Sebentar lagi akan bermunculan ucapan selamat berhari raya minal aidin wal faizin. Sekarangpun sebagiannya sudah bermunculan. Sayapun biasanya melakukan itu: menuliskannya dan kemudian mengirimkannya melalui berbagai media. Kawan-kawanpun melakukan hal yang sama, menuliskannya dan mengirimkannya. Saya pun gembira menerima ucapan itu. Anda juga bukan?
Namun kadang-kadang terpikir oleh saya begini, "Apakah saya berhak menerima ucapan selamat itu? Apakah hari raya ini untuk saya? Jangan-jangan ucapan untuk saya itu sesungguhnya salah alamat."
Saya membayangkan begini. Saya, Anda dan kawan-kawan lain sama-sama memasuki satu universitas. Kita sama-sama belajar, sama-sama mendapatkan PR dari guru, dan sama-sama mengikuti ujian. Anda memang rajin demikian juga kawan-kawan lain rajin. Saya tahu itu. Anda sering menahankan kantuk bermalam-malam dan menahankan lapar demi terselesaikannya tugas-tugas. Pihak sekolahpun kemudian mengumumkan bahwa anda lulus. Hari wisudapun kemudian dijadwalkan.
Tapi saya? Saya sering bolos, dalam kelas sering menguap, dan sering tidak mengumpulkan PR. Anda sudah bisa bayangkan, bukan? Wajarkah kalau saya lulus? Tidak! Dan, saya memang ternyata dinyatakan, "tidak lulus".
Tapi, di hari wisuda semua tamu-tamu menyalami kita. Mereka menyalami Anda dan menyalami saya juga. Mereka mengucapkan selamat, "selamat ya…, selamat ya…." Mereka memeluk kita dan mendoa'akan masa depan kita selepas kelulusan ini. Salahkah mereka? Mereka memang tidak pernah mengecek siapa yang sungguh lulus dan siapa yang tidak. Mereka memang orang baik-baik dan selalu berprasangka baik. Setahu mereka bahwa kita sama-sama siswa sekolah itu dan semestinya sama-sama diwisuda tahun ini.
Ya Allah, alangkah malunya saya karena saya hanya seorang pecundang di tengah-tengah kerumunan para pemenang. Senyum kita mungkin sama. Kilatan minyak rambut kita sama. Bahkan, mungkin kemeja saya lebih rapi dibanding kemeja Anda. Tapi, saya bukan wisudawan seperti Anda dan mereka.
Kawan, itulah rasa hati yang muncul ketika menghadapi hari raya idul fitri seperti ini, hari para shaaimin diwisuda. Hari saat-saat ketaqwaan orang-orang beriman diumumkan Tuhan. Tuhan melantik satu demi satu mereka menaiki tangga ketaqwaan yang lebih tinggi. Merekapun sesama mereka saling mengucapkan selamat hari raya, minal 'aidin wal faizin. Merekapun satu demi satu disalami tetamu karena mereka memang lulus. Mereka berjaya melewati penggemblengan madrasah Tuhan: Ramadhan. Puasa mereka sempurna. Taraweh dan tahajjud mereka tak kurang. Bacaan Alquran khatam. Mereka berjaya menaklukkan kemalasan demi kemalasan, mengunci mulut dari gunjingan. Hari-hari Ramadhan diisinya dengan perjuangan. Malam hari bagaikan rahib dan siang bagaikan singa di hutan.
Namun saya Ya Allah, kemana muka ini akan disurukkan? Haruskah saya lari dan menyembunyikan kepala seperti seeokor burung onta ketika berhadapan dengan srigala? Saya tak berhak menerima ucapan itu. Saya malu. Saya tidak lulus dan rasanya memang tak pantas lulus. Puasa saya hanyalah puasa badan. Saya tak sanggup mempuasakan nafsu dan mempuasakan mulut, hati, pikiran dan perasaan. Tapi, ucapan selamat hari raya pun telah sampai ke alamat saya. Bagaimana ini?
Itu tentang saya, kawan. Sekali lagi ini tentang saya. Bukan sindiran. Tolong dirahasiakan. Ini rahasia kita berdua: Anda dan saya.
Untuk Anda, saya tetap akan mengucapkan, "Selamat berhari raya, minal 'aidin wal faizin". Anda berhak berhari raya, insyaallah. Tapi, jangan lupa memaafkan kesalahan saya, ya!. Mudah-mudahan dengan kemaafan itu, Tuhan tutupi segenap kelaian saya. Kalau ada peluang, singgahlah atau nanti saya yang singgah.
Salam,
Jufran Helmi
No comments:
Post a Comment