akan dituliskan.
 Berhentilah berpikir bahwa menulis memerlukan outline atau plot sebelumnya. Outline atau plot itu dapat dibangun kapan saja selama menulis. Kalau kebetulan ia sudah ada sebelum menulis, silakan ditulis. Kalaupun belum ada, tetaplah mulai menulis. Anda tinggal berhenti sebentar ketika sudah ada ide mengenai outline dan plot itu. Outline atau plot yang terlalu dini, yang diharapkan membantu, kadangkala dapat membelengu pikiran. Pikiran seolah-olah sudah dipasung pola geraknya ke satu arah, sementara ia sedang menemukan rute kreatifitasnya ke arah yang lain. Karena adanya pemaksaan itulah, sering terjadi kemacetan dan kebuntuan.
 Logika sederhanya begini. Kalau kita menulis dengan relaks, santai, dan perasaan ringan tanpa beban, sel-sel otak akan lebih leluasa bergerak, bukan? Otak lebih mudah mengalamai stimulus dan ide yang tersimpan dalam tempat penyimpannya mulai bergerak aktif. Ingat bahwa semua ide yang ada di dalam otak itu saling kait mengait. Satu saja bergerak, yang lain akan ikut begerak. Pengalaman telah membuktikan bahwa ilham datang pada saat itu. Pikiran kreatif akan muncul tiba-tiba di saat kita sedang menuliskan ide-ide dalam beberapa paragraf awal. Jangan kuatir kalaupun Anda memerlukan lima atau enam paragraf secara asal-asalan.
 Ketika ide-ide mulai bermunculan aktif, saat itulah kita harus mempercepat penulisan mengikuti gerak hati dan pikiran. Jangan mengeditnya sampai satu ketika Sang ilham berhenti mendiktekan ide-ide. Biarkan jari bergerak dan terus bergerak. Istirahatkan Sang Editor Anda yang kejam itu. Bahkan ketika jari mulai terasa ingin berhenti, tuliskan apa saja, seperti kata sambung "dan", "atau", "karena", "tetapi" dll di belakang kalimat yang baru saja selesai Anda tulis sehingga Anda terpaksa menambahkan kalimat lain setelah itu.
 Contohnya Anda baru saja menulis, "Pagi ini hati saya terasa nyaman." Tiba-tiba Anda kehabisan ide. Jangan berhenti menulis. Tulis salah satu kata sambung di belakangnya, seperti kata sambung "karena". Tulisan Anda akan berbunyi, "Pagi ini hati saya terasa nyaman, karena....." Pikiran Anda akan merespons kata "karena" itu dengan kalimat sambungannya seperti "istri saya baru saja pulang." Silakan mencoba.
 Jangan edit. Sekali lagi jangan edit. Ada saatnya nanti, entah kapan, Sang Editor Anda ditugasi bekerja. Bukan saat ini.
 Bagaimana pendapat Anda?
 
 

Wallau a'lam.
Friday, December 18, 2009

Menulis refleksi (renungan)


Refleksi atau renungan berbentuk semacam tulisan ringkas, spontan yang secara prinsip sama dengan diary di dalam cara penulisannya: ringan, harian, reflektif, personal, subjektif, ringkas. Namun refleksi berbeda dari diary di sisi topik. Refkeksi fokus pada satu topik yang tercermin dari judulnya, sementara diary tidak. Bila Anda menulis refleksi dengan beberapa topik, setiap topik ditulis terpisah dengan judul masing-masing.
 Dalam kamus Webster diterjemahkan bahwa reflect artinya respons cepat atau tiba-tiba terhadap sesuatu. Dengan pengertian itu reflective writing adalah tulisan yang merupakan pikiran yang merespon sesuatu peristiwa yang terjadi ketika itu secara ringan, ringkas, dan sederhana. Kita sering menyebutkannya sebagai renungan, atau renungan harian.
 Adalah satu kebiasan pikiran untuk bekerja secara reflectif, merespon sesuatu tanpa sengaja, tanpa perencanaan. Tulisan seperti itu mudah dibuat dan banyak manfaatnya. Kita hanya menuliskan apa respon hati kita pada saat itu terhadap sesuatu. Misalnya hari itu ada seseorang yang buang angin di dalam bis. Baunya menyebar ke seluruh ruangan. Semua orang bertanya-tanya siapa yang berbuat kurang ajar itu. Bayangkan Anda ada di dalam bis itu. Tanpa melihat repon orang lain sekalipun, Anda pasti akan bereaksi spontan. Di pikiran Anda muncul berbagai pertanyaan, mungkin juga makian. Lebih-lebih lagi ketika Anda mulai melihat reaksi orang di sekitar Anda, pikiran dan perasaan Anda akan semakin bervariasi. Nah, tuliskan pikiran dan perasaan itu. Itulah reflective wtiting, disingkat dengan refleksi saja atau renungan.
 Ketika di malam hari, di waktu santai, Anda sedang menonton televisi. Sebutlah Anda sedang menonton berita tentang demo di Hari Anti Korupsi Sedunia, tempo hari. Pikiran Anda bergerak dengan sendirinya meilihat berbagai fenomena, mulai dari ramainya yang terlibat, tujuan demo yang tidak jelas, gangguan yang terjadi, serta sibuknya aparat keamanan. Sekarang ambillah alat tulis, dan tulislah. Tuliskan apa adanya. Ikuti aliran fikiran dan perasaan. Tuliskan tanggapan-tanggapan Anda secara spontan. Anda tidak perlu menulis panjang-panjang. Tulislah secukupnya. Kalau Anda masih fokus pada topik itu, tidak berpindah ke topik lain, itulah refleksi. Kini tinggal diberi judul dengan satu frasa yang menggambarkan topik tulisan.
 Ciri-ciri reflksi adalah tanpa perencaaan, tanpa outline, cepat, dan instan. Saat terpikir, saat itulah Anda menuliskannya. Refleksi bersifat personal, subjektif, dan ringkas. Bersifat personal karena tokoh utamanya memang si penulis, yaitu Anda sendiri dengan menggunakan kata ganti "saya" atau "aku". Gaya bahasanyapun, sangat personal.
 Refleksi bersifat subjektif karena tulisan itu cendrung berisi persepsi atau penilaian pribadi yang kadang-kadang tidak ditunjang oleh data yang akurat. Anda tidak memerlukan referensi apapun, karena reflksi bukanlah karya ilmiah. Kalau Anda ragu, ya tulis saja di sana bahwa Anda ragu. Anda merasa benci dan jijik, ya tuliskan perasaan itu. Semakin banyak unsur perasaan terlibat, semakin hidup tulisan refleksi tersebut.
 Refleksi ringkas karena tulisan ini karena refleksi tidak bertele-tele berkepanjangan. Topiknya tunggal. Saya pernah membaca refleksi dari seorang penulis professional, hanya satu paragraf yang terdiri dari 3 kalimat pendek. Paling panjang, berkisar pada 100-500 kata. Biasanya ditulis harian. Kalau Anda sering membaca "Editorial" di Media Indonesia, atau "Tajuk Rencana" di Kompas, kedua tulisan itu termasuk refleksi, hanya saja mewakili dewan redaksi, bukan perorangan. "Catatan Pinggir" di Tempo, bisa disebut refleksi juga.
 Saya senang membaca refleksi yang ditulis banyak penulis. Di samping topik yang diangkat ringan, bervariasi, dan berubah dari hari kehari. Kadang-kadang jenaka, kadang-kadang serius juga. Unsur emosionalnya sangat kentara. Yang lebih penting, membaca refleksi terasa ada hubungan pribadi pembaca dengan si penulisnya, terasa seperti membaca surat dari seorang sahabat.
 Pengalaman menulis refleksipun sesuatu yang luar biasa. Pengalaman itu bukan saja membiasakan menulis, melainkan dapat mengeksplorasi pikiran dan perasaan secara bebas. Menulis refleksi, sarana terhebat membiasakan menulis sekaligus mencerahkan pikiran.
 Bagaimana pendapat Anda?
 Wallahu a'lam.
Friday, December 18, 2009

Menulis diary setiap hari


Diary adalah tulisan tanpa judul, mengandung banyak topik, yang ditulis secara harian, ringan, responsif, personal dan subjektif. Tidak ada topik yang fokus sehingga judulnya, ya, tanggal penulisan diary itu sendiri. Topiknya bisa meloncat-loncat. Diary yang ditulis pagi hari sebelum beraktifitas dapat diisi dengan rencana kegiatan hari ini, termasuk siapa saja yang akan dihubungi atau ditemui, lokasi yang akan dikunjungi, atau acara-acara apa asaja yang diagendakan harini. Diary yang ditulis malam hari bisa berisi berita ringan semua katifitas sepenjang hari lengkap dengan ulasannya.
 Menulis tiap hari. Itulah jawaban dari pertanyaan bagaimana cara membiasakan menulis. Penguasaan keterampilan berbahasa tulis, menuangkan ide ke dalam tulisan hanya bisa didapatkan melalui menulis sebanyak-banyaknya. Menyeimbangkan laju aliran pikiran dan kecepatan menulis juga melalui proses menulis sebanyak-banyaknya. Tidak ada teori lain dan cara lain, misalnya dengan memakan obat-obat tertentu. Caranya Cuma satu; ambil alat tulis dan menulislah sebanyak-banyaknya.
 Untuk memastikan bisa menulis setiap hari, catatan harian (diary) bisa diandalkan. Hampir semua penulis-penulis hebat dan produktif, tidak terkecuali ilmuwan besar seperti Albert Einstein dan Leonardo Da Vinci, menulis catatan hariannya. Catatan harian adalah satu bentuk tulisan yang paling sederhana. Menulisnya ringan. Tidak memerlukan referensi. Tidak ada tekanan keharusan menulis dengan logis. Isinya sangat personal. Temanya boleh meloncat-loncat. Satu paragraf bicara tentang makanan, paragraf berikutnya tentang wisata, tempat berikutnya tentang kecoa yang menjengkelkan, dst.
 Telah dibuktikan oleh banyak pakar kepenulisan, menulis catatan harian merupakan salah satu langkah pembiasaan menulis yang terbaik, tercepat dan teringkas. Anda bisa memulai kegiatan harian Anda di pagi hari dengan menulis catatan harian dan mengakhirinya di malam hari juga dengan menulis catatan harian. Kegiatan menulis lainnya seperti menulis buku, menulis makalah, menulis surat-surat bisnis dapat dilakukan diantara menulis kedua catatan harian itu.
 Pagi hari setelah selesai shalat subuh dan wirid, Anda bisa menulis catatan harian berupa rencana kerja hari ini. Apa saja yang akan dikerjakan hari ini, tulislah. Kalau dulu Anda biasa menulis jadwal atau rencana harian dalam format poin-poin, sekarang harus diganti dengan menulis dalam kalimat yang lengkap, narasi yang lengkap. Anda dapat menceritakan siapa saja orang yang akan ditelpon atau ditemui hari ini dan akan membicarakan masalah apa. Anda juga bisa medeskripsikan tempat-tempat yang akan dikunjungi atau barang-barang yang akan dicari. Bahkan kalaupun Anda berencana untuk menulis sesuatu hari ini, Anda dapat menuliskan di catatan harian tentang apa dan kapan akan dimulai. Yang penting apapun rencana Anda, tulislah selengkap-lengkapnya dan sejelas-jelasnya. Walaupun catatan ini untuk konsumsi Anda sendiri dan bukan mau dipublikasikan, Anda tidak boleh menulisnya sekedar Anda saja yang mengerti. Bayangkan Anda menulis untuk diterbitkan di koran harian pagi ini.
 Bahkan kalau ada satu isu aktual yang ingin Anda ulas, Anda bisa langsung menuliskannya sebagai bagian dari catatan harian itu sebagai pembukaan atau penutup. Apalagi kalau Anda mempunyai pandangan-pandangan tertentu, pikiran-pikiran tertentu yang muncul pagi itu, suatu kesempatan yang baik menuliskannya di dalam catatan itu. Catatan harian semacam ini akan sama dengan editorial atau tajuk rencana yang muncul di koran setiap hari.
 Di malam hari, ketika Anda sudah mulai santai, selepas shalat 'Isya, wirid dan makan malam, setelah membantu anak-anak belajar, berbincang-bincang dengan keluarga, menonton TV atau membaca buku, sebelum berangkat ke tempat tidur, boleh juga menulis catatan harian malam. Catatan ini bisa mengulas atau mengomentari apa-apa saja yang menarik hati atau berkesan khusus bagi Anda di hari ini. Barangkali Anda bisa mengaitkannya dengan catatan harian pagi atau merupakan catatan yang berdiri sendiri. Intinya, tulislah apa saja. Merdekalah berekspresi.
 Begitu sederhana dan mudahnya menulis catatan carian, ia tidak memerlukan tema, karena itu tidak diperlukan outline atau semacamnya. Catatan harian bertolak dari apa saja yang terpikir dan terasa pada hari itu. Bahkan Anda bisa menulisnya diselang-selingi dengan "ngobrol' dengan keluarga . Apapun yang ada di otak tuangkan. Apa saja yang anda rasakan tuliskan. Catatan harian bukanlah naskah ilmiah yang harus Anda pertanggungjawabkan kebenarannya.
 Walaupun demikian , catatan-catatan itu dapat dianggap enteng menfaatnya. Dia dapat menjadi rujukan pada suatu saat. Bahkan membaca catatan harian di masa yang akan datang merupakan hiburan tersendiri. Saya kadang-kadang sering senyum sendiri membaca catatan harian saya yang saya buat ketika jadi mahasiswa dulu. Dan jangan lupa, catatan harian yang bermutu berpotensi diterbitkan jadi buku. Anda mungkin sudah tahu bahwa beberapa buku yang diterbitkan sekarang seperti "Cat Rambut Orang Yahudi", bahkan menjadi buku best seller, berasal dari catatan harian. Tahun 70-an kita pernah digemparkan oleh satu buku catatan harian Ahmad Wahib. Catatan harian Rosihan Anwar banyak yang diterbitkan juga.
 Anda sudah atau belum punya catatan harian? Bagaimana pendapat Anda?
 
