Breaking

Monday, November 30, 2009

Monday, November 30, 2009

Ternyata, tidak ada yang sulit


Siang tadi ketika saya sedang minum air jeruk peras hangat kesukaan saya setelah makan siang, saya membaca email kawan yang masuk tiba-tiba. Saya sampai tersedak karena minuman itu terhirup ke hidung. Ceritanya begini.

 Pagi tadi kawan saya itu menumpang mobil bossnya, bule Amerika, menuju satu tempat. Tiba-tiba mobil itu menabrak mobil yang di depan yang berhenti mendadak. Karena si boss terlihat merengut, dengan terbata-bata si supir minta maaf kepada boss bulenya itu.

 "Sorry Sir, I already brake-brake, but brake not eat. The wheel no his flower again," katanya lugas.

 Anda yang sudah puluhan tahun belajar tata bahasa Inggris pasti bingung menterjemahkannya, bukan? Tapi ajaib, si Bule itu justru mengangguk-angguk tanda mengerti. Yang dimaksudkan si supir tadi kalau kita terjemahkan kata perkata adalah begini:

" Maaf Pak, saya sudah rem-rem, tapi remnya tidak makan. Bannya tidak ada kembangnya lagi."

 Karena ia melihat si boss itu bersiap mau turun, mau marah kepada pengemudi yang mobil yang ditabrak, si supir menegah,"Sir, don't follow mix, let me only. If not wrong, the driver children fruit manager money. He stupid don't play. Let know taste." 

Maksud si Supir, "Pak, jangan ikut campur, biar saya saja. Kalau tidak salah, sopir itu anak buah manajer keuangan. Dia memang goblok bukan main. Biar tahu rasa."

Cerita kawan saya itu menunjukkan memang ada dua macam bahasa: bahasa gramatika dan bahasa kosa kata. Bahasa gramatika tersusun rapi sesuai dengan tatabahasa yang baku sedangkan bahasa kosa kata hanya mengadalkan kata. Susunannya terserah-terserah saja. Selama ini saya mengira untuk berkomunikasi hanya bisa pakai bahsa jenis pertama. Ternyata, terbukti bahasa jenis kedua, bahasa kosakata, juga ampuh. Cerita kawan saya tentang supirnya tadi sebagai bukti.

 Cerita ini mengingatkan saya dengan seorang kawan lama -- tak perlu saya sebutkan namanya-- yang mengeluh kepada boss bulenya yang selalu memberinya tugas tidak henti-henti, 

Dia bilang," Boss, little litle to me, litle litel to me, salary not up up."

Boss itu ternyata juga paham. 

 "Mengapa kemarin tidak masuk kerja?" tanya bossnya.

 "I am not delicious body, like enter the wind.".

 Semudah itukah berbicara dengan orang asing? Ya. Bagi orang seperti saya yang sudah hampir putus asa tidak bisa berbahasa Inggis, mari kita pindah dari berbahasa tatabahasa ke bahasa kosakata. Seperti yang di lakukan orang-orang itu.

Orang-orang itu tidak pernah membebani dirinya dengan aturan tatabahasa yang tidak manusiawi. Mereka bebaskan dirinya. Terbukti. Mereka tidak kurang kesempatan kerja, bahkan bekerja dengan orang asing dengan upah yang tinggi.

 Bagaimana menurut Anda?

Wallahu a'lam
Monday, November 30, 2009

Pengalaman yang dimakan usia


Beberapa waktu yang lalu saya terlibat dengan pembicaraan ringan, secara tidak sengaja, dengan sorang manajer senior sebuah perusahaan swasta yang bergerak di bidang perminyakan. Karena usianya, beliau akan memasuki pensiun tidak lama lagi.
 "Apa rencana kegiatan Bapak setelah pensiun?" tanya saya.
 "Ya, inilah yang sedang saya pikir-pikirkan," katanya ringan.
 Tiba-tiba dia menatap saya serius, "Saya tahu, tanpa kegiatan yang rutin, banyak sekali orang yang sudah pensiun menjadi cepat pikun, ya? Untuk mengisi pekerjaan yang mengandalkan fisik, rasanya tidak mungkin lagi bagi pensiunan. Apakah Anda punya saran?" tanyanya.
 Waktu itu saya sedang menulis. Tiba-tiba dengan spontan saya menjawab," Bagaimana kalau menulis?"
 "Menulis?" katanya sambil tertawa terbahak-bahak dan menepuk-nepuk bahu saya. "Anda silakan terus menulis. Anda boleh menyarankan apa saja kepada saya, kecuali menulis. Ha ha ha."
 "Apa salahnya menulis?" tanya saya sedikit agak heran. "Saya kira dengan menulis, Bapak dapat mengisi hari-hari yang panjang tanpa kegiatan fisik yang berarti. Menulis hanya pakai jari. Dan lagi, dengan menulis, pikiran akan terus bekerja mengolah seluruh informasi yang ada pada otak. Jelas, ini akan memperlambat pikun. Dengan menulis, Bapak bisa mewariskan pengalaman dan pengetahuan Bapak bertahun-tahun di bidang yang langka ini kepada anak cucu. Dengan menulis, Bapak bisa menasihati generasi muda agar lebih baik bertindak. Bahkan, kalau Bapak mau, tulisan Bapak bisa dikomersilkan pula."
 Dia menarik nafas panjang. Dari kerutan alisnya, otaknya seperti menggeliat keras. Menggeleng-geleng, kemudian mengangguk-angguk, tapi tidak pasti apa yang dianggukkannya. Tiba-tiba saja dia berdalih. "Saya membayangkan betapa sulitnya menulis itu. Saya tidak mampu. Bahkan saya tidak tahu dari mana saya memulainya. Saya heran dengan Anda. Saya ingin menulis seperti Anda, menuliskan pengalaman-pengalaman saya. Tapi....," tiba-tiba saja dia tidak melanjutkan kalimatnya.
 "Tapi apa Pak?" tanya saya memancing.
 "Apakah Anda bersedia mengajari saya?" katanya singkat.
 Terpikirlah oleh saya bahwa orang seperti Manajer Senior tadi tidak sedikit. Di berbagai pertemuan, saya sering menemui mereka. Mereka, yang saya maksudkan adalah kaum professional yang pada dasarnya memiliki segudang pengetahuan dan pengalaman. Mereka lulusan perguruan-perguruan tinggi ternama. Mereka telah ditempa oleh asam garamnya profesi. Mereka terlibat dalam berbagai workshop, seminar tentang profesi yang mereka tekuni. Namun karena profesi mereka tidak berhubungan langsung dengan tulis menulis seperti seorang wartawan atau sastrawan, mereka jarang menulis. Bahkan untuk menulis surat saja, sektretarisnyalah yang melakukannya.
 Mereka tersebar dalam label profesi yang bermacam ragam seperti insinyur, dokter, notaris, pengacara , pengusaha, manajer, direktur, guru, dosen, ustaz, kiai, dll. Bahkan di antara mereka telah berada di puncak karir yang sangat strategis. Mereka pasti memiliki pengetahuan dan pengalaman yang sangat berharga. Bahkan, mereka ada niat dan selalu berpikir untuk mewariskan pengetahuan itu untuk masa depan bangsanya. Tapi entah mengapa, mereka tidak dapat menuliskannya. Pengalaman dan pengetahuan mereka hilang begitu saja sampai mereka dimakan usia.
 Bagaimana pendapat Anda?
 
 

