Breaking

Friday, January 8, 2010

Berkat dan Istidraj.

Kami masih di Sentul. Cuaca siang ini cerah. Dari subuh sudah tampak tanda-tanda bahwa langit akan jernih sampai sorenya. Ya, pakai teori kira-kira saja. Ini semua rahmat Tuhan kepada makhluknya. Mudah-mudahan bukan istidraj tapi berkat. Kita adalah makhluk dan kita berhajat kepada sesuatu. Tuhan berikan kepada kita sesuatu yang kita perlukan itu dengan rahmatNya. DiberiNya kita udara yang segar, air yang jernih, cahaya matahari yang hangat, anak yang sehat, peluang yang berlimpah ruah. Namun kadang-kadang, atau malah sering, kita lupa dengan kepemurahan Tuhan itu.

 Setelah mencemplungkan diri dua jam di kolam, badan saya terasa segar kembali.

 Selepas shalat subuh berjamaah tadi, kemudian wirid, saya memberikan kuliah untuk keluarga dengan mengangkat tajuk "Rahmat, Berkat dan Istidraj dari Tuhan." Kuliah itu sangat dalam maknanya yang saya terima dari guru kami. Kalaupun akhirnya jadi dangkal, mungkin karena saya tidak terlalu mampu menyampaikannya.

 Tuhan telah menetapkan atas dirinya rahmat. Dan rahmat ini berlaku untuk semua makhluknya tanpa terkecuali. Tapi, apakah semua pemberian Tuhan itu Ia iringi dengan ridho Nya? Inilah sesungguhnya pertanyaan yang amat penting. Tuhan memberi kepada seluruh makhluknya, namun tak semua pemberian itu disertai keridhoannya. Jika Ia ridha, "berkat" namanya. Jika Ia tak ridho, "istidraj" namanya.

 Nah, pagi ini kedua istri memberi ulasan. Ema menambahkan bahwa tanda-tanda yang membedakan pemberian itu berkat atau istidraj adalah pengaruh pemberian itu kepada hati. Bila kita diberi Tuhan harta dan pangkat. Tapi dengan tambahan harta dan pangkat itu kita menjadi semakin sombong, semakin kikir, semakin bergaduh, bersengit-sengit hati, itu tanda bahwa pemberian itu "istidraj". Tapi bila hati kita semakin tenang, semakin bersyukur, semakin mudah berkasih sayang, itu tanda "berkat". Yussy menambahkan bahwa keberkatan Tuhanpun dapat kita peroleh melalui kedekatan kita dengan-dengan orang-orang soleh yang diberkati Tuhan. Dia menerangkan istilah "menompang berkat".

 Mereka nampak saling mendukung. Tak jelas lagi mana guru dan mana murid. Lho, kok saya akhirnya yang jadi pendengar? Kami saling berbagi ilmu dan penghayatan.

 Sekedar pengingat saya kisahkan kepada mereka berdua kisah seorang wanita yang ditinggalkan suaminya di rumah karena ia harus berangkat ke medan perang bersama Rasulullah. Suaminya berpesan kepada wanita itu agar tidak meninggalkan rumah. Betapapun dikabarkan kepada perempuan itu, pertama bahwa ayahnya sakit, kedua ketika akhirnya ayah itu meninggal dunia, wanita itu tetap saja bersikukuh tidak mau meninggalkan rumahnya. Takut suami atau tak sayang ayahkah ia?

 Dia bukan takut kalau nanti suaminya murka, karena ia tahu suaminya seorang yang sangat mulia akhlaknya. Ia bukan pula tidak mencintai ayahnya, karena ia tahu di saat suaminya ada, dialah yang sering merawat ayahnya. Ia hanya takut Tuhan. Ia takut kalau Tuhan murka jika ia melanggar amanah suaminya. Ia tahu Tuhan telah lantik suaminya sebagai pemimpin. Kini sang pemimpin yang dilantik Tuhan itu kini memintanya untuk tidak meninggalkan rumah. Kalau ia melanggar, ia bukan akan berhadapandengan si suami, tetapi dengan Tuhan. Inilah contoh ketaatan istri yang bertaqwa. Karena ketaqwaannya, Tuhan telah memberkati wanita itu, bahkan ayahnya dan juga suaminya. Ini namanya kebagian berkat.

 Istri-istri saya mangut-mangut, mengarahkan pandangan ke lantai. Setuju tapi malu. Mungkin dalam hati ia berkata, "Mati gue, kesindir." Tidaklah. Ini bukan sindiran. Ini kebenaran. Suami adalah jalan bagi sang istri menuju Tuhan. Mungkin inilah yang dimaksud Nabi, '' Bila boleh manusia menyembah menusia, niscaya akan kuperintahkan wanita menyembah suaminya.

 Selepas kuliah, kami sarapan. Nasinya keasinan. Tidak apa, karena itu bagian dari latihan kesabaran. Selepas makan saya dan kedua anak saya meloncat ke kolam renang. Kedua istri duduk terpaku di pinggir kolam menyaksikan tiga lumba-lumba kecintaan mereka bertarung dengan keruhnya air kolam.

 Bagaimana pendapat Anda?

 Wallahu a'lam.

No comments:

Post a Comment