 

Wallahu a'lam
  
Friday, December 18, 2009

Giat membaca dan lebih giat lagi menulis.


Membaca tanpa mengaitkannya dengan menulis akan sangat menjenuhkan. Bacaan yang terlalu banyak menyebabkan otak menjadi stagnasi dan malas berpikir. Menulis membuat semangat membaca tetap dipertahankan. Bahkan dengan menulis, gairah membaca menjadi bertambah-tambah. Itu disebabkan terjadinya regerasi ide yang dahsyat selama menulis sehingga otak memerlukan nput yang lebih banyak.
 Membaca membuat jumlah ide di dalam otak bertambah. Menulis membuat ide lebih banyak lagi pertambahannya. Kalau mau dibanding-bandingkan secara matematis, bisa jadi menulis menghasilkan re generasi ide dua tau tiga kali lebih banyak daripada membaca. Mengapa demikian?
 Ide yang sudah tersimpan di dalam sel otak itu bisa berkembang biak, beranak pinak, melalui stimulus berpikir. Kalau awalnya ada satu ide, kemudian Anda berpikir, ide itu berpotensi menghasilkan ide lain yang sama sekali baru. Bahkan kita sering terkejut dengan kemunculan ide-ide baru ini. Jumlahnya kadang-kadang di luar dugaan, berlimpah. Hal yang tidak terpikirkan sebelumnya, muncul di benak. "Ah ini dia", kata kita sambil tersenyum heran.
 Itulah hebatnya ciptaan Tuhan berupa otak dengan jumlah sel bertriliun-triliun. Kita sendiri heran dengan otak yang sepertinya kecil tapi seolah-olah tidak ada batas daya tampungnya."Nggak penuh-penuhnya."
 Ide akan bertambah dengan berpikir. Ide bisa beranak pinak dalam otak tanpa batas, bahkan dalam waktu yang sangat singkat, sesingkat kerdipan mata. Kelihatannya ide ini tidak perlu kawin dulu sebelum beranak, dan bahkkan tidak ikut KB. Menulis membuat proses berpikir ini lebih dinamis. Ketika kita menulis, otak akan terstimulus, sehingga ide-ide-ide baru akan bermunculan bertubi-tubi."Sampai pegal tuh tangan menulisnya."
 Membaca juga akan menambah ide di dalam otak. Apalagi dalam proses membaca kita memikirkan apa yang sedang dibaca. Hanya saja dari pengalaman, berpikir ketika membaca tidak seaktif berpikir ketika sedang menulis. Karena itu jumlah ide yang dihasilkan dalam membaca tidak sebanyak waktu menulis. Ini menjawab pertanyaan mengapa para jenius dunia menulis. Albert Einstein, Leonardo De Vinci, Isac Newton menulis. Ulama-ulama besar Islam seperti Al-Ghazali, Ibnu Sina, Ibnu Rusd meninggalkan karya tulis berjilid-jilid tebalnya. Bahkan mereka bukan saja meninggalkan buku-buku resmi yang dijadikan referensi di mana-mana, bahkan mereka meninggalkan catatan harian yang menjadi fenomena sampai ke hari ini.
 Membaca hukumnya wajib. Kita memerlukan tambahan ide dari luar. Tidak seluruh ide dapat dihasilkan oleh otak sendiri. Namun, kalau membaca terlalu banyak juga tidak bagus. Bukan tambah cerdas, tapi dapat membuat otak menjadi tumpul. Otak bisa menjadi stress. Hati menjadi terbebani, apalagi membaca tulisan atau buku yang hanya berisi ide, konsep, atau teori, bukan data-data atau fakta. Lebih-lebih lagi setelah membaca buku atau tulisan yang bertentangan dengan hati nurani.
 Bayangkan orang yang kebanyakan makan. Linglung. Begitulah gambaran orang yang terlalu banyak membaca. Lebih-lebih lagi, orang yang banyak membaca, tapi tidak pernah menulis. Persislah perumpamaanya dengan orang yang terus makan, tapi tidak pernah buang air besar. Mampat.
 Nampaknya perlu perimbangan yang memadai antara membaca dan menulis, agar proses berpikir menjadi optimum. Walaupun Anda selalu berpikir ketika sedang membaca, perlu juga Anda pertimbangkan untuk berpikir ketika menulis.Buktikan!
 Anda punya pendapat yang lin?
 Wallahu a'lam.

 

Friday, December 18, 2009

Dari catatan kuliah ke tulisan


Catatan kuliah mahasiswapun dapat disulap menjadi buku. Anda yang tidak mahasiswa lagi, tetap saja berkesempatan berbagai kuliah-kuliah lepas dalam berbagai bidang. Setiap kuliah dapat dituliskan ulang menjadi satu artikel.
 Dulu waktu saya mahasiswa terkesan bahwa satu-satunya proyek penulisan buku karya mahasiswa itu ialah skripsi, berupa hasil riset kecil-kecilan ala mahasiswa. Semua mahasiswa harus belajar metodologi penyusunannya, kandungannya, sistematikanya, dan lain-lain. Dari pengalaman, risetnya sendiri tidak susah, hanya memerlukan waktu sekitar tiga bulan, seluruh data sudah lengkap. Tapi, menuliskannya itu, benar-benar minta ampun. Enam bulan tidak selesai-selesai, sampai akhirnya datang tenaga ajaib yang bernama the power of "kepepet". Eh, jadi juga skripsi itu.
 Pengalaman itu menyisakan kesan yang mendalam, bahwa menulis itu memang berat. Padahal, menulis itu mudah. Saya terkejut ketika Bambang Trim mengutip pernyataan YB Mangunwijaya, bahwa menulis yang paling mudah adalah menulis skripsi, dan yang paling susah menulis buku anak. Masalahnya, sejak masuk ke kampus, sistem yang ada tidak menuntut pembiasaan menulis. Menulis tidak dibiasakan. Yang diperlukan hanya kebiasan membaca kemudian menjawab soal-soal test, yang sebagian besar pakai multiple choice.
 Bagi mahasiswa yang sekarang masih mengikuti kuliah-kuliah, ini waktunya mencoba program pembiasaan menulis yang menyatu dengan kuliah sehingga tidak terbirit-birit ketika harus menulis skripsi. Yang Anda perlukan dalam program inilah hanyalah catatan kuliah. Ya, catatn-catatan kuliah yang Anda buat tiap hari ketika mendengarkan celotehan dosen di ruang kelas. Anda mencatat, bukan?
 Ambil catatan-catatan kuliah Anda itu. Saya yakin, dalam catatan-catatan itu Anda tidak mencatat kalimat demi kalimat. Anda tidak akan jauh berbeda dengan mahasiswa umumnya yang mencatat kuliah dalam format poin-poin. Itulah cara tradisional yang banyak dipkaia.
 Kini tulis kembali catatan itu dalam format tulisan. Biar tidak terasa berat, Anda hanya menuliskan apa yang ada di catatan itu dalam bentuk kalimat-kalimat lengkap. Jangan hanya poin-poin. Anggap saja ada seorang kekasih anda (kebetulan kawan sekelas) tidak masuk kuliah karena sakit. Anda dimintanya menjelaskan isi kuliah itu kepadanya karena beberapa hari lagi akan ujian. Tapi sayang sekali Anda sekarang sedang sariawan berat, tidak bisa berbicara. Maka terpikirlah oleh anda untuk menjelaskan isi kuliah itu secara tertulis. Bayangkan itu. Duduklah menulis. Salin semuanya. Tidak perlu menambahkan data-data lain kecuali yang memang tercatat di situ. Anda hanya perlu menuliskannya. Kalau itu bisa Anda lakukan, catatan-catatan kuliah akan menjelma menjadi buku.
 Walaupun sebagian kita sudah tidak mahasiswa lagi, kita masih sering mengikuti kuliah-kuliah atau ceramah-ceramah, bukan? Anda yang mengikuti kelompok pengajian tertentu, setiap minggu atau hari-hari khusus, setidak-tidaknya Anda dan keluarga menghadiri ceramah-ceramah. Kalau anda mau mencatat ceramah itu, dan setiba di rumah mengubah catatan itu menjadi tulisan, jadilah satu artikel lengkap. Yang laki-laki, setiap Jum'at wajib mendengarkan khutbah. Dari pada tidur sambil duduk di masjid, mecatat khutbah tentu tidak dilarang. Sepulang ke rumah, Anda menuliskannya, jadi juga satu artikel. Bila beberapa artikel dikumpulkan jadi satu, itu merupakan cikal bakal yang sangat jelas untuk menjadi satu buku.
 Tujuan utamanya adalah membiasakan menulis sehingga membangkitkan ide-ide brilian Anda melalui proses menulis. Selain itu tulisan itu akan bermanfaat bagi kawan atau keluarga yang tidak sempat menghadiri ceramah, khotbah itu. Bahkan, tulisan itu bisa menjadi rujukan anda di suatu waktu nanti.
 Bagaiman pendapat Anda?
 Wallahu a'lam
 
 

