Tiga hari menjelang lebaran tiba, waktu itu, sebuah bungkusan dihantarkan tetangga ke rumah kami. Aku dan ibuku berebutan membuka bungkusnya. Ibuku menang karena memang badannya lebih panjang.
Ibuku tersenyum, "Ini hadiah untukmu, wahai anakku. Bacalah!"
Sehelai kain berwarna coklat muda. Ada garis-garis coklat tua berjajar, disilangi garis-garis putih keabuan dengan arah tak beraturan. Kulihat pula ada motif persegi kecil memenuhi bidangnya. Bukan satu warna. Ada beberapa warna lagi. Kombinasi yang sangat brilian. Aku lupa detailnya.
Yang jelas, halusnya tenunan sangat terasa di pipi. Selembar kertas tertempel padanya bertuliskan "Untuk kemenakanku yang telah khatam mengaji, yang tak pernah rompang puasa, dan tak pernah bolos taraweh. Terimalah hadiah ini. Salam, Mak Tuo"
Aku melompat girang. Langitpun terasa lebih terang dari biasanya. Jam segini, biasanya aku sudah mengeluh lapar kepada Ibu dan menanyai pakai apa kita berbuka di sore hari. Tapi aneh. Hadiah dari kakak ibuku telah membuatku kenyang. Aku tak peduli lagi apakah akan berbuka dengan ketan atau dengan lemang.
Kain itu kukepit erat. "Ini milikku… ini milikku…ini milikku…", kataku. Langit dan bumi seperti aku yang punya semuanya. Ibukupun tak berhak menyentuhnya lagi. Sekali Ibu menarik kain itu, kan kutarik kembali. Hadiah ini bukan untuknya, tapi untukku. Marahkah ibuku? Tidak. Dia ikut gembira. Aku memang anak lucu yang masih lugu.
Tentang pujian Mak Tuo? Aku pura-pura tak peduli apa penilaiannya padaku. Toh ibuku tak akan bocorkan rahasiaku. Beliau tak tahu bahwa aku masih mengeja mana yang wau mana yang fa. Beliau tak tahu kalau aku masih sering menyelinap ke dapur di tengah siang, namun tetap ikut berbuka ketika beduk berbunyi. Beliaupun tak tahu kalau ketika imam mulai sujud, sebenarnya aku dan kawan sering menyelinap keluar saf dan bergabung dengan kawan pegurau sambil menonton lomba petasan. Yang penting hari ini hadiah sudah di tanganku. Aku ingin sebuah baju kebesaran yang harus terjelma segera. Segera dan segera. Aku harus tampil beda. Sebelum kawan-kawanku beriringan ke tanah lapang di pagi lebaran.
"Tenang anakku. Bajumu pasti jadi. Ibu ingin melihat senyummu di hari idul fitri.", kata ibu mesra.
"Bagaimana bisa tenang Bu? Tukang jahit yang tinggal di seberang pematang, kemarin terpaksa memulangkan sebagian kain orang. Dia tak sanggup jahitkan sebelum lebaran. Istrinya jadi juga melahirkan, walaupun hampir keguguran." sahutku kencang.
"Tak apa, wahai anak Ibu. Kau tahu kan? Tuhan telah rezkikan pada Ibu kemahiran menjahit sejak ibu gadis lagi. Nenek yang ajarkan. Hanya saja selama ini Ibu tak punya peluang . Ayah selalu membelikan ibu baju kodian. Hari ini Tuhan berikan tantangan. Tenanglah! Tiga hari cukup memadai. Ibu akan jahitkan untukmu baju bagus untuk kau ikut sembahyang ke tanah lapang."
"Jangan lupa Bu, dua saku di kiri kanan", kataku.
"Ya, dua saku" jawab ibuku pendek.
"Kerahnya bebentuk belitan. Jangan menjulur seperti alang-alang", kataku lagi.
"Ya, belitan. Ibu paham"
"Sebuah lipatan mesti ada di belakang di atas pinggang. Menurut teman, itu lambang kejantanan.", kataku serius.
Ibu senyum. Tak sangka kalau anaknya sudah bisa pula melucu seperti dirinya. "Ya, tenanglah, kapan Ibu bisa bekerja kalau usulannya bertubi-tubi? Semua akan Ibu buat sesuai selera terkini. Kau lihat nanti, kawan-kawanmu pun pasti iri. Eh, jangan-jangan, gara-gara ini,selepas lebaran Ibu bakal kebanjiran pesanan jahitan."