Wallahu A'lam

Thursday, November 26, 2009

Thursday, November 26, 2009

Dari catatan ke tulisan


     Beberapa tahun yang lalu, saya berkesempatan mengikuti satu workshop hebat yang diadakan di sebuah hotel mewah di Bali, tentang lingkungan hidup. Acara yang sangat menarik: topiknya, pembicaranya, dan sudah barang tentu tempatnya. Di dalam workshop mahal itu dihadirkan dua keynote speaker petinggi pemerintahan di bidang lingkungan hidup. Dalam tiga hari berturut-turut ditampilkan pembicara yang bukan sembarang orang yang terdiri dari pakar-pakar lingkungan hidup, industri, perguruan tinggi dan LSM. Peserta yang hadirpun adalah professional dari berbagai bidang (termasuk saya kali ya? He he he). Saya, sebagai peserta biasa, duduk tertib di bangku empuk di ruang megah berhawa dingin mendengarkan pemakalah yang silih berganti.
     Sebagai peserta, selama workshop berlangsung, saya memanfaatkan dengan baik notepad, stabilo, dan pulpen mahal yang disediakan panitia untuk mencatat. Kami memang dibekali satu tas elegant lengkap dengan alat-alat tulis di dalamnya. Satu demi satu ide yang dilontarkan para pembicara sepanjang siangnya terliput di dalam catatan saya dalam bentuk poin-poin ringkas. Saya buat juga sedikit coretan dan sketsa di sana sini. Saya beri warna beberapa kata. Saya tidak mungkin mencatat kalimat demi kalimat setiap pembicaraan seperti layaknya wartawan bertulisan steno.
     Di malam harinya, dalam kesendirian saya di kamar hotel, selepas makan dan shalat, saya isi waktu dengan membuka-buka kembali catatan itu, sambil menonton acara TV yang tidak menarik, menunggu mata mengantuk. Betapa menariknya workshop itu. Dari catatan yang hanya berisi poin-poin itu saja, pikiran saya bisa mereview ulang seluruh pembicaran para pakar dengan rinci. Bukan itu saja, ide-ide cemerlang yang dilontarkan peserta lain di saat tanya-jawab di kelas atau diskusi lepas sambil berdiri di saat coffee-break, memperkaya khasanah saya mengenai lingkungan hidup.
     Ide-ide sayapun tanpa saya duga bermunculan deras, membersit-bersit, mengait-kait dengan ide para pembicara dan ide-ide peserta. Semua menyatu padu. Saya tidak bisa menahan diri untuk tidak membuat berbagai catatan tambahan dari ide-ide yang bermunculan itu. Demikianlah sepanjang empat malam, selama workshop, saya menemukan pencerahan intelektual, penyegaran pengetahuan, dan penemuan berbagai gagasan baru berkaitan dengan penyelesaian masalah lingkungan hidup yang waktu itu menjadi isu besar di mana-mana.
     Waktupun berlalu.
     Dua tahun kemudian, tanpa sengaja saya menemukan catatan workshop itu kembali di lemari file ketika saya mencari satu file yang lain. Catatan itu masih utuh dan rapi, tersimpan dalam sebuah map yang juga masih rapi. Saya ambil sedikit waktu untuk duduk membaca ulang seluruh lembaran catatan-catatan itu. Apa yang saya dapat?
     Saya sungguh terkejut. Saya tidak bisa menggambarkan kembali kaitan-kaitan ide yang tertulis dalam catatan itu secara utuh. Jangankan muncul ide baru, sebagian besar ide yang tertangkap selama workshop itu telah hilang dari memori saya. Catatan yang sekarang ada di tangan saya terlihat hanya seperti sobekan kertas yang tidak berharga, penuh coretan-coretan yang tidak berarti. Poin-poin yang tertulis tidak lagi terasa saling kait-mengait. Kata-kata yang saya selipkan, ada yang miring, tegak, dsb tidak nampak relevansi satu sama lain. Bahkan saya tidak bisa mengerti apa yang saya maksud dengan beberapa garis atau diagram yang banyak saya tambahkan dalam catatan itu. Hanya satu ide yang muncul pada waktu itu, "kertas-kertas ini layaknya dibuang saja daripada jadi sampah dalam lemari"
     Sekarang, setelah saya membiasakan menulis, terbayanglah oleh saya seandainya di malam-malam workshop di hotel mewah itu saya membuka laptop dan menulis. Saya tuliskan semua catatan itu dalam kalimat-kalimat yang lengkap, paragraf yang tersusun. Saya tuliskan seluruh ide yang dilontarkan kawan-kawan. Saya tambahkan lagi kalimat yang merupakan ekspresi dari ide-ide saya yang bermunculan yang tidak kalah briliannya dengan ide orang lain. Maka, setiap malam saya akan menghasilkan setidak-tidaknya tiga artikel yang komprehensif. Selama empat malam, berarti saya akan menulis 12 artikel. Sesampainya di rumah saya tulis lagi dua artikel lagi, satu pembukaan dan satu lagi penutup, sehingga total 14 artikel. Esoknya, saya kirimkan ke sebuah penerbit, maka lahirlah satu buku spektakuler, karya saya yang terdiri dari 14 bab yang masing-masingnya satu artikel, yang siap di baca oleh ribuan mungkin jutaan orang.
Dasar bodoh.
     Itu tidak saya lakukan. Saya pulang dari workshop dengan melenggang-lenggang kangkung bagaikan seorang turis selepas beristirahat di sebuah resort wisata yang terkenal ke seluruh dunia. Saya pulang hanya menenteng souvenir yang sekarangpun sudah tidak tahu dimana berada. Saya pulang bukan sebagai seorang professional yang baru saja mencerahkan pemikirannya di sebuah ajang pertemuan ilmiah yang begengsi. Kini, apalah nilai seluruh catatan yang saya buat dengan antusias pada waktu itu, dengan pulpen mahal lengkap dengan tas elegantnya? Catatan itu kini tinggal coretan-coretan di atas kertas buram yang layak dibuang ke tong sampah. Jangankan bisa dipahami orang lain, saya saja tidak paham lagi isinya.
     Apakah Anda ingin workshop, seminar, kursus, penataran yang Anda ikuti, bernilai tinggi? Buatlah catatan-catatan ketika acara itu berlangsung. Setelah itu, tuliskanlah seluruh catatan itu dalam format tulisan yang lengkap di malam harinya, di saat ide-ide itu masih segar dalam ingatan. Tulisan itu tidak hanya akan bermanfaat untuk proses pembiasaan menulis, tetapi juga akan bermanfaat untuk referensi Anda sendiri di suatu saat nanti. Kalau dipublikasikan dalam blog atau buku, wah, jutaan manusia akan menarik manfaat pula. Tidak terbayangkah oleh Anda betapa besarnya manfaat menulis?
     Bagaimana dengan pengalaman Anda?
 
 

Wallahu a'lam.

Wednesday, November 25, 2009

Wednesday, November 25, 2009

Menulis, berpikir dan berzikir


Secanggih-canggihnya otak menyerap, menyimpan, mengolah, dan mengembang-biakkan informasi melahirkan ide-ide, otak tidak lebih dari sekedar bagian tubuh yang tidak berdaya . Otak sama saja dengan bagian tubuh lain seperti mata dan telinga, tangan dan kaki yang sama-sama tidak berdaya walaupun yang satu terlihat lebih canggih dari yang lain karena perbedaan fungsinya.
Otak itu sama sekali tidak dapat berpikir. Walaupun terdiri dari triliunan sel dengan segala kerumitannya, otak tidak dapat mengolah informasi, palagi menghasilkan ide-ide. Sebenarnya, yang menjadi sutradara bagi proses berpikir otak adalah akal yang dipancarkan oleh ruh yang berada di belakang seluruh fungsi faal tubuh. Kalau tidak percaya, perhatikan tatkala ruh itu dicabut dari jasad, seketika itu juga seluruh jasad berubah jadi bangkai. Kemana perginya kejeniusan, kepakaran, kehebatan yang dibangun bertahun-tahun lamanya?
Sekarang mari kita lihat lebih jauh ke dalam ruh. Tuhan menciptakan ruh tidak dalam satu dimensi. Salah satu dimensinya adalah bagian yang berkemampuan berpikir yang dinamakan akal itu. Tapi sebenarnya, kalau kita kaji lebih jauh, akalpun ternyata bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, yang dapat menjalankan fungsinya sendiri. Ada satu dimensi lain ruh yang dinamakan hati-nurani yang berada pada pusat ruh itu sendiri. Di hati-nurani, Tuhan meletakkan rasa bertuhan sebelum ruh dihembuskan ke dalam jasad. Di hati nurani, Tuhan letakkan kesadaran sebagai manusia. Hati nurani diberi kemampuan merasa, termasuk merasa takut dan cinta. Sebenarnya hati-nurani inilah raja diri manusia itu dan inti daya ruh itu secara keseluruhan. Akal bekerja atas perintah hati-nurani ini. Benarlah ketika Rasulullah mengatakan, "Di dalam dada manusia ada sebuah gumpalan. Bila dia baik, baiklah manusia itu. Bila ia jahat, jahatlah manusia itu. Dia adalah Qalb (hati nurani)"
Betapapun hati diciptakan dalam fitrahnya baiknya, bisa berubah menjadi jahat karena di dalam ruh ada dimensi lain berupa hasrat manusiawi yang disebut hawa nafsu yang berhembus terus menerus ke dalam relung hati manusia. Hawa nafsu ini dipandang begitu jahat karena dia tidak merasa cukup bila manusia hidup apa adanya. Dia hembuskan keinginan untuk menggapai sebanyak-banyaknya harta benda, setinggi-tingginya jabatan. Bahkan hawa nafsu memasuki relung hati untuk menggantikan rasa bertuhan dan rasa kehambaan yang telah dibawa hati sejak awal penciptaannya.
Kita kembali ke akal. Alam raya ini, mulai dari proses penciptaannya, pembentangannya, strukturnya, macam ragam tingkah polah penghuninya, sampai dengan proses penghancurannya kelak, sangat menarik bagi akal. Manusia memang penasaran untuk mengetahui lebih banyak rahasia-rahasianya. Manusia dengan akalnya itu akan mengeksplorasi segala yang ada dalam alam semaksimal mungkin atau mungkin bahkan tanpa batas.
Tuhan memang memerintahkan kita untuk mendayagunakan akal: berpikir, membaca, mengamati, menganalisa apapun di dunia ini untuk memenuhi rasa ingin tahunya itu. Namun, bila hati-nurani kotor, dipenuhi oleh hawa nafsu yang jahat, seluruh potensi akal hanyalah melahirkan kejahatan. Akal akan mengembara secara liar, menabrak apapun, karena akal itu buta. Hati yang bersih, yang dipenuhi rasa takut dengan azab Tuhan dan selalu berharap akan kasih sayang Tuhan, akan mengendalikan perjalanan akal di atas rel yang benar, yaitu rel Allah. Fitrah hati memang takut dan cinta pada Tuhan. Hati yang kotor menyeret manusia ke jalan yang kotor juga. Otak, mata, telinga, tangan, dan kaki serentak bergerak kemana hati menghendaki.
Anda bisa bayangkan apa yang akan terjadi bila hawa nafsu berhasil menawan hati-nurani dan bersarang di dalamnya? Rasa bertuhan dipadamkannya dan diganti oleh rasa keduniaan dan kebendaan. Dengan serta merta negeri akhirat yang indah itupun sayup-sayup tak terlihat lagi. Wajah Tuhan yang Yang Maha Baik itu lenyap dari ingatan digantikan oleh wajah-wajah lain yang dikira lebih baik dan lebih memberi harapan: ayah, ibu, anak, istri, suami, saudara, mertua, majikan, atasan, bawahan, pelanggan, pemasok, investor, partner, kolega, presiden, dan sejumlah wajah-wajah duniawi lainnya.
Rasa kehambaan punah digantikan oleh rasa ego dan kepentingan diri, dengan semboyan, "Aku ingin hidup seribu tahun lagi." Setiap hari kita akan menepuk dada, sombong membanggakan diri, menghardik kesana kemari. Ada yang mencela sedikit saja, hati menjerit, sakitnya bukan kepalang. Ada yang puji sedikit saja, hati melambung-lambung, berbunga-bunga. Tidak ada rasanya yang lebih benar di dunia ini kecuali diri ini. Dunia ini "aku" yang punya. Orang lain cuma menompang, "ngontrak."
Disinilah urgensinya berpikir sambil berzikir. Berzikir adalah formula dari Tuhan untuk memelihara kebeningan hati. Berzikir akan menguatkan hati agar tidak mudah terpesong oleh serangan hawa nafsu. Berzikir menyebut nama Allah mencuatkan kembali suara nurani yang asli dan menyingkirkan hawa nafsu seperti terang fajar menggeser gelap malam.
Ketika Anda membaca apalagi menulis, akal akan terstimulasi untuk berpikir. Bila hati tidak tersambung dengan Allah, ide-ide yang akan disimpankan ke dalam sel-sel otak Anda adalah ide-ide liar. Akal yang tidak tersambung dengan hati yang takut Tuhan akan menyerap, menyimpan ide apapun, tidak peduli berguna atau tidak berguna, berbahaya atau tidak berbahaya bagi manusia. Inilah yang menyebabkan tidak sedikit para jenius dunia, penulis-penulis hebat yang tulisannya dibaca jutaan orang seperti Darwin, Karl Marx, Nitsche, menjadi sumber malapetaka kemanusian. Akal yang tersambung dengan hati yang selalu berzikir akan melahirkan ide-ide cemerlang, ide-ide untuk memanusiakan manusia. Lihatlah penulis-penulis hebat yang tulisannya cerah dan mencerakan seperti Al-Ghazali, Abdul Qadir Jailani, Facrurrozy, menjadi obat bagi penyakit kemanusiaan.
Mulailah menulis dengan menyebut nama Allah, "Bismillahirrahmanirrahim, dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang." Kemudian, bisikkan ke dalam hati munajat yang semisal dengan ini, "Wahai Tuhan, izinkan aku menuliskan pikiranku, demi mengikuti perintahMu dan tegaknya kebaikan-kebaikanMu. Aku hanya seorang hamba, sementara Engkau adalah Tuhanku. Bimbinglah aku. Curahkanlah ke hatiku ilmu. Jangan biarkan setan dan nafsu mengganguku sehingga tercabut rasa takut dan cintaku pada Mu." Tutuplah tulisan Anda seraya bersyukur dan minta ampunanNya.
Dengan cara itu, akan lahir di tulisan dengan ide-ide yang mencerahkan bukan meresahkan, tulisan-tulisan yang membawa kebaikan bukan kehancuran. Alangkah indahnya dunia ini, jika semua tulisan yang beredar di buku-buku, majalah, media-media elektronik, blog-blog, website adalah tulisan-tulisan yang lahir dari 'abid-abid, yang hatinya penuh dengan rasa bertuhan dan rasa kehambaan.
Bagaimana menurut Anda?
Wallahu a'lam.

