Mu'adz menjawab, "Dengan Kitabullah."
"Bagaimana kalau tidak ada di dalam kitabullah?" sambung Nabi.
"Dengan sunnah Rasulullah," jawab Mu'adz.
"Kalau engkau pun tidak menemukannya di dalam Sunnah?"
"Aku akan berijitihad dengan pikiranku."
Rasulullah SAW setuju dengan jawaban Mu'adz tersebut seraya bersabda, " Maha suci Allah yang telah membimbing utusan RasulNya dengan satu sikap yang disetujui RasulNya." ( HR. Abu Daud dan Turmudzi)
Dari dialog antara Rasulullah dengan Mua'dz di atas, nampaklah apa itu "ijtihad". Ijtihad adalah sebuah metodologi dalam menetapkan hukum Islam, yaitu menetapkan hukum suatu perkara. Tapi, ijtihad ini tidak berdiri sendiri. Ijtihad diperlukan setelah hukum perkara yang dimaksud secara eksplisit tidak terdapat di dalam AlQuran dan As Sunnah.
Barangkali, ada orang yang salah mengerti. Mereka mengira ijtihad itu adalah proses berpikir dalam menetapkan hukum-hukum Islam dengan mengandalkan akal semata tanpa mengaitkannya dengan AlQuran dan As Sunnah. Ini jelas pandangan yang sangat keliru. Ketika seseorang membaca AlQuran dan menemukan satu ayat di dalamnya, orang tersebut tidak dapat menetapkan hukum-hukumnya secara langsung tanpa melihat dulu kepada As Sunnah. Dan lebih tidak benar lagi, tanpa mempedulikan AlQuran dan As Sunnah sama sekali, seseorang membuat fatwa-fatwa dan mengklaim bahwa fatwa itu adalah ajaran Islam. Terlalu jauh pandangan ini dari ajaran Islam yang sesungguhnya.
Ijtihad bukanlah proses berpikir bebas. Ijtihad adalah proses qiyas (reasoning by analogy) dengan mengambil AlQuran dan sunnah Nabi sebagai rujukan. Ijtihad yang paling utama adalah ijtihad yang dilakukan oleh para mujtahid secara kolektif yang hasilnya dinamakan ijma' (konsensus).
Perlu saya tegaskan sekali lagi bahwa ijtihad bukanlah menciptakan hukum di luar yang ditetapkan AlQuran dan As Sunnah apalagi menetapkan hukum atau membuat tafsiran yang sama sekali terbebas dari AlQuran dan As Sunnah. Tidak ada hukum Islam diluar AlQuran dan AsSunnah. Ijtihad hanya dilakukan dalam rangka menemukan maksud tersembunyi dari AlQuran dan Sunnah untuk hal-hal yang secara harfiah tidak disebutkan di dalamnya sementara masalah itu ada dalam kehidupan nyata di suatu zaman. Kedudukan ijtihad berada di urutan ketiga selepas AlQuran dan sunnah Rasulullah.
Dari definisi itu saja kita bisa melihat dengan jelas bahwa tidak semua orang layak berijtihad. Syarat pertama seorang mujtahid adalah memahami AlQuran dan As Sunnah itu sendiri. Bahkan mujtahid di kalangan salafus soleh malah menghafal AlQuran dan menghafal sebagian besar hadis-hadis Nabi.
Semakin dekat zaman seorang mujtahid dengan zaman Nabi, pemahaman mereka dengan sunnah Nabi tentu semakin akurat. Kalau begitu, tidak aneh kalau diyakini oleh sebagian besar ulama bahwa yang paling pantas menjadi mujtahid adalah orang-orang yang hidup di generasi pertama setelah meninggalnya Rasulullah. Mereka itu adalah para sahabat. Setelah para sahabat, mereka itu adalah tabi'in. Setelah tabi'in adalah tabi'ut tabi'in. Orang-orang inilah yang disebut sebagai generasi salafus soleh itu.
Untuk proses ijtihad di zaman-zaman berikutnya yang terus berubah, Allah melantik di setiap seratus tahun seorang mujaddid. Mujaddid ini sekaligus akan menjadi mujtahid yang akan melakukan ijtihad yang lebih sesuai di zamannya. Mereka bukan untuk mengubah hukum Al Quran dan As Sunnah yang telah ada, tetapi hanya berijtihad dalam memahamkan AlQuran dan As Sunnah dalam konteks zaman itu. Mujaddid di suatu zaman sering disebut dengan sahibuz zaman dari zaman itu.
Kalau ada orang yang hidup di suatu zaman, misalnya zaman kita sekarang, kemudian ia mencoba mereka-reka perkara ghaib dan menyebarkannya, sementara ia tidak merujuk pada AlQuran dan Sunnah, hasil rekaan itu bukanlah ijtihad. Itu adalah produk akal-akalan. Itu hanya khayalan sang mujtahid gadungan. Betapapun proses akal-akalan itu sangat masuk akal, dan banyak yang mempercayainya, ia tidak bisa diklaim sebagai bagian dari ajaran Islam. Islam itu bersih dari pandangan orang-orang yang mengaku berijtihad diluar panduan AlQuran dan As Sunnah.
Wallahu a'lam,
Bagaimana pendapat Anda?
- Farida Ariany, Yussy Akmal I like this one a lot.Thank you !
August 15 at 8:14pm via Ersis Warmansyah Abbas Menulis (yang baik) termasuk ijtihat Pak?
August 15 at 8:22pm · Like ·
Facebook Mobile · Like ·
Lisa-Miss Lisa- Suryani and 2 others like this. - Andi Budiman Trima kasih , catatan yg mencerahkan ..