***
Sejak itu, tiba-tiba saja aku menjadi rajin mengaji. Setidak-tidaknya di depan ibuku. Sengaja kupindahkan tempat mengajiku tak jauh dari tempat ibu menjahit baju. Sengaja kupantau detik demi detik. Jam demi jam, ku tunggu hari mendebarkan itu. Hari di saat-saat aku berjalan bersama kawan beriringan dan aku di depan.
Tidak ada saat yang lebih membahagiakan ku saat ini kecuali ketika kulihat ibuku bekerja di mesin jahitnya mengayunkan kaki, sementara tangannya menggeser-geser kain dan membersihkan benang.
Ibuku memang hebat. Dia tahu seleraku. Dia tahu bagaimana memelihara kegirangan-kegiranganku. Tak tahulah apa nasibku kalau dulu sampai aku dilahirkan oleh ibu yang lain. Sering kubisikkan "Tuhan, inilah ibuku. Kau tak salah Tuhan. Aku tak mau berpindah ibu sampai kapan-kapanpun. Sekali ia ibuku selamanya ia akan jadi ibuku. Air susunya telah bersusun menjadi tulang belulangku. Dalam aliran darahku ada peluhnya. Seluruh kulitku telah bersaksi akan kelembutan belaiannya. Bila aku menangis, dia usapkan jemarinya di atas pipiku. Bila aku demam, dia buatkan aku remasan daun empelam. Tak boleh olehnya satu seranggapun boleh melukaiku."
***
Tak lama berselang. Di malam lebaran. Ibupun memanggilku, "Pakailah bajumu ini."
Secepat kilat ku berlari. Girangku tak tertahankan. Ku buka semua baju yang dibadan. Ku tatap semua sambungan benang, garis-garisnya, tepi-tepinya. Secepat kilat pula baju itu telah terpasang di badan.
Awalnya senyumku masih belum putus, persis seperti awal ketika aku berlari menuju ibu untuk mencoba baju baru. Kancingnyapun aku pasang satu demi satu. Namun entah mengapa, dengan perlahan senyumku memudar. Wajahku memuram. Kulihat wajah ibu dalam keheranan.
"Bu, " kataku. "Kok ada yang ganjil? Di ketiak terasa seperti menyempit"
Kucoba mengangkat tangan kanan kemudian tangan kiri, bagian bahu menjadi mengkerut. Ku gerak-gerakkan badanku. Kucoba mengepas-ngepaskannya. Kuulang-ulangi. Ibupun ikut membantunya. Aku merasa tak nyaman. Baju ini begitu sempit.
"Ya, Ibu paham. Maafkan ibu sayang, ya." katanya sambil menarik nafas dalam. Dalam sekali.
"Ya Allah, ampunkan aku." bisiknya.
"Baju apa ini? Jelek sekali." kataku, sambil kukerutkan keningku dan kupertemukan kedua alisku seperti seekor anjing bertemu musuh lamanya.
Akupun meraung raung. Ku sambung-sambung raungan itu. Kadang-kadang pelan namun kadang-kadang tinggi membumbung. Kubaling-balingkan suaraku. Kuulang-ulangi berkali-kali makianku, "Jelek sekali….jelek sekali….".
Kuhentak-hentakkan kakiku. Aku tak peduli bahwa yang ada di depanku itu adalah ibu yang sangat mengasihiku. Yang tak pernah merasakan letih lelah membesarkan aku. Yang tak pernah menghardikku. Entah mengapa, tetap saja kubelalakkan mataku ke matanya..
"Tenanglah anakku. Hanya sedikit kerutnya." katanya mencoba menenangkanku.
"Sedikit apa?" kataku membentak keras.
"Bukalah kembali , akan Ibu perbaiki ."
" Tidak. Ibu jahat. Ibu bohong. Ibu penipu."
Kulihat Ibu masih dalam wiridnya. Tak tahu apa yang sedang dibacanya. Kubuka baju itu. Kulanjutkan memeriksanya. Kubolak balikkan. Ku pukul tangan Ibu ketika ia ingin mengambilnya dariku.
"Sakunya? Kok cuma satu? Tak dengarkah Ibu bahwa sakunya mesti satu di kiri dan satu di kanan, ah?" bentakku keras sekali.
"Ya Ibu dengar. Ibu lupa." suara Ibu lirih.
"Mana lipatan di punggung?", sambungku.
"Aduh…ya Allah, maaf Ibu juga lupa? Tuhan telah buat Ibu lupa", suara Ibu sudah hampir tak terdengar.
"Kerahnya, ya ampun seperti daun lidah buaya. Aku tak suka.", kataku lagi.