Tuesday, November 24, 2009

Tuesday, November 24, 2009

Giat membaca dan lebih giat lagi menulis


Membaca membuat jumlah ide di dalam otak bertambah. Menulis membuat ide lebih banyak lagi pertambahannya. Kalau mau dibanding-bandingkan secara matematis, bisa jadi menulis menghasilkan ide dua tau tiga kali lebih banyak daripada membaca. Mengapa demikian?
 Ide yang sudah tersimpan di dalam sel otak itu bisa berkembang biak, beranak pinak, melalui stimulus berpikir. Kalau awalnya ada satu ide, kemudian Anda berpikir, ide itu berpotensi menghasilkan ide lain yang sama sekali baru. Bahkan kita sering terkejut dengan kemunculan ide-ide baru ini. Jumlahnya kadang-kadang di luar dugaan, berlimpah. Hal yang tidak terpikirkan sebelumnya, muncul di benak. "Ah ini dia", kata kita sambil tersenyum heran.
 Itulah hebatnya ciptaan Tuhan berupa otak dengan jumlah sel bertriliun-triliun. Kita sendiri heran dengan otak yang sepertinya kecil tapi seolah-olah tidak ada batas daya tampungnya."Nggak penuh-penuhnya."
 Ide akan bertambah dengan berpikir. Ide bisa beranak pinak dalam otak tanpa batas, bahkan dalam waktu yang sangat singkat, sesingkat kerdipan mata. Kelihatannya ide ini tidak perlu kawin dulu sebelum beranak, dan bahkkan tidak ikut KB. Menulis membuat proses berpikir ini lebih dinamis. Ketika kita menulis, otak akan terstimulus, sehingga ide-ide-ide baru akan bermunculan bertubi-tubi."Sampai pegal tuh tangan menulisnya."
 Membaca juga akan menambah ide di dalam otak. Apalagi dalam proses membaca kita memikirkan apa yang sedang dibaca. Hanya saja dari pengalaman, berpikir ketika membaca tidak seaktif berpikir ketika sedang menulis. Karena itu jumlah ide yang dihasilkan dalam membaca tidak sebanyak waktu menulis. Ini menjawab pertanyaan mengapa para jenius dunia menulis. Albert Einstein, Leonardo De Vinci, Isac Newton menulis. Ulama-ulama besar Islam seperti Al-Ghazali, Ibnu Sina, Ibnu Rusd meninggalkan karya tulis berjilid-jilid tebalnya. Bahkan mereka bukan saja meninggalkan buku-buku resmi yang dijadikan referensi di mana-mana, bahkan mereka meninggalkan catatan harian yang menjadi fenomena sampai ke hari ini.
 Membaca hukumnya wajib. Kita memerlukan tambahan ide dari luar. Tidak seluruh ide dapat dihasilkan oleh otak sendiri. Namun, kalau membaca terlalu banyak juga tidak bagus. Bukan tambah cerdas, tapi dapat membuat otak menjadi tumpul. Otak bisa menjadi stress. Hati menjadi terbebani, apalagi membaca tulisan atau buku yang hanya berisi ide, konsep, atau teori, bukan data-data atau fakta. Lebih-lebih lagi setelah membaca buku atau tulisan yang bertentangan dengan hati nurani.
 Bayangkan orang yang kebanyakan makan. Linglung. Begitulah gambaran orang yang terlalu banyak membaca. Lebih-lebih lagi, orang yang banyak membaca, tapi tidak pernah menulis. Persislah perumpamaanya dengan orang yang terus makan, tapi tidak pernah buang air besar. Mampat.
 Nampaknya perlu perimbangan yang memadai antara membaca dan menulis, agar proses berpikir menjadi optimum. Walaupun Anda selalu berpikir ketika sedang membaca, perlu juga Anda pertimbangkan untuk berpikir ketika menulis. Buktikan!
 Anda punya pendapat yang lain?
 Wallahu a'lam.
  
Tuesday, November 24, 2009

Menulis setiap hari


Menulis tiap hari. Itulah jawaban dari pertanyaan bagaimana cara membiasakan menulis. Penguasaan keterampilan berbahasa tulis, menuangkan ide ke dalam tulisan hanya bisa didapatkan melalui menulis sebanyak-banyaknya. Menyeimbangkan laju aliran pikiran dan kecepatan menulis juga melalui proses menulis sebanyak-banyaknya. Tidak ada teori lain dan cara lain, misalnya dengan memakan obat-obat tertentu. Caranya Cuma satu; ambil alat tulis dan menulislah sebanyak-banyaknya.
Untuk memastikan bisa menulis setiap hari, catatan harian (diary) bisa diandalkan. Hampir semua penulis-penulis hebat dan produktif, tidak terkecuali ilmuwan besar seperti Albert Einstein dan Leonardo Da Vinci, menulis catatan hariannya. Catatan harian adalah satu bentuk tulisan yang paling sederhana. Menulisnya ringan. Tidak memerlukan referensi. Tidak ada tekanan keharusan menulis dengan logis. Isinya sangat personal. Temanya boleh meloncat-loncat. Satu paragraf bicara tentang makanan, paragraf berikutnya tentang wisata, tempat berikutnya tentang kecoa yang menjengkelkan, dst.
Telah dibuktikan oleh banyak pakar kepenulisan, menulis catatan harian merupakan salah satu langkah pembiasaan menulis yang terbaik, tercepat dan teringkas. Anda bisa memulai kegiatan harian Anda di pagi hari dengan menulis catatan harian dan mengakhirinya di malam hari juga dengan menulis catatan harian. Kegiatan menulis lainnya seperti menulis buku, menulis makalah, menulis surat-surat bisnis dapat dilakukan diantara menulis kedua catatan harian itu.
Pagi hari setelah selesai shalat subuh dan wirid, Anda bisa menulis catatan harian berupa rencana kerja hari ini. Apa saja yang akan dikerjakan hari ini, tulislah. Kalau dulu Anda biasa menulis jadwal atau rencana harian dalam format poin-poin, sekarang harus diganti dengan menulis dalam kalimat yang lengkap, narasi yang lengkap. Anda dapat menceritakan siapa saja orang yang akan ditelpon atau ditemui hari ini dan akan membicarakan masalah apa. Anda juga bisa medeskripsikan tempat-tempat yang akan dikunjungi atau barang-barang yang akan dicari. Bahkan kalaupun Anda berencana untuk menulis sesuatu hari ini, Anda dapat menuliskan di catatan harian tentang apa dan kapan akan dimulai. Yang penting apapun rencana Anda, tulislah selengkap-lengkapnya dan sejelas-jelasnya. Walaupun catatan ini untuk konsumsi Anda sendiri dan bukan mau dipublikasikan, Anda tidak boleh menulisnya sekedar Anda saja yang mengerti. Bayangkan Anda menulis untuk diterbitkan di koran harian pagi ini.
Bahkan kalau ada satu isu aktual yang ingin Anda ulas, Anda bisa langsung menuliskannya sebagai bagian dari catatan harian itu sebagai pembukaan atau penutup. Apalagi kalau Anda mempunyai pandangan-pandangan tertentu, pikiran-pikiran tertentu yang muncul pagi itu, suatu kesempatan yang baik menuliskannya di dalam catatan itu. Catatan harian semacam ini akan sama dengan editorial atau tajuk rencana yang muncul di koran setiap hari.
Di malam hari, ketika Anda sudah mulai santai, selepas shalat 'Isya, wirid dan makan malam, setelah membantu anak-anak belajar, berbincang-bincang dengan keluarga, menonton TV atau membaca buku, sebelum berangkat ke tempat tidur, boleh juga menulis catatan harian malam. Catatan ini bisa mengulas atau mengomentari apa-apa saja yang menarik hati atau berkesan khusus bagi Anda di hari ini. Barangkali Anda bisa mengaitkannya dengan catatan harian pagi atau merupakan catatan yang berdiri sendiri. Intinya, tulislah apa saja. Merdekalah berekspresi.
Begitu sederhana dan mudahnya menulis catatan carian, ia tidak memerlukan tema, karena itu tidak diperlukan outline atau semacamnya. Catatan harian bertolak dari apa saja yang terpikir dan terasa pada hari itu. Bahkan Anda bisa menulisnya diselang-selingi dengan "ngobrol' dengan keluarga . Apapun yang ada di otak tuangkan. Apa saja yang anda rasakan tuliskan. Catatan harian bukanlah naskah ilmiah yang harus Anda pertanggungjawabkan kebenarannya.
Walaupun demikian , catatan-catatan itu dapat dianggap enteng menfaatnya. Dia dapat menjadi rujukan pada suatu saat. Bahkan membaca catatan harian di masa yang akan datang merupakan hiburan tersendiri. Saya kadang-kadang sering senyum sendiri membaca catatan harian saya yang saya buat ketika jadi mahasiswa dulu. Dan jangan lupa, catatan harian yang bermutu berpotensi diterbitkan jadi buku. Anda mungkin sudah tahu bahwa beberapa buku yang diterbitkan sekarang seperti "Cat Rambut Orang Yahudi", bahkan menjadi buku best seller, berasal dari catatan harian. Tahun 70-an kita pernah digemparkan oleh satu buku catatan harian Ahmad Wahib. Catatan harian Rosihan Anwar banyak yang diterbitkan juga.
Anda sudah atau belum punya catatan harian? Bagaimana pendapat Anda?

