Kemaren, selama perjalanan dari Medan ke Jakarta, saya ditemani Dedew. Anda sudah kenal dengan dia, kan? Maksud saya, Dewi Rieka Kustiantari, si anak kos dodol yang dulu pernah ngekos di Puri Cantika II, di belakang satu kampus keren, di Yogya. Bodi kerempeng. Selalu bawa pensil alis. Pandai bercerita. Semua ceritanya, ngawur-ngidul. Cerita-cerita itu benar-benar bikin saya sewot.
"Ngebanyol banget nih, anak," bisik saya.
Coba bayangkan, selama hampir setengah jam di ruang tunggu ditambah dua jam di pesawat, saya betul-betul terkesima menyimak cerita-cerita si cewek gokil ini. Di penerbangan kembali ke Jakarta ini, saya tidak bisa tidur sedikitpun, padahal waktu berangkat ke Medan tempo hari, saya tidur melulu. Dedew mampu mengembalikan khayalan saya ke dunia anak muda gaul, yang sebenarnya telah lama berlalu.
Banyolan-banyolan Dedew memberi nostalgia tersendiri. Sebabnya, saya dulu, waktu masih mahasiswa di Bandung, memang sempat ngekos selama dua tahun sebelum pindah ke asrama mahasiswa. Hampir samalah kejailan-kejailan yang saya alami di tempat ngekos seperti Dedew. Yang beda mungkin nuansanya. Anekdot-anekdot saya, khas cowok. Saya jadi tahu dari Dedew bagaimana gaya kehidupan kos cewek-cewek ABG, centil.
Bahasanya saja beda. Karena zamannya beda. Lho, saya kok nulis jadi ketularan pakai bahasa Dedew begini, ya? Jadi, gaul banget. Saya tidak menghitung dengan pasti. Kalau boleh saya terka, perbendaharaan kata baru, yang saya peroleh dari Dedew, mungkin lebih dari 500 kata. Sebagiannya, saya terka-terka saja maksudnya. Karena, kalaupun saya cari di kamus Besar Bahasa Indonesia, tidak akan ada. Waduh, rasanya zaman saya sudah terlalu terpisah dari zaman yang dilakoni si centil Dedew dan kawan-kawan dodolnya yang ngekos jauh dari ortu ini.
Dedew mengaku pada saya sebagai seorang bocah petualang, gemar berkhayal, cinta menulis dan gila membaca. Bacaannya, bo, seabrek-abrek. Dia mengaku suka plin-plan, tapi mengaku juga bahwa banyak yang naksir. Sombong. Tapi penilaian saya, dia memang nampak ugal-ugalan namun baik hati. Dia toleran dengan kawan. Hemat dengan uang, sampai tahan mandi hanya sekali sehari demi kehematan. Dia anak muda yang idealis, yang tidak mau beli VCD bajakan. Kalaupun pernah sekali, katanya waktu itu ia begitu tak tahan, tapi kan segera kapok.
Ini memang kejadian lucu. Dedew bilang bahwa dia paling pantang beli VCD bajakan. Tapi, waktu itu uang benar-benar lagi mepet. Ketika jalan lewat penjaja VCD bajakan di Yogya, dia mendengar stelan suara penyayi idolanya, Fadli, Group Padi, dari salah satu lapak. Terjadilah pertarungan di dalam hatinya, mau terus bertahan dengan idealisme atau menyerah untuk sekali ini. Dia bilang, "sekali ini aja deh, lain kali kan nggak." Sambil mengendap-endap, akhirnya dibelinya juga VCD itu. Alamak, setelah sampai di kos, baru dia tahu, di dalam VCD itu hanya satu saja video klip Padi. Sisanya campur-campur. Bahkan ada satu video klip, potongan film biru. "Waduh, aku tertipu," katanya. "Tapi, itu VCD, aku remuk-remuk dengan geram," lanjutnya tersipu-sipu.
"Dedew… Dedew…, kecian deh" kata saya. Tidak terbayang oleh saya bagaimana perasaan orang tua masing-masing mereka, yang tinggal jauh. Seribu pertanyaan dan harapan menyatu dalam pikiran saya, "Ya Allah, semoga Tuhan lindungi anak-anak saya yang juga sedang ngekos. Jangan sampai kayak kawan-kawannya si Dedew ini."
Cerita Dedew tentang bagaimana mereka menghadapi issu penampakan setan, telah membuat saya terpingkal-pingkal. Coba bayangkan cewek-cewek calon intelektual muda itu, yang katanya belajar kalkulus, statistik, agronomi, dan gemar mendaki gunung, ternyata penakut juga sama hantu. Itu lucu. Mereka tahan tidur bareng seperti sarden di satu kamar yang ventilasinya terbatas. Perang kentut pun terjadi. Tapi, demi keengganan menemui tamu yang tak diundang, yang tidak berwujud manusia, yang akan mengetok pintu pukul 2 dinihari, mereka sanggup menikmati tidur berhimpit-himpit sampai pagi.
Di tengah banyolan Dedew yang mengundang tawa, tentu ada juga banyolan yang mengundang derai air mata. Ini unik. Tawa diselingi air mata. Atau airmata bermandikan tawa. Ciileh. Kisah bagaimana akhirnya mereka kapok berulang-tahun dengan gaya tarzanisme, justru membuat saya terharu. Coba bayangkan, di tengah malam, masih pakai daster, sambil menangis, mereka membobong kawan yang mereka kerjain ke rumah sakit karena pingsan. Cerita lain lagi, tentang dua kawannya, anak orang kaya, yang berebut beasiswa untuk anak yang tidak mampu, betul-betul megundang simpati. Dedew piawai meramu kisah-kisah lucu, konyol dan jenaka dalam nuansa yang kadang-kadang mencekam dan kadang mengharukan.
Bule jangkung yang duduk di sebelah kanan saya di pesawat, sempat terheran-heran melihat tingkah polah saya yang kadang-kadang terguncang-guncang menahan tawa, tapi kadang-kadang mengusap air mata, dari celah-celah kaca mata.
Tak terasa saya sudah sampai di Jakarta. Waktu pesawat sudah sempurna mendarat, seluruh penumpang dipersilakan keluar, saya bergegas berdiri mengambil ransel di kotak bagasi, dan dengan sigap menalikannya di punggung, bagaikan seorang anak muda, seumur Dedew.
Bapak yang tadinya duduk di sebelah kiri saya, yang di sepanjang perjalanan tidur itu, tiba-tiba menyapa, "Pak, bukunya tidak dibawa?"
"Oh ya, terimakasih Pak" jawab saya, sambil mengambil buku itu dan memasukkannya ke ransel. Saya baru ingat, waktu saya mau berdiri tadi, buku karya Dewi Rieka, alias Dedew, yang saya baca untuk menemani saya sepanjang perjalanan itu, saya letakkan di kursi.
Anda boleh baca buku itu, baik untuk hiburan, nostalgia atau untuk mengenal lebih jauh kisah-kisah anak muda ngekos jauh dari orang tua. Buku itu berjudul "Anak Kos Dodol", karya Dewi Rieka Kustiantiri, alias Dedew, diterbitkan oleh TransMedia Pustaka, Jakarta. Buku itu cetakan ke-11, 2009, tebal 191 halaman, berisi 33 kisah-kisah jenaka dari mahasiswa gokil. Selamat untuk Dedew, eh Dewi Rieka.
Bagaimana pendapat Anda?
Wallahu a'lam
No comments:
Post a Comment