Dadaku marah, gemuruh. Nafasku bagaikan badai puting beliung yang menghempas tebing dan merobohkan dahan-dahan. Aku semakin meninggikan suara. Kulemparkan baju itu tepat di wajah ibuku.
Tak hanya sekali. Ku ambil baju itu, kulempar sekali lagi.
"Puas?… aku malu Bu. Aku tak mau pakai baju ini.Titik" kataku seperti seorang panglima perang yang mengganas setelah kalah dalam medan perundingan.
"Sabar anakku, malam ini akan Ibu selesaikan. Ibu janji. Besok engkau bisa berlari-lari gembira bersama kawan di lapangan. Tidurlah, hari sudah malam."
"Tak mungkin. Sebentar lagi pagi sudah tiba." raunganku pun bersambung.
Entah mengapa penilaianku kepada ibu menjadi berbeda. Tak ada makhluk yang lebih jahat dalam pandanganku kecuali ibuku. Kurengut-rengutkan telekungnya. Kupukul-pukul badannya. Kucakar tangannya ketika ia mencoba menjinakkanku dengan usapannya di kepalaku.
"Ibu jahat… ." sambil kuteruskan tangisanku.
Tak tahan juga ibuku dalam ketenangannya. Kulihat ibu mengepitkan kedua bibirnya. Kulihat bibirnya bergetar. Diletakkannya telapak tangan kirinya tepat di atas dada kirinya. Airmatanya menetes satu persatu. Terdengar juga oleh ku suara halusnya, " Ya allah…ya Allah.. Ya Allah.." Kulihat ia berusaha mengusap-usap alisnya dengan jari tangan kanannya. Tak tahu apa yang sedang disembunyikannya. Aku lihat air matanya perlahan mengalir membasahi pipinya yang lembut. Kulihat dia menahan suara dalam-dalam. Jauh di dalam dada. Kulihat tubuhnya berguncang. Namun ia tetap berupaya tenang.
Tapi, aku tak mau tahu apa yang dia rasakan waktu itu. Setanku tak mau tertipu. Suaraku terus meninggi. Kutatap wajah ibu dengan penuh kebencian. Kukepal-kepalkan tinjuku. Kutendang-tendangi apa yang ada di sekitarku. Kursi, panci, dan dan lemari.
"Ibu harus perbaiki malam ini juga. Aku benci…benci…..benci…." bentakku keras mengancam.
"Ya sayang. Tapi kau maafkan ibu kan?" kata ibuku lembut. Lembut sekali.
Aku diam sebentar. Kutarik nafasku dalam-dalam.
"Bu, akan aku tunggu malam ini sampai baju ini jadi" jawabku tegas sambil menggertakkan rahang dan geraham.
Ibupun kembali ke mesin jahitnya. Kulihat ibu mengurak benang-benang yang sudah terpasang. Kulihat Ibu mulai memotong sisa-sisa kain. Kulihat Ibu sengaja tersenyum dan menampakkan senyumannya berulang-ulang. Namun matanya berlinang. Bola matanya tak nampak jelas lagi olehku tertutup airmata yang menggenang. Aku tak tahu apakah Ibu masih bisa melihat dengan jelas sehingga tangannya mungkin akan tertusuk jarum jahitan.
Malampun semakin melenyap. Ibu terus bekerja. Tetanggapun sudah menyepi. Suara takbir mesjid yang tadinya riuh kini tak terdengar lagi. Aku tak sanggup penuhi lagi sumpahku menunggu baju jadi. Aku tertidur tak jauh dari kaki ibu.
***
Subuh-subuh aku terbangun. Suara riuh takbiran idul fitri kembali berkumandang dari pengeras suara mesjid. "Itu pasti suara kawan-kawanku yang lebih senang takbiran daripada sembahyang", bisikku dalam hati.
"Sudah bangun sayang?" sapa Ibu mesra ketika aku mulai terjaga dan berdiri.
"Aku diam" di dadaku masih ada kebencian. Masih ada dendam. Aku masih sangsi apakah aku berani ke lapangan hari ini dengan baju yang memalukan?"
"Ke suraulah dulu sembahyang," kata Ibu. "Selepas wirid baju ini siap kau kenakan. Ibu akan selesaikan sedikit lagi. Sedikit lagi. Sabar ya anak Ibu."