 

Wallahu a'lam

Monday, November 23, 2009

Monday, November 23, 2009

Mengapa menulis cepat?


Bayangkan ide-ide kita seperti butiran-butiran buah tasbih. Bayangkan pula otak penyimpan ide-ide itu bagaikan sebuah gudang raksasa yang terdiri dari ribuan lantai. Setiap lantai dibagi menjadi ribuan cluster. Setiap cluster dibagi lagi menjadi ribuan kamar. Di setiap kamar terdapat ribuan lemari. Di setiap lemari terdapat ribuan laci. Di setiap laci terdapat ribuan kotak. Terakhir di setiap kotak terdapat butiran-butiran ide yang bulat seperti buah tasbih yang jumlah juga ribuan. Bisakah Anda membayangkan kapasitas otak penyimpan ide itu?
 
Setiap Anda membaca, melihat atau mendengar, sejumlah ide-ide baru yang berasal dari luar akan masuk ke otak. Secara otomatik, ide-ide itu akan ditempatkan ke salah satu kotak bercampur dengan Anda yang sudah ada di sana. Setiap Anda berpikir, menimbang atau merasa sejumlah ide akan beranak menghasilkan sejumlah ide yang lain. Ide-ide yang sudah berada di otak mampu melakukan regenerasi secara cepat menghasilkan ide-ide baru. Demikianlah setiap saat ide-ide di dalam otak itu bertambah, baik tambahan dari luar maupun tambahan karena beranak.
 
Sebagai tambahan, semua ide, baik yang lama, yang baru masuk, ataupun yang baru dilahirkan saling terkait satu sama lain. Ide-ide itu tidak berdiri sendiri. Mereka bisa menarik sekaligus ditarik oleh ide lain. Jika satu ide distimulus, ide-ide yang terkait akan mengalami stimulus yang sama dan siap bereaksi.
 
Ketika muncul niat menulis, akal manusia akan menarik satu demi satu ide dari kotak-kotak secara acak dan membariskannya satu persatu dalam barisan yang rapi di depan pintu keluar. Ketika jari Anda sudah begerak di atas kertas atau di keyboard mengetik, ide yang tegak terdepan akan meloncat keluar dan berubah menjadi satu kata. Ide yang dibelakangnya segera menyusul dan berubah menjadi kata juga. Demikian seterusnya satu demi satu ide meloncat berubah menjadi kata yang bersusun-susun membentuk kalimat. Kalimat mengelompok membentuk paragraf. Sampai akhirnya selesailah satu wacana lengkap.
 
Ketika satu butir ide sudah meloncat, apa yang terjadi dengan barisan ide yang masih berada di otak? Ide yang paling dekat dengannya langsung bergerak mengambil tempat kosong yang telah ditinggalkannya tadi dan langsung siap untuk meloncat pada giliran berikutnya. Demikian seterusnya sampai ke belakang. Ini berarti bergeraknya satu ide akan memprovokasi seluruh ide yang telah di dalam barisan untuk begerak maju. Bukan itu saja, ide yang masih di dalam kotakpun akan terprovokasi mengambil tempat di dalam barisan untuk keluar. Ide-ide yang sudah hamil tua akan terprovokasi menggelontorkan anaknya. Analogi ini menjelaskan mengapa ketika seseorang menulis, pikiran di dalam otak menjadi aktif. Ide-ide yang sebelum menulis tidak muncul, sekarang bermunculan dan berebutan.
 
Gerakan ide tidak sama. Mereka membentuk pola gerakan yang beragam. Ada yang merayap seperti keong namun kadang-kadang dia mesti keluar lebih dulu untuk mendampingi ide yang sudah meloncat. Ada ide yang bergerak meloncat-loncat seperti kanguru, tubruk sana tubruk sini tanpa peduli siapa di depan siapa di belakang padahal belum tentu terkait langsung dengan apa yang sedang ingin kita tulis. Ada yang melesat secepat belalang mengambil setiap tempat yang kosong. Diperlukan atau tidak, dia tidak peduli. Ada juga yang melenggak-lenggok, bergerak sambil menebar pesona, ada yang berjalan ragu, sambil terus melihat ke kiri dan ke kanan.
 
Faktor inilah yang berpotensi menimbulkan kekacauan dan memacetkan pintu keluar. Saya ingin menulis tentang manusia, ide tentang manusia berjalan lambat, sementara ide tentang malaikat malah berkejaran berebutan. Bila gerakan itu tidak tertata dengan baik, akan terjadilah salip menyalip, tubruk menubruk. Semua berebut menuju pintu keluar, sementara peluang meloncat hanya satu demi satu. Di sinilah akal mesti berperan dan bertindak sebagai penjaga gawang.
 
Laju meloncatnya ide tergantung kecepatan Anda menulis. Bila kecepatan menulis sama atau lebih cepat dari laju bergeraknya ide-ide di dalam otak, maka tanpa kesulitan ide akan mengalir dengan lancar. Tapi bila Anda menulisnya pelan, apa lagi sebentar-sebentar berhenti, maka akan terjadi penumpukan dan kekacauan di pintu keluar. Bayangkan kemacetan arus manusia di pintu keluar sirkus, tatkala sedang terjadi kebakaran.
 
Fenomena inilah yang sering disebut 'ngadat', atau sering disebut kehabisan ide. Saya pernah bertanya kepada seorang sahabat tentang perkembangan proyek menulisnya. Dia ringan dia mengatakan, "kehabisan ide, 'ngadat'." Mana mungkin ide habis. Ide tidak habis, tetapi bertumpuk-tumpuk di pintu keluar. Pintu masih Anda buka karena Anda masih terpana di depan alat tulis, tapi satupun ide tidak ada yang meloncat. Berjam-jam Anda menunggu sambil menguap. Anda terpaksa harus membaringkan diri beberapa jam menghabiskan bercangkir-cangkir kopi sampai barisan itu tertib kembali atau beritirahat total beberapa hari sampai seluruh ide kembali ke kotaknya masing-masing untuk bisa dibariskan kembali kapan-kapan.
 
Menulis cepat bertujuan mengimbangi laju gerakan pikiran sehingga gerakan di otak berjalan tertib. Menulis lambat menyebabkan rangsangan di otak sedikit sehingga ide-ide yang pasif kurang terstimulus untuk bereaksi. Menulis dengan sering berhenti, gerakan ide menjadi tidak beraturan, saling tubruk yang akhirnya membuat kekacauan.
 
Penulis sering berhenti ketika sedang menulis dengan banyak sebab. Salah satunya adalah karena tergoda dengan kesalahan ejaan dan tanda baca pada kalimat sebelumnya. Dia merasa tergangu dengan itu sehingga memilih berhenti mengalirkan ide untuk memperbaiki ejaan tadi. Penghentian yang lain disebabkan karena ada perasaan bahwa ide yang keluar adalah ide yang bukan diharapkan, melenceng dari tujuan semula. Apapun alasannya, penghentian yang sering-sering dan mendadak itu mengakibatkan kacaunya gerakan aliran ide.
 
Untuk mencegah suasana seperti itu, jangan mengedit sambil menulis. Biarkan ide mengalir dengan leluasa, merdeka. Imbangi dengan menuliskannya secepatnya. Pengeditan dapat dilakukan nanti setelah semua ide yang akan ditulis keluar seluruhnya.
 
Ada satu tips menulis yang perlu juga untuk dicoba: menulis tanpa layar monitor. Layar monitor sengaja dimatikan atau ditutup kertas agar kita tidak berkesempatan melihat apa yang sedang kita tulis. Godaan mengedit sambil menulis terhindarkan.
 
Bagimana pendapat Anda?
 
