Breaking

Friday, January 8, 2010

Iman Islam dan Ihsan

Pagi ini kami masih di Bandung. Cuaca di Bandung cerah dan berawan. Tuhan datangkan berbagai penyakit kepada kami. Ema sakit mata, belum pulih. Yussy gatal-gatal. Sarah pusing sakit kepala. Faruq sakit perut, muntah-muntah. Saya pegal-pegal, sakit pinggang. Pokoknya lengkap. Mudah-mudahan kami bisa menyikapinya dengan sabar dan tawakal. Tidaklah Tuhan datangkan suatu ujian melainkan ada hikmahnya.

 Pagi ini kami membahas tentang Iman, Islam, dan Ihsan serta kedudukan Iman sebagai pangkal dari semuanya. Di zaman Rasulullah, kita tidak mengenal berbagai istilah seperti aqidah, syariah, usuluddin, tafsir, fiqih, usul fikih, tasawuf, filsafat, tarekat, hakikat, dll. Semua istilah itu baru muncul setelah ilmu keislaman berkembang. Di zaman Rasulullah kita hanya diperkenalkan dengan iman, islam dan ihsan. Memang suatu hal yang menakjubkan bagaimana Tuhan mengembangkan ilmu pengetahuan. Ketika satu ilmu dicongkel, cabang-cabangnya akan bermunculan. Maka lahirlah bermacam-macam ilmu. Walaupun kini cabangnya sudah bermacam ragam, semua ilmu keislaman tetap saja bermuara kepada iman, islam dan ihsan itu.

 Dengan iman, kita mengenal Tuhan, takut dan cinta padaNya. Dengan Islam, kita telusuri jalan Tuhan dengan penuh kepatuhan. Dengan Ihsan, kita hiasi hati nurani kita dengan kebaikan-kebaikan. Inilah pokok keselamatan dan kesejahteraan manusia, baik perorangan maupun sosial.

 Kalau kita mau menelusuri ketiga aspek itu: Iman, Islam dan Ihsan, pangkal utamanya ternyata adalah Iman. Betapapun hebatnya amalan seseorang, banyak perbuatan baiknya, tapi tanpa landasan iman, semua itu akan dianggap Tuhan sebagai amalan yang sia-sia. Begitu pentingnya iman, sehinga hampir di setiap ayat Al-Quran, Tuhan selalu menyelipkan perkara iman. Kalau tidak di awalnya, biasanya di akhirnya. Kadang-kadang di tengahnya. Ketika satu ayat bercerita tentang perintah atau larangan tertentu, ujung-ujungnya, selalu dikaitkan dengan Tuhan. Ayat-ayat tentang sejarah, ujung-ujungnya Iman. Ayat ayat tentang akhlak, ujung-ujungnya Iman.

 Sekarang baru kita faham mengapa selama 13 tahun di Mekah, Rasulullah hanya mendakwahkan Iman. Syariah baru dibicarakan di periode Madinah.

 Terbalik dengan sistem da'wah dan pendidikan kita di zaman ini. Kita lebih menekankan syariah daripada aqidah. Kita lebih menekankan perintah dan larangan Tuhan, sementara Tuhan, sebagai zat yang memerintah dan melarang itu, tidak diperkenalkan. Atau setidak-tidaknya, kurang diintensifkan. Akibatnya, ajaran agama menjadi hambar. Tidak ada beda lagi antara agama dan idiologi. Bila perkara Tuhan sudah hilang, hilanglah esensi agama itu.

 Banyak hal yang kami bicarakan dalam perbincangan selepas shalat subuh hari ini. Kami membahas tentang sekularisme yang meraja lela, yang telah memisahkan Tuhan dari kehidupan manusia. Kami membicarakan praktek-praktek di tengah masyarakat yang memperhinakan Islam itu sendiri. Tuhan telah dianggap tidak relevan. Mana pernah kita dengar pejabat negara mengait-ngaitkan berbagai program mereka dengan Tuhan. Kalaupun ada, itu hanya sekedar seremonial, tanpa esensi agama di dalamnya.

 Ya, semogalah bangsa ini cepat berubah. Kita mulai mengubahnya dari kehidupan pribadi dan rumah tangga sendiri. Dengan pertolongan Tuhan, seluruh bangsa kita ini akan menjadi baik.

 Bagaimana pendapat Anda?

 Wallahu A'lam.

No comments:

Post a Comment