Aku berangkat ke surau dengan lesu. Mungkin karena pulasnya tidur semalam atau dinginnya subuh, suasana hati tak sekeras malam tadi. Dengan sarung di pundak, ku berjalan pelan. Kutatap fajar di timur yang mulai terang. Kuresapi dinginnya angin kota Bukittiinggi yang sepi. Belum lagi begitu jauh berjalan, kudengar suara muazin mengumandangkan azan. Azan pertama di hari idul fitri. Suara itu mengalun-alun menyampaikan salam selamat datang kepada hamba-hamba Tuhan. Seolah suara itu berkata, "Wahai hamba-hamba Tuhan, datanglah…datanglah… sembahyanglah…sembahyanglah. Sembayang lebih Tuhan suka dari pada tiduran. "
Tiba-tiba aku teringat akan ibuku yang masih menjahit di rumah. Semalam kulihat ia sedang bekerja memperbaiki bajuku di mesin jahitnya. Rasanya tadi, ketika aku bangun ia masih di situ.
"Tak tidurkah ia semalaman?" bisikku dalam hati. "Ya Allah, Ya Tuhan" aku mendekapkan kedua telapak tanganku ke dada. "Ibu…maafkan aku.."
Kubatalkan perjalananku ke surau. Rasa iba kepada Ibuku pun mulai muncul. Kuputar tubuhku. Aku berlari pulang. Sesampai di rumah, kudekap lengan ibu, "Bu mari kita ke Surau, kita bersembahyang"
"Biarlah nak, sekali ini Ibu di rumah saja. Tak usah kau cemaskan Ibu. Berangkatlah, agar Ibu selesaikan bajumu sedikit lagi. Tinggal sakunya saja."
"Tak perlu Bu," kataku menggeleng. "Sakunya cukup satu."
"Betulkah?"
Ibupun mengibaskan baju itu dan mengembangkannya di depan ku. Sambil ditatapnya wajahku
"Lihat, bagus kan? Lengannya tak berkerut lagi. Ibu sudah buat lebih besar. Ibu telah ubah guntingannya. Ibu lebih hati-hati kali ini. Maafkan Ibu ya, kemarin Ibu tergopoh. Maafkan ya sayang"
"Ya Bu," aku mengangguk malu. "O bagus sekali Bu. Rapi sekali."
Kegiranganku tak terkirakan saat itu. Tapi wajah ibu nampak sayu sekali oleh ku subuh ini. Pucat, sepucat langit ketika fajar hampir datang. Kuulangi menatap wajahnya yang masih tersembunyi di balik telekung. Tatapannya lemah tak berarah.
Darahku berdesir kencang. Kutempelkan tanganku perlahan di dahinya. Kuusapkan jemari halusku di alisnya, terus ke pipi, terus ke dagunya.
"Ibu demam?" tanyaku perlahan.
Ibuku menggeleng.
"Ibu letih?"
Sekali lagi ia menggeleng.
Ibu mencoba mengalihkan pembicaraan. "Aduh ..masih ada yang lupa, lipatan punggungnya."
Secepat kilat kujawab "Cukup apa adanya Bu. Ini sudah cukup" jawabku.
"Betulkah? Terimakasih anakku kalau begitu." Ibupun mencium pipiku."Maafkan Ibu. Ibu telah berdosa membuatmu tak bahagia.". Ibu menangis.
Kedekap ibuku erat-erat. Kuciumi tangannya. Aku menangis sejadi-jadinya dalam pelukannya.
***
Kini, di setiap menjelang idul fitri, di siangnya lebih-lebih lagi di malamnya, aku sering teringat akan ibuku yang telah tiada. Ingin rasanya aku terbang ke alamnya menjemputnya dan merayakan idul fitri bersamanya. Rasanya ingin di malam idul fitri kulihat ibu berbaring di atas dipanku dengan selimutku sementara aku menjahitkan baju untuknya. Akan kubuatkan dua saku di kiri dan kanan. Kan kubuatkan pula lipatan di bagian punggungnya. Tak akan kubiarkan kantuk menyerang. Sepanjang malam. Ya, sepanjang malam. Kan kutuntaskan baju itu sampai subuh datang. Karena ku ingin melihat senyuman ibuku di hari idul fitri.
Tapi tak mungkin kini. "Ya Allah, kemanakah senyuman ibuku kan kulihat lagi hari ini?" Yang tinggal kini hanyalah pusaranya. Yang tinggal hanya nisannya di taman baqa, di bawah jembatan layang Tanah Abang. Sejarah tak mungkin diputar ulang. Aku takut, wahai Tuhan, kalau ibuku tak ridha dengan aku, celakalah aku sepanjang zaman…sepanjang zaman.
"Ibu, izinkan aku datang di hari lebaran mencium nisanmu. Aku akan datang dengan baju bersaku satu tanpa ada lipatan."
Sangat menyentuh kak Jufran, terima kasih................
ReplyDeleteBoleh saya share di FB saya kak?
ReplyDelete