Saya kagum dengan Hanung Brahmantyo atas karya terbarunya "Sang Pencerah", sebuah karya sinematografi yang mengangkat momen sejarah yang berumur lebih dari 100 tahun di Kauman, Jogja, ke layar lebar untuk dinikmati di masa kini. Saya yang awalnya sudah cukup kagum dengan KH. Ahmad Dahlan, berkat film yang berdurasi lebih dari dua jam itu, menjadi lebih kagum lagi. Saya berhasil dipesona oleh Sutradara muda berbakat itu melalui rentetan episode-episode yang mengundang derai air mata. Sang mujaddid yang ternyata nama aslinya Darwis itu muncul di hadapan saya, terdeskripsi dengan jelas, ketika ia memulai gerakan pencerahannya menerobos keganasan kaum jahiliyah di masa itu.
Tapi, setelah episode terakhir berlalu, saya kecewa. Mengapa?
Saya dulu, bermula di Salman tahun 80-an, pernah berangan-angan menjadi mujjadid. Cita-cita kan mesti tinggi, he he he. Bayangan saya waktu itu, kehidupan seorang mujaddid begitu menakjubkan. Dengan bismilah, saya pun memulai gerakan itu, bukan gerakan tajdid, tapi gerakan mengumpulkan biografi para mujaddid dan membaca berhari-hari.
Apakah saya akhirnya jadi mujaddid? Ternyata tidak. Rencana saya itu urung di tengah jalan setelah saya tahu kalau ternyata sebelum melakukan tajdid di tengah ummat, seorang mujaddid harus mentajdid diri dan keluarganya terlebih dulu. Ini jelas-jelas sebuah tantangan yang sangat berat bagi saya maupun bagi siapa saja yang ingin mereformasi.
Hanyalah sebuah dagelan yang sama sekali tidak lucu bila seseorang menyeru manusia masuk ke dalam Islam sementara dia berada di luarnya, atau separoh di dalam dan separoh di luar. Orang berbondong-bondong masuk Islam, dia sendiri kafir.
Akhirnya, saya memilih untuk mengislamkan diri sendiri lebih dulu sebelum saya menjadi seperti lilin yang digambarkan Iqbal, menerangi sekitarnya namun leleh. Tapi anehnya, sampai ke hari ini, islamisasi diri itu tak kunjung pula selesai. Rencana tajdid tak kunjung dimulai. Film Sang Pencerah keduluan menyentak saya yang tertidur cukup lama dalam menggapai cita-cita perjuangan.
Seorang pejuang untuk sebuah tajdid atau reformasi memang harus mengislamkan diri dan keluarganya terlebih dulu. Kalau tidak, dia akan dipinggirkan orang. Secara fitrah, orang umumnya lebih tertarik kepada keislaman Sang Mujaddid dan keluarganya itu ketimbang gagasan-gagasan pencerahannya dengan segala dalil-dalil. Itulah sebabnya, sebelum ia keluar memimpin masyarakat, ia mesti tunjukkan terlebih dulu kepemimpinannya terhadap rumah tangga dan keluarganya. Orang awam akan mudah berkata, "Memimpin keluarga saja tak becus, apatah lagi memimpin orang banyak."
Keberhasilan kepemimpinan pejuang sejati adalah perpanjangan kepemimpinannya dalam rumah tangganya. Rumah tangga adalah miniatur masyarakat yang akan direformasinya itu.
KH. Ahmad Dahlan adalah seorang pejuang yang berjaya. Ini sebuah bukti sejarah. Beliau berhasil meletakkan dasar pendidikan modern yang berbasis Islam di tengah masyarakat Islam yang ortodoks. Tanpa harus diceritakan secara rincipun, orang akan tahu bahwa perjuangan itu pasti disokong oleh peran sang istri yang tak bisa dihilangkan begitu saja. Bagi seorang pejuang sejati, istri akan menjadi kawan perjuangan bukan lawan. Istri akan mengobati luka-luka hati akibat pahit getirnya perjuangan. Istri akan meniupkan ruh kasih sayang dan perhatian tatkala orang-orang menghembuskan permusuhan.