 
Wallahu a'lam

Friday, November 20, 2009

Friday, November 20, 2009

Menulis hanya perlu pembiasaan


Setelah ditanamkan minda pertama bahwa menulis itu ibadah, minda kedua ialah bahwa menulis itu mudah. Sulitnya menulis hanya terjadi di minggu-minggu pertama kita memulai proses pembiasaan, seperti canggungnya penganten baru. Ini diakui oleh sebagian penulis-penulis berkaliber nasional dan internasional.
 Bambang Trim mengatakan bahwa menulis gampang-gampang susah. Artinya, gampangnya dua kali, susahnya sekali. Kesusahan itu akan hilang dengan sendirinya setelah proses pembiasaan berketerusan dengan berlatih setiap hari. Ersis Warmansyah Abbas mengumpamakan menulis dengan menyetir mobil.Waktu belajar, tubruk sana tubruk sini. Andrias Harefa mengumpamakan menulis seperti naik sepeda, awal-awalnya masih susah mencari titik keseimbangan. Edy Zaqeus mengumpamakan belajar menulis seperti jadi penganten.Grogi. Begitulah para penulis produktif itu menggambarkan bagaimana mudah atau susahnya menulis. Itu pengalaman ril mereka.
 Bagaimana dengan pengalaman anda? Mari berbagi.
 Ada teori yang mengatakan semua kita terlahir sebagai jenius. Mungkin benar mungkin tidak. Tetapi menulis tidak memerlukan kejeniusan itu. Kalaupun kita ditakdirkan jenius, kejeniusan itu mungkin diperlukan untuk yang lain, tapi bukan untuk menulis. Orang yang IQ nya pas-pasan seperti saya saja, bisa menulis he he he.
 Saya sudah ujicobakan teori ini kepada anak saya yang baru duduk di kelas 4 SD, menjelang naik ke kelas V. alhamdulillah berhasil. Begitu mudahnya menulis, anak itu sudah menulis satu artikel dalam beberapa jam saja. Kini sudah lahir puluhan artikel di tangannya.
 Anak kelas 4 SD sudah bisa menulis? Ya, karena keterampilan menulis itu adalah keterampilan sekolah dasar. Walaupun ia masih menulis cerita fiksi, alias khayalan, tidak apa, sebagai pemula. Sekarang dia sudah mulai menulis non fiksi juga, lengkap dengan referensi-referensinya, wow. Saya sekarang sedang melatih anak saya yang baru sekolah di taman kanak-kanak, Tadika Global Ikhwan, untuk menulis. Kalimat yang terdiri dari dua atau tiga kata sudah bisa dirangkainya, walaupun masih lambat tertatih-tatih. Jangan-jangan keterampilan menulis bukan lagi keterampilan tingkat SD tapi malah TK.
 Tentu saja Anda tidak boleh bandingkan tulisan anak saya itu dengan buku "Menjadi Manusia Pembelajar"nya Andrias Harefa atau novel "Laskar Pelangi" nya Andrea Hirata. Jelas, itu perbandingan yang tidak berimbnag. Saya hanya sekedar ingin menunjukkan bahwa menulis itu ternyata sangat mudah. Anak kecil saja bisa, yang tua pasti lebih bisa. Itu maksudnya.
 Menulis kan pada dasarnya hanya menyalin apa yang sedang anda pikirkan dan rasakan ke dalam simbol berupa huruf-huruf, membentuk kata yang bersusun menjadi kalimat untuk dipahami yang membaca. Sebaliknya, membaca adalah memahami apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh si penulis menggunakan simbol yang sama. Dengan kombinasi menulis dan membaca maka terjadilah pertukaran pikiran dan perasaan dari orang ke orang. Waduh, memahami penjelasn ini saja, malah lebih sulit daripada menulis itu sendiri.
 Anda bisa membaca, bukan? Kalau bisa, berarti Anda telah mengetahui simbol-simbol berupa kata. Menulis adalah kebalikan membaca. Kalau begitu, alangkah mudahnya menulis itu karena kita hanya mengubah pikiran menjadi kata. Apa yang kita tulis adalah apa yang ada di dalam pikiran kita. Pikiran itu sendiri muncul setiap detik dalam kehidupan kita dalam jumlah yang berlimpah ruah dari detik ke detik, lebih cepat dari tarikan nafas.
 Anda setiap hari berbicara, bukan? Berbicara sama dengan menulis. Bedanya, simbol yang dipakai dalam berbicara adalah simbol lisan, berupa ucapan dan intonasi. Sementara dalam tulisan, kita menggunakan susunan kata dan tanda baca. Kalau Anda bisa bicara berjam-jam, begunjing, "ngrumpi", apalagi berceramah, mengajar, atau memberi kuliah, Anda pasti bisa menulis berjam-jam.
 Kalau sedang sendirian di mobil atau di kamar mandi, Anda sering berbicara sendiri. Apalagi sedang jengkel dengan orang lain, dengan istri, suami atau mertua, kita sering menggerutu sendiri, berjam-jam, bahkan berhari-hari. Sebenarnya Anda sedang menulis satu artikel, cuma di awang-awang. Ini semua pertanda Anda bisa menulis di kertas. Tinggal ambil alat tulis, beres.
 Kuncinya sederhana sekali rupanya. Ambillah alat tulis, kertas dan pena atau komputer. Tulislah dulu satu kalimat, satu saja, kemudian berhenti. Tulislah lagi satu kalimat kedua sebagai pengiringnya, berhenti lagi. Lanjutkan menulis kalimat yang ketiganya dan seterusnya. Anda akan merasakan bagaimana pikiran Anda mulai bangun dan terus mengalir. Anda akan merasakan aliran pikiran begitu deras, berbaris-baris seperti serdadu, melompat keluar satu persatu, berubah bentuk menjadi kalimat demi kalimat. Wow.
 Anda akan mengalami juga suatu waktu ketika alirannya hampir tak bisa dibendung lagi. Ketika itu aliran pikiran bahkan melebihi kecepatan tangan menulis. Bahkan sebagian penulis mengkau bisa lupa waktu, lupa istri, lupa suami. Ya, salah juga. Janganlah sampai sebegitunya. Semua penulis besar yang sudah menulis puluhan buku mengakui adanya keadaan ini, dan mereka punya istilah masing-masing yang lucu-lucu untuk menyebutkan keadaan ini. Ada yang menyebutnya dengan istilah "writing trances", "orgasmic writing", atau "writing on fly". Tidak ada yang ajaib. Tuhan telah buatkan untuk kita semua kemudahan itu. Bersyukurlah.
 Macet? Ya tidak apa-apa, tinggal berhenti sejenak. Nanti akan ada celahnya Anda untuk jalan kembali. Lha jalan di Jakarta saja tiap hari macet. "Itu saja kok repot?" kata Gus Dur. Tidak ada macet yang permanen. Menulis mari menulis. Menulis itu sangat mudah.
 Anda punya pandangan lain? Ayo, mari berbagi.
 Wallahu a'lam.
Friday, November 20, 2009

Ai, ternyata menulis itu memang sangat mudah. He he he.


Tulislah dulu satu kalimat, satu saja. Kalimat pendek boleh. Anda akan tahu bahwa menulis itu ternyata memang mudah . Tulislah lagi satu kalimat kedua sebagai pengiringnya. Anda akan rasakan bagaimana pikiran Anda mulai bangun dan menuntun Anda menulis kalimat yang ketiganya. Ikutilah tuntutan itu. Dengarkan suara hati. Ubahlah suara itu menjadi kalimat-kalimat berikutnya, sampai ia beriring-iringan seperti gerbong kereta api.
Setelah itu, Anda akan mulai merasakan aliran pikiran yang berbaris seperti serdadu Nazi, melompat keluar satu persatu karena takut dibunuh, berubah bentuk menjadi kalimat demi kalimat. Kini alirannya hampir tak bisa dibendung lagi. Otak menggelinjang. Botol pikiran itu kini telah seperti kehilangan sumbatnya. Mengalir dan mengalir.
Ai, ternyata, saya baru tahu menulis itu memang mudah, bahkan sangat mudah. Lihat, saya sudah selesaikan dua paragraf. Ajaib, bukan?
Saya ada cerita lama yang sedikit memalukan. Geli rasanya kalau diingat-ingat kembali. Suatu ketika dulu, tahun 80-an, saya bertemu satu buku yang ditulis oleh seorang penulis novel sohor Arswendo Atmowiloto yang berjudul, "Mengarang itu Gampang." Anda pernah baca buku itu? Terus terang, saya marah dan tersinggung.
Saya jawab, "Ah, siapa bilang mengarang itu gampang?" Kalaulah mengarang atau menulis itu gampang, tidaklah saya harus bersusah payah mencari tempat fotokopi yang murah sepanjang Gang Pelesiran di Bandung untuk mengopi "text book" asing, berbahasa asing, ditulis oleh orang asing, yang dipakai dalam kuliah, yang harga buku aslinya membuat kepala pening. Kalau menulis itu mudah, dosen-dosen itu pasti telah menuliskan kuliahnya dalam diktat-diktat yang pasti harganya terjangkau. Mengapa pula harus pakai buku tulisan orang lain? Bukankah di kampus sehebat ini, banyak pakar, bertaraf internasional, jebolan sekolah-sekolah antar bangsa? Tapi, buktinya tidak. Buku-buku agamapun pada waktu itu hampir seluruhnya karya terjemahan. Waktu itu kami banyak membaca buku2 tulisan ulama Mesir, Pakistan, dan Iran.
Saya punya bukti lain bahwa mengarang atau menulis tidak gampang. Tahukah Anda bahwa pernah juga dulu saya paksakan menulis dan mengirimkannya ke salah satu bulletin di kampus. Bulletin yang sama sekali tidak terkenal. Eh, tulisan itu ditolak mentah-mentah. Sang redaktur mengirimkan naskahnya kembali ke alamat saya, penuh dengan coretan dengan menyelipkan sebuah note, "Tulisan ini bagus, tapi maaf tidak bisa kami muat."
Apa salahnya, coba. Topiknya seingat saya tentang jin. Menarik bukan? Membicarakan jin waktu itu lebih menarik daripada membicarakan manusia. Tapi, mengapa tidak bisa dimuat?
Saya menuduh Arswendo Atmowiloto telah membuat lelucon besar. Dia meremehkan pekerjaan menulis seolah-olah setiap orang bisa melakukannya. "Gampang, gampang, tulislah!" Buktinya? Bukan saya saja, saya melihat ribuan intelektual, sarjana, dosen, mahasiswa, insinyur, dokter, ustaz, kiyai, manajer, bergelimpangan tidak bisa menulis. Inikah yang disebut "gampang" itu?
"Oh, mereka mungkin tidak punya bahan." Tak punya bahankah seorang professor?
"Oh, mungkin tak punya waktu." Selama 40, 50, bahkan 60 tahun? Tak bisa kah menyisihkan waktu untuk beberapa hari untuk sebuah buku atau beberapa jam untuk sebuah artikel?
Waktu itu, saya yakin hanya orang-orang tertentu saja yang mampu menulis. Yang lain hanya berhak untuk membaca. Logikanya nampak seperti itu, harus lebih banyak pembaca dari penulis. Lha, kalau semua orang menulis, siapa lagi yang membacanya?. Orang yang sudah biasa menulis, kebetulan diberi rezki kemampuan menulis, seperti Arswendo tentu akan mengatakan menulis itu gampang. Pak Habibi juga akan mengatakan bahwa membuat pesawat terbang itu gampang. Kalau begitu apakah semua orang bisa membuat pesawat terbang seperti Pak Habibi?
Begitu sulitnya menuangkan pikiran ke dalam tulisan itu, sampai-sampai saya pikir saya ditakdirkan hanya untuk membaca bukan untuk menulis. Menulis saya anggap keterampilan luar biasa yang hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu yang IQ nya jauh di atas saya. Orang yang IQ nya sekelas saya, terimalah nasib untuk menjadi pembaca saja seumur hidup, jangan bermimpi jadi penulis. "Menulis tak kalah sulitnya dari merancang pesawat ruang angkasa, biar pakarnya saja" pikir saya.
Akhirnya untunglah saya bertemu juga dengan orang-orang pilihan, penulis-penulis yang senang berbagi ilmu. Mereka menempeleng "mental block" yang sangat memalukan itu. Mereka membantu mencabik-cabik "frame" berpikir saya, dan membantu melepaskan kaca mata kuda yang saya pasang sendiri untuk mengekang potensi yang sudah Tuhan anugerahkan pada saya. Saya anggap mereka orang-orang yang baik hati. Tuhanlah yang mengirim mereka pada saya. Alhamdulillah.
Menulis itu ternyata mudah. Bahkan sangat mudah. Sekarang saya ingin minta maaf kepada Arswendo karena sudah berprasangka buruk. "Mas, mengarang itu ternyata memang gampang, bahkan sangat gampang" Hua ha ha ha. Begitu gampangnya, sehingga tidak diperlukan kursus mengarang. Hua ha ha ha.
Kalaupun masih terasa sulit dalam menulis, itu hanya akibat kegamangan seperti gamangnya penganten baru menaiki ranjang pengaten di minggu-minggu pertama. Para penulis senior mengatakan bahwa sulitnya menulis seperti sulitnya belajar menyetir mobil pertama kali, tubruk sana tubruk sini. Keringat bercucuran, tapi menyenangkan. Kalau sudah sehati, menyetir mobil itu bisa sambil ngobrol, makan kacang atau chatting di HP.
Aduh maaf, jadi terlalu panjang nnarasinya.
Bagaimanapun juga, kursus atau workshop untuk membangkitkan motivasi dan memantapkan teknik-teknik khusus dalam kepenulisan, seperti teknik narasi, argumentasi, eksposisi, sastrawi, dll, sah-sah saja diikuti. Biayanya toh tidak seberapa dibanding dengan manfaatnya.
Anda berani menerima tantangan? Let's go...
Wallahu a'lam.
Friday, November 20, 2009

