Breaking

Monday, September 13, 2010

Identitas Keislaman


Kita harus mengakui bahwa sebagian besar kita, masyarakat Indonesia, terlahir sebagai muslim. Identitas keislaman yang kita anut di Indonesia pun ternyata tidak muluk-muluk. Bila seseorang ketika lahirnya diazankan dan ketika kanak-kanak disunat, kita sudah anggap ia muslim. Kalau tidak tinggal shalat 5 waktu dan puasa Ramadhan, ia sudah tergolong muslim yang taat. Bila membayar zakat dan mengerjakan haji, lebih-lebih lagi, ia sudah bisa dianggap muslim yang sangat taat. Bahkan, bila seseorang yang sudah pandai berkhutbah di mimbar, di Indonesia tidak lagi dipandang sebagai muslim yang taat, tetapi sudah dipandang sebagai ulama.
Identitas semacam itu sebenarnya tidak salah. Allah sendiri yang melegalkannya. Dalam Surah Al Hujurat ayat 14-18 tentang orang-orang Badui yang mengaku beriman, Allah mengingatkan Rasulullah bahwa mereka hanya tidak boleh menggunakan identitas sebagai mukmin. Allah melegalkan kalau mereka mengaku muslim.
Jadi, memang sesederhana itulah identitas keislaman. Bila seseorang sudah mengucapkan dua kalimah syahadah, maka terlindunglah darah dan hartanya sebagai muslim. Kalau seseorang itu terlihat shalat, maka bolehlah ia kalau mati dikuburkan dengan cara Islam. Kalau simbol-simbol Islam telah menempel pada diri dan keluarganya, termasuk di KTP, tak layak lagi seorangpun yang boleh mengira dia sebagai non muslim. Ya, sederhana sekali. Jadi kalau kita refleksikan ke masyarakat Indonesia, tidak salah kalau ada yang menghitung bahwa muslim di sini lebih dari 95%.
Pertanyaannya, mengapa akhlak Islam tidak berlaku pada masyarakat Islam yang mayoritas itu?
Agama ini memang bernama Islam. Tapi esensi agama ini adalah keimanan, bukan keislaman. Iman dan Islam suatu hal yang berbeda. Manusia boleh mentaati syariat Islam dengan motif apapun untuk bisa disebut muslim, tapi keta'atan yang diakui Allah hanyalah keta'atan yang didasarkan Iman. Buktinya, orang-orang Badui boleh diakui keislamannya. Bahkan orang-orang-orang munafikpun diakui keislamannya. Tapi mereka bukan mukmin.
Nah, berapa banyak mukmin inilah yang menjadi persoalan besar kita. Yang muslim jelas banyak. Bahkan, negara yang paling banyak muslimnya di dunia adalah Indonesia. Yang baru kita sensus adalah jumlah muslim, bukan jumlah mukmin. Yang kita klaim sebagai mayoritas di Indonesia adalah muslim, bukan mukmin.
Sementara, yang menjamin seseorang itu tidak bermaksiat bukanlah keislamannya, melainkan keimanannya. Hal itu disebabkan karena hanya iman yang melahirkan rasa takut pada Allah, sementara Islam tidak. Iman melahirkan takut dan cinta di hati seperti garam melahirkan rasa asin di lidah. Orang yang takut pada Allah tidak akan berani bermaksiat pada Nya.
Kalau kita melihat identitas keislaman baru di sisi ritualnya, seperti syahadat, shalat, puasa, zakat, haji, alquran, atau berbagai upacara keagamaan, kita baru berbicara dimensi yang terluar dari agama ini. Kita belum memasuki esensinya, yaitu iman.
Kalau iman saja belum kita masuki, bagaimana mungkin kita menyinggung masalah yang jauh lebih ke inti, yaitu ihsan. Padahal, sudah menjadi ijma' bahwa dienul Islam ini terdiri dari tiga elemen: islam, iman, dan ihsan. Sementara, akhlak yang sering kita pertanyakan itu, tidak lain dan tidak bukan, adalah buah dari gabungan islam, iman dan ihsan itu.
Jadi, tidak nampaknya akhlak Islam berlaku di tengah masyarakat muslim, besar kemungkinan karena mukmin di Indonesia memang sangat minoritas di tengah-tengah mayoritas muslim itu. Yang mukmin itu sedikit artinya yang takut bermaksiat hanya sedikit. Artimya, yang berakhlak Islam itu sedikit. Jumlah itu terlalu terlalu sedikit dibandingkan dengan yang tidak mukmin sehingga tidak mungkin mewakili masyarakat muslim secara keseluruhan. Berapa persen? 1 sampai 2% mungkin masih terlalu banyak. Wallahu a'lam.
Di zaman Rasulullah sendiri, jumlah mukmin memang lebih sedikit dibanding muslim. Tapi perbedaannya tidak terlalu banyak. Yang tidak mukmin tapi muslim, ketika itu, hanya beberapa orang Badui ditambah beberapa orang munafik. Tapi, di masyarakat kita sekarang, perbedaan itu sangat signifikan. Muslimnya mayoritas sedangkan mukminnya minoritas. Jadi, jangan terlalu banyak berharap perbaikan akhlak mendasar seperti yang diharapkan akan segera terjadi di Indonesia.
Kalau begitu, yang harus segera diupayakan di Indonesia, untuk terbentuknya akhlak bangsa yang baik, adalah transformasi yang sesegera mungkin dari muslim ke mukmin. Untuk melakukan transformasi itu jelas tidak mudah. Pertama, kita harus tahu terlebih dahulu apa iman itu. Kita harus paham apa yang membuat iman bertambah dan berkurang. Ini berarti persoalan aqidah.
Kemudian, kita harus tahu pula bagaimana iman itu bisa tertransfer ke dada seseorang. Apakah iman itu tertransfer melalui transfer ilmu, seperti yang banyak diduga, atau melalui metoda lain. Ini berarti persoalan tasawuf.
Terus terang, banyak yang keliru mengira iman berbanding lurus dengan ilmu agama. Ini jelas tidak sesuai dengan fakta. Telah terlalu banyak bukti ketidaksingkorannya itu. Tapi sayangnya, sistem da'wah Islam, baik melalui sekolah resmi ataupun ceramah-ceramah, masih berorientasi pada transfer ilmu.
Bagaimana pendapat Anda?
Wallahu A'lam

No comments:

Post a Comment