Untuk melihat makna Dienul Islam, yang dalam bahasa kita disebut agama Islam, rasanya menarik juga kalau kita menelaah 3 kata kunci yang sering disebut sebagai 3 elemen dasar Al-Islam: islam, iman, dan ihsan. Ketiga kata tersebut dirangkaikan oleh Rasulullah dalam sebuah dialog dengan Jibril yang sangat terkenal itu. Apa hakikat dari ketiga unsur itu? Saya harap Anda sedikit sabar mengikuti penjelasan saya berikut ini. Kita akan telusuri kata-kata itu secara semantik, mulai dari makna leksikal sampai epistimologinya.
Kita lihat secara leksikal terlebih dulu. Kata-kata islam, iman, dan ihsan mempunyai makna yang sendiri-sendiri yang kelihatannya tidak saling mengait. Ketiga kata itu berasal dari rumpun yang berbeda. Tapi, ketiga kata itu telah dikenal oleh bangsa Arab dalam bermacam-macam penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, itu bukan kata asing bagi mereka.
Kata islam adalah bentuk masdar dari wazan "aslama, yusallimu, islaaman", yang artinya menyerah, tunduk, atau taat. Kalau ditelusuri, kata tersebut merupakan turunan dari kata "salama, yaslimu, salaaman" yang bermakna damai, tenang, atau selamat. Kalau digabung, islam berarti sebuah kepatuhan yang tujuannya adalah keselamatan.
Kata iman adalah bentuk masdar dari kata "aamana, yu'mimu, imaanan" yang artinya percaya, mempercayai, atau meyakini. Kata itu merupakan turunan dari kata "amana, ya'minu, amnan" yang berarti aman atau mengamankan. Kalau kita gabung pula seperti kita menggabung makna islam, iman berarti suatu keyakinan yang tujuannya adalah kemananan diri.
Kata ihsan adalah bentuk masdar dari wazan "ahsana, yuhsinu, ihsaaanan" yang artinya sempurna, lebih sempurna, atau menyempurnakan. Kata itu merupakan turunan dari wazan "hasana, yahsinu, hasanan" yang berarti baik atau berbuat baik. Sekali lagi kita menggabung maknanya, ihsan itu adalah sesuatu yang lebih sempurna yang tujuannya berbuat kebaikan dan mafaat.
Jangan berhenti dulu. Sekarang mari kita lihat secara epistimologis. Istilah Islam, yang bermakna kepatuhan itu, telah dipilih Alllah sebagai nama agama ini. Pasti ada maksud Allah memilih itu. Menurut saya, pemilihan itu dengan jelas menunjukkan bahwa Allah menjadikan kepatuhan pada hukumNya sebagai identitas agama ini. Siapa yang patuh pada hukum Allah, dia muslim. Yang tidak patuh adalah non-muslim alias kafir. Sudah barang tentu tingkat kepatuhan akan bebeda-beda pada setiap individu manusia.
Seluruh isi alam semesta, menurut Allah, pun telah patuh. Mereka pun muslim. Seluruh alam raya, mulai dari jamadat yang mikro sampai yang makro, tunduk dan patuh kepada hukum-hukum Allah. Bila manusia bisa menyertai mereka dalam kepatuhan itu, manusia akan selamat. Sebaliknya, bila manusia hidup berbeda dengan mereka, padahal manusia ada bersama mereka, manusia akan celaka dan sengsara.
Tapi, cukupkah kalau sekedar taat dan patuh bagi manusia sebagaimana tunduk dan patuhnya alam raya? Jelas tidak. Bukankah manusia dicipta sebagai makhluk yang mempunyai kelebihan dibandingkan dengan alam semesta? Bukankah manusia ini khlaifah Allah di alam raya ini? Pasti ada bedanya.
Manusia telah diberi kelebihan berupa hati dan akal sehingga keselamatannya tidak cukup hanya sekedar taat secara lahiriah saja. Di situlah letak bedanya. Walaupun hati dan akal manusia berkendak, manusia diminta menundukkannya juga pada kehendak Tuhan. Kalau tidak, akal manusia akan sangat liar sehingga akhirnya dapat membahayakan manusia itu sendiri. Keyakinan akan Allah merupakan hasil dari penundukan akal kepada Allah. Maka, dengan keras Allah menolak ketaatan manusia yang bukan didasarkan keyakinan. Disinilah esensi iman yang dituntutkan sebagai simbol ketaatan manusia yang berbeda dari alam lainnya.
Terakhir, perlu direnungkan dalam-dalam, bahwa manusia bukan sembarang makhluk dengan semua kelebihannya itu. Allah menyatakan bahwa manusia diutus sebagai khalifah Allah. Wajarlah kalau kehadirannya mesti membawa kebaikan bagi seluruh alam. Dengan sederhana kita bisa melihat bahwa sekedar taat walaupun yakin ternyata tidaklah cukup. Ia dituntut memahami tujuan ketaatan dan keyakinan itu. Tujuan yang paling sempurna adalah Allah, karena Dialah sumber dari semua kebaikan itu. Itulah esensi ihsan.
Kalau ketiga kata itu: islam, iman dan ihsan, kita lihat sebagai sebuah terminologi berdasarkan AlQuran dan AsSunnah, terdapat hubungan semantik yang sangat erat antara ketiganya. Ternyata ketiga-tiganya digunakan dalam makna yang saling berhubungan. Hubungannya bukanlah hubungan sinonimi seperti yang banyak dipahami orang, melainkan hubungan hiponimi atau meronimi. Maksudnya, makna kata yang satu telah tercakup dalam kata lainnya.
Maksudnya, Islam mempunyai makna yang paling umum dalam ketiga kata tersebut. Iman lebih lempit dan ihsan adalah yang paling sempit. Di dalam makna Islam telah tercakup iman dan ihsan. Sedangkan dalam iman tercakup ihsan.
Kalau saya gambarkan makna kata islam dengan sebuah lingkaran, kata iman akan berbentuk lingkaran yang lebih kecil yang keseluruhan bagiannya berada di dalam lingkaran makna islam. Makna kata ihsan sendiri akan berbentuk lingkaran yang lebih kecil lagi dari iman yang keseluruhannya berada di dalam lingkaran makna iman. Dengan kata lain, seorang muhsin pastilah mukmin, sementara tidak semua yang mukmin adalah muhsin. Semua mukmin pastilah muslim sedangkan tidak semua muslim adalah mukmin.
Kita bisa analogikan hubungan semantik islam, iman, dan ihsan dengan hubungan semantik makna hewan, mamalia, dan sapi. Semua sapi adalah mamalia dan semua mamalia adalah hewan. Itu juga berarti bahwa tidak semua hewan adalah mamalia, dan tidak semua mamalia adalah sapi. Penganologian itu akan menyimpulkan bahwa semua muhsin adalah mukmin dan semua mukmin adalah muslim. Penganalogian juga berarti bahwa tidak semua muslim adalah mukmin dan tidak semua mukmin adalah muhsin.
Wallahu a'lam.
Bagaimana pendapat Anda?
No comments:
Post a Comment