Friday, December 18, 2009

Dari catatan workshop ke tulisan


Catatan selama workshop sungguh berlimpah ruah. Workshop biasanya berisi berbagai kulia, presentasi, atau ceramah dari para ahli, diskusi dengan peserta, dan ditambah dengan berbagai pameran yang diadakan oleh bidang promosi. Sebelum semua memori lenyap, tuliskanlah catatan ex workshop menjadi tulisan.
 Beberapa tahun yang lalu, saya berkesempatan mengikuti satu workshop hebat yang diadakan di sebuah hotel mewah di Bali, tentang lingkungan hidup. Acara yang sangat menarik: topiknya, pembicaranya, dan sudah barang tentu tempatnya. Di dalam workshop mahal itu dihadirkan dua keynote speaker petinggi pemerintahan di bidang lingkungan hidup. Dalam tiga hari berturut-turut ditampilkan pembicara yang bukan sembarang orang yang terdiri dari pakar-pakar lingkungan hidup, industri, perguruan tinggi dan LSM. Peserta yang hadirpun adalah professional dari berbagai bidang (termasuk saya kali ya? He he he). Saya, sebagai peserta biasa, duduk tertib di bangku empuk di ruang megah berhawa dingin mendengarkan pemakalah yang silih berganti.
 Sebagai peserta, selama workshop berlangsung, saya memanfaatkan dengan baik notepad, stabilo, dan pulpen mahal yang disediakan panitia untuk mencatat. Kami memang dibekali satu tas elegant lengkap dengan alat-alat tulis di dalamnya. Satu demi satu ide yang dilontarkan para pembicara sepanjang siangnya terliput di dalam catatan saya dalam bentuk poin-poin ringkas. Saya buat juga sedikit coretan dan sketsa di sana sini. Saya beri warna beberapa kata. Saya tidak mungkin mencatat kalimat demi kalimat setiap pembicaraan seperti layaknya wartawan bertulisan steno.
 Di malam harinya, dalam kesendirian saya di kamar hotel, selepas makan dan shalat, saya isi waktu dengan membuka-buka kembali catatan itu, sambil menonton acara TV yang tidak menarik, menunggu mata mengantuk. Betapa menariknya workshop itu. Dari catatan yang hanya berisi poin-poin itu saja, pikiran saya bisa mereview ulang seluruh pembicaran para pakar dengan rinci. Bukan itu saja, ide-ide cemerlang yang dilontarkan peserta lain di saat tanya-jawab di kelas atau diskusi lepas sambil berdiri di saat coffee-break, memperkaya khasanah saya mengenai lingkungan hidup.
 Ide-ide sayapun tanpa saya duga bermunculan deras, membersit-bersit, mengait-kait dengan ide para pembicara dan ide-ide peserta. Semua menyatu padu. Saya tidak bisa menahan diri untuk tidak membuat berbagai catatan tambahan dari ide-ide yang bermunculan itu. Demikianlah sepanjang empat malam, selama workshop, saya menemukan pencerahan intelektual, penyegaran pengetahuan, dan penemuan berbagai gagasan baru berkaitan dengan penyelesaian masalah lingkungan hidup yang waktu itu menjadi isu besar di mana-mana.
 Waktupun berlalu.
 Dua tahun kemudian, tanpa sengaja saya menemukan catatan workshop itu kembali di lemari file ketika saya mencari satu file yang lain. Catatan itu masih utuh dan rapi, tersimpan dalam sebuah map yang juga masih rapi. Saya ambil sedikit waktu untuk duduk membaca ulang seluruh lembaran catatan-catatan itu. Apa yang saya dapat?
 Saya sungguh terkejut. Saya tidak bisa menggambarkan kembali kaitan-kaitan ide yang tertulis dalam catatan itu secara utuh. Jangankan muncul ide baru, sebagian besar ide yang tertangkap selama workshop itu telah hilang dari memori saya. Catatan yang sekarang ada di tangan saya terlihat hanya seperti sobekan kertas yang tidak berharga, penuh coretan-coretan yang tidak berarti. Poin-poin yang tertulis tidak lagi terasa saling kait-mengait. Kata-kata yang saya selipkan, ada yang miring, tegak, dsb tidak nampak relevansi satu sama lain. Bahkan saya tidak bisa mengerti apa yang saya maksud dengan beberapa garis atau diagram yang banyak saya tambahkan dalam catatan itu. Hanya satu ide yang muncul pada waktu itu, "kertas-kertas ini layaknya dibuang saja daripada jadi sampah dalam lemari"
 Sekarang, setelah saya membiasakan menulis, terbayanglah oleh saya seandainya di malam-malam workshop di hotel mewah itu saya membuka laptop dan menulis. Saya tuliskan semua catatan itu dalam kalimat-kalimat yang lengkap, paragraf yang tersusun. Saya tuliskan seluruh ide yang dilontarkan kawan-kawan. Saya tambahkan lagi kalimat yang merupakan ekspresi dari ide-ide saya yang bermunculan yang tidak kalah briliannya dengan ide orang lain. Maka, setiap malam saya akan menghasilkan setidak-tidaknya tiga artikel yang komprehensif. Selama empat malam, berarti saya akan menulis 12 artikel. Sesampainya di rumah saya tulis lagi dua artikel lagi, satu pembukaan dan satu lagi penutup, sehingga total 14 artikel. Esoknya, saya kirimkan ke sebuah penerbit, maka lahirlah satu buku spektakuler, karya saya yang terdiri dari 14 bab yang masing-masingnya satu artikel, yang siap di baca oleh ribuan mungkin jutaan orang.
 Dasar bodoh.
 Itu tidak saya lakukan. Saya pulang dari workshop dengan melenggang-lenggang kangkung bagaikan seorang turis selepas beristirahat di sebuah resort wisata yang terkenal ke seluruh dunia. Saya pulang hanya menenteng souvenir yang sekarangpun sudah tidak tahu dimana berada. Saya pulang bukan sebagai seorang professional yang baru saja mencerahkan pemikirannya di sebuah ajang pertemuan ilmiah yang begengsi. Kini, apalah nilai seluruh catatan yang saya buat dengan antusias pada waktu itu, dengan pulpen mahal lengkap dengan tas elegantnya? Catatan itu kini tinggal coretan-coretan di atas kertas buram yang layak dibuang ke tong sampah. Jangankan bisa dipahami orang lain, saya saja tidak paham lagi isinya.
 Apakah Anda ingin workshop, seminar, kursus, penataran yang Anda ikuti, bernilai tinggi? Buatlah catatan-catatan ketika acara itu berlangsung. Setelah itu, tuliskanlah seluruh catatan itu dalam format tulisan yang lengkap di malam harinya, di saat ide-ide itu masih segar dalam ingatan. Tulisan itu tidak hanya akan bermanfaat untuk proses pembiasaan menulis, tetapi juga akan bermanfaat untuk referensi Anda sendiri di suatu saat nanti. Kalau dipublikasikan dalam blog atau buku, wah, jutaan manusia akan menarik manfaat pula. Tidak terbayangkah oleh Anda betapa besarnya manfaat menulis?
 Bagaimana dengan pengalaman Anda?
 
 

Wallahu a'lam.
Friday, December 18, 2009

Dari berbagai catatan ke tulisan


Membuat catatan sudah lazim dalam kehidupan akademis dan professional sebagai pengingat. Catatan dibuat biasanya dalam bentuk poin-poin. Secara tradisional, poin-poin tersebut disusun secara linier. Adapula inovasi baru, catatan dibuat dalam satu diagram yang dinamakan mindmapping. Adapula yang menggabungkan kedua bentuk catatan. Apapun bentuknya, catatan bukanlah pengingat yang dapat menyimpan informasi dalam waktu yang lama. Pengalaman menunjukkan, catatan hanya mampu mengingatkan beberapa bulan saja. Memindahkan catatan ke tulisan bertujuan untuk menyelamatkan isi catatan dari lupa serta membiasakan menulis secara instan dan cepat. Ubah format catatan menjadi tulisan, menulislah.
 Karena begitu banyak dan beragamnya bahan yang harus dimasukkan ke otak, mustahil kita bisa mengingat dengan baik. Setidak-tidaknya kita memerlukan sesuatu untuk mengingatnya untuk sementara waktu sampai ide-ide itu dipindahkan ke sarana penyimpan yang bisa lebih permanen, seperti tulisan. Sudah diketahui secara umum, bahwa cara terbaik untuk mengingat adalah dengan membuat catatan. Biar tidak lupa, ide-ide itu dicatat sementara di telapak tangan, atau di bungkus rokok, atau di kaca toilet. Dan, masih banyak cara lain lagi.
 Saya membiasakan diri, seperti juga kebanyakan orang lain, membuat catatan. Ini sudah merupakan kebiasaan yang mentradisi. Dalam perjalanan, saya mencatat menggunakan ponsel. Kebetulan, pada ponsel saya tersedia aplikasi "notes" atau "mobile word" yang dapat digunakan untuk mencatat. Selain itu, saya biasa menyelipkan pena di saku, yang siap membuat catatan-catatan kapan diperlukan. Di mobil selalu tersedia pena dan kertas. Di meja kantor saya tersedia kertas-kertas lepas yang dipotong-potong kecil. Untuk catatan yang lebih rapi, saya memang menyiapkan satu buku yang disiapkan untuk catatan, yaitu catatan serbaguna. Saya mencatat hasil-hasil meeting, hasil diskusi, daftar "to-do" dan lain-lain. Saya juga menyiapkan catatan khusus untuk mencatat hasil bacaan. Rasanya kurang puas membaca tanpa mencatat, termasuk ketika membaca Al quran. Saya tidak mau kalau ide yang saya peroleh dari bacaan yang sudah tersimpan di otak hilang begitu saja. Bagaimana dengan Anda?
 Karena memang begitulah sifat dari sebuah catatan, kita hanya tidak pernah menuliskan ide dalam tulisan yang lengkap. Maksudnya, kita tidak pernah mencatat dalam bentuk kalimat dan paragraf yang sempurna. Di samping tidak praktis, itu juga tidak mungkin. Kalau Anda sedang mencatat ceramah, pasti Anda tidak akan terkejar untuk mencatat seluruh kalimat yang diucapkan penceramah, bukan? Waktu membaca buku, Anda tidak akan menyalin kalimat demi kalimat.
 Banyak cara yang dikembangkan dalam membuat catatan. Cara yang konvensional adalah dengan mencatat setiap ide yang diwakili oleh satu kata atau frasa. Kata-kata ini disusun dalam kelompok-kelompok yang berjenjang (hirarki). Jarang pada catatan digunakan kalimat lengkap.
 Cara penyusunan kata berjenjang seperti ini disebut "linear" karena berurut secara tertib. Ini adalah cara konvensional dan lazim yang dianut oelh banyak orang. Bahkan kita telah memakainya sejak sekolah dasar dulu. Cara itu masih kita teruskan, walaupun sudah masuk ke dunia professional. Dengan cara ini kita mencatat hasil rapat, mencapat hasil diskusi, mencapat kegiatan proyek, mencatat pembicaraan dalam seminar, workshop, dll.
 Cara mencatat yang dikembangkan secara modern adalah adalah cara mencatat yang lebih kreatif. Cara ini diperkenalkan oleh pakar penggunaan otak dalam belajar, Tony Buzan. Dia memperkenalkan cara mencatat yang dinamakan "mindmapping ". Cara ini sangat praktis dan menyenangkan. Semua ide tetap diwakili kepada satu kata atau frasa kunci seperti biasanya catatan sistem konvensional. Yang berbeda adalah, kata-kata tidak disusun secara tertib dan berjejer ke bawah, melainkan disusun secara radial dan menggaunakan garis-garis pengait. Setiap ide mengait dengan ide lain secara radial. Ada satu ide yang berada di tengah. Ide itu diapandang sebagai ide sentral. Selalu kaitan ide terkait memusat menuju ide sentral ini. Menurut penelitiannya, seperti itulah kerja otak dalam mengingat ide-ide. Anda boleh mencoba mencatat cara ini ketika mempelajari sesuatu secara intensif, baik melalui literatur, artikel majalah/web, pengamatan, atau interview.
 Apapun cara ini, tentu punya kelemahan dan kelebihan dari orang ke seorang. Catatan tetap bersifat pengingat yang bersifat sementara. Catatan hanya berisi poin-poin ide. Catatan hanya bisa dipahami oleh yang menulisnya, yang sama sekali tiak komunikatif untuk orang lain. Dalam bentang waktu tertentu, catatan tidak mempunyai kemampuan mengingatkan lagi. Semua data yang tadinya tersimpan rapi di otak, dapat anda panggil kembali dengan mudah hanya dengan membaca sekilas semua catatan itu. Namun, setelah sekian lama, itu tidak terjadi lagi lagi. Anda akan sampai pada satu ketika melihat catatan sebagai sampah yang tidak berguna. Anda akan rasakan bagaimana lebih b=mudahnya mengingat dengan cara ini.
 Apapun catatan Anda, karena berisi kata-kata kunci saja berupa poin-poin, tidak ada yang memahami secara persis maksud catatan itu, kecuali Anda yang menuliskannya. Walaupun ditambahkan garis-garis pengait, tetap saja dia berupa simbol-simbol yang hanya dipahami oleh sipembuat catatan. Kini, jangan biarkan catatan-catatan tersebut hanya bisa dibaca sendiri dan menguap setelah sekian lama. Ubahlah poin-poinnya menjadi tulisan bernarasi lengkap agar mudah dibaca orang lain.
 Mengubah catatan menjadi tulisan pada dasarnya hanya mengubah format. Kalau dalam catatan, semua ide hanya diwakili satu kata atau frasa. Ide-ide hanya dikaitkan oleh pengelompokan (secara convensional) atau oleh garis-garis radial (secara modern). Dalam tulisan, ide-ide ditulis dalam rangkaian kalimat lengkap, paragraf lengkap. Kaitan antar ide hanya dihubungkan oleh keterkaitan antar kalimat. Sekarang fungsinya tidak lagi sebagai pengingat, tapi juga sebagai sumber data itu sendiri.
 Go! Go!
 Bagaiman pendapat Anda?
 Wallahu a'lam
  
Friday, December 18, 2009

Strategi tiga kata.