Menulislah dengan nama Allah karena menulis itu ibadah


Kaidah pertama Q'Writing adalah meletakkan "mindset" atau minda di hati bahwa menulis itu ibadah kepada Allah SWT. Menulis merupakan perintah Allah kepada hamba-hambaNya. Karena itu, menulis harus dilaksanakan karenaNya, untukNya, dan di atas jalanNya. Inilah yang dimaksukan dengan menulis adalah ibadah. Sebelum otak dijejali dengan seperangkat teori, teori ini dulu.
 Tidak terbayang betapa indahnya menulis, menghentak-hentakkan jari dengan lembut di atas keyboard atau menggoreskan pena di kertas, menuliskan pikiran dan perasaaan sementara hati penuh dengan rasa bertuhan dan rasa kehambaan? Apalagi kalau kita menulis selepas shalat dan wirid. Proses itu tidak hanya dapat menumbuhkan rasa bertuhan yang semakin dalam di hati yang menulis, tapi juga dapat memberikan keinsafan kepada yang membaca. Dan alangkah sia-sianya apa yang kita tulis, namun hati dipenuhi dengan hasrat duniawi, kepentingan emosional dan kebendaan. Menulis seperti itu pasti sangat menjemukan.
 Menulis yang paling indah adalah menulis sambil mendengarkan dendang hari nurani.Tidak hanya mengadalkan pandangan akal pikiran, tetapi mendengarkan bisikan hati nurani. Korek-koreklah sedikit celah-celah hati itu dan dengarkan kumandang suara Tuhan melaluinya. Kenang-kenangkan Tuhan. Kenang-kenangkan kemahapengawasannya, bahwa dia terus menerus mengawasi kita, melihat, mendengar, dan terus menerus berbicara dengan kita. Dengarkanlah baik-baik petunjuk-petunjukNYa. Perhatikan peringatan-peringatanNya. Jangan terlalu percaya dengan bisikan nafsu walau terasa sangat memberi harapan. Visualisasi nafsu di depan mata kita adalah tipu daya seperti fatamorgana.
 Mulailah menulis dengan menyebut namaNya, Ingat-ingatlah Dia selalu selama menulis, Ketika sampai waktu untuk menghadapNya, berhentilah menulis, tunaikanlah terlebih dulu kewajiban-kewajiban kepadaNya. Setelah itu, lanjutkanlah menulis kembali. Tak usah gopoh. Akhirilah tulisan Anda dengan memasrahkan kembali hasilnya kepadaNya, dengan rasa cemas, rasa was-was kalau-kalau Allah tak redha. Minta ampunlah kepadaNYa.
 Pikiran dan perasaan yang tertuang dalam tulisan Anda akan menjadi tulisan yang memiliki ruh, daya ledak yang dahsyat, bukan tulisan yang ompong, kosong. Tulisan-tulisan itu, betapapun sederhana, singkat, padat akan menjadi asas pembangunan peradaban manusia. Manusia bisa terhibur dan terobati dengannya.Tulisan ini akan menghiasi sejarah, sepanjang zaman. Betapapun jasad kita sudah terkubur, tulisan-tulisan itulah yang akan menggantikan keberadaan kita di dunia ini, sampai-sampai orang lupa bahwa sesungguhnya kita sudah wafat.
 Kita boleh menuliskan hal-hal yang sederhana saja dalam tulisan yang singkat, satu atau dua paragraf. Kalau mau boleh tulis yang berat-berat, berjilid-jilid. Kalau perlu berpeti-peti. Kalau mampu menuliskan rahasia alam semesta ini, tentang energi kuantum, DNA, biologi molekuler, nuklir, dll, tulislah, kenapa tidak? Kalau mau menulis tentang dinamika manusia, ekonomi, politik, sejarah, dll, tulislah, tidak usah ragu-ragu. Kalau tidak mampu menulis yang berat-berat, tulis yang ringan-ringan saja, tentang masa kanak-kanak yang lucu, tentang kawan yang jahil, tentang kecoa yang menjijikkan, dll. Kita boleh menuliskan pengalaman, pengamatan, bahkan khayalan. Khalayalan juga bisa, mengapa tidak? Menulis cerita fiksi itu sesungguhnya menuliskan khayalan. Sebagian besar anak-anak belajar menulis dengan menulis khayalan-khayalannya. Berkelanalah ke seluruh alam jagat raya ini. Tuliskanlah hasil pengelanaan itu dengan kata dan kalimat. Syaratnya cuma satu. Apapun yang ditulis, bagaimanapun gayanya, kapanpun waktunya, jangan lepaskan dengan rasa bertuhan dan rasa kehambaan.
 Mulailah dengan menyebut nama Allah, "Bismillahirrahmanirrahim, dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang." Bisikkan ke dalam hati, "Wahai Tuhan, izinkan aku menuliskan pikiran dan perasaanku. Tidaklah ada maksudku kecuali mengikuti perintahMu dan demi tegaknya kebaikan-kebaikanMu. Aku hanya seorang hamba, sementara Engkau adalah Tuhanku. Bimbinglah aku. Curahkanlah ke hatiku ilmu. Jangan biarkan setan dan nafsu mengganguku sehingga tercabut rasa takut dan cintaku pada Mu." Dengan cara itu, insyaallah akan lahir tulisan-tulisan yang mencerahkan bukan meresahkan, tulisan-tulisan yang membawa kebaikan bukan kehancuran. Alangkah indahnya dunia ini, jika semua tulisan yang beredar di buku-buku, majalah, media-media elektronik, blog-blog, website adalah tulisan-tulisan yang lahir dari 'abid-abid, yang hatinya penuh dengan rasa bertuhan dan rasa kehambaan.
 Inilah yang saya katakan dengan menulis adalah ibadah kepada Allah. Selama ini, ada sebagian kawan kita yang berpikir bahwa ibadah itu hanya untuk urusan taharah, shalat, zakat, haji, membaca Alquran, zikir, dan do'a saja. Di sekitar itu saja kita harus kaitkan dengan Tuhan. Itu keliru. Jangan pakai lagi ajaran itu. Seluruh aktifitas kita sejak bangun tidur sampai tidur lagi, dan bahkan dalam tidur sekalipun, harus menjadi ibadah, terkait dan dikaitkan dengan Tuhan dan syariatNya. Di mesjid kita beribadah, di pasar kita beribadah, di kantor beribadah, di kendaraan kita beribadah, bahkan di toilet atau kamar mandipun kita beribadah.
 Dengan indah dalam Al Quran surat Al Qalam, ayat 1 tertulis "Nun, walqalami wama yasturun." Demi pena, dan apa-apa yang ditulis. Betapa agungnya kegiatan tulis menulis dalam padangan Allah. Alangkah ruginya jika urusan yang seagung ini dijadikan sesuatu yang tidak berharga, tersia-sia, hanya karena mengejar mimpi duniawi belaka. Menulis mari menulis. Kita bangun lagi kasih sayang melalui tulis menulis. Menulislah karena Allah, untuk Allah dan di atas jalan Allah.
 Bagaimana menurut pendapat anda?
 Wallahu a'lam.

Tuesday, November 17, 2009

Tuesday, November 17, 2009

Terinspirasi dari bloger


Saya bangga bisa berkenalan dan belajar dengan dua tokoh yang saya anggap sebagai inspirator kepenulisan saya: Andrias Harefa dan Edy Zaqeus. Oh ya, juga Her Suharyanto. Ketiga-tiganya dari Writer Scholen, sebuah lembaga pengembang kemampuan personal, khususnya menulis. Awalnya saya akan belajar menulis secara autodidak saja. Malu-maluin rasanya sudah tua masih belajar menulis. Tapi saya pikir-pikir, saya mungkin sudah tidak punya waktu lagi, karena bahan yang akan ditulis banyak bukan main. Otak sudah penuh, lemaripun penuh. Untuk dapat jalan pintas, saya urungkan niat bermalu-malu itu. Saya nekat juga akhirnya mengikuti workshop kepenulisan yang diadakan oleh mereka. Setelah itu, saya lanjutkan dengan membaca buku-buku tulisan mereka yang khusus membicarakan perkara kepenulisan dan tak lupa saya kunjungi blog-blog mereka yang sangat inspiratif, karena mereka memang termasuk blogger. Andrias di http://andriasharefa.com, Edy di http://ezonwriting.wordpress.com, dan Her Suharyanto di http://jurutulis.com


Perlu diketahui akhir-akhir ini, saya suka mengunjungi blog-blog yang beredar di dunia maya. Sebagian blog itu saya cari sendiri melalui google atau yahoo, dan sisanya hasil link dari blog-blog yang sudah saya kunjungi terlebih dulu. Mungkin karena sudah kompak untuk saling membaca, biasanya para bloger itu menyediakan link ke blog-blog lain yang mereka rekomendasikan yang mereka namakan blog teman atau blog tetangga. Menarik sekali memang. Satu blog terbuka, yang lain akan susul menyusul.