Siti Walidah, istri Sang Pencerah, yang terkenal dengan panggilan Nyai Ahmad Dahlan itu, tampil mempesona mengobarkan api perjuangan sang suami, bahkan di saat-saat api itu hampir-hampir padam. Api itu berkobar kembali mendenyutkan nadi dan vena Sang Pencerah. Saya bangga dengan Nyai Dahlan. Saya bangga dengan Kiyai Dahlan. Tapi, saya kecewa dengan Hanung Bramantyo.
Saya tidak tahu apakah ia kekurangan data sejarah yang memang selalu terkena sensor penguasa setiap orde? Ataukah ia kurang nyali, takut film yang berbiaya mahal ini tidak laku di pasaran? Atau ada pesan sponsor agar ia jangan macam-macam. Hanung yang bisa menjawab.
Mana istri-istrinya yang lain?
Istri Kiyai Dahlan bukan hanya Siti Walidah. Beliau mempunyai empat istri. Sang Pencerah yang pernah bermukim di Makkah dalam waktu yang lama itu, adalah pemimpin sebuah keluarga poligami. Sejarah telah mencatat nama-nama istri beliau: (1) Siti Walidah, yaitu sepupunya, yang dikenal juga sebagai Nyai Ahmad Dahlan, (2) Nyai Abdullah, seorang janda Haji Abdullah, (3) Nyai Rum, adik Kyai Munawir Krapyak, (4) Nyai Aisyah, adik ajengan Penghulu Cianjur. Setelah salah seorang istrinya meninggal, beliau menikah lagi dengan yang istri ke-5, Nyai Yasin Pakualaman.
Saya tidak meminta Hanung memfokuskan "Sang Pencerah" nya pada masalah poligami, karena topik itu akan menjadi bumerang pagi pemasaran film bermutu itu. Ibu-ibu dan aktifis perempuan bukan saja akan memboikot, tapi akan melakukan demo besar-besaran di depan HI berhari-hari, yang akhirnya terpaksa menyeret keikutsertaan pemerintah. Ingat kasus Aa' Gym.
Biarlah Sang Pencerah tetap pada judul yang dipilih. Judul itu bukan saja sangat menarik, tapi juga sangat penting diangkat. Tetaplah fokus pada gerakan tajdid, pembaruan, atau pencerahan yang memang sedang ditunggu-tunggu bangsa ini untuk kedua kalinya dengan segala suka dan dukanya. Namun, melenyapkan satu latar belakang sejarah sang tokohnya, tentu sebuah khilaf yang cukup serius.
Saya yakin Hanung sadar akan hal itu. Buktinya, latar belakang masa kecil Darwis ketika masih mandi di sungai tak luput dari perhatiannya. Bahkan ia tak melupakan latar belakang gerakan tajdid yang sedang melanda Mekkah yang dipelopori oleh Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani. Bahkan, nama Syekh Jamil Jambek di Bukittinggi ikut di sebut-sebut, padahal barangkali relevansinya sangat kecil untuk kasus ini.
Akan tetapi, sungguh sayang seribu sayang, mengapa Hanung tidak menyebutkan sepatah katapun, kalaupun bukan seepisode, istri-istri Kiyai selain Nyai Siti Walidah itu?
Mungkin Hanung memang belum merasakan bagaimana memimpin sebuah keluarga poligami sehingga secara emosional, dia tidak melihat beda antara poligami dan monogami. Karena itu, dia belum tahu betapa seluk beluk poligami merupakan kancah candra dimuka yang paling efektif melatih kepemimpinan seorang calon pejuang. Wajarlah, kalau upaya menampilkan latar belakang keluarga Kiyai Dahlan yang sesungguhnya tak termaksimalkan.
Tapi, terus terang, tidak kecil apa yang sudah dibuat seluruh tim Sang Pencerah ini. Saya tetap acungkan jempol. Ini sebuah karya besar. Saya menghimbau kawan-kawan untuk tidak melewatkan kesempatan menontonnya. Saya bahkan berharap, untuk berikutnya Hanung dan kawan-kawan wajib mengangkat tokoh lain seperti KH. Hasyim Asy'ari ataupun tokoh pejuang lainnya.
Tapi, jangan lupa ya, Nung. Tampilkan poligaminya agar saya tak kecewa lagi.
Wallahu a'lam
Bagaimana pendapat Anda?
No comments:
Post a Comment