August 15 at 8:35pm via Erryk Kusbandhono Kita merindui seorang pemimpin yg mempunyai 3 derajat (mujtahid, mujaddid & shohibuz zaman), pak..
@ Pak Ersis: menulis yg baik itu kebaikan, pak..^_^
August 15 at 8:43pm via Jufran Helmi
@ Yussy. Terimakasih
@ Pak Ersis. Mengikut himbauan Pak Ersis, he he he. menulis.
@ Andi. Semoga bermanfaat.
@Erryk. pasti ada, itu janji Tuhan
August 15 at 9:16pm · Like ·
Facebook Mobile · Like ·
Facebook Mobile · Like · - Ema Manita Kuraesin Subhanallah...nice ! Menulis-menulis, ayooo...menulis, mencerahkan pikiran dan jiwa,tak cepat pikun. Selamat berjuang,semoga berjaya !
August 15 at 9:27pm via Mang Edhok Dimasa kini, banyak orang yang semakin awan tentang sebuah metodologi dalam menetapkan hukum Islam. Kemudian saya pun pernah bertanya kepada seseorang yang saya anggap mujtahid. Maka dijawabnya "kalau kita tidak tahu dasar hukumnya" tanyakan kepada para Ulama yang mengerti hukum itu. Bagaimana kalau ulamanya jadi-jadian? wallohu a'lam siapa yang tahu. Yang jelas kalau menganggap dirinya Ulama ya seharusnya sebagai Mujtahid juga. Benar nggak begitu?
August 15 at 11:24pm · Like ·
Facebook Mobile · Like · - Endah Kurniadarmi Lalu siapa Mujtahid yang bisa kita percaya? Apakah ada sistem yang dapat menyaring fit and propernya seorang Mujtahid?
August 16 at 3:00am · Like · - Mang Edhok Nah itu yang jadi pertanyaan besar kita
August 16 at 3:02am · Like · - Jufran Helmi
@Mang Edho dan Endah. Islam telah mengenal banyak mujtahid besar sepanjang sejarah. Mereka layak diakui sbg mujtahid krn kepahaman mrk dg Quran dan Sunnah. Karya mrk telah teruji sepanjang zaman. Dalam fiqih dikenal Imam Syafei, Imam Ahmad...See MoreAugust 16 at 4:27am via Nurhayati Fadjarudin mungkin pemahaman ini yang bikin negeri ini agak chaos ya pak Jufran ? wallahu'Alam ! makasih udah di tag tulisan ini pak. Penting sekali untuk saya pribadi menambah wawasan dan pemahaman ...
August 16 at 6:11am · Like ·
Facebook Mobile · Like · - Mohammad Rizal
Menurut pendapat saya, alinea terakhir tidak berkaitan ("gak nyambung") dengan judul tulisan dan alinea-alinea awal.
Orang yang mencoba mereka-reka perkara ghaib, atau menyebarkan suatu perkara ghaib memang BUKAN sedang berijtihad. Ingat, ...See MoreAugust 16 at 10:22am · Like · - Jufran Helmi
@ Pak Rizal. Subhanallah. Terimaksih atas responsnya. Sayapun dapat belajar lebih banyak lagi.
Saya memang katakan dalam alinea terakhir itu bahwa mereka-reka alam ghaib dan menyebarkannya TIDAK dapat dikatakan ijtihad. Mengapa?
Ijtihad itu...See MoreAugust 16 at 5:24pm · Like · - Mohammad Rizal
Jika ada orang yang bercerita tentang sesuatu yang ghaib memang itu bukan proses ijtihad. Itu namanya bercerita. Menceritakan pengalaman bukan ijtihad. Bukan itu yang dimaksud Rasul s.a.w pada Sayidina Mu'adz sebagai ijtihad. Harap rujuk ke...See MoreAugust 17 at 7:47am via Jufran Helmi
@ Bu Nung. Banyak hal Bu. Tapi mungkin ini salah satunya. he he he
August 17 at 8:04pm · Like ·
Facebook Mobile · Like · - Jufran Helmi
@ Pak Rizal. Ternyata alinea terakhir itu cukup menimbulkan kesan, ya? Saya memulainya dengan kata "kalau". Artinya, itu hanya suatu permisalan, perumpaan. Saya tak tahu kalau ternyata Pak Rizal melihat memang ada orang yang seperti itu. A...See MoreAugust 17 at 8:38pm · Like · - Buroqi Tarich Siregar
Yang disampaikan adalah hal yg ideal (definisi dan syarat/kondisi ijtihad).
Sedang apa yg dikritik di bagian akhir tulisan menurut saya adalah gejala yang tidak bisa dibendung. Perkembangan jaman sudah menetapkan demokrasi sebagai kredonya. ...See MoreAugust 18 at 12:07pm · Like · - Jufran Helmi
@Buroqi. Barangkali memang ada fenomena "demokratisasi" seperti yang berlaku di dunia politik atau ekonomi. Waduh, kalau harus pula terjadi pada agama, bentuknya kayak apa ya?
Pendapata saya, agama yang sudah mengalami demokratisasi tidak ...See MoreAugust 19 at 9:19am · Like · - Buroqi Tarich Siregar
Demokratisasi pada agama salah satunya (sekedar contoh saja): menghilangkan elitisme semu (hanya karena menguasai istilah, tapi bukan substansi). Misalnya dalam soal menafsirkan atau berijtihad disyaratkan penguasaan manthiq. Padahal manthi...See MoreAugust 23 at 9:36am · Like ·
No comments:
Post a Comment