Keadaan yang paling menyiksa ketika akan mulai menulis adalah memilih satu ide untuk dimunculkan utuk ditulis. Kalau dikatakan tidak ada ide, tidak mungkin, karena terasa ide-ide bersiliweran dalam lintasan pikiran. Ide itu seperti banyak, tapi tidak satupun yang dapat ditangkap untuk dijadikan bahan tulisan. Ada satu strategi yang diterapkan oleh penulis-penulis professional, yaitu strategi tiga kata.
 Anda mau belajar cara menulis? Mudah. Ambil saja tiga kata secara acak, tulis di komputer Anda. Cara ini memang harus pakai komputer, karena tulisan itu harus bisa di"insert", di 'delete", dll. Anda tidak perlu mencari apa hubungan kata-kata itu. Pilih saja. Apapun tiga kata yang tersirat cepat di pikiran, tuliskan langsung. Anda harus bekerja cepat. Jangan banyak pikir. Hanya tiga kata. Kata benda semua, kata sifat semua, atau campuran, tidak masalah. Pokoknya tiga kata.
 Baiklah. Misalkan Anda sudah menemukan tiga kata, yaitu: rumah, monyet, kembung. Saya sendiri juga tidak pernah memikirkan ketika saya memilih ketiga kata itu sebagai misal. Nah, sekarang tuliskan secara berurut, semuanya pakai huruf besar agar nantinya mudah ditandai mana tiga kata itu. Pisahkan ketiga kata tersebut dengan tanda "titik".
 RUMAH. MONYET. KEMBUNG.
 Sekarang tataplah ketiga kata itu sedikit agak lama. Biarkan pikiran Anda membayangkan wujudnya. Dengan ajaib, Anda akan melihat beberapa ide berdatangan yang akan berkerumun di sekitar masing-masing kata. Anda sendiri tidak dapat mengelak dari ide-ide tamu yang tidak diundang itu. Ambillah beberapa di antaranya tuliskan, baik di depan maupun di belakang kata awal yang tiga. Itulah sebabnya Anda harus pakai komputer agar bisa menyelipkan kata-kata baru, "insert".
 Waktu saya menatap ketiga kata itu, saya menangkap beberapa kata, dan saya tuliskan. Coba lihat hasilnya.
 RUMAH nenek jauh dari kota. MONYET meloncat-loncat di hutan. Minum air terlalu banyak, bisa KEMBUNG.
 Tatap sekali lagi dengan sangat cepat. Biarkan ide-ide mengalir. Setiap ide itu muncul, tuliskan. Dalam contoh saya, saya akan menambahkan seperti berikut.
 RUMAH nenek jauh dari kota. Perjalanan ke sana memakan waktu berjam-jam. Kalau berjalan malam, begitu mengerikan karena perjalanan ke sana melewati hutan-hutan belantara. Berjalan siang, sangat menyenangkan. Saya bisa berhenti sejenak, melepaskan lelah sambil melihat MONYET meloncat-loncat di hutan. Waktu berhenti, saya bisa duduk-duduk sambil makan dan minum. Tapi hati-hati. Minum air terlalu banyak, bisa menyebabkan KEMBUNG.
 Ha ha ha. Sudah mulai nampak kaitannya, kan? Bahkan sudah berbentuk sebuah paragraf yang cantik. "Lanjutkan. Lanjutkan," seperti kata Pak SBY tempo hari. Anda kini dapat menambahkan lagi kalimat atau bahkan memecah paragraf.
 Saya selalu rindu dengan kampung. Rindu dengan nenek. Rindu dengan hutan. RUMAH nenek jauh dari kota. Perjalanan ke sana memakan waktu berjam-jam. Betapapun jauhnya, saya selalu merindukan perjalanan pulang ke kampung karena saya akan berjumpa nenek dan berjumpa hutan.
 Saya senang berjalan siang. Kalau berjalan malam, begitu mengerikan karena perjalanan ke sana melewati hutan-hutan belantara. Berjalan siang, sangat menyenangkan. Kita bisa berhenti sejenak, melepaskan lelah sambil melihat MONYET meloncat-loncat di hutan. Waktu berhenti itu, kita bisa duduk-duduk di rumput sambil makan dan minum. Tapi hati-hati. Minum air terlalu banyak, bisa menyebabkan KEMBUNG.
 Baiklah, silakan melanjutkan. Saya kan ke rumah nenek dulu. Permisi.
 
 

Wallauhu a'lam.
Friday, December 18, 2009

Dedew, si dodol yang ngekos di Jogja


Kemaren, selama perjalanan dari Medan ke Jakarta, saya ditemani Dedew. Anda sudah kenal dengan dia, kan? Maksud saya, Dewi Rieka Kustiantari, si anak kos dodol yang dulu pernah ngekos di Puri Cantika II, di belakang satu kampus keren, di Yogya. Bodi kerempeng. Selalu bawa pensil alis. Pandai bercerita. Semua ceritanya, ngawur-ngidul. Cerita-cerita itu benar-benar bikin saya sewot.
 "Ngebanyol banget nih, anak," bisik saya.
 Coba bayangkan, selama hampir setengah jam di ruang tunggu ditambah dua jam di pesawat, saya betul-betul terkesima menyimak cerita-cerita si cewek gokil ini. Di penerbangan kembali ke Jakarta ini, saya tidak bisa tidur sedikitpun, padahal waktu berangkat ke Medan tempo hari, saya tidur melulu. Dedew mampu mengembalikan khayalan saya ke dunia anak muda gaul, yang sebenarnya telah lama berlalu.
 Banyolan-banyolan Dedew memberi nostalgia tersendiri. Sebabnya, saya dulu, waktu masih mahasiswa di Bandung, memang sempat ngekos selama dua tahun sebelum pindah ke asrama mahasiswa. Hampir samalah kejailan-kejailan yang saya alami di tempat ngekos seperti Dedew. Yang beda mungkin nuansanya. Anekdot-anekdot saya, khas cowok. Saya jadi tahu dari Dedew bagaimana gaya kehidupan kos cewek-cewek ABG, centil.
 Bahasanya saja beda. Karena zamannya beda. Lho, saya kok nulis jadi ketularan pakai bahasa Dedew begini, ya? Jadi, gaul banget. Saya tidak menghitung dengan pasti. Kalau boleh saya terka, perbendaharaan kata baru, yang saya peroleh dari Dedew, mungkin lebih dari 500 kata. Sebagiannya, saya terka-terka saja maksudnya. Karena, kalaupun saya cari di kamus Besar Bahasa Indonesia, tidak akan ada. Waduh, rasanya zaman saya sudah terlalu terpisah dari zaman yang dilakoni si centil Dedew dan kawan-kawan dodolnya yang ngekos jauh dari ortu ini.
 Dedew mengaku pada saya sebagai seorang bocah petualang, gemar berkhayal, cinta menulis dan gila membaca. Bacaannya, bo, seabrek-abrek. Dia mengaku suka plin-plan, tapi mengaku juga bahwa banyak yang naksir. Sombong. Tapi penilaian saya, dia memang nampak ugal-ugalan namun baik hati. Dia toleran dengan kawan. Hemat dengan uang, sampai tahan mandi hanya sekali sehari demi kehematan. Dia anak muda yang idealis, yang tidak mau beli VCD bajakan. Kalaupun pernah sekali, katanya waktu itu ia begitu tak tahan, tapi kan segera kapok.
 Ini memang kejadian lucu. Dedew bilang bahwa dia paling pantang beli VCD bajakan. Tapi, waktu itu uang benar-benar lagi mepet. Ketika jalan lewat penjaja VCD bajakan di Yogya, dia mendengar stelan suara penyayi idolanya, Fadli, Group Padi, dari salah satu lapak. Terjadilah pertarungan di dalam hatinya, mau terus bertahan dengan idealisme atau menyerah untuk sekali ini. Dia bilang, "sekali ini aja deh, lain kali kan nggak." Sambil mengendap-endap, akhirnya dibelinya juga VCD itu. Alamak, setelah sampai di kos, baru dia tahu, di dalam VCD itu hanya satu saja video klip Padi. Sisanya campur-campur. Bahkan ada satu video klip, potongan film biru. "Waduh, aku tertipu," katanya. "Tapi, itu VCD, aku remuk-remuk dengan geram," lanjutnya tersipu-sipu.
 "Dedew… Dedew…, kecian deh" kata saya. Tidak terbayang oleh saya bagaimana perasaan orang tua masing-masing mereka, yang tinggal jauh. Seribu pertanyaan dan harapan menyatu dalam pikiran saya, "Ya Allah, semoga Tuhan lindungi anak-anak saya yang juga sedang ngekos. Jangan sampai kayak kawan-kawannya si Dedew ini."
 Cerita Dedew tentang bagaimana mereka menghadapi issu penampakan setan, telah membuat saya terpingkal-pingkal. Coba bayangkan cewek-cewek calon intelektual muda itu, yang katanya belajar kalkulus, statistik, agronomi, dan gemar mendaki gunung, ternyata penakut juga sama hantu. Itu lucu. Mereka tahan tidur bareng seperti sarden di satu kamar yang ventilasinya terbatas. Perang kentut pun terjadi. Tapi, demi keengganan menemui tamu yang tak diundang, yang tidak berwujud manusia, yang akan mengetok pintu pukul 2 dinihari, mereka sanggup menikmati tidur berhimpit-himpit sampai pagi.
 Di tengah banyolan Dedew yang mengundang tawa, tentu ada juga banyolan yang mengundang derai air mata. Ini unik. Tawa diselingi air mata. Atau airmata bermandikan tawa. Ciileh. Kisah bagaimana akhirnya mereka kapok berulang-tahun dengan gaya tarzanisme, justru membuat saya terharu. Coba bayangkan, di tengah malam, masih pakai daster, sambil menangis, mereka membobong kawan yang mereka kerjain ke rumah sakit karena pingsan. Cerita lain lagi, tentang dua kawannya, anak orang kaya, yang berebut beasiswa untuk anak yang tidak mampu, betul-betul megundang simpati. Dedew piawai meramu kisah-kisah lucu, konyol dan jenaka dalam nuansa yang kadang-kadang mencekam dan kadang mengharukan.
 Bule jangkung yang duduk di sebelah kanan saya di pesawat, sempat terheran-heran melihat tingkah polah saya yang kadang-kadang terguncang-guncang menahan tawa, tapi kadang-kadang mengusap air mata, dari celah-celah kaca mata.
 Tak terasa saya sudah sampai di Jakarta. Waktu pesawat sudah sempurna mendarat, seluruh penumpang dipersilakan keluar, saya bergegas berdiri mengambil ransel di kotak bagasi, dan dengan sigap menalikannya di punggung, bagaikan seorang anak muda, seumur Dedew.
 Bapak yang tadinya duduk di sebelah kiri saya, yang di sepanjang perjalanan tidur itu, tiba-tiba menyapa, "Pak, bukunya tidak dibawa?"
 "Oh ya, terimakasih Pak" jawab saya, sambil mengambil buku itu dan memasukkannya ke ransel. Saya baru ingat, waktu saya mau berdiri tadi, buku karya Dewi Rieka, alias Dedew, yang saya baca untuk menemani saya sepanjang perjalanan itu, saya letakkan di kursi.
 Anda boleh baca buku itu, baik untuk hiburan, nostalgia atau untuk mengenal lebih jauh kisah-kisah anak muda ngekos jauh dari orang tua. Buku itu berjudul "Anak Kos Dodol", karya Dewi Rieka Kustiantiri, alias Dedew, diterbitkan oleh TransMedia Pustaka, Jakarta. Buku itu cetakan ke-11, 2009, tebal 191 halaman, berisi 33 kisah-kisah jenaka dari mahasiswa gokil. Selamat untuk Dedew, eh Dewi Rieka.
 Bagaimana pendapat Anda?
 Wallahu a'lam
Friday, December 18, 2009

Sukses


Dalam berbagai tulisan tentang sukses dan kesusksesan, sering disenaraikan nama-nama yang diklaim sebagai contoh orang-orang sukses. Nama-nama itu antara lain: Bill Gates, Bill Clinton, Nelson Mandela, Albert Einstein, Obama, Martin Luther King, Roosevelt, Alfa Edison, Anthony Robbin, Andre Wongso, Walt Disney, Shakespere, Hemingway, Mark Twain, Napoleon Hill, dan masih banyak lagi. Tokoh-tokoh yang sering diberitakan sebagai "guru-guru kesuksesan" sering menyebutkan sebagian nama-nama itu sebagai orang sukses.
 Padahal nama-nama orang tersebut di atas, sampai akhir hayatnya (kalau dia sudah mati) atau sampai hari ini (kalau dia masih hidup), setahu saya belum tahu bagaimana cara bersuci.
 Saya jadi bertanya-tanya, apa arti sukses yang dimaksudkan itu?
 Kalau sukses itu diartikan terkenal, berprestasi, kita harus masukkan nama-nama seperti Hitler, Musolini, Aidit, Jengis Khan, dkk sebagai orang-orang sukses. Siapa yang berani menyangkal prestasi Hitler?
 Kalau sukses itu itu diartikan sebagai orang yang pernah berbuat baik bagi kemanusiaan, waduh lebih sulit lagi menentukannya. Setiap orang punya daftar nama-nama orang baik dan orang jahat padanya. Seorang kiai yang baik menurut santri-santrinya, bisa jadi orang jahat menurut istri dan anak-anaknya. Saya ada seorang kawan yang begitu baik dalam pandangan kami, kawan-kawannya, namun konon kabarnya dia sedang diajukan kepada pengadilan agama sebagai suami yang jahat.
 Kalau sukses itu diartikan pernah berbuat sesuatu yang luar biasa, saya harus masukkan Tukul yang telah mengaku berhasil mencium lebih dari 300 perempuan cantik dalam acara "empatmata"nya. Menurut saya, itu luar biasa. Mang Sramin (bukan nama sebenarnya) juga termasuk orang sukses, karena katanya ia pernah bertapa selama empat puluh hari empat puluh malam tanpa makan nasi, kecuali ketupat. Dan Andapun pasti akan memunculkan nama-nama yang jauh lebih banyak. Jangan-jangan semua orang di bumi ini akan termasuk orang sukses, karena setidak-tidaknya pernah berbuat sesutu yang luar biasa dalam hidupnya.
 Sukses harus ada patokannya yang jelas. Harus ada referensinya, yaitu tujuan kedatangan hadirnya kita sebagai manusia.
 Kita tercipta sebagai manusia bukanlah pilihan kita. Sang Maha Penciptalah yang tahu untuk apa kita dicipta sebagai manusia. Mengapa dulu kita tidak dicipta sebagai seekor kelinci, nyamuk, atau mungkin hanya sebagai debu?
 Kita dicipta untuk menjadi hamba kepadaNya. Yang berhasil menempatkan diri sebagai hamba kepada Yang Maha Pencipta, yaitu Allah SWT, itulah orang sukses. Tuhan akan menyayangi hamba-hambaNya ini. Tuhan akan memanggil mereka "wali-waliKu".
 Bagaimana pendapat Anda?
 Wallahu a'lam.
Friday, December 18, 2009

