Seorang perempuan cantik dengan gaun berbelah panjang sampai paha, penuh pernak pernik di bagian leher dan pinggang, bersepatu tumit tinggi Cinderella Slippers, meloncat keluar dari sebuah Lamborghini Veneno 3000 cc sambil membanting pintunya dengan wajah murka. Tangannya yang putih mulus yang terbuka sampai di bahu menjinjing tas munggil Hermes Matte Crocodile Birkin seri terbaru.
Kemudian, terdengar ciutan keras ban radial mobil itu karena digas kejut oleh si sopir, seorang lelaki ganteng perlente yang duduk di belakang stir. Sambil bertolak pinggang, perempuan itu menatap tajam si lelaki yang terus berlalu.Aku yakin suami-istri kaya ini baru saja berkelahi karena mereka tidak sepakat, apakah akan makan di pesta yang sudah hampir usai atau makan di restoran saja. Hukum rimba akhirnya berlaku.
Tak jauh dari tempat itu, seorang ayah kurus kusam, dibantu istri yang gemuk ceria, mengatur enam anaknya berbaris menunggu angkot jurusan Cileungsi-Cililitan. Setiap kali si sopir memberi isyarat mobilnya sudah penuh, si ayah menghadiahinya senyuman, sambil menurunkan kembali tas besar penuh bekal dari bahunya. Si ibu loncat sana loncat sini
Aku yakin suami-istri yang miskin ini, sedang mengantar anak-anak mereka berenang mumpung sekolah libur.
Tak lama kemudian, aku berpikir, Apakah benar definisiku tentang ‘kaya’ dan ‘miskin’? Apakah adil melabeli seseorang itu kaya hanya karena ia dikelilingi oleh nama-nama besar: Hermes, Lamborghini, J-co, Starbuck, Mc-Donald, BMW, Samsung, XXI, Body Shop, atau Universal Studio. Padahal, di balik kemewahan itu selalu saja ada rasa tak puas, rasa tak pernah cukup-cukupnya? Begitu banyak orang yang dilabeli kaya dan mapan, ternyata hidupnya mengemis, memeras. Rumah tangganya medan peperangan.
"Uh," penasaran membuatku galau.
Apakah label miskin tepat bila hanya dikaitkan dengan bon warung, angkot, baju kodian Tanah Abang, dan warteg? Begitu banyak di sekitarku orang yang menyandang label "miskin" dari masyarakat tapi mereka hidup terhormat, bahagia. Mereka banyak memberi.
Selama lima belas menit kurang beberapa detik aku mencoba mendefinisikan ulang apa itukaya apa itu miskin, sementara keringat mengucur dari pelipisku karena sengatan matahari.
"Kaya adalah..."
"Miskin adalah..."
Tiba tiba, mataku menangkap sekelompok merpati -- mungkin lebih tujuh ekor -- bercanda ria di atas sebuah nampan berebut segantang jagung yang dituangkan nenek bungkuk yang sudah renta. Bulir-bulir yang mereka patuk itu sebenarnya cukup untuk sesore ini saja. Belum tahu untuk besok. Tapi, keceriaan mereka tak sedikitpun sirna.
Tanpa bisa aku elak, sebuah jawaban menyambarku. Yang mebedakan kaya dan miskin sesungguhnya adalah perasaan: perasaan cukup. Merasa cukup pada yang ada, itulah kaya. Merasa kurang, kurang, dan terus kurang, itulah miskin dan sebenar-benarnyakemiskinan, betapapun hidup dalam kelimpahan harta benda.
Salam.
Kemudian, terdengar ciutan keras ban radial mobil itu karena digas kejut oleh si sopir, seorang lelaki ganteng perlente yang duduk di belakang stir. Sambil bertolak pinggang, perempuan itu menatap tajam si lelaki yang terus berlalu.Aku yakin suami-istri kaya ini baru saja berkelahi karena mereka tidak sepakat, apakah akan makan di pesta yang sudah hampir usai atau makan di restoran saja. Hukum rimba akhirnya berlaku.
Tak jauh dari tempat itu, seorang ayah kurus kusam, dibantu istri yang gemuk ceria, mengatur enam anaknya berbaris menunggu angkot jurusan Cileungsi-Cililitan. Setiap kali si sopir memberi isyarat mobilnya sudah penuh, si ayah menghadiahinya senyuman, sambil menurunkan kembali tas besar penuh bekal dari bahunya. Si ibu loncat sana loncat sini
Aku yakin suami-istri yang miskin ini, sedang mengantar anak-anak mereka berenang mumpung sekolah libur.
Tak lama kemudian, aku berpikir, Apakah benar definisiku tentang ‘kaya’ dan ‘miskin’? Apakah adil melabeli seseorang itu kaya hanya karena ia dikelilingi oleh nama-nama besar: Hermes, Lamborghini, J-co, Starbuck, Mc-Donald, BMW, Samsung, XXI, Body Shop, atau Universal Studio. Padahal, di balik kemewahan itu selalu saja ada rasa tak puas, rasa tak pernah cukup-cukupnya? Begitu banyak orang yang dilabeli kaya dan mapan, ternyata hidupnya mengemis, memeras. Rumah tangganya medan peperangan.
"Uh," penasaran membuatku galau.
Apakah label miskin tepat bila hanya dikaitkan dengan bon warung, angkot, baju kodian Tanah Abang, dan warteg? Begitu banyak di sekitarku orang yang menyandang label "miskin" dari masyarakat tapi mereka hidup terhormat, bahagia. Mereka banyak memberi.
Selama lima belas menit kurang beberapa detik aku mencoba mendefinisikan ulang apa itukaya apa itu miskin, sementara keringat mengucur dari pelipisku karena sengatan matahari.
"Kaya adalah..."
"Miskin adalah..."
Tiba tiba, mataku menangkap sekelompok merpati -- mungkin lebih tujuh ekor -- bercanda ria di atas sebuah nampan berebut segantang jagung yang dituangkan nenek bungkuk yang sudah renta. Bulir-bulir yang mereka patuk itu sebenarnya cukup untuk sesore ini saja. Belum tahu untuk besok. Tapi, keceriaan mereka tak sedikitpun sirna.
Tanpa bisa aku elak, sebuah jawaban menyambarku. Yang mebedakan kaya dan miskin sesungguhnya adalah perasaan: perasaan cukup. Merasa cukup pada yang ada, itulah kaya. Merasa kurang, kurang, dan terus kurang, itulah miskin dan sebenar-benarnyakemiskinan, betapapun hidup dalam kelimpahan harta benda.
Salam.
No comments:
Post a Comment