Karena blogging kemana kemari, baru-baru ini mentor saya bertambah satu lagi dalam kepenulisan. Beliau adalah Ersis Warmansyah Abbas. Belum lama ini, saya dikejutkan oleh satu blog dengan tajuk "Menulis tanpa berguru, http://webersis.com. Saya belum pernah bertemu muka. Pertemuan satu-satunya melalui dunia maya saja. Menurut saya, inilah blog yang paling getol membicarakan tentang menulis. Bahkan saya sempat berpikir jangan-jangan sudah terlalu getol. "Pokoknya tulis, " itu katanya.


Berbeda dengan Andrias dan Edy yang menganggap workshop atau kursus kepenulisan perlu, Ersis malah mempertanyakan apa perlu adanya workshop atau kursus menulis diadakan. Bagi dia kursus itu menghabiskan waktu dan uang saja. Bagi Ersis menulis ya menulis. Tidak ada cara belajar menulis kecuali menulis tiap hari. Terus menulis sebanyak-banyaknya. Tidak bisa menulis yang panjang-panjang, tulis yang pendek. Bahan tulisan tersebar di mana-mana.


Untuk membakar semangat, saya sempat terbakar tapi tidak sampai hangus, pikiran Ersis ini boleh juga dipakai. Saya dibuat gregetan membaca tulisan-tulisannya. Dan saya setuju bahwa teknik menulis adalah keterampilan yang dipelajari di SD. Andrias pernah mengatakan itu juga pada saya. Hanya saja mungkin, kita tidak boleh abaikan adanya fakta, ternyata banyak orang yang tidak bisa menulis padahal bahan yang akan ditulisnya bertumpuk-tumpuk. Ersis sendiri yang sering mengatakan bahwa dosen-dosen lebih senang memamerkan buku orang yang sudah dia baca, bukan buku yang dia tulis, padahal dia mampu bercerita di depan kelas berjam-jam. Kalau ia mau menulis apa yang dia ceritakan itu, berpuluh-puluh buku akan lahir di tangannya. Saya kira ini benar-benar menyinggung perasaan para intelektual. Mungkin sebagian bertobat dan terus menulis, dan sebagian lagi berdendam pada Ersis.


Kalau saya gabungkan pemikiran Ersis dengan pemikiran Andrias dan Edy, intinya sama. Ada overlappingnya. Workshop atau kursus yang dipandang perlu oleh Andrias dan Edy, ternyata memang bertujuan membangkitkan motivasi, bukan belajar menyusun kata menjadi kalimat dan seterusnya menjadi pargaraf. Dosen-dosen yang diceritakan Ersis sebenarnya memang tidak memerlukan pelajaran menulis dalam arti menyusun kalimat, melainkan perlu suntikan motivasi. Jadi saya pikir, kursus menulis sah-sah saja, sebagai wadah pembangun motivasi. Bagi yang melihat bahwa faktor motivasi merupakan ganjalannya selama ini, maka ikutlah kursus. Bagi yang sudah memilikinya, silakan langsung memulai. Kalau saya, kayaknya masih perlu motivator.


Apapun yang mereka katakan dan apapun perbedaan pendapat masing-masing, ketiga orang ini telah menginspirasi saya. Dari inspirasi itu, sayapun telah menjelajah ke blog-blog lain yang tak terhitung jumlahnya, yang semuanya bicara tentang kepenulisan. Fiksi dan non fiksi sudah bercampur aduk. Yang ilmiah, yang pop, yang gaul telah menjadi satu. Kini giliran saya untuk menyiapkan teori baru dalam kepenulisan yang saya namakan "QuantumWriting", he he he.


Orang lain boleh berteori, mangapa pula saya tidak boleh? Ingat, antara Quantum dan Writing, sengaja tidak pakai spasi, biar nampak gagah.


Sudah banyak buku yang menggunakan kata Quantum, tidak masalah. Tenang saja. Tak usah malu-malu. Sebagian besar yang terjadi di dunia tulis menulis adalah tiru meniru dan ekor mengekor. Yang penting tidak membajak. Quantum itu sendiri istilah yang diambil dari Fisika modern yang mengoreksi fisika klasik tentang energi. Fisika klasik melihat energi sebagai suatu yang kontinu (kontinum) yang bergerak semacam gelombang, sementara Fisika modern melihat energi sebagai suatu paket yang teputus-putus yang dipancarkan yang besarnya berbanding lurus dengan masa dan kecepatan berpangkat dua, yang disebut Quantum


Karena menulis ternyata bukanlah masalah keterampilan, melainkan masalah energi, maka tepatlah kalau teori ini dinamakan dengan Quantum juga. Seperti saya sampaikan tadi, sebelum ini telah banyak buku yang menggunakan nama kuantum (pakai huruf "k") untuk menunjukkan antara energi dan kecepatan. Karena masa tetap, maka energi akan berbanding lurus dengan kecepatan. Semakin tinggi kecepatan semakin tinggi energi yang diperoleh. Para penulis senior telah membuktikan hubungan yang sangat jelas antara kecepatan menulis dan energi motivasi. Motivasi yang tinggi meningkatkan kecepatan menulis berkali-kali. Demikian juga kecepatan menulis menaikkan energi motivasi. Semakin cepat semakin energik.


Formula dalam QuantumWriting tidak diambil dari satu dua orang penulis hebat. Teori ini diramu dari lebih sepuluh penulis-penulis yang mau berbagi kepenulisan mereka melalui blog-blog. Mereka telah menelorkan buku-buk best seller di bidangnya masing-masing sebagai bukti kepenulisan mereka. Tak perlu disebutkan satu persatu nama mereka di sini. Mereka di antaranya penulis fiksi dan sebagian non fiksi. Sebagian mereka adalah penulis ilmiah, penulis pop dan sebagian lagi penulis gaul. Di dalam QuantumWriting ada paket-paket kecil tulisan, persis seperti kuantum energi. Namun setiap paket itu berdaya ledak yang tinggi. Setiap paket berdiri sendiri. Walaupun pendek secara materi tetapi dikerjakan dengan kecepatan yang sangat tinggi. Ingat besarnya energi berbanding lurus dengan kecepatan berpangkat dua. Meminjam istilah Hernowo Hasim, teori ini adalah hasil pengikatan makna dari sejumlah teori.


QuantumWriting akan berisi metoda membangitkan semangat menulis dan metoda memproduktifkan tulisan. Formula ini diharapkan pula akan memberikan motivasi bagi para pencinta tulis-menulis dan memberikan metoda singkat dan padat bagaimana menjadi produktif dalam menulis. Semogalah lahir generasi yang yang akan membangun peradaban yang lebih baik di masa depan karena kita memulainya dari elemen asas membangun peradaban itu sendiri, yaitu menulis.


Anda ingin bisa menulis seperti penulis-penulis besar? Pelajari QuantumWriting! Selamat datang di dunia tulis-menulis yang menyenangkan. Para blogger, sila mengakses teori ini melalui http://batubertulis.blogspot.com


Bagaimana pendapat anda?


Wallahu a'lam.


 

Sunday, November 8, 2009

Sunday, November 08, 2009

Maqam hati


Fitrah semula jadi hati adalah tempat bertumpunya rasa bertuhan dan rasa kehambaan manusia. Hati telah dilengkapi dengan berbagai instrumen untuk itu seperti penglihatan , pendengaran, perenungan, pemahaman, dan perasaan. Hati mampu untuk menembus cakrawala.

Namun perjalanan hidup tidaklah selurus itu. Hawa nafsu yang selalu menginginkan kelezatan, kenyamanan, kemudahan, popularitas, kepentingan diri selalu menghempus dan mempengaruhi hati. Kelaparan dan kehausan jasad jugs ikut mempengaruhi hati. Lama kelamaan rasa bertuhan dan rasa kehambaan itupun lenyap dan digantikan oleh rasa keduniaan, tskut lapar, takut mati. Itulah sebabnya ketika kepentingan dunia kita terganggu, rasa sakitpun muncul di hati. Hatipun merasa tenang jika dunia terasa sudah di tangan.

Maqam tertinggi hati sebenarnya adalah ketika hati sudah tak pedih lagi dengan hinaan, cacian, kekurangan fasilitas duniawi. Coba simak bait berikut yang ditulis oleh Abuya Syeikh Imam Ashaari Muhammad At Tamimi.

"Hatiku tidak susah diwaktu aku di hina,
tidak bersedih diwaktu aku menderita.
Aku tidak sedih diwaktu aku disisihkan,
tidak menderita ketika aku dicacimaki dan difitnah.
Aku tahu itu semua penghapusan dosa"

Hati yang sudah kembali rasa bertuhan dan rasa kehambaannya tak gelisah lagi dengan segala kepentingan duniawi. Yang dia cemaskan adalah ketika hubungannya dengan Tuhan terganggu. Dia cemas kalau-kalau Tuhan berpaling darinya.

Lagi-lagi bait dari Abuya Ashaari Muhammad At Tamimi:

"Tapi aku sedihkan dosa-dosa yang kulakukan,
Orang yang sepertiku ini sudah pasti tidak terlepas dari pandangan.
Aku sedihkan adalah kesalahan dan kesilafanku akan dosa-dosaku setiap hari memburuku.
Takut pintu syurga tertutup untukku, pintu neraka terbuka untukku"

Bagaiman menurut Anda?

Wallahu a'lam

Friday, November 6, 2009

Friday, November 06, 2009

Sariawan dan menulis


Ternyata ada hubungan antara sariawan dengan menulis. Mau tahu? Hampir sejak seminggu yang lalu saya di serang sariawan. Posisinya tepat di tepi lidah sebelah kiri, luka memanjang. Kalau dipakai bicara, sakitnya bukan main, karena ia menggeser ke geraham kiri. Tapi kalau dibawa makan yang pedas, tak terasa apa-apa. Entah sariawan atau hanya luka bekas tergigit, saya tak tahu pasti.