ASI


Kalau kita hanya melihat dari sisi lahiriah: gizi, protein, zat-zat aktif pelindung tubuh, dll, maka sama saja ASI yang dikeluarkan ibu kandung dan ibu susuan (asalkan bukan ibu sapi). Kalaupun berbeda, berbedanya mungkin disebabkan makanan yang dikonsumsi sang ibu.
 Namun secara ruhaniah, samakah? Ada yang beralasan dengan tidak menyusunya Rasulullah SAW kepada ibu kandungnya.
 Secara ruhaniah jelas tak sama. Tidak akan sama ASI ibu kandung dan ibu susuan sebagai penaut kasih sayang di hati sang bayi. Ruh bayi memerlukan tali penaut. Tali itu diawali di dalam rongga rahim (namanya diambil dari salah satu nama Tuhan yang berarti Kasih Sayang). Kemudian pertautan itu disempurnakan selama dua tahun dalam aliran susu sang ibu kandung.
 Rasulullah SAW tidak perlu menyusu kepada ibu kandungnya karena pertautan hati Rasulullah langsung kepada Allah, tanpa perantaraan ibu. Rasulullah hendak ajarkan pada kita bahwa Kasih Sayang Tuhan lebih hebat dari kasih seorang ibu pada anakanya.
 Bagaimana pendapat Anda?
 Wallau a'lam
Friday, December 18, 2009

Bukan si Ucup


Ada seorang pekerja bangunan yang sedang bekerja di lantai 13 sebuah gedung. Tiba-tiba seorang berteriak-teriak, "Ucup… Ucup… Anak perempuanmu Soleha mati karena kecelakaan… Ucup…!" Karena panik, orang itu langsung meloncat lewat jendela.
 Ketika hampir mendekati lantai 9, dia baru ingat bahwa dia tidak punya anak perempuan bernama Soleha. Setelah hampir mendekati lantai 5, dia baru sadar bahwa dia belum menikah, apalagi punya anak. Dan, ketika hampir menyentuh tanah, dia baru sadar kalau namanya bukanlah Ucup.
 Hua ha ha ha…..
 Cerita itu dikisahkan oleh kawan saya, Andrias Harefa dan Hendri Bun, dalam bukunya "Be Happy".
 Waktu pertama mendengarkan cerita itu dibacakan oleh anak saya di mobil, saya tertawa terpingkal-pingkal. Rasanya lucu sekali. Cerita itu memang dikemas sedemikian rupa agar pembaca tertawa. Judul bukunya saja tentang tertawa. Saya sendiri heran juga, apanya yang lucu. Kami sekeluarga yang ada di mobil ikut tertawa. Sebagian tertawa karena mendengarkan cerita itu, sebagian lagi mungkin tertawa karena melihat saya tertawa. Soalnya, tertawa saya bisa membuat orang tertawa.
 Tapi, sekarang mari kita berhenti sebentar. Coba kita renungkan cerita apa yang sebenarnya diceritakan kawan saya itu. Itu cerita yang sungguh tragis. Seorang buruh bangunan, yang tiba-tiba panik mendengarkan kisah kecelakaan. Dalam waktu sekejap, dia memutuskan untuk bunuh diri. Dalam proses bunuh diri itu dia baru tersadar bahwa keputusannya itu keliru karena informasi yang dia terima keliru. Tapi apa boleh buat. Nasi sudah jadi bubur. Tubuhnya yang mungkin kekar, maklumlah buruh, sekarang sudah remuk seperti tape. Tragis bukan?
 Perenungna kita akan mencoba menjawab rasa hati yang muncul, "Kok mudahnya orang panik ya?" Berita kecelakaan saja membuat orang panik. Apalagi berita-berita tentang bencana, kiamat, dll. Apakah sekarang hati manusia begitu lemah sehingga begitu mudah untuk panik, atau apakah sekarang terlalu banyak hal-hal yang mudah memanikkan.
 "Mengapa orang terlalu mudah mengambil keputusan untuk bunuh diri?" Sedikit-sedikit mau bunuh diri. Tidak naik jabatan, mau bunuh diri. Suami berselingkuh, mau bunuh diri. Istri minggat, mau bunuh diri. Boss garang, mau bunuh diri. Kawan tidak bayar hutang, mau bunuh diri. Jangan-jangan, nasi anguspun, mau bunuh diri.
 "Mengapa penyesalan selalu datang terlambat, ketika nasi sudah jadi bubur? Coba bayangkan, alangkah sialnya nasib orang yang meloncat tadi. Setelah hampir remuk badannya terhempas di tanah, baru dia sadar bahwa dia bukan Ucup dan masih bujangan. Waduh.
 Lebih dalam, kisah itu seharusnya memeras air mata, membuat kita mengusap-usap dada menahankna pedih di hati. Kita akan teringat dengan nasib bangsa kita yang punya pemuda-pemudi dengan kecerdasan emosional dan spiritualnya sangat rendah. Mereka bukan saja miskin harta, miskin ilmu, dan miskin pengalaman, bahkan miskin iman. Memilih jalan pintas bunuh diri, menunjukkan dia orang yang termiskin di dunia.
 Tapi saya yakin itu cerita fiktif. Kawan saya, Andrias Harefa, memang piawai bermain kata melalui pena. Itulah hebatnya pena. Cerita yang tragis, menyedihkan, dan bahkan mengerikan bisa diubah formatnya menjadi lelucon. Saya teringat dengan pepatah bahwa pena bisa lebih tajam dari pedang. Sekarang tergantung dari tangan yang mengayunkan pena itu. Ia bisa digunakan untuk mengupas mangga di siang yang gerah, atau menguliti orang hingga berdarah-darah.
 Bagiman pendapat anda?
 Wallau a'lam.
  

Monday, November 30, 2009

Monday, November 30, 2009

Ternyata, tidak ada yang sulit


Siang tadi ketika saya sedang minum air jeruk peras hangat kesukaan saya setelah makan siang, saya membaca email kawan yang masuk tiba-tiba. Saya sampai tersedak karena minuman itu terhirup ke hidung. Ceritanya begini.

 Pagi tadi kawan saya itu menumpang mobil bossnya, bule Amerika, menuju satu tempat. Tiba-tiba mobil itu menabrak mobil yang di depan yang berhenti mendadak. Karena si boss terlihat merengut, dengan terbata-bata si supir minta maaf kepada boss bulenya itu.

 "Sorry Sir, I already brake-brake, but brake not eat. The wheel no his flower again," katanya lugas.

 Anda yang sudah puluhan tahun belajar tata bahasa Inggris pasti bingung menterjemahkannya, bukan? Tapi ajaib, si Bule itu justru mengangguk-angguk tanda mengerti. Yang dimaksudkan si supir tadi kalau kita terjemahkan kata perkata adalah begini:

" Maaf Pak, saya sudah rem-rem, tapi remnya tidak makan. Bannya tidak ada kembangnya lagi."

 Karena ia melihat si boss itu bersiap mau turun, mau marah kepada pengemudi yang mobil yang ditabrak, si supir menegah,"Sir, don't follow mix, let me only. If not wrong, the driver children fruit manager money. He stupid don't play. Let know taste." 

Maksud si Supir, "Pak, jangan ikut campur, biar saya saja. Kalau tidak salah, sopir itu anak buah manajer keuangan. Dia memang goblok bukan main. Biar tahu rasa."

Cerita kawan saya itu menunjukkan memang ada dua macam bahasa: bahasa gramatika dan bahasa kosa kata. Bahasa gramatika tersusun rapi sesuai dengan tatabahasa yang baku sedangkan bahasa kosa kata hanya mengadalkan kata. Susunannya terserah-terserah saja. Selama ini saya mengira untuk berkomunikasi hanya bisa pakai bahsa jenis pertama. Ternyata, terbukti bahasa jenis kedua, bahasa kosakata, juga ampuh. Cerita kawan saya tentang supirnya tadi sebagai bukti.

 Cerita ini mengingatkan saya dengan seorang kawan lama -- tak perlu saya sebutkan namanya-- yang mengeluh kepada boss bulenya yang selalu memberinya tugas tidak henti-henti, 

Dia bilang," Boss, little litle to me, litle litel to me, salary not up up."

Boss itu ternyata juga paham. 

 "Mengapa kemarin tidak masuk kerja?" tanya bossnya.

 "I am not delicious body, like enter the wind.".

 Semudah itukah berbicara dengan orang asing? Ya. Bagi orang seperti saya yang sudah hampir putus asa tidak bisa berbahasa Inggis, mari kita pindah dari berbahasa tatabahasa ke bahasa kosakata. Seperti yang di lakukan orang-orang itu.

Orang-orang itu tidak pernah membebani dirinya dengan aturan tatabahasa yang tidak manusiawi. Mereka bebaskan dirinya. Terbukti. Mereka tidak kurang kesempatan kerja, bahkan bekerja dengan orang asing dengan upah yang tinggi.

 Bagaimana menurut Anda?

Wallahu a'lam
Monday, November 30, 2009

Pengalaman yang dimakan usia


Beberapa waktu yang lalu saya terlibat dengan pembicaraan ringan, secara tidak sengaja, dengan sorang manajer senior sebuah perusahaan swasta yang bergerak di bidang perminyakan. Karena usianya, beliau akan memasuki pensiun tidak lama lagi.
 "Apa rencana kegiatan Bapak setelah pensiun?" tanya saya.
 "Ya, inilah yang sedang saya pikir-pikirkan," katanya ringan.
 Tiba-tiba dia menatap saya serius, "Saya tahu, tanpa kegiatan yang rutin, banyak sekali orang yang sudah pensiun menjadi cepat pikun, ya? Untuk mengisi pekerjaan yang mengandalkan fisik, rasanya tidak mungkin lagi bagi pensiunan. Apakah Anda punya saran?" tanyanya.
 Waktu itu saya sedang menulis. Tiba-tiba dengan spontan saya menjawab," Bagaimana kalau menulis?"
 "Menulis?" katanya sambil tertawa terbahak-bahak dan menepuk-nepuk bahu saya. "Anda silakan terus menulis. Anda boleh menyarankan apa saja kepada saya, kecuali menulis. Ha ha ha."
 "Apa salahnya menulis?" tanya saya sedikit agak heran. "Saya kira dengan menulis, Bapak dapat mengisi hari-hari yang panjang tanpa kegiatan fisik yang berarti. Menulis hanya pakai jari. Dan lagi, dengan menulis, pikiran akan terus bekerja mengolah seluruh informasi yang ada pada otak. Jelas, ini akan memperlambat pikun. Dengan menulis, Bapak bisa mewariskan pengalaman dan pengetahuan Bapak bertahun-tahun di bidang yang langka ini kepada anak cucu. Dengan menulis, Bapak bisa menasihati generasi muda agar lebih baik bertindak. Bahkan, kalau Bapak mau, tulisan Bapak bisa dikomersilkan pula."
 Dia menarik nafas panjang. Dari kerutan alisnya, otaknya seperti menggeliat keras. Menggeleng-geleng, kemudian mengangguk-angguk, tapi tidak pasti apa yang dianggukkannya. Tiba-tiba saja dia berdalih. "Saya membayangkan betapa sulitnya menulis itu. Saya tidak mampu. Bahkan saya tidak tahu dari mana saya memulainya. Saya heran dengan Anda. Saya ingin menulis seperti Anda, menuliskan pengalaman-pengalaman saya. Tapi....," tiba-tiba saja dia tidak melanjutkan kalimatnya.
 "Tapi apa Pak?" tanya saya memancing.
 "Apakah Anda bersedia mengajari saya?" katanya singkat.
 Terpikirlah oleh saya bahwa orang seperti Manajer Senior tadi tidak sedikit. Di berbagai pertemuan, saya sering menemui mereka. Mereka, yang saya maksudkan adalah kaum professional yang pada dasarnya memiliki segudang pengetahuan dan pengalaman. Mereka lulusan perguruan-perguruan tinggi ternama. Mereka telah ditempa oleh asam garamnya profesi. Mereka terlibat dalam berbagai workshop, seminar tentang profesi yang mereka tekuni. Namun karena profesi mereka tidak berhubungan langsung dengan tulis menulis seperti seorang wartawan atau sastrawan, mereka jarang menulis. Bahkan untuk menulis surat saja, sektretarisnyalah yang melakukannya.
 Mereka tersebar dalam label profesi yang bermacam ragam seperti insinyur, dokter, notaris, pengacara , pengusaha, manajer, direktur, guru, dosen, ustaz, kiai, dll. Bahkan di antara mereka telah berada di puncak karir yang sangat strategis. Mereka pasti memiliki pengetahuan dan pengalaman yang sangat berharga. Bahkan, mereka ada niat dan selalu berpikir untuk mewariskan pengetahuan itu untuk masa depan bangsanya. Tapi entah mengapa, mereka tidak dapat menuliskannya. Pengalaman dan pengetahuan mereka hilang begitu saja sampai mereka dimakan usia.
 Bagaimana pendapat Anda?
 
