Banjir di Jakarta (sumber foto: google)
Mengendalikan banjir itu sederhana saja, tidak perlu repot. Pengendalian banjir dimulai dengan mengenali hukum-hukum air. Air secara fitrahnya mengalir dari tempat yang tinggi menuju tempat yang rendah bila kepada air itu tidak ditambahkan energi.
Karena itu, air hujan yang mencurah dari langit akan merayap dipermukaan bumi mencari tempat yang rendah. Sebagian air yang kebetulan menemui pori-pori tanah akan meresap ke dalam tanah, sebagian lagi yang tidak terserap akan terus mengalir menuju tempat-tempat rendah lainnya dimana pun.
Bila tempat yang rendah itu kebetulan sebuah selokan, air akan masuk ke dalam selokan itu. Tapi, bila selokan itu penuh atau tersumpat, air akan mengalir ke tempat rendah lainnya. Nah, bila tempat rendah itu adalah masjid, restoran, bahkan istana presiden, air akan masuk ke sana. Air tenyata tidak peduli tempat yang rendah itu tempat apa. Tempat maksiat ataupun tempat ibadah bagi air sama.
Inilah hukum air. Setelah kita mengenal hukum alam air, pengendalian banjir hanyalah penyediaan sarana yang cukup sehingga air itu mengalir sesuai hukum-hukumnya. Sederhana bukan?
Begitu sederhanya persoalan banjir itu, penyelesaiannya tidak perlu harus pakai teriak-teriak, tuding sana tuding sini. Penyelesaian banjir tidak perlu harus dikait-kaitkan dengan isu politik, dll. Pada tingkat individu, cukup pastikan bahwa di tempat Anda ada selokan yang dasarnya lebih rendah dari halaman rumah, ukuran selokan itu cukup menampung seluruh aliran air, dan selokan itu bersambung tanpa tersumbat dengan selokan lain, parit, kali, atau sungai yang dasarnya lebih rendah lagi dan ujungnya bermuara ke laut.
Ketika seorang kawan saya begitu semangat menceritakan bahwa rumahnya terendam banjir, saya ikut pilu dan menyampaikan rasa berduka cita. Tapi, saya bertanya pada dia. “Adakah selokan di sana?
“O, ada,” jawabnya ringkas. ”Selokan itu tidak mampu menampung air lagi.”
“Sudahkah Anda pastikan ukuran selokan itu memadai untuk menampung hujan yang turun? Dan apakah selokan itu bersambung ke selokan lain yang lebih rendah menuju ke laut?” tanya saya kepad kawan itu.
“Wah, itu kan tugas Pemda,” jawabnya.
Nah, inilah persoalan yang sebenarnya. Kawan saya itu dengan tenang tinggal di satu perumahan dan tidak pernah berpikir apakah di komplek perumahan itu ada selokan yang ukurannya memadai secara volume dan selokan itu bersambung ke selokan lain, parit, kali, atau sungai yang ujungnya bermuara ke laut.
Ketika isu selokan itu saya tanyakan, dengan enteng dia menjawab bahwa itu urusan Pemda. Aha. Jadi, urusan dia hanya tinggal di rumah itu dengan tenang, setiap hari asyik menonton TV. Setenang itu ia tinggal di sana, tentu lebih tenang lagi pak RT, pak RW, pak Lurah, atau pak Walikotanya.
Kalau demikian cara berpikir kita masing-masing, wajar saja kalau kita terpaksa bersibuk ria bila musim hujan tiba. Kita akan menyaksikan dengan mata kepala sendiri sejumlah air yang tidak menemukan jalan ke laut tiba-tiba mampir bertamu ke rumah kita, numpang menginap di ruang tidur, ruang belajar, dan dapur. Kita akan menyaksikan kalau air itu ternyata tidak dapat pula dibujuk pergi ataupun dipaksa meninggalkan rumah kita betapapun berbagai tudingan penyebab banjir telah kita lemparkan ke mana mana dengan emosi.
Kalaulah kawan saya itu punya mata dan telinga hati, tentu ia akan mendengar dan melihat bahwa air itu sebenarnya sedang marah, mengamuk, karena tidak diberikan jalan ke laut.
Mengendalikan banjir pada ahkikatnya hanyalah memastikan tersedianya selokan, parit, kali, atau sungai yang lebih rendah, sebagai tempat air yang tidak terserap tanah mengalir ke laut. Mengendalikan banjir artinya juga memastikan ukuran selokan, parit, kali, dan sungai itu cukup menampung volume air yang akan mengalir. Mengendalikan banjir artinya hanyalah menjaga jangan sampai selokan, parit, kali, dan sungai itu mengalami penyempitan atau penyumbatan.
Begitu sederhananya pengendalian banjir, mengapa sepertinya masyarakat bahkan pemerintah menemukan jalan buntu?
Urus selokan maka selesailah urusan banjir.
No comments:
Post a Comment