Akibat sariawan, saya harus mengurangi frekuensi berbicara. Kalaupun saya paksakan, saya akan "mengaduh". Ada beberapa obat yang sudah saya coba, nampaknya tidak mempan. Padahal di sisi lain, saya tidak mungkin berhenti berkomunikasi, baik untuk keperluan pribadi ataupun keperluan pekerjaan. Terutamanya keperluan pekerjaan. Setiap pagi biasanya saya harus diskusi dengan kawan melalui telepon.


Sebagai konsekuensinya, saya harus menulis. Kini terpaksa pakai e-mail atau chating sebagai pengganti telepon langsung. Saya jadi teringat guru-guru menulis saya yang bersusah payah memaksa saya menulis dan menulis, namun tak menulis juga. Gara-gara sariawan saya jadi terpaksa menulis. Bahkan sekarang malah jadi susah menghentikannya. Ada-ada saja yang ingin saya tulis.


Tak disangka hal yang kelihatannya tak terkait, ternyata terkait erat: sariawan dan menulis.


Walaupun ada hikmahnya, saya tetap berharap sariawan saya sembuh juga. Do'akan ya!. Dan, Anda jangan sama sekali berharap kena sariawan dulu seperti saya untuk mulai menulis.


Bagiamana pendapat Anda?


Wallahu a'lam


 

Friday, November 06, 2009

Perempuan?


Kaum lelaki sering iri dengan perempuan. Mengapa tidak? Perempuan dianugerahi Tuhan perasaan yang lebih sensitif. Ruhnya lebih halus. Akibatnya, rasa bertuhan dan rasa kehambaan lebih mudah menyentuh mereka sementara para lelaki harus berjuang lebih keras untuk mendapatkan rasa itu. Akal,rasio, dan logika sering mengaburkan Tuhan dalam pandangan Laki-laki. Padahal rasa bertuhan dan rasa kehambaan merupakan aset terbesar hidup manusia. Sungguh, manusia yang paling beruntung di dunia adalah manusia yang memiliki kedua rasa itu. Laki-laki lebih sombong, angkuh, bahkan berani melawan Tuhan. Lihat Fir'aun, si lelaki penantang Tuhan.
 

Perasaan yang lebih sensitif pada perempuan memungkinkan mereka lebih menimbang rasa pada orang lain, lebih peka pada penderitaan orang lain, lebih iba melihat kesusahan orang lain. Itulah sebabnya mereka mudah mengulurkan kasih dan sayang. Lebih mudah memaafkan kesalahan orang. Sementara laki-laki lebih bebal, muka tembok, dan kadang-kadang lebih tidak tahu diri. Laki-laki lebih sulit meminta maaf dan memafkan. Lihat, hampir semua api peperangan di dunia dicetuskan oleh kaum laki-laki.
 

Anak-anak lebih dekat kepada ibu. Itu pasti. Kalau ada masalah pada anak, mereka akan mendatangi ibu-ibu mereka. Kalau ada konflik antara ibu dan ayah, anak-anak akan berpihak pada ibu. Sembilan bulan anak-anak terikat dengan rahim ibu mereka. Dua tahun berikutnya anak-anak meminum air susu ibu mereka. Laki-laki? Laki-laki hanya jadi panitia. Pantaslah kalau Rasulullah mengatakan bahwa surga ada di telapak kaki ibu. Maksudnya, anak-anak lebih nyaman dengan ibu dari pada dengan ayahnya.
 

Dan yang paling membuat laki-laki iri dengan perempuan adalah bahwa Tuhan menjadikan surga lebih dekat kepada perempuan. Untuk masuk surga seorang perempuan hanya dituntut mengerjakan yang wajib, meninggalkan yang haram, dan menta'ati suami. Bahkan dikabarkan bahwa do'a kaum perempuan akan mengguncangkan Arsy dan lebih mudah dikabulkan Tuhan. Malin Kundang berubah jadi batu karena do'a perempuan, yaitu ibunya.
 

Oh ya satu lagi yang membuat laki-laki iri. Perempuan tak usah payah-payah mengurus sendirian rumah tangganya. Dia bisa berbagi, sementara laki-laki mesti sendiri. Sendiri dan sendiri lagi. Aduh kacian deh laki-laki….
 

Bagaimana menurut Anda?
 

Wallahu a'lam.
 

Thursday, November 5, 2009

Thursday, November 05, 2009

Bila istri jadi wanita ruh


Mungkin ada suami yang khawatir, 'Apa jadinya istri saya setelah menjadi perempuan ruh?" Mungkin dalam hatinya terpikir apakah istrinya nanti akan kembali lengkap dengan wajah, rupa, sosok yang selama ini dikenalnya, atau akan kembali dengan sosok yang jauh berbeda. "Apakah ia akan kembali tanpa jasad atau jasad yang sudah berubah yang disesuaikan dengan rasa hatinya yang terkini? Itu soal jasad fisik. Selain itu, tentu ada juga yang berpikir apakah istrinya nanti tak akan lagi memiliki nafsu dan akal.

"Perempuan ruh" sesungguhnya hanyalah satu istilah untuk menunjukkan sosok perempuan yang rohnya telah dibersihkan dan disucikan. Ruhnya telah dikembalikan kepada fitrah semula jadi penciptaannya. Kini ruhnya menjadi ruh yang merdeka, bebas, dan bahkan bisa terbang kemana-mana. Bahkan ruh dari 'perempuan ruh" akan mampu menerbangkan jasadnya.

Waktu akan wafat, Rasululullah SAW pernah berpesan, "Annisa'…., annisa'!" Pesan itu bermakna, "Jagalah perempuan, jagalah perempuan!". Begitu pedulinya Rasulullah tentang perempuan, sampai-sampai di akhir hayat, beliau masih menyempatkan menyampaikan wasiat itu. Pastilah itu wasiat yang sangat penting yang tak boleh diabaikan begitu saja.

Rasulullah pernah mengingatkan kita bahwa sesungguhnya perempuan itu terbuat dari tulang rusuk laki-laki. Jika dibiarkan tanpa pimpinan, ia akan terus bengkok . Tapi jika diluruskan secara paksa dan keras, ia akan patah. Rasulullah juga mengingatkan bahwa dibandingkan dengan laki-laki, pengaruh hawa nafsu perempuan terhadap hatinya sembilan kali dibandingkan dengan laki-laki sementara pengaruh akalnya hanya sepersembilan dari lakik-laki. Artinya, hati perempuan lebih condong kepada pengaruh hawa nafsu dibandingkan dengan akal. Kenyataannya memang kita melihat perempuan lebih bersifat emosional dalam melihat sesuatu.

Tapi Mahahebat Tuhan. Tuhan ciptakan manusia berpasangan. Perempuan harus hidup dengan seorang laki-laki yang dengan laki-laki itu mereka akan saling berbagi kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kekurangan potensinya dari sisi rasional akan disempurnakan oleh akal suaminya. Kelebihannya dari sisi emosional akan menutupi kekurangan suaminya.

Kini istri sedang mengikuti proses pengembalian fitrah perempuan di baqwah bimbingan guru mursyid. Proses ini pastilah proses yang tidak mudah. Ada dua sebab. Pertama, kenyataan bahwa ruh bersifat ghaib. Hanya orang yang diberi jalan untuk itu saja yang bisa melakukan penempaan ruh. Kedua, pengaruh hawa nafsu yang telah berurat berakar sehingga telah menggeser cahaya fitrah dari tampuknya. Hal kedua inilah yang sering membuat kita kadang-kadang sering salah tebak dengan "curahan hati". Kita mengira itu berasal dari suara fitrah, padahal sebenarnya itu adalah letupan hawa nafsu yang telah bersarang di hati.

Kalau proses pengembalian ruh perempuan ini benar-benar berhasil, maka para suami akan melihat istri-istri akan kembali pulang dengan sosok yang sangat berbeda.

Istri akan menjadi lebih taat kepada suami. Mengapa? Fitrah perempuan diciptaakan sebagai makmum kepada suaminya. Banyak sebab luaran yang telah menggeser fitrah ini sehingga banyak istri hanya memandang laki-laki yang di rumahnya itu hanyalah seorang suami saja. Tidak sepenuhnya kesalahan perempuan. Sering-sering ini justru dipicu oleh sikap suami yang lebih pantas sebagai makmum.

Sesungguhnya lelaki itu adalah pemimpin perempuan. Di rumah, selain sebagai pemimpin ia merangkap sebagai suami. Peran sebagai pemimpin nampaknya telah lama tertutup. Yang nampak hanyalah peran sebagai suami. Karena itu kita lihat betapa mudahnya istri memasamkan muka kepada suaminya. Ia lupa bahwa ia memasamkan muka kepada pemimpin ynag dilantik Tuhan.

Istri akan menjadi sumber kasih sayang dalam rumah tangga. Alangkah indahnya kasih sayang itu. Alangkah hausnya kita dengan kasih sayang itu. Sayang sekali, kasih sayang sudah tidak ada di mana-mana sehingga repaotlah orang mencarinya kemana-mana. Padahal, sumber kasih sayang itu ada di rumah, yaitu pada ruh istri. Hawa kebendaan yang menyelimuti ruh istri telah menutupi pancaran kasih sayang itu sehingga rumah tangga menjadi gersang. Persatuan dalam rumah tak bisa diwujudkan karena tak ada tali yang mengikat, yaitu kasih sayang. Perempuan ruh akan menjadi resource kasih sayang yang tak habis-habisnya.

Istri akan menjadi sayap kiri perjuangan. Perempuan ruh akan menempatkan dirinya sebagai pemangkin semangat juang suaminya. Suami yang telah kehilangan harapannya akan kembali bersinar karena ia tak dilepas berjuang sendirian. Istri akan mendampinginya.

Istri akan menjadi fondasi penegakan syariat di dalam rumah tangga. Rasa takut dan cintakan Tuhan telah begitu menguasai dirinya. Halusnya jiwa perempuan lebih mudah untuk lebih cepat menerima rasa bertuhan. Hawa-hawa kebendaan akan sirna dari lubuk hatinya. Ini semua merupakan buah dari pendisiplinan shalat dan wirid.

Bagaimana menurut Anda?

Wallahu a'lam