 

Wallahu A'lam

Thursday, November 26, 2009

Thursday, November 26, 2009

Dari catatan ke tulisan


     Beberapa tahun yang lalu, saya berkesempatan mengikuti satu workshop hebat yang diadakan di sebuah hotel mewah di Bali, tentang lingkungan hidup. Acara yang sangat menarik: topiknya, pembicaranya, dan sudah barang tentu tempatnya. Di dalam workshop mahal itu dihadirkan dua keynote speaker petinggi pemerintahan di bidang lingkungan hidup. Dalam tiga hari berturut-turut ditampilkan pembicara yang bukan sembarang orang yang terdiri dari pakar-pakar lingkungan hidup, industri, perguruan tinggi dan LSM. Peserta yang hadirpun adalah professional dari berbagai bidang (termasuk saya kali ya? He he he). Saya, sebagai peserta biasa, duduk tertib di bangku empuk di ruang megah berhawa dingin mendengarkan pemakalah yang silih berganti.
     Sebagai peserta, selama workshop berlangsung, saya memanfaatkan dengan baik notepad, stabilo, dan pulpen mahal yang disediakan panitia untuk mencatat. Kami memang dibekali satu tas elegant lengkap dengan alat-alat tulis di dalamnya. Satu demi satu ide yang dilontarkan para pembicara sepanjang siangnya terliput di dalam catatan saya dalam bentuk poin-poin ringkas. Saya buat juga sedikit coretan dan sketsa di sana sini. Saya beri warna beberapa kata. Saya tidak mungkin mencatat kalimat demi kalimat setiap pembicaraan seperti layaknya wartawan bertulisan steno.
     Di malam harinya, dalam kesendirian saya di kamar hotel, selepas makan dan shalat, saya isi waktu dengan membuka-buka kembali catatan itu, sambil menonton acara TV yang tidak menarik, menunggu mata mengantuk. Betapa menariknya workshop itu. Dari catatan yang hanya berisi poin-poin itu saja, pikiran saya bisa mereview ulang seluruh pembicaran para pakar dengan rinci. Bukan itu saja, ide-ide cemerlang yang dilontarkan peserta lain di saat tanya-jawab di kelas atau diskusi lepas sambil berdiri di saat coffee-break, memperkaya khasanah saya mengenai lingkungan hidup.
     Ide-ide sayapun tanpa saya duga bermunculan deras, membersit-bersit, mengait-kait dengan ide para pembicara dan ide-ide peserta. Semua menyatu padu. Saya tidak bisa menahan diri untuk tidak membuat berbagai catatan tambahan dari ide-ide yang bermunculan itu. Demikianlah sepanjang empat malam, selama workshop, saya menemukan pencerahan intelektual, penyegaran pengetahuan, dan penemuan berbagai gagasan baru berkaitan dengan penyelesaian masalah lingkungan hidup yang waktu itu menjadi isu besar di mana-mana.
     Waktupun berlalu.
     Dua tahun kemudian, tanpa sengaja saya menemukan catatan workshop itu kembali di lemari file ketika saya mencari satu file yang lain. Catatan itu masih utuh dan rapi, tersimpan dalam sebuah map yang juga masih rapi. Saya ambil sedikit waktu untuk duduk membaca ulang seluruh lembaran catatan-catatan itu. Apa yang saya dapat?
     Saya sungguh terkejut. Saya tidak bisa menggambarkan kembali kaitan-kaitan ide yang tertulis dalam catatan itu secara utuh. Jangankan muncul ide baru, sebagian besar ide yang tertangkap selama workshop itu telah hilang dari memori saya. Catatan yang sekarang ada di tangan saya terlihat hanya seperti sobekan kertas yang tidak berharga, penuh coretan-coretan yang tidak berarti. Poin-poin yang tertulis tidak lagi terasa saling kait-mengait. Kata-kata yang saya selipkan, ada yang miring, tegak, dsb tidak nampak relevansi satu sama lain. Bahkan saya tidak bisa mengerti apa yang saya maksud dengan beberapa garis atau diagram yang banyak saya tambahkan dalam catatan itu. Hanya satu ide yang muncul pada waktu itu, "kertas-kertas ini layaknya dibuang saja daripada jadi sampah dalam lemari"
     Sekarang, setelah saya membiasakan menulis, terbayanglah oleh saya seandainya di malam-malam workshop di hotel mewah itu saya membuka laptop dan menulis. Saya tuliskan semua catatan itu dalam kalimat-kalimat yang lengkap, paragraf yang tersusun. Saya tuliskan seluruh ide yang dilontarkan kawan-kawan. Saya tambahkan lagi kalimat yang merupakan ekspresi dari ide-ide saya yang bermunculan yang tidak kalah briliannya dengan ide orang lain. Maka, setiap malam saya akan menghasilkan setidak-tidaknya tiga artikel yang komprehensif. Selama empat malam, berarti saya akan menulis 12 artikel. Sesampainya di rumah saya tulis lagi dua artikel lagi, satu pembukaan dan satu lagi penutup, sehingga total 14 artikel. Esoknya, saya kirimkan ke sebuah penerbit, maka lahirlah satu buku spektakuler, karya saya yang terdiri dari 14 bab yang masing-masingnya satu artikel, yang siap di baca oleh ribuan mungkin jutaan orang.
Dasar bodoh.
     Itu tidak saya lakukan. Saya pulang dari workshop dengan melenggang-lenggang kangkung bagaikan seorang turis selepas beristirahat di sebuah resort wisata yang terkenal ke seluruh dunia. Saya pulang hanya menenteng souvenir yang sekarangpun sudah tidak tahu dimana berada. Saya pulang bukan sebagai seorang professional yang baru saja mencerahkan pemikirannya di sebuah ajang pertemuan ilmiah yang begengsi. Kini, apalah nilai seluruh catatan yang saya buat dengan antusias pada waktu itu, dengan pulpen mahal lengkap dengan tas elegantnya? Catatan itu kini tinggal coretan-coretan di atas kertas buram yang layak dibuang ke tong sampah. Jangankan bisa dipahami orang lain, saya saja tidak paham lagi isinya.
     Apakah Anda ingin workshop, seminar, kursus, penataran yang Anda ikuti, bernilai tinggi? Buatlah catatan-catatan ketika acara itu berlangsung. Setelah itu, tuliskanlah seluruh catatan itu dalam format tulisan yang lengkap di malam harinya, di saat ide-ide itu masih segar dalam ingatan. Tulisan itu tidak hanya akan bermanfaat untuk proses pembiasaan menulis, tetapi juga akan bermanfaat untuk referensi Anda sendiri di suatu saat nanti. Kalau dipublikasikan dalam blog atau buku, wah, jutaan manusia akan menarik manfaat pula. Tidak terbayangkah oleh Anda betapa besarnya manfaat menulis?
     Bagaimana dengan pengalaman Anda?
 
 

Wallahu a'lam.

Wednesday, November 25, 2009

Wednesday, November 25, 2009

Menulis, berpikir dan berzikir


Secanggih-canggihnya otak menyerap, menyimpan, mengolah, dan mengembang-biakkan informasi melahirkan ide-ide, otak tidak lebih dari sekedar bagian tubuh yang tidak berdaya . Otak sama saja dengan bagian tubuh lain seperti mata dan telinga, tangan dan kaki yang sama-sama tidak berdaya walaupun yang satu terlihat lebih canggih dari yang lain karena perbedaan fungsinya.
Otak itu sama sekali tidak dapat berpikir. Walaupun terdiri dari triliunan sel dengan segala kerumitannya, otak tidak dapat mengolah informasi, palagi menghasilkan ide-ide. Sebenarnya, yang menjadi sutradara bagi proses berpikir otak adalah akal yang dipancarkan oleh ruh yang berada di belakang seluruh fungsi faal tubuh. Kalau tidak percaya, perhatikan tatkala ruh itu dicabut dari jasad, seketika itu juga seluruh jasad berubah jadi bangkai. Kemana perginya kejeniusan, kepakaran, kehebatan yang dibangun bertahun-tahun lamanya?
Sekarang mari kita lihat lebih jauh ke dalam ruh. Tuhan menciptakan ruh tidak dalam satu dimensi. Salah satu dimensinya adalah bagian yang berkemampuan berpikir yang dinamakan akal itu. Tapi sebenarnya, kalau kita kaji lebih jauh, akalpun ternyata bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, yang dapat menjalankan fungsinya sendiri. Ada satu dimensi lain ruh yang dinamakan hati-nurani yang berada pada pusat ruh itu sendiri. Di hati-nurani, Tuhan meletakkan rasa bertuhan sebelum ruh dihembuskan ke dalam jasad. Di hati nurani, Tuhan letakkan kesadaran sebagai manusia. Hati nurani diberi kemampuan merasa, termasuk merasa takut dan cinta. Sebenarnya hati-nurani inilah raja diri manusia itu dan inti daya ruh itu secara keseluruhan. Akal bekerja atas perintah hati-nurani ini. Benarlah ketika Rasulullah mengatakan, "Di dalam dada manusia ada sebuah gumpalan. Bila dia baik, baiklah manusia itu. Bila ia jahat, jahatlah manusia itu. Dia adalah Qalb (hati nurani)"
Betapapun hati diciptakan dalam fitrahnya baiknya, bisa berubah menjadi jahat karena di dalam ruh ada dimensi lain berupa hasrat manusiawi yang disebut hawa nafsu yang berhembus terus menerus ke dalam relung hati manusia. Hawa nafsu ini dipandang begitu jahat karena dia tidak merasa cukup bila manusia hidup apa adanya. Dia hembuskan keinginan untuk menggapai sebanyak-banyaknya harta benda, setinggi-tingginya jabatan. Bahkan hawa nafsu memasuki relung hati untuk menggantikan rasa bertuhan dan rasa kehambaan yang telah dibawa hati sejak awal penciptaannya.
Kita kembali ke akal. Alam raya ini, mulai dari proses penciptaannya, pembentangannya, strukturnya, macam ragam tingkah polah penghuninya, sampai dengan proses penghancurannya kelak, sangat menarik bagi akal. Manusia memang penasaran untuk mengetahui lebih banyak rahasia-rahasianya. Manusia dengan akalnya itu akan mengeksplorasi segala yang ada dalam alam semaksimal mungkin atau mungkin bahkan tanpa batas.
Tuhan memang memerintahkan kita untuk mendayagunakan akal: berpikir, membaca, mengamati, menganalisa apapun di dunia ini untuk memenuhi rasa ingin tahunya itu. Namun, bila hati-nurani kotor, dipenuhi oleh hawa nafsu yang jahat, seluruh potensi akal hanyalah melahirkan kejahatan. Akal akan mengembara secara liar, menabrak apapun, karena akal itu buta. Hati yang bersih, yang dipenuhi rasa takut dengan azab Tuhan dan selalu berharap akan kasih sayang Tuhan, akan mengendalikan perjalanan akal di atas rel yang benar, yaitu rel Allah. Fitrah hati memang takut dan cinta pada Tuhan. Hati yang kotor menyeret manusia ke jalan yang kotor juga. Otak, mata, telinga, tangan, dan kaki serentak bergerak kemana hati menghendaki.
Anda bisa bayangkan apa yang akan terjadi bila hawa nafsu berhasil menawan hati-nurani dan bersarang di dalamnya? Rasa bertuhan dipadamkannya dan diganti oleh rasa keduniaan dan kebendaan. Dengan serta merta negeri akhirat yang indah itupun sayup-sayup tak terlihat lagi. Wajah Tuhan yang Yang Maha Baik itu lenyap dari ingatan digantikan oleh wajah-wajah lain yang dikira lebih baik dan lebih memberi harapan: ayah, ibu, anak, istri, suami, saudara, mertua, majikan, atasan, bawahan, pelanggan, pemasok, investor, partner, kolega, presiden, dan sejumlah wajah-wajah duniawi lainnya.
Rasa kehambaan punah digantikan oleh rasa ego dan kepentingan diri, dengan semboyan, "Aku ingin hidup seribu tahun lagi." Setiap hari kita akan menepuk dada, sombong membanggakan diri, menghardik kesana kemari. Ada yang mencela sedikit saja, hati menjerit, sakitnya bukan kepalang. Ada yang puji sedikit saja, hati melambung-lambung, berbunga-bunga. Tidak ada rasanya yang lebih benar di dunia ini kecuali diri ini. Dunia ini "aku" yang punya. Orang lain cuma menompang, "ngontrak."
Disinilah urgensinya berpikir sambil berzikir. Berzikir adalah formula dari Tuhan untuk memelihara kebeningan hati. Berzikir akan menguatkan hati agar tidak mudah terpesong oleh serangan hawa nafsu. Berzikir menyebut nama Allah mencuatkan kembali suara nurani yang asli dan menyingkirkan hawa nafsu seperti terang fajar menggeser gelap malam.
Ketika Anda membaca apalagi menulis, akal akan terstimulasi untuk berpikir. Bila hati tidak tersambung dengan Allah, ide-ide yang akan disimpankan ke dalam sel-sel otak Anda adalah ide-ide liar. Akal yang tidak tersambung dengan hati yang takut Tuhan akan menyerap, menyimpan ide apapun, tidak peduli berguna atau tidak berguna, berbahaya atau tidak berbahaya bagi manusia. Inilah yang menyebabkan tidak sedikit para jenius dunia, penulis-penulis hebat yang tulisannya dibaca jutaan orang seperti Darwin, Karl Marx, Nitsche, menjadi sumber malapetaka kemanusian. Akal yang tersambung dengan hati yang selalu berzikir akan melahirkan ide-ide cemerlang, ide-ide untuk memanusiakan manusia. Lihatlah penulis-penulis hebat yang tulisannya cerah dan mencerakan seperti Al-Ghazali, Abdul Qadir Jailani, Facrurrozy, menjadi obat bagi penyakit kemanusiaan.
Mulailah menulis dengan menyebut nama Allah, "Bismillahirrahmanirrahim, dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang." Kemudian, bisikkan ke dalam hati munajat yang semisal dengan ini, "Wahai Tuhan, izinkan aku menuliskan pikiranku, demi mengikuti perintahMu dan tegaknya kebaikan-kebaikanMu. Aku hanya seorang hamba, sementara Engkau adalah Tuhanku. Bimbinglah aku. Curahkanlah ke hatiku ilmu. Jangan biarkan setan dan nafsu mengganguku sehingga tercabut rasa takut dan cintaku pada Mu." Tutuplah tulisan Anda seraya bersyukur dan minta ampunanNya.
Dengan cara itu, akan lahir di tulisan dengan ide-ide yang mencerahkan bukan meresahkan, tulisan-tulisan yang membawa kebaikan bukan kehancuran. Alangkah indahnya dunia ini, jika semua tulisan yang beredar di buku-buku, majalah, media-media elektronik, blog-blog, website adalah tulisan-tulisan yang lahir dari 'abid-abid, yang hatinya penuh dengan rasa bertuhan dan rasa kehambaan.
Bagaimana menurut Anda?
Wallahu a'lam.

Tuesday, November 24, 2009

Tuesday, November 24, 2009

Giat membaca dan lebih giat lagi menulis


Membaca membuat jumlah ide di dalam otak bertambah. Menulis membuat ide lebih banyak lagi pertambahannya. Kalau mau dibanding-bandingkan secara matematis, bisa jadi menulis menghasilkan ide dua tau tiga kali lebih banyak daripada membaca. Mengapa demikian?
 Ide yang sudah tersimpan di dalam sel otak itu bisa berkembang biak, beranak pinak, melalui stimulus berpikir. Kalau awalnya ada satu ide, kemudian Anda berpikir, ide itu berpotensi menghasilkan ide lain yang sama sekali baru. Bahkan kita sering terkejut dengan kemunculan ide-ide baru ini. Jumlahnya kadang-kadang di luar dugaan, berlimpah. Hal yang tidak terpikirkan sebelumnya, muncul di benak. "Ah ini dia", kata kita sambil tersenyum heran.
 Itulah hebatnya ciptaan Tuhan berupa otak dengan jumlah sel bertriliun-triliun. Kita sendiri heran dengan otak yang sepertinya kecil tapi seolah-olah tidak ada batas daya tampungnya."Nggak penuh-penuhnya."
 Ide akan bertambah dengan berpikir. Ide bisa beranak pinak dalam otak tanpa batas, bahkan dalam waktu yang sangat singkat, sesingkat kerdipan mata. Kelihatannya ide ini tidak perlu kawin dulu sebelum beranak, dan bahkkan tidak ikut KB. Menulis membuat proses berpikir ini lebih dinamis. Ketika kita menulis, otak akan terstimulus, sehingga ide-ide-ide baru akan bermunculan bertubi-tubi."Sampai pegal tuh tangan menulisnya."
 Membaca juga akan menambah ide di dalam otak. Apalagi dalam proses membaca kita memikirkan apa yang sedang dibaca. Hanya saja dari pengalaman, berpikir ketika membaca tidak seaktif berpikir ketika sedang menulis. Karena itu jumlah ide yang dihasilkan dalam membaca tidak sebanyak waktu menulis. Ini menjawab pertanyaan mengapa para jenius dunia menulis. Albert Einstein, Leonardo De Vinci, Isac Newton menulis. Ulama-ulama besar Islam seperti Al-Ghazali, Ibnu Sina, Ibnu Rusd meninggalkan karya tulis berjilid-jilid tebalnya. Bahkan mereka bukan saja meninggalkan buku-buku resmi yang dijadikan referensi di mana-mana, bahkan mereka meninggalkan catatan harian yang menjadi fenomena sampai ke hari ini.
 Membaca hukumnya wajib. Kita memerlukan tambahan ide dari luar. Tidak seluruh ide dapat dihasilkan oleh otak sendiri. Namun, kalau membaca terlalu banyak juga tidak bagus. Bukan tambah cerdas, tapi dapat membuat otak menjadi tumpul. Otak bisa menjadi stress. Hati menjadi terbebani, apalagi membaca tulisan atau buku yang hanya berisi ide, konsep, atau teori, bukan data-data atau fakta. Lebih-lebih lagi setelah membaca buku atau tulisan yang bertentangan dengan hati nurani.
 Bayangkan orang yang kebanyakan makan. Linglung. Begitulah gambaran orang yang terlalu banyak membaca. Lebih-lebih lagi, orang yang banyak membaca, tapi tidak pernah menulis. Persislah perumpamaanya dengan orang yang terus makan, tapi tidak pernah buang air besar. Mampat.
 Nampaknya perlu perimbangan yang memadai antara membaca dan menulis, agar proses berpikir menjadi optimum. Walaupun Anda selalu berpikir ketika sedang membaca, perlu juga Anda pertimbangkan untuk berpikir ketika menulis. Buktikan!
 Anda punya pendapat yang lain?
 Wallahu a'lam.
  
Tuesday, November 24, 2009

Menulis setiap hari


Menulis tiap hari. Itulah jawaban dari pertanyaan bagaimana cara membiasakan menulis. Penguasaan keterampilan berbahasa tulis, menuangkan ide ke dalam tulisan hanya bisa didapatkan melalui menulis sebanyak-banyaknya. Menyeimbangkan laju aliran pikiran dan kecepatan menulis juga melalui proses menulis sebanyak-banyaknya. Tidak ada teori lain dan cara lain, misalnya dengan memakan obat-obat tertentu. Caranya Cuma satu; ambil alat tulis dan menulislah sebanyak-banyaknya.
Untuk memastikan bisa menulis setiap hari, catatan harian (diary) bisa diandalkan. Hampir semua penulis-penulis hebat dan produktif, tidak terkecuali ilmuwan besar seperti Albert Einstein dan Leonardo Da Vinci, menulis catatan hariannya. Catatan harian adalah satu bentuk tulisan yang paling sederhana. Menulisnya ringan. Tidak memerlukan referensi. Tidak ada tekanan keharusan menulis dengan logis. Isinya sangat personal. Temanya boleh meloncat-loncat. Satu paragraf bicara tentang makanan, paragraf berikutnya tentang wisata, tempat berikutnya tentang kecoa yang menjengkelkan, dst.
Telah dibuktikan oleh banyak pakar kepenulisan, menulis catatan harian merupakan salah satu langkah pembiasaan menulis yang terbaik, tercepat dan teringkas. Anda bisa memulai kegiatan harian Anda di pagi hari dengan menulis catatan harian dan mengakhirinya di malam hari juga dengan menulis catatan harian. Kegiatan menulis lainnya seperti menulis buku, menulis makalah, menulis surat-surat bisnis dapat dilakukan diantara menulis kedua catatan harian itu.
Pagi hari setelah selesai shalat subuh dan wirid, Anda bisa menulis catatan harian berupa rencana kerja hari ini. Apa saja yang akan dikerjakan hari ini, tulislah. Kalau dulu Anda biasa menulis jadwal atau rencana harian dalam format poin-poin, sekarang harus diganti dengan menulis dalam kalimat yang lengkap, narasi yang lengkap. Anda dapat menceritakan siapa saja orang yang akan ditelpon atau ditemui hari ini dan akan membicarakan masalah apa. Anda juga bisa medeskripsikan tempat-tempat yang akan dikunjungi atau barang-barang yang akan dicari. Bahkan kalaupun Anda berencana untuk menulis sesuatu hari ini, Anda dapat menuliskan di catatan harian tentang apa dan kapan akan dimulai. Yang penting apapun rencana Anda, tulislah selengkap-lengkapnya dan sejelas-jelasnya. Walaupun catatan ini untuk konsumsi Anda sendiri dan bukan mau dipublikasikan, Anda tidak boleh menulisnya sekedar Anda saja yang mengerti. Bayangkan Anda menulis untuk diterbitkan di koran harian pagi ini.
Bahkan kalau ada satu isu aktual yang ingin Anda ulas, Anda bisa langsung menuliskannya sebagai bagian dari catatan harian itu sebagai pembukaan atau penutup. Apalagi kalau Anda mempunyai pandangan-pandangan tertentu, pikiran-pikiran tertentu yang muncul pagi itu, suatu kesempatan yang baik menuliskannya di dalam catatan itu. Catatan harian semacam ini akan sama dengan editorial atau tajuk rencana yang muncul di koran setiap hari.
Di malam hari, ketika Anda sudah mulai santai, selepas shalat 'Isya, wirid dan makan malam, setelah membantu anak-anak belajar, berbincang-bincang dengan keluarga, menonton TV atau membaca buku, sebelum berangkat ke tempat tidur, boleh juga menulis catatan harian malam. Catatan ini bisa mengulas atau mengomentari apa-apa saja yang menarik hati atau berkesan khusus bagi Anda di hari ini. Barangkali Anda bisa mengaitkannya dengan catatan harian pagi atau merupakan catatan yang berdiri sendiri. Intinya, tulislah apa saja. Merdekalah berekspresi.
Begitu sederhana dan mudahnya menulis catatan carian, ia tidak memerlukan tema, karena itu tidak diperlukan outline atau semacamnya. Catatan harian bertolak dari apa saja yang terpikir dan terasa pada hari itu. Bahkan Anda bisa menulisnya diselang-selingi dengan "ngobrol' dengan keluarga . Apapun yang ada di otak tuangkan. Apa saja yang anda rasakan tuliskan. Catatan harian bukanlah naskah ilmiah yang harus Anda pertanggungjawabkan kebenarannya.
Walaupun demikian , catatan-catatan itu dapat dianggap enteng menfaatnya. Dia dapat menjadi rujukan pada suatu saat. Bahkan membaca catatan harian di masa yang akan datang merupakan hiburan tersendiri. Saya kadang-kadang sering senyum sendiri membaca catatan harian saya yang saya buat ketika jadi mahasiswa dulu. Dan jangan lupa, catatan harian yang bermutu berpotensi diterbitkan jadi buku. Anda mungkin sudah tahu bahwa beberapa buku yang diterbitkan sekarang seperti "Cat Rambut Orang Yahudi", bahkan menjadi buku best seller, berasal dari catatan harian. Tahun 70-an kita pernah digemparkan oleh satu buku catatan harian Ahmad Wahib. Catatan harian Rosihan Anwar banyak yang diterbitkan juga.
Anda sudah atau belum punya catatan harian? Bagaimana pendapat Anda?

 

Wallahu a'lam

Monday, November 23, 2009

Monday, November 23, 2009

Mengapa menulis cepat?


Bayangkan ide-ide kita seperti butiran-butiran buah tasbih. Bayangkan pula otak penyimpan ide-ide itu bagaikan sebuah gudang raksasa yang terdiri dari ribuan lantai. Setiap lantai dibagi menjadi ribuan cluster. Setiap cluster dibagi lagi menjadi ribuan kamar. Di setiap kamar terdapat ribuan lemari. Di setiap lemari terdapat ribuan laci. Di setiap laci terdapat ribuan kotak. Terakhir di setiap kotak terdapat butiran-butiran ide yang bulat seperti buah tasbih yang jumlah juga ribuan. Bisakah Anda membayangkan kapasitas otak penyimpan ide itu?
 
Setiap Anda membaca, melihat atau mendengar, sejumlah ide-ide baru yang berasal dari luar akan masuk ke otak. Secara otomatik, ide-ide itu akan ditempatkan ke salah satu kotak bercampur dengan Anda yang sudah ada di sana. Setiap Anda berpikir, menimbang atau merasa sejumlah ide akan beranak menghasilkan sejumlah ide yang lain. Ide-ide yang sudah berada di otak mampu melakukan regenerasi secara cepat menghasilkan ide-ide baru. Demikianlah setiap saat ide-ide di dalam otak itu bertambah, baik tambahan dari luar maupun tambahan karena beranak.
 
Sebagai tambahan, semua ide, baik yang lama, yang baru masuk, ataupun yang baru dilahirkan saling terkait satu sama lain. Ide-ide itu tidak berdiri sendiri. Mereka bisa menarik sekaligus ditarik oleh ide lain. Jika satu ide distimulus, ide-ide yang terkait akan mengalami stimulus yang sama dan siap bereaksi.
 
Ketika muncul niat menulis, akal manusia akan menarik satu demi satu ide dari kotak-kotak secara acak dan membariskannya satu persatu dalam barisan yang rapi di depan pintu keluar. Ketika jari Anda sudah begerak di atas kertas atau di keyboard mengetik, ide yang tegak terdepan akan meloncat keluar dan berubah menjadi satu kata. Ide yang dibelakangnya segera menyusul dan berubah menjadi kata juga. Demikian seterusnya satu demi satu ide meloncat berubah menjadi kata yang bersusun-susun membentuk kalimat. Kalimat mengelompok membentuk paragraf. Sampai akhirnya selesailah satu wacana lengkap.
 
Ketika satu butir ide sudah meloncat, apa yang terjadi dengan barisan ide yang masih berada di otak? Ide yang paling dekat dengannya langsung bergerak mengambil tempat kosong yang telah ditinggalkannya tadi dan langsung siap untuk meloncat pada giliran berikutnya. Demikian seterusnya sampai ke belakang. Ini berarti bergeraknya satu ide akan memprovokasi seluruh ide yang telah di dalam barisan untuk begerak maju. Bukan itu saja, ide yang masih di dalam kotakpun akan terprovokasi mengambil tempat di dalam barisan untuk keluar. Ide-ide yang sudah hamil tua akan terprovokasi menggelontorkan anaknya. Analogi ini menjelaskan mengapa ketika seseorang menulis, pikiran di dalam otak menjadi aktif. Ide-ide yang sebelum menulis tidak muncul, sekarang bermunculan dan berebutan.
 
Gerakan ide tidak sama. Mereka membentuk pola gerakan yang beragam. Ada yang merayap seperti keong namun kadang-kadang dia mesti keluar lebih dulu untuk mendampingi ide yang sudah meloncat. Ada ide yang bergerak meloncat-loncat seperti kanguru, tubruk sana tubruk sini tanpa peduli siapa di depan siapa di belakang padahal belum tentu terkait langsung dengan apa yang sedang ingin kita tulis. Ada yang melesat secepat belalang mengambil setiap tempat yang kosong. Diperlukan atau tidak, dia tidak peduli. Ada juga yang melenggak-lenggok, bergerak sambil menebar pesona, ada yang berjalan ragu, sambil terus melihat ke kiri dan ke kanan.
 
Faktor inilah yang berpotensi menimbulkan kekacauan dan memacetkan pintu keluar. Saya ingin menulis tentang manusia, ide tentang manusia berjalan lambat, sementara ide tentang malaikat malah berkejaran berebutan. Bila gerakan itu tidak tertata dengan baik, akan terjadilah salip menyalip, tubruk menubruk. Semua berebut menuju pintu keluar, sementara peluang meloncat hanya satu demi satu. Di sinilah akal mesti berperan dan bertindak sebagai penjaga gawang.
 
Laju meloncatnya ide tergantung kecepatan Anda menulis. Bila kecepatan menulis sama atau lebih cepat dari laju bergeraknya ide-ide di dalam otak, maka tanpa kesulitan ide akan mengalir dengan lancar. Tapi bila Anda menulisnya pelan, apa lagi sebentar-sebentar berhenti, maka akan terjadi penumpukan dan kekacauan di pintu keluar. Bayangkan kemacetan arus manusia di pintu keluar sirkus, tatkala sedang terjadi kebakaran.
 
Fenomena inilah yang sering disebut 'ngadat', atau sering disebut kehabisan ide. Saya pernah bertanya kepada seorang sahabat tentang perkembangan proyek menulisnya. Dia ringan dia mengatakan, "kehabisan ide, 'ngadat'." Mana mungkin ide habis. Ide tidak habis, tetapi bertumpuk-tumpuk di pintu keluar. Pintu masih Anda buka karena Anda masih terpana di depan alat tulis, tapi satupun ide tidak ada yang meloncat. Berjam-jam Anda menunggu sambil menguap. Anda terpaksa harus membaringkan diri beberapa jam menghabiskan bercangkir-cangkir kopi sampai barisan itu tertib kembali atau beritirahat total beberapa hari sampai seluruh ide kembali ke kotaknya masing-masing untuk bisa dibariskan kembali kapan-kapan.
 
Menulis cepat bertujuan mengimbangi laju gerakan pikiran sehingga gerakan di otak berjalan tertib. Menulis lambat menyebabkan rangsangan di otak sedikit sehingga ide-ide yang pasif kurang terstimulus untuk bereaksi. Menulis dengan sering berhenti, gerakan ide menjadi tidak beraturan, saling tubruk yang akhirnya membuat kekacauan.
 
Penulis sering berhenti ketika sedang menulis dengan banyak sebab. Salah satunya adalah karena tergoda dengan kesalahan ejaan dan tanda baca pada kalimat sebelumnya. Dia merasa tergangu dengan itu sehingga memilih berhenti mengalirkan ide untuk memperbaiki ejaan tadi. Penghentian yang lain disebabkan karena ada perasaan bahwa ide yang keluar adalah ide yang bukan diharapkan, melenceng dari tujuan semula. Apapun alasannya, penghentian yang sering-sering dan mendadak itu mengakibatkan kacaunya gerakan aliran ide.
 
Untuk mencegah suasana seperti itu, jangan mengedit sambil menulis. Biarkan ide mengalir dengan leluasa, merdeka. Imbangi dengan menuliskannya secepatnya. Pengeditan dapat dilakukan nanti setelah semua ide yang akan ditulis keluar seluruhnya.
 
Ada satu tips menulis yang perlu juga untuk dicoba: menulis tanpa layar monitor. Layar monitor sengaja dimatikan atau ditutup kertas agar kita tidak berkesempatan melihat apa yang sedang kita tulis. Godaan mengedit sambil menulis terhindarkan.
 
Bagimana pendapat Anda?
 
 
Wallahu a'lam

Friday, November 20, 2009

Friday, November 20, 2009

Menulis hanya perlu pembiasaan


Setelah ditanamkan minda pertama bahwa menulis itu ibadah, minda kedua ialah bahwa menulis itu mudah. Sulitnya menulis hanya terjadi di minggu-minggu pertama kita memulai proses pembiasaan, seperti canggungnya penganten baru. Ini diakui oleh sebagian penulis-penulis berkaliber nasional dan internasional.
 Bambang Trim mengatakan bahwa menulis gampang-gampang susah. Artinya, gampangnya dua kali, susahnya sekali. Kesusahan itu akan hilang dengan sendirinya setelah proses pembiasaan berketerusan dengan berlatih setiap hari. Ersis Warmansyah Abbas mengumpamakan menulis dengan menyetir mobil.Waktu belajar, tubruk sana tubruk sini. Andrias Harefa mengumpamakan menulis seperti naik sepeda, awal-awalnya masih susah mencari titik keseimbangan. Edy Zaqeus mengumpamakan belajar menulis seperti jadi penganten.Grogi. Begitulah para penulis produktif itu menggambarkan bagaimana mudah atau susahnya menulis. Itu pengalaman ril mereka.
 Bagaimana dengan pengalaman anda? Mari berbagi.
 Ada teori yang mengatakan semua kita terlahir sebagai jenius. Mungkin benar mungkin tidak. Tetapi menulis tidak memerlukan kejeniusan itu. Kalaupun kita ditakdirkan jenius, kejeniusan itu mungkin diperlukan untuk yang lain, tapi bukan untuk menulis. Orang yang IQ nya pas-pasan seperti saya saja, bisa menulis he he he.
 Saya sudah ujicobakan teori ini kepada anak saya yang baru duduk di kelas 4 SD, menjelang naik ke kelas V. alhamdulillah berhasil. Begitu mudahnya menulis, anak itu sudah menulis satu artikel dalam beberapa jam saja. Kini sudah lahir puluhan artikel di tangannya.
 Anak kelas 4 SD sudah bisa menulis? Ya, karena keterampilan menulis itu adalah keterampilan sekolah dasar. Walaupun ia masih menulis cerita fiksi, alias khayalan, tidak apa, sebagai pemula. Sekarang dia sudah mulai menulis non fiksi juga, lengkap dengan referensi-referensinya, wow. Saya sekarang sedang melatih anak saya yang baru sekolah di taman kanak-kanak, Tadika Global Ikhwan, untuk menulis. Kalimat yang terdiri dari dua atau tiga kata sudah bisa dirangkainya, walaupun masih lambat tertatih-tatih. Jangan-jangan keterampilan menulis bukan lagi keterampilan tingkat SD tapi malah TK.
 Tentu saja Anda tidak boleh bandingkan tulisan anak saya itu dengan buku "Menjadi Manusia Pembelajar"nya Andrias Harefa atau novel "Laskar Pelangi" nya Andrea Hirata. Jelas, itu perbandingan yang tidak berimbnag. Saya hanya sekedar ingin menunjukkan bahwa menulis itu ternyata sangat mudah. Anak kecil saja bisa, yang tua pasti lebih bisa. Itu maksudnya.
 Menulis kan pada dasarnya hanya menyalin apa yang sedang anda pikirkan dan rasakan ke dalam simbol berupa huruf-huruf, membentuk kata yang bersusun menjadi kalimat untuk dipahami yang membaca. Sebaliknya, membaca adalah memahami apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh si penulis menggunakan simbol yang sama. Dengan kombinasi menulis dan membaca maka terjadilah pertukaran pikiran dan perasaan dari orang ke orang. Waduh, memahami penjelasn ini saja, malah lebih sulit daripada menulis itu sendiri.
 Anda bisa membaca, bukan? Kalau bisa, berarti Anda telah mengetahui simbol-simbol berupa kata. Menulis adalah kebalikan membaca. Kalau begitu, alangkah mudahnya menulis itu karena kita hanya mengubah pikiran menjadi kata. Apa yang kita tulis adalah apa yang ada di dalam pikiran kita. Pikiran itu sendiri muncul setiap detik dalam kehidupan kita dalam jumlah yang berlimpah ruah dari detik ke detik, lebih cepat dari tarikan nafas.
 Anda setiap hari berbicara, bukan? Berbicara sama dengan menulis. Bedanya, simbol yang dipakai dalam berbicara adalah simbol lisan, berupa ucapan dan intonasi. Sementara dalam tulisan, kita menggunakan susunan kata dan tanda baca. Kalau Anda bisa bicara berjam-jam, begunjing, "ngrumpi", apalagi berceramah, mengajar, atau memberi kuliah, Anda pasti bisa menulis berjam-jam.
 Kalau sedang sendirian di mobil atau di kamar mandi, Anda sering berbicara sendiri. Apalagi sedang jengkel dengan orang lain, dengan istri, suami atau mertua, kita sering menggerutu sendiri, berjam-jam, bahkan berhari-hari. Sebenarnya Anda sedang menulis satu artikel, cuma di awang-awang. Ini semua pertanda Anda bisa menulis di kertas. Tinggal ambil alat tulis, beres.
 Kuncinya sederhana sekali rupanya. Ambillah alat tulis, kertas dan pena atau komputer. Tulislah dulu satu kalimat, satu saja, kemudian berhenti. Tulislah lagi satu kalimat kedua sebagai pengiringnya, berhenti lagi. Lanjutkan menulis kalimat yang ketiganya dan seterusnya. Anda akan merasakan bagaimana pikiran Anda mulai bangun dan terus mengalir. Anda akan merasakan aliran pikiran begitu deras, berbaris-baris seperti serdadu, melompat keluar satu persatu, berubah bentuk menjadi kalimat demi kalimat. Wow.
 Anda akan mengalami juga suatu waktu ketika alirannya hampir tak bisa dibendung lagi. Ketika itu aliran pikiran bahkan melebihi kecepatan tangan menulis. Bahkan sebagian penulis mengkau bisa lupa waktu, lupa istri, lupa suami. Ya, salah juga. Janganlah sampai sebegitunya. Semua penulis besar yang sudah menulis puluhan buku mengakui adanya keadaan ini, dan mereka punya istilah masing-masing yang lucu-lucu untuk menyebutkan keadaan ini. Ada yang menyebutnya dengan istilah "writing trances", "orgasmic writing", atau "writing on fly". Tidak ada yang ajaib. Tuhan telah buatkan untuk kita semua kemudahan itu. Bersyukurlah.
 Macet? Ya tidak apa-apa, tinggal berhenti sejenak. Nanti akan ada celahnya Anda untuk jalan kembali. Lha jalan di Jakarta saja tiap hari macet. "Itu saja kok repot?" kata Gus Dur. Tidak ada macet yang permanen. Menulis mari menulis. Menulis itu sangat mudah.
 Anda punya pandangan lain? Ayo, mari berbagi.
 Wallahu a'lam.